NovelToon NovelToon

ISTRI UNTUK TUAN BUTA

BAB 1 TUAN YANG BUTA

Seorang gadis manis yang rambutnya diikat ke atas menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Di mana meja nomer 13," lirihnya.

"Di pojok sana, Sania," ucap seorang pria tampan yang memakai seragam sama dengannya.

"Terima kasih, Jeff." Pria itu mengangguk dan tersenyum padanya. Hari ini adalah hari pertama Sania bekerja di cafe ini. Tentu saja dia belum hafal letak meja di cafe ini. Cafe ini termasuk cafe yang besar di kota ini.

Gadis manis itu akhirnya bisa tersenyum saat melihat papan nomer yang terletak di meja paling pojok menunjukkan angka 13.

"Silah—" Kopi yang dibawanya tumpah mengenai kemeja pria paruh baya yang sedang asyik berbincang dengan rekan di sebelahnya.

"Astaga! Kau!" Rekan kerja di sebelahnya terperangah melihat gadis itu menumpahkan kopi panas pada kemeja rekannya.

Gadis itu menutup mulutnya dan tak lama matanya berkaca-kaca. "Tu-tuan, sa-saya—"

"Sania!!!" Belum sempat menyelesaikan perkataannya yang terbata, suara menggelegar terdengar begitu keras dari arah belakang.

Pria paruh baya yang kemejanya ketumpahan kopi tadi tidak berkata apa pun, dia langsung beranjak berdiri dan menuju toilet. Tapi bisa dilihat dari wajahnya yang menahan panasnya air kopi itu.

"Ma-maaf, Bos," ucapnya sambil terisak. Kepalanya terus menunduk merasa sangat ketakutan.

"Ke ruangan saya sekarang!" Sania dengan kaki gemetar perlahan berjalan menuju ruangan pemilik Cafe. Sebelum bos pemilik Cafe itu beranjak pergi, dia tak lupa meminta maaf atas kelalaian Sania dan meminta karyawan lain untuk cepat membersihkan kekacauan itu dan mengganti kopinya dengan yang baru.

"Bos, saya mohon jangan pecat saya. Saya anak yatim piatu, saya mohon. Saya butuh pekerjaan ini." Sania mengatupkan kedua tangannya. Dia tak berhenti menangis. Dia memang salah, dia tidak berhati-hati.

"Sania, kamu belum genap satu hari bekerja di sini. Kenapa sudah membuat masalah! Saya tidak suka ada karyawan yang teledor, kamu bisa membahayakan pelanggan-pelanggan saya! Silahkan lepas seragammu dan cari pekerjaan lain!" Pemilik Cafe beranjak dari duduknya. Dia bahkan tega menarik Sania dengan kasar keluar dari ruangannya.

Sania tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dia merasa sangat tidak berharga hidup di dunia ini. Sudah yatim piatu saat masih kecil, hidup bersama Paman dan Bibinya yang selalu memperlakukannya dengan buruk. Hidupnya terasa hampa. Hanya satu orang yang menerima kehadirannya yaitu Pak Mail. Pelayan di rumah Paman dan Bibinya yang sudah sangat tua. Beliau juga sama nasibnya dengan dirinya, hidup sebatang kara di dunia ini.

"Nona ...." Suara lembut dari seseorang menghentikan langkahnya.

"Tu-tuan, maaf maaf. Aku tidak sengaja, aku sungguh tidak sengaja. Mohon maafkan aku, Tuan." Seseorang yang memanggil dirinya adalah pria paruh baya yang tadi tidak sengaja ketumpahan kopi.

"Tidak apa-apa, Nona. Saya tidak apa-apa. Kenapa Nona di sini? Kenapa tidak memakai seragam lagi?" Pria paruh baya itu berkata sangat lembut. Sania jadi teringat dengan sang Ayah yang selalu berkata lembut dengannya.

"Saya dipecat, Tuan," ucap Sania dengan sedih. Dia sudah menghapus seluruh air matanya, yang tersisa hanyalah matanya yang memerah sehabis menangis juga ujung hidungnya yang ikut merah.

"Ya Tuhan, pasti gara-gara saya, kamu sampai di pecat. Maaf kan aku, Nona." Pria paruh baya itu ikut bersedih.

"Ini memang salahku, Tuan. Saya berhak menerima ini semua."

Sania ingin beranjak pergi dari tempat tapi pria paruh baya itu menahannya.

"Nona, apakah Nona ingin bekerja lagi?"

Sania memasang telinga betul-betul, siapa tahu dia salah dengar. "Bekerja? Iya tentu, Tuan. Saya baru saja lulus sekolah, tentu saya akan bekerja."

"Saya ada tawaran untuk Nona. Bekerja di rumah saya,"

"Maksud Tuan?"

****

Anderson, pria buta yang menghabiskan seluruh hidupnya untuk merenungi kehidupannya yang terasa hampa. Cinta sejati yang membuatnya kuat, kini tak dapat lagi dia genggam. Dia kehilangan cinta sejatinya karna kesalahannya sendiri.

"Tuan Son, ayo makan. Nanti tuan Math akan marah kepada saya, jika makanan Tuan masih utuh." Pelayan wanita yang sudah beruban itu terus menyodorkan sepiring nasi padanya. Hampir setiap hari dia seperti itu. Melayani Tuan Son setiap hari, walaupun dirinya kadang merasa kesal dengan sikap cueknya, "Tuan, saya harus kembali ke dapur. Makan lah, Anda belum makan dari pagi."

Son terus diam. Yang bisa dia lihat hanya lah kegelapan. Terbuka atau pun terpejam, sama aja.

CRANGGG!!!!!

Pecahan piring berserakan di mana-mana. Salah satu pelayan yang melintasi kamar Son, perlahan mendekat. Walau dia merasa ketakutan, tapi dia mau tidak mau masuk ke dalam kamarnya. Dia juga takut jika Son kenapa-kenapa. Seisi rumah bisa terkena marah oleh Tuan Math.

"Tuan Son, Anda tidak apa-apa?" Pelayan wanita itu lantas membersihkan serpihan piring itu. Sesekali matanya melirik pada Son yang hanya diam saja.

"Dia hanya buta kan? Tidak bisu?" batinnya. Tidak hanya pelayan paruh baya tadi yang merasa kesal dengan sikap Son, hampir seluruh pelayan di rumah sangat kesal dengan sikap Son.

"Tuan, Anda mau ke mana?" Pelayan wanita itu membantu langkah Son. Tapi berkali-kali Son menepis tangannya dengan kasar.

CRANGGG!!!!

Tubuh Son menabrak meja dan menjatuhkan vas bunga yang berada di atas meja tersebut.

"Ya Tuhan ... pekerjaanku menjadi double!!!" batinnya kesal. Ternyata Son ingin ke ranjang, dia merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya.

"Bi Mar! Bi Mar!" Saat panggilan pada Bi Mar mulai menggema, seluruh pelayan pun langsung berkumpul menjadi satu di ruang belakang.

"Iya, Tuan Math." Bi Mar dengan napas tersengal-sengal menghampiri Tuan rumah yang sangat berkuasa di rumah ini.

"Apa putraku sudah makan? Di mana dia?" Seorang Ayah yang sangat perhatian dengan putranya. Setiap hari dia hanya menanyakan keadaan putra bungsunya saja. Itu membuat putra pertama dan kedua merasa iri dengan sikap ayahnya.

"Tadi saya sudah memberikan makanan untuknya, Tuan," ujar Bi Mar seraya mengusap keringat yang mengucur di dahinya.

"Apakah dia mau makan? Apakah kau melihatnya memakan makanan itu?" Tuan Math menyilangkan kakinya dan menyenderkan tubuhnya pada sofa.

"Saya akan mengeceknya terlebih dahulu, Tuan," kata Bi Mar dan ingin beranjak pergi.

"Berhenti! Apa pekerjaanmu seharian ini! Kenapa hanya memastikan putraku sudah makan atau belum kau tidak bisa!"

Tuan Math menarik kasar tangannya yang mulai keriput. "Tanganmu kau gunakan untuk apa saja? Hah! Apa kau tidak bisa menyuapinya agar putraku tidak kekurangan gizi!" serunya dan menghempaskan tangannya begitu saja. Bi Mar memegangi tangannya yang sakit.

"Maaf Tuan. Tuan Son tidak mau saya suapi. Saya sudah berusaha, kalau saya memaksa, Tuan Son akan marah dan membanting-banting barang." Bi Mar merasa serba salah. Di sisi lain dia takut kena marah Tuan Math tapi melihat Tuan Son yang menggila, itu juga cukup menyeramkan.

**

Selamat membaca karyaku yang Baru...

Salam hangat untuk kalian semua ...... hehe

BAB 2 ANAK YATIM PIATU

"Dasar anak tidak berguna! Kau memang selalu menyusahkan! Sudah dibiayai sekolah sampai tamat, tapi bekerja saja tidak becus! Mana balas budimu pada Paman dan Bibi! Dasar anak tidak tahu diri!" Bibi Lotus marah karna mendengar pengakuan dari Sania bahwa dirinya baru saja di pecat setelah belum genap sehari bekerja.

"Kamu ini memang selalu menyusahkan! Paman tidak tahu lagi harus mendidikmu seperti apa! Kamu hanya benalu di keluarga ini!" kata Paman, dia juga ikut kesal.

Harusnya Sania bisa membalas perkataan Paman dan Bibinya, biaya untuknya bersekolah hingga tamat tak lain karna adanya uang warisan dari Ayah dan Ibunya dulu. Uang warisan yang harusnya diserahkan kepadanya semua tapi dipegang oleh Paman dan Bibinya. Karna dulu dirinya masih kecil, belum tahu apa-apa. Dia baru-baru mengetahuinya saat tak sengaja mendengar percakapan antara Paman dan Bibinya waktu itu. Ayah dulu adalah seorang kontraktor dan Ibu juga bekerja sebagai karyawan di sebuah bank swasta. Mereka memiliki beberapa lahan tanah yang kalau dijual mencapai ratusan juta. Dia masih kecil waktu itu, jadi dia tidak tahu apa-apa.

Sania yang tidak kuat mendengar hinaan dari Paman dan Bibinya lantas masuk ke dalam kamarnya.

"Dia bahkan tak punya sopan santun kepada Ayah dan Ibu." Maria yang tak lain adalah sepupunya juga tampak tidak suka padanya. Jelas saja, dia kalah dengan Sania. Sania gadis cantik dan manis, banyak laki-laki yang suka padanya di sekolah. Maria yang kalah saing merasa iri dengan kecantikannya, sekali pun penampilannya tampak kucel atau pun tidak berdandan, Sania masih terlihat cantik.

Di kamar yang tidak begitu luas, Sania menumpahkan kesedihan dan kemarahannya di sini. Pigura foto yang terletak di meja nakasnya dia raih dan dipeluknya erat-erat. Dia menangis tanpa mengeluarkan suara. Hatinya begitu sesak selama bertahun-tahun ini hidup tanpa kasih sayang mereka berdua. Dia tak pernah marah dengan Tuhan, Sania selalu ingat kata-kata Ayahnya.

"Sania, Tuhan tahu apa yang kamu butuhkan. Dia selalu memberikan di waktu yang tepat, tapi saat Tuhan mengambil lagi itu artinya kamu tidak lagi membutuhkannya. Kamu hanya perlu menunggu apa yang akan Tuhan kasih lagi, tanpa mengeluh dan terus berusaha," kata Ayah waktu itu.

Sania tertidur setelah lelahnya menangis. Hingga bunyi getaran ponselnya membangunkannya.

"Iya. Hallo," sapanya pada balik ponselnya.

"Sania, aku di depan rumahmu. Keluar lah." Jeffry teman cafe yang baru hari ini berkenalan dengannya. Dia tahu Sania baru saja dipecat, dan sebelum Sania pulang Jeffry sempat meminta nomer ponselnya.

"Jeffry ... dari mana kamu tahu rumahku?" Jeffry cengengesan. Dan menyodorkan sebuah bingkisan padanya.

"Hebat kan? Aku sudah seperti detektif bukan?" ucapnya mencoba membuat Sania tersenyum. Dia tahu bahwa gadis itu baru saja menangis. Matanya terlihat sembab.

"Ini apa?" Sania menerima bingkisan itu dengan ragu.

"Hmm ... kamu pasti belum makan. Kamu menghabiskan waktu seharian ini pasti untuk menangis. Itu makanan, makan lah," ujar Jeff seraya tersenyum.

"Aku kan berada di rumah, sudah tentu ada makanan di rumah. Kenapa kamu repot-repot sampai membawakan makanan. Aku tidak enak denganmu, Jeff." Sania menyuruhnya untuk masuk tapi Jeffry menolaknya, pada akhirnya mereka duduk berdua di taman dekat rumah Sania.

"Aku tadi melihat lamaran pekerjaanmu dan mencatat alamat rumahmu. Maaf kalau aku terkesan lancang, tapi aku kepikiran denganmu. Kamu pasti sangat sedih hari ini dipecat." Jeffry tak mengalihkan pandangannya pada wajah Sania yang manis. Sejak pertama kali melihat Sania, dia sudah jatuh hati padanya.

"Sudah sepantasnya aku dipecat, Jeff. Aku memang gadis teledor. Bahkan aku tidak dapat bekerja dengan baik," ujarnya dengan wajah bersedih.

"Jangan bersedih lagi. Berarti rejekimu bukan di sana. Ayo cepat makan lah. Perutmu pasti kosong." Pria tampan itu menemaninya makan, hingga makanan itu habis tak tersisa. Jeffry juga sudah membelikan dua botol minuman untuknya dan Sania.

"Tapi Jeff, besok aku sepertinya sudah memiliki pekerjaan baru." Dahi Jeffry mengernyit heran. Secepat itu kah Sania mendapatkan pekerjaan?

"Di mana? Bekerja sebagai apa?" Jeffry menyodorkan botol kepada Sania. Pria tampan itu juga membantu membukakan tutup botol yang masih tersegel tersebut.

"Tidak tahu. Tadi ada seorang pria paruh baya yang menawarkan aku bekerja di rumahnya. Mungkin saja jadi pembantu," ucapnya tenang.

"Bagaimana mungkin gadis cantik sepertimu jadi seorang pembantu?" Sania langsung mengalihkan pandangannya pada Jeffry yang terlihat tidak terima. Tapi seketika wajahnya merona malu saat Jeffry mengatakan bahwa dia cantik. Perlu diakui, Jeffry termasuk pria tampan. Badannya yang tinggi, alis tebal, bibir tebal serta rahang yang tegas. Dan dia terlihat seperti pria yang baik, dia juga tidak banyak tingkah.

"Yang penting aku bisa bekerja, Jeff. Aku tidak mau terus menerus merepotkan paman dan bibiku." Sania menghela napasnya kasar. Dia merasa lelah dengan kehidupannya sekarang ini.

"Memangnya di mana orang tuamu?" tanya Jeffry kemudian.

"Ayah dan Ibuku sudah meninggal sewaktu umurku masih 8 tahun." Sania tersenyum saat mengatakan, senyum simpul yang tak benar-benar terlihat. Dibalik senyumnya hatinya tersayat.

Jeffry tercengang, dia tidak tahu bahwa ternyata Sania yatim piatu. "Sania, mulai sekarang kamu harus tahu. Ada aku yang selalu siap sedia membantumu. Katakan, katakan semuanya apa yang membuatmu susah. Aku pasti akan selalu menolongmu," ujarnya tulus. Dia bahkan tak ragu menggenggam tangan Sania, mereka cukup lama saling menatap satu sama lain. Hingga akhirnya Sania mengakhiri tatapan tersebut dan melepaskan tangannya.

****

Berkali-kali dia membaca alamat yang tertera pada secarik kertas yang dia pegang. Bahkan kertasnya sudah kusut akibat dia remas saat berboncengan dengan tukang ojol. Setelah dia turun dari motor, Sania langsung memberikan uang pada ojol tersebut.

"Maaf Nona, Anda mencari siapa?" Seorang satpam membuka celah pintu kecil yang terdapat di gerbang tinggi itu. Wajahnya pun hanya terlihat sebagian.

"Saya ada perlu dengan Tuan Math." Sejenak satpam itu meneliti penampilan Sania.

"Ada perlu apa, Nona? Apa Anda ada janji sebelumnya dengan beliau?" Satpam itu tak lantas percaya. Walaupun Sania memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat rumah ini. Di pikiran satpam itu, tidak mungkin Tuan Math memberikan kertas alamat pada sembarang orang. Tuan Math pasti akan memberikan kartu namanya kepada orang yang ingin perlu dengannya.

"Saya bertemu Tuan Math kemarin. Beliau bilang kalau akan memberikan saya pekerjaan." Satpam itu hendak menelfon seseorang, tapi tiba-tiba ada sebuah mobil yang hendak masuk.

Bim! Bim!

Seseorang yang duduk dibelakang menatap pada gadis yang berdiri di depan gerbang. Sania yang mengetahui ada mobil akan lewat, dia pun memilih minggir dari tempatnya semula.

"Siapa gadis itu?" tanyanya pada satpam setelah dirinya keluar dari mobil.

.

.

BAB 3 TAWARAN

"Tuan Darien pulang!" teriak salah seorang pelayan dari dalam rumah. Pelayan senior yang tak lain Bi Mar memanggil seluruh pelayan yang berada di rumah. Mereka bersiap untuk menyambut kedatangan Tuan Darien yang baru saja pulang dari luar negri.

Wajah tampannya dan senyuman khasnya membuat semua pelayan wanita terpikat dengan pesonanya. Darien adalah anak kedua dari Tuan Math. Dia adalah pengusaha sukses yang mendirikan perusahaan dengan jerih payahnya sendiri tanpa bantuan Ayahnya.

"Selamat datang kembali, Tuan Darien." Pelayan serentak memberikan hormat akan kedatangannya.

"Sudah berapa kali saya bilang, hentikan memberikan hormat seperti ini. Saya tidak suka." Darien tidak nyaman dengan perlakuan para pelayan yang menurutnya berlebihan.

"Maaf, Tuan. Tapi ini perintah dari tuan Math," ujar Bi Mar menjelaskan.

"Ayah terlalu berlebihan!" ujarnya kesal dan beranjak pergi.

Di sebuah ruangan yang terletak di lantai paling atas, dia menginjakkan kakinya di sana. Pintu yang selalu tertutup tapi tidak dikunci, dia buka perlahan.

"Darien ... anakku tersayang," ujar Tuan Math seraya memeluknya erat. Dia tahu hari ini anak paling mandiri akan pulang, karna itu dia tidak berangkat ke kantor.

"Ayah, hentikan aturan yang berlebihan itu. Darien tidak suka." Darien mendudukkan tubuhnya pada sofa setelah sang Ayah menyuruhnya untuk duduk.

"Itu bentuk kasih sayang Ayah kepadamu Darien," ucap Tuan Math.

"Ayah hanya sayang kepada Son. Ayah hanya bangga terhadapku jika aku melakukan kebaikan, jika aku melakukan kesalahan. Ayah tidak pernah membelaku atau pun menegurku dengan cara halus," ujarnya menyindir.

"Ayah tidak pernah pilih kasih. Hentikan omong kosongmu!" Tuan Math mulai naik darah. Dia tidak terima putranya berkata seperti itu.

"Siapa gadis di depan? Apa itu wanita baru lagi?" Tuan Math beranjak dari duduknya dan melihat ke bawah dari jendela.

"Dia sudah datang," ujarnya lirih. Tuan Math beranjak pergi dan meninggalkan Darien yang masih duduk di sofa.

"Ayah ... siapa gadis itu?" Darien pun menyusul langkah Ayahnya yang terlihat tergesa-gesa.

"Kau tidak usah ikut campur, Darien! Temui adikmu dan buat dia tersenyum lagi." Hampir setiap kali Darien pulang ke rumah, Ayah hanya menyuruhnya untuk menemui Son-adiknya. Dia hanya memikirkan keadaan Son, tanpa mau tahu keadaan dirinya selama di luar negri.

Langkah kakinya ragu saat akan memasuki sebuah rumah mewah. Rumah yang sangat mewah dan juga besar. Dia berjalan bersama seorang pelayan yang pakaiannya sangat rapi. Bahkan bisa dibilang pakaian pelayan ini lebih bagus dari pakaian yang dia kenakan.

"Silahkan Anda tunggu di sini, Nona." Sania duduk di kursi sofa yang sangat empuk. Bahkan empuknya melebihi kasur di kamarnya. Dia benar-benar seperti di rumah sultan.

"Sania ...." Seorang pria paruh baya yang tak lain adalah Tuan Math memanggilnya dengan lembut, "akhirnya kamu datang juga, Sania." Tuan Math tersenyum ke arahnya. Dia juga menyuruh Sania untuk bersikap santai saja.

"Iya Tuan. Sesuai yang dikatakan Tuan, apa Anda akan memberikan saya sebuah pekerjaan?" Sania tidak sabar untuk mengetahui pekerjaan apa yang akan diberikan Tuan Math padanya. Tapi sebelum itu Tuan Math memerintahkan seluruh pelayan untuk meninggalkan ruang tamu yang cuma ada dirinya dan Sania.

"Sania, berapa umurmu?" tanya Tuan Math lembut. Dia terlihat seperti Ayah yang sangat penyayang.

"Umur saya baru 18 tahun, Tuan. Saya baru lulus sekolah." Tuan Math mengangguk. Dia meneliti penampilan Sania dari atas sampai bawah, memang dia terlihat masih remaja.

"Ayah dan Ibumu ada di rumah?" Tuan Math memberikan pertanyaan yang sangat privasi itu membuat Sania terlihat tidak nyaman. Tapi dia berusaha untuk menjawabnya.

"Ayah dan Ibuku sudah meninggal, Tuan. Saya tinggal bersama Paman, Bibi dan sepupu perempuan." Sania menjawab apa adanya.

"Kamu yatim piatu? Tidak punya saudara?" Tuan Math memasang wajah sedihnya.

"Saya anak tunggal, Tuan."

Setelah kepulangannya dari rumah Tuan Math, Sania berjalan sendirian menyelusuri jalan. Sebelum 24 jam dia harus memutuskan tentang takdir kehidupannya untuk ke depannya.

"Terima atau tidak?" Sania terlihat berpikir.

"Saya sedang mencari calon istri untuk putra bungsuku. Namanya Son, dia putraku yang paling saya sayangi. Dia sedang patah hati karna kehilangan Vennie-tunangannya. Vennie sudah meninggal. Son buta dan tidak mau menjalani kehidupannya dengan normal. Operasi mata telah ada untuknya, tapi dia tidak pernah mau menyetujuinya. Saya ingin, kamu membuatnya menjadi Son yang dulu. Jadi lah istrinya agar tidak ada jarak di antara kalian. Sebagai Ayah, saya tidak mau melihat putraku terus terpuruk dengan kesedihannya selama bertahun-tahun."

"Menjadi istri dari pria buta yang patah hati?" Sania tidak sanggup membayangkan. Dia tidak mau menikah di usianya yang masih belia. Dia belum cukup ilmu untuk membina sebuah rumah tangga. Ini bukan sekedar menikah, dia juga harus menyembuhkan luka di hati suaminya nanti. Membuat seorang pria jatuh cinta tanpa melihat? Itu sangat sulit. Semua orang mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama. Artinya fisik menjadi salah satu timbulnya rasa tertarik dan suka.

Tak terasa Sania sudah sampai di depan rumah setelah tadi dia naik bus dan turun di halte. Rumah yang cukup mewah dibandingkan rumah lain di kompleknya.

"Kenapa sudah pulang siang hari begini! Mana katanya kamu cari kerja?" Belum sempat masuk, Bibi Lotus sudah berdiri di depan pintu. Saat tak sengaja melihat Sania di depan rumah, dia langsung menghampirinya.

"Sania belum dapat pekerjaan, Bi." Sania tidak punya pilihan lain untuk tetap pulang ke rumah ini. Dia tidak punya saudara selain Paman dan Bibinya. Seorang teman pun dia tidak punya. Dia selalu dikucilkan dulu saat di sekolah, itu semua karna Maria. Maria membuat semua teman di sekolah menjauhinya. Ada teman pria yang mendekatinya tapi Sania tidak pernah merespon mereka semua, itu yang membuat seluruh teman pria membencinya juga.

Pak Mail yang baru saja pulang dari supermarket tersenyum ke arahnya. "Nona, Anda sudah pulang? Bagaimana hari ini?" Pak Mail mengajaknya untuk masuk. Bibi Lotus pun tidak bisa berbuat apa-apa, dia tahu kedekatan mereka berdua. Tidak mungkin Bi Lotus memecat Pak Mail, karna hanya Pak Mail yang mau digaji berapa pun yang diberikannya. Pak Mail juga tidak punya pilihan lain selain tetap bekerja di rumah ini.

"Pak Mail, Sania mau bicara sesuatu," bisiknya. Sania mengajaknya untuk ke halaman belakang. Dia menengok ke kanan dan ke kiri memastikan tidak ada seorang pun di sana.

"Kenapa, Nona? Apa ada masalah?" Pak Mail terlihat khawatir. Wajah keriputnya terlihat bersedih.

Sania menggeleng. "Kalau Sania menikah bagaimana?" ujarnya lirih.

Hati Pak Mail seketika mencelos kaget seraya memegangi dadanya yang sedikit sesak. "Pak, Pak Mail tidak apa-apa?" Sania mencoba memegangi tubuhnya agar masih bisa menjaga keseimbangan.

Pak Mail sejenak mengatur napasnya dan menjawab. "Sania ingin menikah dengan siapa? Kenapa Pak Mail belum pernah di kasih tahu? Jangan asal memilih laki-laki untuk dijadikan suami, Nona." Salah satu yang membuat Pak Mail bertahan di sini juga karna dia yang sudah sayang sekali dengan Sania. Dia menganggap Sania seperti anaknya sendiri.

.

.

.

Selamat membaca ya Para Readers...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!