Langkahnya berirama teratur terdengar bagai music classic yang mengalun mengikuti kedatangannya. Wajahnya kecil khas dengan mata sedang yang berkedip lamban di atas senyum manisnya. Begitulah Ibu Maria ketika memasuki ruangan vvip club ini.
"Maaf saya bukan berarti merendahkan kamu" dendangnya dengan suara rendah yang sudah akrab aku dengar.
Aku hanya terdiam menatap segelas cocktail yang belum aku jamah sejak tadi. Hatiku sedang bimbang dan tidak percaya atas yang kami diskusikan hari ini. Sepengetahuanku Ibu Maria adalah wanita baik - baik, bukan tipe tante - tante kesepian. Dia juga cukup sederhana, tidak pernah memakai barang - barang bermerk atau tukang pamer brondong.
Sekilas senyum menghias wajahnya " Kenapa harus kamu?" Ibu Maria memang paling pinter kalau urusan tebak - tebakan isi pikiran orang. Makanya dia bisa sukses di dunia bisnis.
"Iya bu..." jawabku malu - malu.
"Karena kamu tampan, berprilaku baik dan pekerja keras" Ibu Maria memberikan diskripsi tentangku terlalu sempurna.
"Masak sih.. saya jadi malu" Aku tersipu dengan pujian bu Maria.
"Kalau nggak tampan, saya nggak mau, kalau nggak pekerja keras saya juga nggak akan tawarin saham perusahaan saya sebagai bayaranya" Ibu Maria meneguk lemon tea yang di pesannya.
Ini nih... si Ibu Maria pesennya kalau nggak teh manis pasti lemon tea. Muter - muter itu aja, alkohol free pokoknya. Makanannyapun sehat - sehat, olah raga juga yoga. Kalau nggak lembur di kantor paling sama anaknya. Nggak pernah kelihatan di Club kalau nggak penting - penting banget. Tiba - tiba beliau nawarin aku jadi brondongnya....Alias Sugar Baby gitu.
"Saya tahu kamu siapa" Ibu Maria menekankan suaranya "Saya faham akan reputasi keluarga kamu" ibu Maria menyeka bibir tebalnya dengan tissue. "Kami pernah bekerja sama beberapa kali, sebelum kamu jadi karyawan saya pastinya"
"Ibu Kenapa nggak cari suami beneran aja? Ibu masih muda"
"Tapi saya bukan tipe laki - laki Har" potong Ibu Maria.
"Tapi ibu pernah menikah bukan? Berarti ada yang mau dong bu? Ganteng lagi"
Mantan suami Ibu Maria adalah bule yang bekerja di bidang IT serta pernah menjabat jadi CEO. Umur mereka beda 10 tahun dan cukup rupawan. Entah mengapa mereka cerai padahal kelihatan harmonies, anaknya juga cantik dan lucu. Berdasarkan Informasi teman - teman di kantor, saat kami menggosipkan beliau.
"Yang tahu soal pernikahan kami itu kamu atau saya" ibu Maria tertawa renyah namun seolah menangis di telingaku. "Saya tahu, saya juga bukan tipe kamu" ibu Maria menarik nafas dalam - dalam "Kalau saya tipe kamu saya ngelamar kamu hari ini, bukan ngajak nikah kontrak, Har"
Ibu Maria dengan wajah tenangnya berdiri perlahan meninggalkan kursi dan berjalan ke arahku sambil menepuk pundakku.
"Ga usah di jawab sekarang" bu Maria mengahiri pembicaraan kami hari itu dan melenggang sama seperti sebelumnya. Tenang dan melangkah teratur. Seperti bunyi ketukan nada yang menunggu suara merdu penyanyi untuk menyambutnya.
*'***'
Gara - gara kejadian itu, aku jadi sering memperhatikan Bu Maria. Saat bicara, saat makan, berjalan dan yang pasti saat bekerja. Benar - benar tidak menyangka dia bisa menawarkan hal itu padaku.
"Harry...!!!" tegur bu Maria saat meeting berlangsung karena aku ga konsen apa yang dibicarakannya tapi malah sibuk mengukur hal lainnya dari bu Maria.
Bu Maria ga jelek - jelek banget. Tapi ada sesuatu yang buat cowok itu ga berfikiran nakal. Wajah Bu Maria cukup classic khas orang jawa, bicaranya sopan dengan suara yang merdu dan intonasi yang nyaman. Dulu waktu muda pernah jadi penyiar radio katanya. Rambutnya lurus hitam dan panjang tanpa layer. Kalau Di iklan TV kalau ga jadi iklan sampo, jadi Kunti kali. Tubuhnya kurus, lebih tepatnya kecil dan tidak ada lekukan yang berarti dengan postur tegak dan dinamis. Maklum rajin yoga.
"Harry..." Panggil beliau lagi. "Kamu mengerti? "
"I iya bu" Di iya in aja deh, dari pada beliau marah. Meski orangnya jarang marah, tapi kalau marah serem. Kata yang udah lama kerja di sini.
"Pulang kerja nanti kamu ikut saya meeting ya Har? " Dendang Bu Maria merdu kayak biasanya.
Sosok anggun begini kok Bisa susah cari jodoh ya? padahal duitnya banyak, attitudenya bagus dan pinter masak. Ckckck manusia.
*****
Udah jam delapan malam, meeting bu. Maria dengan Pak Ivander baru saja usai. Hasilnya positif, kami mendapatkan proyeknya. Urusan ngeloby client atau partner bu Maria juga jago. Jadi harusnya ga bakal susah ngelobi mertua.
"Kamu penasaran sama saya Har?" Tanya Bu Maria dengan nada rancak. "Kenapa saya mau bayar kamu?"
Ini paling ga enak, bu Maria pinter main tebak - tebakan kayak punya indra ke enam.
Sejenak bu Maria menyapu pandangan sekitar dan kemudian dia mulai menghentikannya padaku. "Saya ingin merasakan pernikahan yang normal"
Jawabnya dengan senyuman "Kenapa harus yang tampan?" bu Maria menundukkan kepalanya dan tersenyum lagi "Karena anak saya cantik dan saya tidak, saya tidak ingin kalaupun nanti ada anak dalam pernikahan ini jangan terlalu jauh fisiknya dengan anak saya sekarang. Agar tidak timpang dan jadi ledekan" Jawabnya tenang bak danau malam hari "Lain kali kalau kamu mau tanya sama saya langsung tanya, jangan bengong saat meeting. Kita bisa atur waktu dan tempatnya"
"Baik bu..." jawabku sopan.
"Oh iya.. Apakah jawabannya bisa saya terima tanggal satu?"
Udah ngancem gajiku kalau aku nolak langsung di potong gaji jangan - jangan.
"Supaya saya mudah ngaturnya sama administrasi saja, kalau kamu setuju" jawab bu. Maria tanpa menunggu aku bertanya.
"I.. Iya bu" jawabku terbata.
"Ayo kita pulang?" ajak bu Maria padaku.
*****
Tanggal satu sudah tiba, tapi dari seharian nggak ada tanda - tanda bu. Maria ngajak bisara soal itu. Pekerjaan berjalan seperti biasa, wajah bu Maria memang begitu saja. Ada senyuman yang selalu terpahat di bibirnya meski lagi ngomong biasa. Emang benar katanya, bu Maria tidak termasuk typeku. Entahlah energinya terlalu positive jadi sulit aku bayangkan kalau kami lagi di ranjang nantinya. Mungkin dia Bisa bilang
"Permisi.. Bisa di tunda sebentar?" Atau "Maaf apakah bisa di lanjutkan"
Dia juga selalu bisa menguasai suasana sebagai laki - laki aku jadi tidak bisa mendominasi. Kalau urusan fisik sih.. tinggal tutup mata, jadi lah. Tapi apa iya dia ga ada sexy - sexy nya. Tubuhnya selalu rapi terbalut blazer dan celana panjang. Tidak ada yang bisa di intip meski cuma pahanya.
Aku memijit - mijit pelipisku sambil menunggunya di ruang kerjanya setelah jam kantor usai. Ruang kerja yang tidak begitu rapi namun entah mengapa terkesan elegan.
"Maaf menunggu Har!!" suara bu Maria mendengung semilir memanjakan gendang telinga. Empuk dan sopan udah kayak dengerin musik blus.
"Langsung ke intinya saja" Bu Maria meraih dua map berwarna hijau dari salah satu sudut mejanya. Dan menyodorkannya padaku.
Aku pikir bakal berlembar - lembar, tapi ternyata hanya selembar yang isinya. Memperlakukan dia sebagai selayaknya istri, ga lebih.
"Gini saja bu..?" Tanyaku refleks.
"Memang ada yang kurang?" Tanya bu Maria heran.
"Misalnya berapa kali sehari atau seminggu gitu.." Aku coba memberi kode tantang hal sensitive antara suami istri.
"Kamu mau saya jadikan suami, bukan pemuas nafsu" Jawab bu Maria dengan suara merdu..
"O... Hanya itu" suara yang aku hasilkan seiring aku bubuhkan tanda tanganku tanpa pikir panjang.
"Jadi yakin mau jadi suami saya? Ga bisa mundur lagi lho?"
Aku cuma tersenyum garing, sebenarnya kalau situasi normal aku pasti nolak. Hidupku sebelumnya cukup mewah dan punya segalanya. Tapi, gara - gara Papi yang ngotot buat nikahin Melissa demi keuntungan bisnis Papi, ahirnya aku jadi miskin tidak terkira. Dan Kini aku harus bekerja memungut tiap rupiah sebagai marketing executive di perusahaan ibu. Maria, dan sebentar lagi nyambi jadi suaminya alias brondong bayaran.
"sudah bu.." jawabku agak ragu.
"Saya tidak memaksa, kamu saya kasih waktu tujuh hari lagi buat mikir" ibu Maria pun berlalu dengan langkah yang merdu seperti biasa. Tenang dan pasti.
Heran.. Kok Bisa dia selalu tenang gitu, apa dia ga nervous gitu. Atau canggung - canggung dikit.
" Ga usah sungkan sama saya. Kalau kamu nolak" tiba - tiba ibu Maria sudah di depanku lagi mengambil tasnya sambil tersenyum seperti biasa.
Dan aku sedang menimbang, apakah keputusanku salah atau benar, dan apakah aku tidak akan menyesalinya.
Grrrrt bunyi ponselku yang bergetar.
"Mami..." sapaku tanpa kata halo.
"Kamu gimana Har? Ngalah saja sama papi" Bujuk Mami langsung.
"Ya nggak Bisa, demi tambang emas bapaknya Melissa Harry harus gitu nikah sama Melissa, kayak di jual Mi" Sanggahku, padahal baru saja aku menjual diri ke ibu. Maria.
"Nikah kan... bisa cerai, paling tidak sampai exploirasi tahap awal selesai, beres"
"Mami ini kok ga sayang sama anaknya sih, aku udah keburu mati berdiri Mi... kan udah tahu Melissa kayak apa orangnya" Aku mendengus kesal.
Melissa memang cantik, tapi tabiatnya, mulutnya dan kelakuannya bisa bikin aku mati perlahan. Dari Pada dia mengurus usaha ayahnya, Melissa lebih menyukai untuk mencoba menjadi model dengan paras cantik dan body sexynya. Menaklukkan pria bukan hal sulit baginya, tapi pada ahirnya kami sama, bernasib pada pernikahan bisnis semata. Mungkin karena itu Melissa suka gonta - ganti pacar untuk menikmati masa lajang.
"Gimana?" Suara mami masih terngiang di seberang sana "Pulang Dan nikah aja sama Melissa dari pada sengsara"
Aku mulai memejamkan mata dan berusaha berfikir.
"Melissa itu kan cantik...."
"Enggak mi!! Mami lupa gimana pedas mulutnya saat gala dinner, mami sanggup hidup sama menantu model kayak gitu?" Tanyaku yang mulai geram. "Ga usah nikah sama mellisa kita ini udah kaya"
"Bukan cuma soal itu.." mami mulai ragu.
"Udah... Mi.. Harry bakal nikah, tapi ga sama Mellisa" Aku langsung menutup telephone dan segera menghambur ke area parkir.
"Ibu. Maria!!" panggilku pada wanita yang hampir menutup pintu mobilnya.
"Ada apa?"
"Bentar bu..." aku menata nafasku perlahan. "itu... Soal kontraknya saya sudah yakin, langsung lanjut aja ke tahap berikutnya"
"Kalau begitu kamu bisa ikut saya?" Tanya ibu Maria tenang.
"Saya ambil tas dulu.."
Aku kembali menghambur ke meja kerjaku dan mengambil tasku. Sekilas teringat beberapa pertemuanku dengan Melissa yang tak pernah aku sangka bakal di rencanakan buat nikah denganku. Ogah..!! Mending dengan ibu. Maria, sopan dan santun serta Pekerja keras. Meski dia bukan muda lagi.
" Saya sudah siap bu..." Ketika aku sudah duduk di samping bu. Maria yang duduk tepat di belakang kemudi.
Hanya senyum tipis yang mengembang sesaat kemudian bu. Maria mulai mulai melaju di Jalanan. sekitar 15 menit kami sampai di sebuah gedung apartment. Mobilpun terparkir lancar di basement.
"Kita cek apartments kamu"
"Eh... Sssaya"
"Kamu pasti sulit hidup di rumah kos itu" Ibu. Maria berlalu tanpa menungguku yang masih setengah terpaku soal apartments.
"Saya juga kurang bakat jadi tukang tagih. Jadi kosong udah agak lama" Bu. Maria menatapku sejenak " Semoga Cocok dengan selera kamu"
Nuansa warna cream mendominasi ruangan, beberapa sentuhan pastel tersebar di sana sini. Yang paling mencolok adalah koleksi table ware yang cukup unik dan cantik.
"Gimana? Tidak buruk kan?" Tanya ibu. Maria yang sudah duduk di pusat sofa sambil menyilangkan kakinya.
"Lebih bagus dari pada kos saya" Aku menyusul duduk di seberang Ibu. Maria, mengamatinya yang sedang sibuk dengan tabletnya.
Ibu. Maria Sebenarnya tidak jelek, tapi tidak mencolok. Rambutnya hitam legam, lurus tanpa layer. Senada dengan mata sedangnya yang berbulu mata lentik serta terbingkai alis yang masih alami. Nampaknya dia bukan tipe wanita yang rajin ke salon. Baguslah, satu pekerjaan yang membosankan itu terkurangi.
"Bagaimana dengan kamarmu? Apakah kamarnya senyaman kamar di rumahmu?" Tanya beliau tanpa melepaskan pandangan dari layar tablet yang ada di tangannya.
"Iya.. Mirip meski cuma 50%" Jawabku berdasarkan kenyataan. Wall paper kamar di apartment ini sama dengan yang ada di kamarku begitu juga lukisan yang membentang di atas headboard, senada meski tak sama.
" Ibu tidak di bayar mami kan? Buat jebak saya? "
Ibu. Maria kali ini mengarahkan pandangannya padaku dan meletakkan tabletnya di meja kayu Oak di hadapan kami.
"Saya mempertaruhkan 10% dari saham saya untuk kamu berada di sisi saya" Ibu. Maria tersenyum datar "Perusahaan bukan warisan, tapi dari jerih payah saya sendiri, saya harap kamu faham"
Benar juga!! Kalau begini aku tidak punya pilihan lain untuk percaya Pada ibu. Maria 100%.
"Kamu mau ambil barang kamu di kos hari ini atau besok?"
"Besok saja bu.. Sekalian berangkat kerja"
"Besok kamu saya jemput, dan pulang kerja kita ke showroom mobil untuk pilih mobil buat kamu" Bu. Maria mulai meletakkan tali tas ke pundaknya " Jadi jangan buat janji dengan client untuk sore besok"
"I.. Iya bu.."
Senyum ibu. Maria mengembang syahdu, sebelum punggungnya menjauh dan menghilang di balik daun pintu apartment yang kini menjadi tempatku.
"Maria.... desisku yang merebahkan tubuh segarku usai mengguyurnya dengan air hangat yang ahirnya bisa aku nikmati lagi sejak aku meninggalkan rumah.
" Maria.. Maria.. Maria Tirta Janitra " Aku mulai mengetik nama itu di pencarian Google.
Berkarier sebagai pelukis kontemporer Pada usia 18 tahun hingga 20 tahun dan kemudian memulai menjadi interior stylist di dua tahun berikutnya. Keberuntungannya melonjak sejak dia menghandle project landmark di Portugal pada tahun terahir di karir interiornya. Ahirnya mulai melirik Bisnis periklanan, agro culture dan fashion.
"Sayang.... rupanya kurang beruntung di urusan percintaan" gumamku sendiri yang perlahan menutup mata yang mulai enggan untuk bertahan.
Bu. Maria sudah menyambut ku dengan senyuman ketika ahirnya aku sampai pada showroom mobil yang di sebutkannya.
Awalnya aku tidak ingin datang, karena Sebenarnya pemilik showroom ini adalah pamanku. Meski pegawai di sini belum mengenalku dengan baik, tapi kemungkinan ketahuan aku jadi Sugar Baby bu. Maria akan terbuka tipis-tipis.
**
"Ini kartu saya, limitnya 500jt" ibu menyerahkan kartu itu sebelum meninggalkan kantor siang ini. "Kamu gunakan untuk pembayaran mobil"
"Tapi bu.. Itu.."
"Ada harga diri yang harus kamu pertahankan sebagai laki - laki, saya juga mau kamu memilikinya selama bersama saya"
"Apakah ibu tahu masalah saya dengan keluarga?" aku mulai penasaran.
"Gosip tentang kamu tentu menyebar di kalangan kita" jawabnya santai "Minggu lalu saya bertemu ibumu dalam gala dinner dan tentu saja pernikahanmu dan Melissa menjadi topik hangat"
Bu. Maria menatapku teduh dengan senyuman yang terpahat rapi seperti biasanya "Namun, saya mendapati kamu masih menanggapi tawaran saya, jadi saya pikir kamu tidak setuju dengan rencana tersebut"
"Benar, saya tidak setuju" jawabku spontan."Jadi pernikahan kita di percepat saja, sebelum ibu saya bikin undangan"
entah keberanian dari mana mulutku ini berani mengantakan kalimat itu pada bu. Maria.
"Kamu yakin? sudah terlanjur keluar, mana mungkin di tarik kembali" aku hanya sanggup mengangguk pasti. Apa bedanya sekarang atau nanti, keduanya sama saja pasti akan terjadi.
"Kita langsung ke Wedding organiser usai pilih mobil" jawab bu. Maria merdu sekaligus beranjak meninggalkanku sendiri.
****
Tapi setelah percakapan kami tadi siang perlahan kekhawatiranku lenyap.
Kalau aku datang dan membayar sendiri, tentu Akan beda cerita paling tidak dari cctv.
Baru kali ini aku melihat bu. Maria tanpa blazer. Tubuhnya hanya di balut kemeja putih longgar dengan tangtop hitam sebagai innernya di padu dengan Celana jeans berwarna gelap. Rambutnya di biarkan terurai menjuntai sepanjang pinggang dengan hair clip yang menarik beberapa helai bagian samping ke arah belakang.
"Saya sudah pilih beberapa yang mungkin kamu suka" sambutnya ketika saya mulai mendekatinya. "Saya tahu ini mobil kamu, tapi saya ingin yang warnanya tidak mencolok dan memiliki standard keamanan yang baik"
Alasannya tidak buruk dan lebih mirip dengan seorang ibu yang sedang berbelanja untuk anaknya dari pada istri. Sangat berbeda dengan mami yang selalu mencantumkan kata keren setiap kami membeli sesuatu.
"Bagaimana menurutmu?"
"Saya ikut aja..." jawabku singkat dengan mata yang tak terlepas dari sosok bu. Maria yang berbeda dari biasanya.
"Ini mobil kamu, saya tunggu di mobil saja agar kamu lebih leluasa memilih"
Ibu Maria beranjak meninggalkanku sendiri.
"Bagaimana?"
Suara Spg mobil membangunkanku dari tatapanku yang mengantar sosok bu. Maria keluar.
"Bisa di tunjukkan pilihan ibu. Maria?"
Spg itu mulai menunjukkan satu per satu yang di minati bu. Maria dan menjelaskan dengan detail masing - masing dari mobil tersebut dengan rinci.
"Harry..??"
Seorang pria paru baya yang sudah tidak asing lagi menyapaku dengan muka terkejut dan tertawa secara serempak.
"Kamu yang di maksud sama Maria?" tanyanya langsung memelukku erat.
"I... Iya om.." jawabku dengan setengah ragu. "Apa bu. Maria udah terus terang kalau kami bakal nikah" pikiranku mulai gusar. Aku belum siap Di telpon mami bertubi - tubi.
"Rupanya, kamu mulai serius menjalani hidup" Om Willy mulai melepas pelukannya dan menepuk pundakku beberapa kali. "Mobil kali ini gratis buat kamu.. Anggap saja hadiah dari om"
"ja..jadi.. Om setuju nih"
"Ada niat baik.. Mana mungkin om ga setuju" om willy tertawa lepas sambil menggiringku ke area cashier dan mulai memproses nota.
"Tapi.. Om. Jangan bilang Mami"
"Memang Kenapa?" om willy masih sibuk memasukkan detail pada komputer "anak punya kemajuan positif, ibu kamu harusnya happy, dari pada jadi tukang party dan habiskan duit bareng geng gak jelas kamu itu"
Secara normal om. Willy benar, harusnya mami bangga. Tapi nikah ma janda anak satu itu keren ga sih buat mami? dibandingkan menikah dengan Melissa.
"Om pikir, bentar lagi kamu bakal balik ke rumah karena lapar?" om willy terkekeh sambil menyerahkan nota yang sudah di print.
"Eh om. Willy... Alamat kirimnya Bisa di ganti ke apartemenku ga?"
Om willy mengerutkan keningnya sesaat, tapi sebuah senyum langsung mengembang kembali. "Tentu Bisa.."
Om willy tak segan menorehkan alamat apartemenku. Syukurlah!!. Karena aku akan canggung dengan teman sekantor kalau mereka lihat pakai mobil baru. Segala pikiran negative mereka yang mungkin memang benar, akan membuatku risih. Maklum aku ini masih pemula, ga kayak Sugar Baby yang biasanya cewek. Buat cowok ada harga diri yang lebih besar untuk di pertaruhkan.
"Kamu sama Maria kan?"
Aku mengangguk cepat, tidak ada yang perlu aku sembunyikan soal aku dan bu. Maria. Bukannya om. Willy udah tahu, buktinya dia kasih aku kado mobil.
"Saya mau menyapa dia,"
"Lagi di depan, mungkin di dalam mobil"
Aku segera berdiri, menggiring om. Willy untuk keluar dari Showroom dan menemui bu. Maria.
Aku mengetuk pintu mobil bu. Maria meminta beliau untuk keluar.
"Makasih ya Mar, udah tetep setia sama showroom ku" ucap om. Willy yang langsung menjabat tangan kecil ibu. Maria.
" sama - sama Mas!"
"oh iya kita tadi di kasih gratis mobilnya, katanya buat hadiah" Aku meraih pundak bu. Maria dan tanpa pikir mengecup keningnya. Bu. Maria dan om. Willy nampak bingung sesaat sebelum kemudian keduanya tertawa garing. Dan hanya aku saja yang nampak bahagia, sepertinya ada yang salah... Hehe.
"Te.. Terima kasih banyak mas. Will" ibu. Maria menatapku penuh tanya.
Om willy juga balas menatap aku dengan nada yang sama. "I.. Iya" jawabnya agak bingung. "yang penting keponakanku jadi bener aja"
"Ah.. Kami harus segera pergi om.." aku memotong obrolan yang seakan ada lanjutannya. Tanpa meminta ijin aku segera meraih kunci mobil di Tangan bu. Maria dan mengiringnya masuk ke dalam mobil. Meninggalkan om. Willy yang masih kebingungan sambil melangkah masuk kembali ke showroomnya.
"Ibu. Maria udah bilang kalau kita menikah?" tanyaku spontan ketika punggung om. Willy telah lenyap dari ruang pandang ku.
Ibu. Maria hanya menggeleng dengan muka yang masih bingung. Membuatnya jadi nampak jadi lebih manis.
"Kita ke sini buat bonus tahunan karyawan terbaik" jawab bu. Maria lirih yang mampu membuat wajahku merah padam.
"Jadi..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!