Khadija Khairunnissa, gadis cantik nan polos berusia 22 tahun, yang memiliki sifat periang, penyabar namun keras kepala. Didalam hidupnya kebahagiaan sang Ibu dan Adiknya lah yang menjadi prioritas utama bagi Khadija. Sang Ayah pergi meninggalkan mereka tanpa ada rasa tanggung jawab sedikit pun.
Setelah Lulus dari SMA, Khadija memutuskan untuk bekerja membantu perekonomian sang Ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik pengolahan Ikan sarden di daerahnya, dan membantu biaya sekolah sang Adik yang saat ini sudah duduk dibangku kelas X SMA.
Setelah sekian lama pergi tanpa ada kabar, sang Ayah kembali pulang dengan membawa kabar yang begitu mengejutkan terutama untuk Khadija, karena Khadija akan dijodohkan dengan seorang yang kaya raya.
Akhirnya Khadija memutuskan untuk pergi ke Ibukota lebih tepatnya melarikan diri dengan membawa restu dari sang Ibu, demi menghindari perjodohan dari sang Ayah. Karena Khadija tahu alasan sang Ayah menjodohkanya, tak lain dan tak bukan karena sang Ayah tengah terlilit hutang karena hobinya bermain judi.
dr. Carel Hafiz Edsel Sp.OG, Pria tampan berusia 30 tahun yang memiliki sifat ramah namun, sedikit pendiam dan cuek. Mendadak menjadi humoris jika sudah berkumpul dengan kedua sahabat gesreknya yang sudah terjalin semasa masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Trauma masalalu yang disebabkan oleh keluarganya sendirilah yang membuat dr. Hafiz tidak ingin membina Rumah Tangga. Sejak kecil Hafiz sudah terbiasa mendengar teriakan pertengkaran bahkan kekerasan yang dilakukan sang Ayah terhadap Ibunya di depan mata kepalanya sendiri.
Namun, karena Alasan warisan yang akan jatuh ketanganya yang mengharuskanya untuk segera menikah. Jika tidak, seluruh warisan akan disumbangkan ke Panti Sosial sesuai surat wasiat dari mendiang sang Kakek.
Ayah nya pun memutuskan ingin menjodohkan dr. Hafiz dengan anak kawan lamanya. Karena sang Ayah tidak ingin kehilangan warisan yang begitu besar dan tidak akan habis walau dimakan sampai tujuh turunan.
Lain hal dengan dr. Hafiz yang begitu legawa jika warisan itu akan disumbangkan ke Panti Sosial. Dengan begitu dia tidak harus repot-repot dipaksa untuk menikah. Jangankan untuk menikah, bahkan membayangkanya pun dr. Hafiz tidak pernah.
Banyak dari parempuan rekan sesama Dokter yang ingin mendekatinya. Namun, sikap cueknya yang membuat para perempuan mundur secara perlahan karena tidak tahan merasa tidak dihiraukan oleh dr. Hafiz.
dr. Dio Danendra Sp. BS. Sahabat dari dr. Hafiz yang bekerja dalam satu Rumah Sakit yang sama dengan sahabatnya itu. Meskipun Dio adalah Dokter Spesialis Saraf, namun akan menjadi "Sarap" jika sudah berkumpul dengan kedua sahabatnya.
Diantara kedua sahabatnya hanya dr. Dio yang sudah berkeluarga bahkan telah memiliki Satu orang putra yang berumur Lima tahun.
Aslan Radjasa, adalah Sahabat dari dr. Hafiz dan dr. Dio. Hanya Aslan yang berbeda Profesi. Profesi Aslan adalah seorang Pengacara yang handal dalam menangani semua masalah. Namun ada satu masalah yang sampai saat ini belum ia selesaikan yaitu masalah hatinya yang tak kunjung usai.
Aslan merupakan Pria konyol yang suka bergonta-ganti pasangan, dari yang ABG sampai yg sudah janda. Tidak ada Satupun yang berlabuh dihatinya. Meskipun sering bergonta-ganti pasangan, Aslan tetap memegang prinsip "Nakal boleh, Bodoh Jangan!" Karena Aslan tidak mau suatu saat jika dia sendiri yang akan duduk di kursi pesakitan akibat ulahnya.
"Fyuuhh... Akhirnya aku tiba juga di kota besar ini, tapi aku ndak tau harus ke mana lagi yo setelah ini?" Khadija bermonolog dengan khas logat jawa ketika ia baru saja turun dari Bus antar Propinsi yang ia tumpangi.
Khadija lalu merogoh uang sisa dari saku celananya, berniat untuk membeli air mineral karena tenggorokanya sudah terasa kering.
Setelah membeli minuman, Khadija melanjutkan perjalanan yang tanpa tujuan. Khadija berniat mencari penginapan murah hanya untuk beristirahat malam ini. Kemudian esok harinya akan ia lanjutkan untuk mencari pekerjaan dengan bermodalkan Ijazah SMA yang ia bawa. Apapun pekerjaanya yang penting halal bagi Khadija.
***
"Pokoknya Papa tidak mau tau, kamu harus menerima perjodohan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka!" sarkas Ayah Hafiz. Hafiz hanya terduduk diam, namun fikiranya entah kemana. Menurutnya mendengarkan ocehan sang Ayah, hanya akan menjadikan suasana hati dan fikiranya menjadi kacau.
"Sudah Pa?" tanya Hafiz beranjak dari duduknya. Sang Ayah Hanya diam dengan wajah angkuhnya. Merasa tidak ada jawaban Hafiz pun berjalan melewati sang Ayah yang sedang duduk di kursi ruang kerjanya.
Hafiz segera melesat dengan mobil sport warna hitam menuju tempat dimana dia akan melepas penat untuk sejenak.
***
Khadija segera berlari ketika melihat seseorang yang tengah merentangkan tangan di pinggir jembatan besar.
"Tungguuuuuu, jangan lakukan itu!" Khadija menarik lengan orang itu dengan wajah panik.
Seseorang itu lalu menoleh ke arah Khadija dengan mengerutkan keningnya.
"Tolong lepaskan tangan kamu dari lengan saya!" sentak orang itu kesal.
Khadija melepaskan genggamanya dari lengan orang itu."Tapi jangan coba bunuh diri lagi yo?"
"Kamu pikir saya gila apa!" ketus orang itu, kemudian berlalu menuju mobilnya yg masih terparkir di bahu jalan.
Orang itu kemudian melajukan kembali mobilnya melewati khadija yang masih berdiri ditempatnya.
"Apa orang kaya rata-rata memang seperti itu yo? bukanya terima kasih malah nyolot kaya gitu!" Khadija menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan jari telunjuk, "Huh, yoweslah sak karepe!" lanjutnya mengelus dada memandang ke arah mobil itu berlalu.
***
Braakk
"Aaaarrgghhh ... jangan gigit saya!" jerit Khadija sambil meringkuk dan berteriak ketika ada seseorang menepuk bahunya.
Khadija berlari tunggang langgang ketika di kejar oleh seekor anj*ng. Ia bersembunyi ketika melihat ada sebuah mobil terparkir di pinggir jalan saat pintu mobil itu sedikit terbuka.
Khadija tidak tahu siapa sang pemilik mobil. Masa bodoh! fikirnya. Yang terpenting sekarang ia lolos dari kejaran Anj*ng sialan itu.
"Maaf, anda kenapa?" suara bariton itu, seketika menyadarkan Khadija. Perempuan itu pun menegakkan badanya menghadap orang yang ada disebelahnya.
"Hah ... " Mereka berdua sama-sama terkejut ketika sudah saling berhadapan.
"Kamu lagi?" tanya seorang Pria dengan ekspresi terkejut.
"Ini Mas yang tadi mau bunuh diri itu yo?"Jari telunjuk Khadija menghadap orang yg ada dihadapanya.
"Enak saja!" elak Pria itu, "Saya itu bukan mau bunuh diri, tapi saya lagi menenangkan diri. Gak taunya kamu datang malah jadi sok Pahlawan!" sambungnya dengan nada kesal.
"Lagian situ aneh-aneh saja, menenangkan diri itu di masjid bukan di pinggir jembatan. Kalau ada setan lewat bisa dadah good bay situ Mas?!" celetuk Khadija, "Tapi sampean ini Islam toh?" tanyanya setelah sok memberikan petuah.
"Islam." jawab Pria itu singkat. Khadija manggut_manggut paham.
"Ya sudah sana pergi!" usir orang itu pada Perempuan yang duduk disampingnya.
Tanpa menjawab Khadija pun segera turun dari mobil Pria tersebut. Dengan fikiran masih bingung kemana ia akan pergi selanjutnya.
Khadija memutuskan untuk beristirahat sejenak di emper toko yg sudah tutup, karena hari sudah mulai petang.
"Yo wes lah, sementara tak tidur disini saja." gumam Khadija sambil meletakkan tas ransel yang sedari tadi di pikulnya.
Perlahan mobil Pria itu melaju, namun tatapan matanya selalu mengarah ke arah spion, memperhatikan Khadija yang mulai merebahkan tubuhnya di emperan toko dengan berbantalkan tas ranselnya.
Tak disangka mobil itu kembali mundur,
"Hey, kamu, ayo naik!" ajak Pria itu setelah menurunkan kaca jendela mobilnya.
Khadija membangunkan tubuhnya ketika ada seseorang yang memanggilnya. "Saya?" tunjuk Khadija di depan wajahnya sendiri.
Ia pun segera berdiri menghampiri mobil itu kembali.
"Ada apa lagi toh? ada barang saya yg ketinggalan?" tanya Khadija, dengan sedikit membungkukkan badanya menengok kearah kaca mobil yang terbuka.
"Ayo masuk!"
"Hah~.."
"Gak usah kebanyakan bengong, cepat masuk! atau nanti kamu diperkosa sama Preman!"
Tanpa berfikir panjang lagi, Khadija segera mengambil tasnya kembali, lalu masuk kedalam mobil, setelah mendengar seruan dari Pria itu.
"Kamu mau kemana biar saya antar!" tanya Orang itu dengan nada datar, tanpa menoleh ke arah Khadija.
"Saya ndak tau mau kemana." jawab Khadija menunduk, "Lha wong saya kesini ndak punya tujuan." sambungnya berkata jujur.
Seketika Orang itu menoleh ke arah Khadija dengan tatapan bingung. "Kamu itu sadar gak sih, ini itu kota besar. Dan kamu gak tau mau kemana?" tanya Pria itu mulai geram.
Khadija hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan.
"Kalau begitu antar saya ke Masjid saja, mungkin disana lebih aman buat saya." Satu tempat yang terlintas di otak Khadija.
Hati Pria itu mulai iba, melihat wajah lelah Khadija.
"Nama kamu siapa?"
"Khadija, panggil saja Dija"
"Nama saya Hafiz." Pria itu mengulurkan tanganya ke arah Khadija, dan disambut ramah olah Perempuan itu.
Tanpa banyak basa basi Hafiz kembali melajukan mobilnya. Selama di dalam mobil mereka berdua hanya saling diam larut dalam pikiran masing_masing.
Tak lama, Khadija menyandarkan kepalanya dikaca mobil, ia pun mulai memejamkan mata. Perempuan itu merasa lelah setelah seharian melakukan perjalanan yang cukup jauh dan disusul dengan beberapa kejadian yang membuatnya kehabisan tenaga.
"Hey, bangun! "Hafiz menepuk bahu Khadija.
Khadija mengerjap lalu menegakkan kepalanya sambil mengucek matanya yang masih terasa lengket.
"Rumah Sakit Medika Nusantara" gumam Khadija membaca tulisan yang ada didepan gedung.
"Mau kemana toh ini? Saya ndak sakit lho Mas?"
"Sudah ayo turun!" perintah Hafiz tanpa menjawab pertanyaan Khadija.
Khadija kemudian turun, lalu mengekor mengikuti langkah panjang Hafiz dengan sedikit berlari kecil agar tidak tertinggal oleh Pria yang berjalan di depanya.
Ceklek...
Hafiz membuka ruangan yang berukuran 3 x 4 meter persegi. Didalamnya hanya ada kasur spons yang terletak dilantai dan satu buah lemari kecil berada disudut kamar.
"Kamu bisa istirahat di sini sementara!" ujar Hafiz, mempersilahkan Khadija untuk masuk.
"Terus saya harus bayar sewanya berapa Mas? jangan mahal-mahal yo?" tawar Khadija, "Soalnya saya belum kerja'e Mas?" ucap Khadija polos kenthal dengan logat jawa.
"Besok saja kita bicarakan itu, lebih baik kamu sekarang istirahat." pungkas Hafiz, lalu menutup pintu kamar yang di huni oleh Khadija.
Hafiz memutuskan untuk kembali pulang ke rumah, Ia pun cukup merasa lelah dengan beberapa kejadian tak terduga.
Di dalam kamarnya Khadija merebahkan sejenak tubuh kurusnya diatas kasur yang hanya pas untuk satu orang. Namun khadija kembali terbangun mengingat ia belum menunaikan kewajibanya sebagai seorang muslim.
Segera Khadija begegas menuju kamar mandi yg ada di dalam kamar itu. Hanya ada closet duduk dan sebuah ember dan gayung. Kemudian Khadija membersihkan dirinya setelah itu mengambil air wudhu sebagai syarat sah ia menunaikan kewajibanya.
Jangan Lupa Like dan Komenya... 🙏🙏🙏
Seperti kebiaasanya di rumah, Khadija selalu terbangun ketika subuh tiba. Khadija beranjak bangun kemudian menunaikan kewajibanya.
Setelah selesai dengan semua ritual di pagi hari, Khadija segera bersiap untuk rencananya hari ini, yaitu mencari pekerjaan.
Khadija duduk di bangku yang ada di koridor Rumah Sakit tersebut, sembari menunggu kedatangan Hafiz, untuk sekedar mengucapkan rasa terima kasihnya.
Tap... Tap...Tap...
Derap langkah kaki seseorang yang baru datang mendekat ke arah Khadija.
"Mau kemana?" tanya Hafiz melihat tampilan Khadija yg sudah tampak rapi, menggunakan setelan kemeja putih dan celana panjang bahan warna hitam dengan tatanan rambut di ikat mirip ekor kuda.
"Ah, iya hari ini saya akan melemar kerja Mas." Jawab Khadija sambil berdiri. Ditanganya membawa amplop besar berwarna coklat.
"Melamar kerja dimana?"
"Ya dimana saja."
"Mari ikut saya!" Hafiz berbalik arah berjalan menuju ruanganya.
Khadija pun menurut mengikuti Hafiz dari belakang.
"Mana saya lihat CV kamu." pinta Hafiz ketika sudah duduk di kursi kebesaranya.
Dengan ragu Khadija mengulurkan amplop besar yang ada ditanganya ke atas meja kerja Hafiz.
Hafiz kemudian membuka lalu melihat isi dari amplop coklat yang ia taruh kembali ke atas meja.
"Nilai kamu cukup bagus, kenapa kamu tidak kuliah?" Tanya Hafiz mengalihkan pandanganya ke arah Khadija.
"Orang buat makan saja susah, ya mana kepikiran toh saya buat kuliah. Bisa lulus SMA saja saya sudah syukur." jawab Khadija yang masih setia berdiri di sebrang meja Hafiz.
"Ini saya ndak disuruh duduk?" lanjut Khadija sedikit menyindir.
"Maaf saya lupa, ya sudah silahkan duduk!" Jawab Hafiz, dengan menjulurkan tanganya mempersilahkan Khadija duduk di hadapanya.
"Kamu ingin Kerja apa?" tanya Hafiz kemudian.
"Apa saja yang penting halal, bisa buat bantu orang tua saya di kampung!"
"Baiklah, kamu saya terima kerja disini sebagai Office girl,"
"Beneran ini Mas, saya di terima kerja di sini? ndak bohong toh?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Khadija yang masih merasa tidak percaya.
"Apa wajah saya terlihat seperti pembohong?"
"Ya ndak gitu. Tapi sampean di sini itu kerja sebagai opo toh? kok bisa menerima saya kerja di sini." tanya Khadija penasaran.
"Saya hanya Dokter disini," jawab Hafiz singkat.
"Waduh, jadi Mas Hafiz ini Dokter toh? Jadi ndak enak saya, dari tadi panggilnya Mas."
"Tidak apa-apa!"
"Ya sudah saya panggilnya Mas Dokter saja yo?"
"Terserah kamu saja,"
Kemudian Hafiz memanggil kepala kebersihan yang ada di Rumah Sakit tersebut.
"Khadija kamu bisa ikut Pak Rahman ini," ujar Hafiz menunjuk ke arah orang yang dimaksud.
"Pak Rahman, ini Khadija pegawai baru disini, nanti tolong kasih tahu apa saja tugas dia." Pak Rahman pun mengangguk mengerti.
"Mari Mbak ikut saya," ajak Pak Rahman, yang langsung di ikuti oleh Khadija.
"Sekali lagi terima kasih yo Mas Dok?" ucap Khadija sebelum keluar dari ruangan Hafiz.
Sesampainya di Ruangan tempat para pegawai kebersihan, Pak Rahman memberikan seragam khusus untuk Khadija dan memberitahu tugas apa saja yang harus gadis itu lakukan.
Khadija pun memperkenalkan diri kepada semua pegawai yang tengah berkumpul di ruangan itu.
"Kenalkan nama saya Khadija, panggil saja Dija." sapa Khadija ramah.
Satu persatu Khadija menjabat tangan para rekan kerja barunya. Karena Khadija gadis yg ramah, jadi bukan hal yang sulit untuknya membaur dan beradaptasi.
"Dija, bisa bantu antarkan kopi ini ke ruangan Dokter Hafiz?" pinta gadis yang masih seumuran dengan Khadija.
"Iya ndak papa Len, sini biar aku bawakan," Khadija menyambut kopi dari tangan Leni.
Tok ... Tok ... Tok
"Masuk!" jawab seseorang yg ada di dalam.
"Maaf, Mas Dokter ini kopinya." Khadija meletakan Kopi diatas meja kerja Hafiz.
"Terima kasih," ucap Hafiz tanpa menoleh ke arah Khadija. Karena pria itu tengah sibuk dengan berkas-berkas penting di tanganya.
"Ah, iya Khadija semoga kamu betah kerja disini," kata Hafiz sebelum Khadija membuka pintu hendak keluar.
Khadija menoleh, lalu gadis itu hanya mengacungkan jempol kananya dengan senyuman yang selalu terukir di bibirnya. Setelah itu Khadija pun keluar dari ruangan Hafiz.
Khadija tampak bahagia menjalani hari pertama ia bekerja. Mendapatkan rekan-rekan kerja yang baik, suasana yg baru dan pekerjaan menyenangkan meskipun hanya sebagai pelayan Rumah Sakit.
Tugas yang diberikan kepada Khadija pun tidak terlalu berat, mengingat Khadija masih baru. Tugasnya hanya membersihkan ruangan para Dokter, mengantarkan minuman untuk para Dokter dan mengantarkan makanan untuk para pasien Rumah Sakit dengan di dampingi oleh Leni. Leni sudah bekerja kurang lebih selama Satu tahun, jadi Leni sudah berpengalaman.
"Dija kamu tinggal dimana?" tanya Leni saat mereka bersantap siang dikantin Rumah Sakit.
"Belum tahu masih Len," Khadija menggeleng. "Aku baru kemarin datang dari kampung." lanjutnya sembari menyeruput teh hangat di tanganya.
"Terus tadi malam kamu tidur dimana?"
"Itu dikamar belakang," tunjuk Khadija ke arah kamar yang ada dibelakang Rumah Sakit yang letaknya tidak jauh dari kantin.
Khadija menceritakan kepada Leni dari awal dia datang di Kota besar ini, sampai pertemuan yang tidak di sengaja dengan dr. Hafiz.
"Dokter Hafiz itu ganteng yo Len, pasti istrinya cantik?" celetuk Khadija sembari mengaduk-aduk mie ayam di mangkoknya.
"Iya sih ganteng, tapi cuek nya itu lho minta ampun, lagian dr. Hafiz itu belum menikah." Mode on Leni lagi ngegibah.
"Moso sih? Tapi orangnya kelihatan ramah gitu?" tanya Khadija, mengerutkan keningnya.
"Dia itu cuek kalo sama cewek, makanya gak nik~.."
"Sssttt ... " Khadija memberi isyarat agar Leni tidak melanjutkan ucapanya. Mata Khadija menangkap sosok Pria yang tengah menjadi topik bahasan.
Siapa lagi kalau bukan dr. Hafiz sedang bersama rekan sesama Dokter masuk ke dalam kantin.
"Eh, Mas Dokter kesini juga toh?" sapa Khadija sambil berdiri ketika Hafiz akan melewatinya.
"Hhhmmm, " Hafiz hanya berdehem melewati Khadija.
Khadija pun duduk kembali, menikmati mie ayamnya.
"Ngapain sih kamu nyapa dia, di cuekin kan?" cibir Leni pelan, sedikit mencondongkan wajahnya ke telinga Khadija.
"Ndak papa toh Len, orang nyapa kan ndak dikenakan biaya." sahut Khadija santai.
"Terserah kamu deh Ja. Kalau aku sih gak mau, daripada dikacangin kaya gitu," timpal Leni. Khadija hanya tersenyum menanggapi ucapan teman barunya itu.
Setelah makan siang, Khadija dan Leni pun pergi ke Mushollah menunaikan sholat Dzuhur bersama sebelum kembali bekerja.
Khadija dan Leni kembali mengantarkan makan siang untuk para pasien. Satu persatu Khadija dan Leni masuk keruangan rawat inap dari kelas ekonomi sampai kelas VVIP.
Setelah selesai dengan tugasnya, Khadija kembali ke Ruang Gizi Rumah sakit sebagai post para OB dan OG berkumpul. Sejenak Khadija duduk melepas lelah setelah berkeliling Rumah sakit mengantarkan makanan untuk pasien. Sedangkan Leni harus mampir sebentar ke toilet.
"Dija, tolong antarkan teh ini ke ruangan dr. Hafiz ya?" pinta Kepala Ruang gizi. Perempuan paruh baya yang bernama Bu Wiwik.
"Siap Bu Wiwik yang cantik." khadija beranjak berdiri membawa nampan berisi tiga cangkir teh.
"Permisi," ucap Khadija sambil mendorong pintu ruangan dr. Hafiz yang sedikit terbuka menggunakan lenganya. Lalu Khadija menaruh satu persatu teh yang dibawanya di depan para tamu dr. Hafiz.
"Silahkan," ucap Khadija sopan, sebelum berlalu pergi.
"Wiidiihhh ... Itu pegawai baru sini Rel?" tanya Aslan yang sedari tadi memperhatikan Khadija tanpa berkedip. Para sahabat Hafiz memanggilnya dengan nama Carel, nama depan dari Pria itu.
"Bukanya itu cewek yang nyapa lo dikantin tadi ya?" sela Dio sebelum Hafiz menjawab pertanyaan Aslan.
"Iya, dia pegawai baru disini, dan baru hari ini dia mulai bekerja." Jawab Hafiz datar, menjamak pertanyaan dari para sahabatnya.
"Namanya siapa sih itu cewek? Kenalin dong Rel?" rengek Aslan penasaran.
"Namanya Khadija." jawab Hafiz singkat.
"Elo mah, suka gercep ya Lan, kalo liat yang bening-bening gitu?" timpal Dio sembari mengangkat cangkir teh lalu menyecapnya.
"Kan mubadzir Bro, ada cewek cantik di anggurin gitu? Iya gak Rel?" celetuk Aslan menaik turunkan alisnya.
"Carel lo tanyaain kaya gitu, mana nyambung tuh otaknya, diakan rada belok?" sindir Dio yang mendapat tatapan tajam dari Hafiz.
"Gue itu gak belok alias masih normal, cuma gue gak mau di ribetin sama hal-hal yg kaya gitu!" elak Hafiz.
Para sahabatnya sudah tahu bagaimana masalalu Hafiz, sehingga membuat Pria itu trauma. Hafiz tidak ingin mengenal yang namanya cinta. Namun, sebagai sahabat Aslan dan Dio selalu memotivasi Hafiz untuk berdamai dengan masalalunya, entah itu dengan nasehat, sindiran bahkan gurauan yang Aslan dan Dio lontarkan.
Jangan lupa Like dan Komenya ya.. 🙏🙏🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!