Sejak pertama kali melihat gadis itu, iya…bagi Kawa dia adalah gadis. Gadis yang menarik setelah patah hati hebatnya beberapa bulan yang lalu, hampIr setahun mungkin.
Sejak kejadian memilukan itu, di saat dia memantapkan diri untuk melanjutkan langkah ke jenjang serius, langkahnya terjegal dengan sadis. Setidaknya dia membutuhkan beberapa waktu untuk menyembuhkan luka batinnya.
Dia yang sedari awal tidak ingin dikenal sebagai anak pengusaha kaya pewaris Arjuna Group hingga kini cukup membantunya agar tidak semakin terbebani dengan statusnya. Iya, sejak dia paham jika keluarganya sering menjadi sorotan media, dia memilih untuk tidak “terlihat”. Saga dan Ganis terpaksa mengiyakan permintaan putranya tersebut.
Hari itu, dia memilih menepikan diri dari kehidupan mewahnya, dia memilih untuk bekerja sebagai karyawan di sebuah minimarket yang masih di bawah naungan Arjuna Group. Minimarket tersebut berada di sebuah tempat yang agak jauh dari kebisingan kota. Awalnya Saga dan Ganis, serta Oma Rima menentangnya. Namun karena permintaan yang begitu kekeh dari Kawa, akhirnya mereka dengan berat hati merelakan.
Tibalah dia di sebuah tempat yang dia sudah jatuh cinta saat tiba, bukan kota yang ramai, tapi dia merasa nyaman saat tiba di sana. Kota kecil yang tenang, teduh, dan membuatnya perlahan melupakan kepahitan yang dia rasakan. Berbekal tinggal di sebuah rumah kontrakan yang jauh dari mewah, sangat jauh dari keadaan rumahnya di kota. Tidak ada fasilitas istimewa di sana, hanya rumah sederhana dengan 2 kamar. Tidak ada kendaraan mewah pula, hanya motor matic yang dia bawa ke sana. Awalnya Orang tuanya, yaitu Ganis dan Saga meras berat membiarkan anak laki-lakinya melakukan hal tersebut. Terlebih lagi Oma Rima, beberapa hari Beliau menangisi apa yang dilakukan oleh Kawa.
Namun, Bukan Kawa namanya jika dia tidak keras hati. Apa yang menjadi pilihannya akan dilakukannya, tidak masalah baginya tinggal di tempat sederhana, toh itu adalah tujuan utamanya sekarang.
Saga tidak tinggal dia, dia meminta sahabat Kawa, yaitu Rendra untuk menemani Kawa. Mereka bekerja bersama di minimarket tersebut. Saga berharap Rendra bisa mengawasi Kawa.
Dengan senang hati Rendra mengikuti semua arahan Saga, awalnya Kawa tidak menerima keputusan Papanya. namun itu adalah salah satu syarat, atau Kawa tak diperbolehkan untuk "berkelana" di kota kecil tersebut. Akhirnya Papa dan anak tersebut sepakat.
Tujuannya masih sama, tidak ingin terlalu cepat jatuh cinta kembali, dia hanya ingin merasakan yang bisa dia nikmati sekarang. Dia benar-benar ingin menjadi Kawa yang statusnya orang biasa. Masih ingin fokus dengan penyembuhan hatinya, benar-benar belum ingin jatuh cinta terlebih dahulu. Dia ingin menepikan diri, dan menjauhkan dirinya dari yang namanya jatuh cinta.
Di kala sedang menikmati “healing” luka hatinya, seseorang muncul dalam hidupnya, dialah gadis manis berhijab. Sejak pertemuan yang tidak disangka, Kawa merasakan hawa yang berbeda. Apakah dia sedang jatuh cinta padanya?
Entahlah….sejak pertemuan pertama dengan gadis itu di warung Mak Irah, warung nasi uduk langganannya, Kawa seolah tidak bisa menepis perasaan kagumnya pada gadis itu. Pertemuan yang tanpa sapa itu tetap berlanjut. Hingga Kawa pada akhirnya tahu jika gadis itu memiliki kisah yang kelam dan panjang, dan hatinya mulai kembali terluka saat dia tahu jika gadis itu bukanlah gadis single yang dia sangka.
Akankah cinta mereka menemukan pelabuhannya?
Setelah melakukan lamaran secara privat, Kawa memutuskan untuk melakukan lamaran secara resmi dengan kekasihnya yang sudah dia pacari selama 2 tahun terakhir. Lagi-lagi dia hanya ingin diam-diam saja tanpa ada media yang meliput.
“Aku tidak mau terlalu lama, kita tunangan saja” ungkapnya datar, bahkan jauh dari kata romantis.
“Hah? Maksud kamu kita tunangan dan menikah?” Tanya gadis cantik dengan rambut curly itu, matanya berbinar, dia bahagia mendengar ucapan Kawa. Kawa mengangguk sambil memberikan cincin berlian di hadapan Nadin, iya nama gadis cantik itu adalah Nadin.
Nadin menutup keduabibirnya dengan jari tangan kanannya, matanya berkaca-kaca, Kawa melamarnya hari ini.
“Menikahlah denganku” pinta Kawa.
Tak menunggu lama, Nadin mengangguk. “I say yes” jawabnya. Kawa melepaskan cincin dari tempatnya dan memasangkan di jari manis kekasihnya.
Bukan tempat yang romantis, hanya berada di dekat apartemen Nadin tinggal. Seperti halnya Saga, Kawa pun menuruni sifat Saga yang datar, bahkan jauh dari romantis. Nadin tidak peduli, dia menerima laki-laki itu.
Mereka saling mengenal di kampus yang sama, meskipun beda jurusan. Kawa merasa diterima oleh Nadin apa
adanya, sejak mengenal gadis itu dia tidak memproklamirkan diri sebagai Kawa si anak pewaris Arjuna Group, dia memproklamirkan diri sebagai Kawa laki-laki biasa.
“Mungkin aku menjadi gadis yang paling bahagia sekarang” ujar Nadin masih dengan mata yang berkaca-kaca. Mendengar ucapan tulus dari bibir Nadin, membuat seulas senyum mengembang dari bibir Kawa. Meskipun hanya diterangi lampu temaram, terlihat jelas kebahagiaan terpancar di matanya.
“Terima kasih sudah mau menemaku selama ini” ujar Kawa. Lalu perlahan dia menarik tubuh Nadin dan memeluknya erat, Nadin membalas dengan mengusap punggung Kawa.
“Terima kasih sudah sabar selama ini” ucap Nadin.
Kawa melepaskan pelukannya, dia menatap lekat mata indah Nadin, gadis dengan tinggi badan yang hampir menyamainya itu.
“Setelah ini aku akan atur semuanya, tentang pertemuan keluarga kita” ucap Kawa mantap. Nadin mengangguk
mengiyakan, pertanda tidak ada penolakan, kapanpun dia siap dipersunting olehlelaki yang ada di hadapannya.
“Sudah malam, masuklah” ujar Kawa. “Kali ini aku tak ingin mengantarmu hingga ke dalam” gelaknya. Biasanya
dia mengantar Nadin hingga di depan pintu apartemen.
“Siap pak” Nadin membalas Kawa. “Aku ke atas ditemani ini” Nadin mengangkat jari manisnya, menunjukkan cincin yang baru saja tersemat.
Kawa sengaja mempersilahkan Nadin menempati apartemen miliknya, dia tahu Nadin jauh dari kedua orang tuanya, tidak ingin melihat gadisnya kerepotan tentang tempat tinggal, maka dia meminta Nadin tinggal di sana saja.
Perlahan Nadin tahu jika Kawa bukan laki-laki sembarangan, tidak mungkin jika Kawa hanya laki-laki biasa, Kawa dengan mudahnya membiarkan dia bergelimang fasilitas, baik apartemen maupun mobil.
Kawa melemparkan senyum dan melambaikan tangannya, melepas Nadin meninggalkannya. Hingga gadis itu
akhirnya menghilang dari pandangannya, Kawa mengambil kunci mobil yang ada di saku celananya dan segera memasuki mobilnya. Hari sudah larut, dia segera meninggalkan area tersebut menuju rumahnya.
***
“Apaaaaa?” seru Biru,adik semata wayang Kawa saat mendengar cerita Kawa. Di sana ada Saga, Ganis serta Oma Rima.
Ganis spontan mengelus pundak putrinya yang tengah duduk di sampingnya itu, Biru memeluk bantalan sofa berwarna krem itu, kakinya duduk bersila di atas sofa.
“Aku sudah yakin, Bunda….Pa…Oma” Kawa meyakinkan.
“Abang yakin dengan dia?” seloroh Biru lagi, dia seolah menjadi individu yang paling menentang hubungan Kawa dan Nadin.
“Sssstttt” Ganis kembali memperingatkan Biru.
“Tapi Bun….entah ya….Biru nggak yakin sama si siapa itu, Nadin” ujarnya. Kawa menatap adiknya, dari awal
dia menjadi orang yang paling tidak setuju dengan hubungannya dengan Nadin, entah apa alasannya.
“Kapan?” Tanya Saga pada Kawa. Kawa melihat ke arah Papanya.
“Secepatnya Pa” jawab Kawa.
“Biar Bundamu yang atur”
“Papa setuju?” Tanya Biru. Matanya melihat Papa dan Kawa bergantian. Dia berharap, sangat berharap, di antara Bunda, Papa, dan Omanya ada yang tidak menyetujui hubungan abangnya itu.
“Biar Oma bantu” imbuh Oma Rima.
“What?” Biru melotot, bahkan Oma Rima pun sudah setuju dengan hubungan abangnya dan Nadin.
“Ok…ok…maaf” Biru menyadari dia hanya sendirian, dan tak didengarkan, akhirnya dia harus menghargai keputusan abangnya. “Abang jangan lupain aku kalau sudah menikah nanti, ok bang?” dia merengut dan menatap Kawa.
Kawa menatap adiknya gemas, apakah itu adalah alasan yang membuat selama ini Biru menentang hubungannya dengan Nadin?.
“Besok Bunda atur bagaimana baiknya”
“Terima kasih Bunda, Papa, dan Oma”
“Aku enggak?” Tanya Biru buru-buru menyalak sambil menunjuk dirinya.
“Iya…terima kasih bawel” jawab Kawa.
“Isssshhh abang” gerutunya.
Ganis dan Oma Rima menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah polah Kawa dan Biru.
***
Hanya berselang 2 minggu, persiapan sudah beres, tidak menggunakan fasilitas hotel, acara yang rencana akan digelar di villa keluarga pun hampir siap. Acara yang akan digelar secara tertutup, tanpa adanya media dan hanya mengundang keluarga terdekat.
“Abang benar-benar yakin kah?” Tanya Biru sambil duduk bersila di atas tempat tidur Kawa, sedangkan abangnya sedang duduk di sebuah kursi menghadap laptopnya sambil mengedit foto. Dia tidak melihat lawan bicara.
“Kenapa memang?” Tanya Kawa pada Biru, pandangannya masih fokus pada kerjaan yang ada di depannya. “Kamu cemburu?” ujarnya.
“Issh abang, mana ada adik cemburu sama abangnya?”
“Lalu?”
“Abang masih muda…ehm…..” Biru menghitung dengan jemarinya.”23 Tahun, yakin mau nikah?” Biru menurunkan
jarinya. Kawa masih asyik dengan layar laptopnya.
“Umur bukan patokan” kali ini Kawa menjawab, dia memutar kursinya menghadap gadis yang sedang duduk bersila itu.
“Iya sih, tapi entah kenapa ya bang, rasanya aneh”
“Itu hanya kekhawatiranmu saja, percayalah, semua akan baik-baik saja” Kawa mencoba menenangkan adiknya.
“Iya bang” Biru mengangguk.
“Apa kabar Mario?” Kawa bertanya tentang cowok yang beberapa kali membuat adiknya patah hati itu.
“Apaan sih bang…Mario? Siapa dia?” Biru pura-pura tidak mengenalnya, lalu dia tergelak.
“Kamu undang gih ke acara abang” Kawa menggoda Biru.
“Eh beneran ya…nanti beneran Biru undang loh dia” Biru tak kalah semangat menggoda abangnya.
Mereka tertawa terkekeh berdua hingga larut malam.
***
Berkali-kali Kawa menekan nomor ponsel Nadin, tidak biasanya, tidak ada jawaban dari Nadin.
Kawa akan mengajaknya untuk meninjau lokasi acara yang akan berlangsung 2 hari lagi. Sudah hampir 30 menit, namun tidak berhasil menelpon Nadin. Kawa memutuskan untuk menjemput Nadin hingga apartemen, dia sudah berada di lantai 17, di mana apartemennya berada. Selain Nadin yang memegang kunci, dia juga memegang kunci apartemennya sendiri. Kawa masih mencoba mengetuk pintu apartemen tersebut, satu hingga 3 kali, tidak ada jawaban, begitu juga bel yang ada di pintu. Akhirnya Kawa mengeluarkan sebuah kunci yang dia bawa, perlahan dia membuka pintu apartemen.
“Kawa…!!! Aku bisa jelaskan” ucap Nadin gugup, Kawa mematung dengan apa yang dilihatnya, di depan kedua matanya sendiri.
Ganis sibuk berada di villa untuk sekedar mengecek persiapan acara pertunangan yang akan dihelat 2 hari lagi. Sementara Saga masih sibuk dengan urusan kantor, Oma Rima akan ikut mengecek persiapan nanti sore, dia tidak dating bersama Ganis.
“Meskipun ini privat, tapi saya ingin unsur kemewahannya tetap kelihatan ya mbak” ujar Ganis pada salah satu karyawan WO yang ditunjuk sebagai partner dalam acara pertunangan ini.
“Baik Nyonya” jawab seorang perempuan dengan sopan.
“Apakah memang dominasi mawar putih Nyonya?” Tanya perempuan tersebut memastikan.
“Iya, kata putra saya, memang calonnya menyukai mawar putih, jadi tidak masalah kalau dominan mawar putih” jawab Ganis.
“Baik Nyonya, tim dan saya akan mempersiapkan sebaik mungkin” jawab perempuan tersebut sambil membungkukkan badan.
Ganis berjalan agak ke arah dalam untuk mengecek persiapan di dalam. Dia melihat-lihat tatanan kursi tamu yang memang terbatas, hanya ada beberapa pasang saja. Sudah mulai tertata dengan baik.
Ganis menarik sebuah kursi yang sudah dihias dengan pita yang indah, dengan warna merah maroon kombinasi putih. Dia duduk di sana sambil memperhatikan para tim WO bekerja.
“Nyonya mau minum apa?” Tanya seseorang yang menghampiri, dari seragamnya, dia adalah tim dari WO.
“Owh…iya, tolong ambilkan saya air putih dingin saja” jawwab Ganis singkat.
“Baik Nyonya” ujar seseorang tersebut sambil berlalu. Tak berapa lama dia kembali dengan membawa pesanan Ganis.
“Silahkan Nyonya” ujarnya meletakkan sebotol air mineral dingin lengkap dengan gelasnya di atas meja.
“Terima kasih” ucap Ganis pada seseorang tersebut.
“Sama-sama Nyonya”
Ganis membuka tutup botol air minumnya, lalu menuangkannya dalam gelas, beberapa detik dia meneguk air tersebut, terasa dingin, mendinginkan kerongkongannya. Tak terasa, matanya terasa panas. Rasanya baru kemarin dia mengalami hal yang tidak dia duga, yaitu menjadi istri dari Saga. Kini, sebentar lagi…putra pertamanya, yaitu Kawa akan melangsungkan pertunangan, itu artinya sebentar lagi Kawa akan menikah. Waktu terasa cepat berlalu.
“Haaah…..kamu sudah besar nak” ujarnya sambil mengusap layar ponselnya, di mana foto Kawa berada di layar tersebut. “Semoga kamu akan bahagia dengan pilihan kamu” ucapnya masih sambil mengelus wajah Kawa di layar ponselnya.
Terdengar langkah kaki mendekati Ganis, Ganis menoleh, Oma Rima mendekat ke arahnya.
“Mama….” Sapa Ganis. “Sudah dari tadi Ma?”
“Barusan kok, kenapa malah melamun di sini?” Tanya Oma Rima sambil duduk di depan Ganis.
“Ah tidak Ma, ini tadi habis keliling mengecek persiapan acara Kawa nanti, terus capek jadi duduk di sini. Oh Mama mau minum apa?” Ganis bertanya pada mertuanya tersebut.
“Nggak usah, Mama masih belum haus” ucapnya.
“Oh baik Ma”
“Bagaimana menurutmu tentang persiapan acaranya nanti?”
“Hampir beres Ma, ini nanti bunga-bunganya akan dating sore atau malam, jadi besok sudah mulai dihias”
“Lalu orang tua Nadin bagaimana?” Tanya Oma Rima.
“Oh iya, kata Kawa sih, besok sudah mulai datang dan menginap di sini, jadi tidak perlu repot-repot berjauhan saat acaranya mau dimulai nanti Ma, sesi make up juga nanti bias lebih simple” jawab Ganis.
“Oh bagus lah, oh…cucuku ternyata sudah besar, sudah mau tunangan, dan sebentar lagi menikah” Oma Rima menghembuskan nafas panjang, setali tiga uang, hal itu ternyata juga dirasakan oleh Oma Rima, tak hanya Ganis sebagai Ibunya.
“Iya Ma, waktu cepat sekali berlalu” Ganis tersenyum simpul.
“Di mana anak itu? Kenapa belum nampak di sini? Harusnya dia ikut ngecek” ujar Oma Rima.
Ganis menengok kanan dan kiri, harusnya Kawa memang sudah harus di sini.
Orang yang dinanti akhirnya muncul juga, tinggi semampai dengan rambut pendek rapi belahan pinggir, wajah terlihat segar meskipun sudah sore.
“Bunda….Oma…” sapanya mendekat pada dua wanita yang dia sayangi tersebut.
“Dari mana saja kamu?” Tanya Oma Rima sambil menepuk lengan Kawa.
“Ngecek di sana” Kawa menunjuk area acara yang ada di bagian samping.
“Bunda pun tidak melihatmu dari tadi” sahut Ganis.
“Oh ya, harusnya sekalian kamu ajak Nadin kesini sekalian untuk gladi lah” ujar Oma Rima.
“Oh…begitukah?” Tanya Kawa.
“Iya lah” sahut Oma lagi.
“Iya, berangkatlah, mumpung masih sore, sekalian biar ikut cek, kali aja ada dekorasi yang kurang cocok dengan Nadin, nanti bisa diperbaiki” imbuh Ganis.
“Baik Bunda, aku berangkat dulu ya” jawab Kawa, setelah selesai berpamitan dengan Oma dan Bundanya, dia segera berlalu dan bersiap menjemput Nadin ke tempat acara tersebut.
***
Sepanjang perjalanan, Kawa mencoba mengirim pesan kepada Nadin, dia mengatakan jika dia sedang perjalanan menjemputnya. Namun tidak ada jawaban dari pesannya.
Kawa langsung menuju apartemen, dia yakin Nadin berada di apartemennya karena sudah menjadi kebiasaan Nadin, setelah selesai kerja, dia akan segera pulang ke apartemennya. Mungkin dia sedang tidur nyenyak hingga tidak sempat membalas pesannya.
Setelah hampir satu jam lamanya dalam perjalanan menuju apartemen miliknya, dia kembali menghubungi Nadin melalui sambungan telepon, namun sama. Tidak ada respon dari Nadin. Kawa masih duduk di balik kemudi, mencoba sekali lagi menghubungi Nadin.
Hasilnya sama saja, Nadin tidak menjawab panggilan darinya. Kawa akhirnya keluar dari mobilnya dan berjalan masuk ke dalam apartemen. Security membungkukkan badan saat melihat Kawa datang. Kawa membalas sapaan dari security tersebut dengan mengangguk pelan, lalu dia segera menuju lift. Tangannya memencet tombol angka
17, di mana lantai apartemennya terletak di lantai tersebut.
Hanya beberapa detik, Kawa sudah sampai di lantai 17. Dia segera berjalan ke arah apartemen miliknya. Dia mengetuk pintu beberapa kali, kebiasaannya selama ini, meskipun ada bel. Dia terlebih dulu akan mengetuk, setelah ketukannya juga tidak ada respon. Dia memencet bel, beberapa kali, hasilnya sama, tidak ada respon.
“Apakah dia sedang pergi?” gumamnya. Tangan kanannya merogoh saku celananya, di sana dia menyimpan kunci apartemen tersebut. Untung saja dia tadi sempat membawa kunci tersebut dari mobilnya, kalau tidak, dia akan bolak-balik naik turun.
Perlahan dia meletakkan kunci tersebut di tempatnya, pintu terbuka dengan sedikit dorongan dari tangan Kawa.
Terlihat lengang di ruang tamu, namun lampu menyala. Itu tandanya Nadin berada di tempat. Perlahan Kawa berjalan ke arah dapur, tidak ada siapa-siapa, tapi lagi-lagi lampu menyala. Hingga dia melihat pintu kamar mandi agak sedikit terbuka.
Awalnya dia ragu untuk mengecek apa yang terjadi, takutnya Nadin sedang mandi di sana. Kawa melangkah perlahan, namun dia tidak memanggil. Semakin dekat dia mendekati pintu kamar mandi tersebut, perlahan terdengar suara laki-laki dan perempuan yang dia kenal dari arah kamar mandi. Degup jantung Kawa mulai berpacu, apakah dia sedang berhalusinasi? Apakah yang dia dengar hanyalah suara dari televisi?.
Kawa sudah berada di depan pintu kamar mandi, dan suara itu semakin jelas, suara manja dari perempuan yang dia kenal. Saat mata Kawa tertuju pada cermin yang ada di kamar mandi, cermin tersebut terlihat sekilas dari depan pintu. Di mana, di depan mata kepalanya, Nadin sedang berasyik masyuk dengan seorang laki-laki. Kedua tangan Kawa mengepal, giginya terasa gemretak. Kawa masih berdiri mematung melihat pemandangan dari pantulan cermin.
“Braaak!!” Kawa menendang pintu kamar mandi tersebut. Sontak, Nadin melihat ke arah sumber suara, dia segera bergegas mencari handuk dan membalut tubuhnya. Seorang laki-laki yang sedari tadi menikmati tubuh Nadin tak kalah terkejut dengan kedatangan Kawa.
“Kawa….” Nadin segera mendorong tubuh laki-laki yang ada di dekatnya, dia menggunakan handuk yang hanya melilit tubuhnya. “Aku bisa menjelaskan” ujarnya sambil berjalan ke arah Kawa dan mencoba menarik tangan Kawa untuk menjauh dari tempat tersebut.
Kawa menepis tangan Nadin, dia berjalan ke arah pintu keluar apartemen. Nadin dengan sigap menghalangi.
“Aku bisa jelaskan!” ujarnya sambil menitikkan air mata.
“Tidak ada yang perlu kamu jelaskan” ucap Kawa dingin, tajam, dan menghujam. Lalu dia meninggalkan apartemen tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!