NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta : Ternyata Aku Seorang Pelakor

Pernikahan

SARAH AMALIA POV

Pernikahan adalah sebuah hal yang sangat diimpikan oleh setiap insan manusia. Sebuah momen indah, di mana dua insan yang saling cinta mencintai, diikat dengan dua buah kalimat bernama ijab qobul.

"Saya nikahkan dan kawinkan engkau, saudara Miko Santanu Aji, dengan saudari Sarah Amalia binti Riswan, dengan mas kawin perhiasan emas dua puluh lima gram dan uang sebesar dua juta rupiah, dibayar tunai!" ijab dari Pak penghulu.

"Saya terima nikah dan kawinnya Sarah Amalia binti Riswan, dengan mas kawin tersebut, tunai!" qobul yang diucapkan oleh pria yang kucintai, Miko.

"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Pak penghulu kepada seluruh hadirin yang ada di masjid, yang menyaksikan prosesi sakral kami.

"Sah!"

Riuh semua orang mengucapkan kata sah, sebagai tanda bahwa pernikahan kami telah diakui secara agama dan juga hukum.

Kini, aku telah resmi menjadi istri dari Miko, cinta pertamaku yang pernah pupus di waktu dulu.

Bahagia? sudah tentu aku sangat bahagia saat itu. Bagaimana tidak? Meski sangat sederhana dan hanya dihadiri orang-orang terdekat saja, aku akhirnya bisa menikah dengan seseorang yang sangat aku cintai, bahkan kami sempat berpisah sekian lama. Namun akhirnya dipertemukan kembali tanpa sengaja. Apakah ini bukan takdir namanya? Pasti kami memang ditakdirkan untuk bersama.

Hari-hari pengantin baru, kami lewati seperti pasangan-pasangan lainnya. Namun, entah kenapa hingga sebulan usia pernikahan kami, Miko sama sekali tak mau menyentuh ku.

Dia sangat baik padaku, dan selalu bertutur lembut dan sangat sopan. Ia pun bukan tipe suami pelit, yang perhitungan soal uang. Namun, untuk memberiku nafkah batin, sepertinya dia sangat enggan.

Pernah suatu ketika aku bertemu dengan teman-temanku. Kami memang biasa berkumpul sebulan sekali, untuk sekedar sharing dan temu kangen. Mereka saling bercerita tentang kehidupan pernikahan mereka masing-masing.

"Eh … tau nggak? Suamiku itu seterong banget lho. Aku aja nyampe kewalahan," ucap salah satunya.

"Alaaaah … kewalahan apa ketagihan?" sindir yang lainnya.

"Dua-duanya, hahahha …," semua tertawa lepas, kecuali aku yang hanya bisa tersenyum kaku.

Statusku memang sudah menikah, namun untuk hal-hal semacam itu, aku tak ubahnya seperti gadis perawan yang tak tahu apa pun.

"Eh, Sar. Pengantin baru ko ngelamun aja sih? Lagi inget yang semalem yah, hahaha …," ucap Murni, temanku yang paling mesum.

"Eh … nggak kok!" elakku sembari menggelengkan kepala.

"Alah … penganten baru paling lagi anget-angetnya nih. Tiap malem pasti tempur terus. Ngaku deh," cecar Tari, temanku yang anaknya paling banyak, dan kini tengah hamil anak ke empat.

"Nggak kok! Beneran!" elakku.

"Isshhh! Biasaan pengantin baru suka malu-malu," sindir Susan, temanku yang menjadi wanita karir dan sekaligus ibu rumah tangga.

Dulu aku dan dia bekerja di tempat yang sama. Namun setelah menikah, aku memutuskan untuk berhenti kerja dan fokus menjadi istri yang anteng di rumah.

"Tapi aku nggak bohong. Beneran deh," sahutku.

Mereka lalu berhenti tertawa, dan menetap tajam ke arahku.

"Tunggu dulu! Sar, jujur yah. Kamu udah nggak perawan dong pasti?" tanya Murni.

Aku terdiam tak bisa menjawab pertanyaan temanku itu. Antara malu dan tak enak, jika mereka bergosip tidak baik tentang suamiku nanti.

"Sar, kamu ada madalah? Miko nggak cinta sama kamu? Cerita sama kita," cecar Tari, yang terlihat khawatir denganku.

"Nggak kok. Miko cinta sama aku. Dia juga baik banget. Dia selalu lembut dan sopan sama aku. Tapi …," kalimatku menggantung.

Aku ragu. Apa aku harus menceritakan urusan ranjang kepada mereka? bukankah itu aib?

"Sar? Miko normalkan?" tanya Susan menyelidik, dengan suara yang terdengar sangat hati-hati.

"Aku nggak tau," sahutku lirih, sembari menunduk.

"Ya ampun, Sar. Kamu belum pernah disentuh sama suamimu? Ini udah sebulan lho kamu nikah sama dia. Wah … nggak boleh dibiari ini. Kamu harus cari tau dia normal atau nggak. Takutnya, kamu cuma jadi tameng dia aja, supaya dia nggak ketahuan nggak normalnya," cerocos Murni, yang setiap bicara tak pernah difilter.

"Hus, Mur. Sing alon (yang pelan)!" tegur Tari yang memang lebih dewasa pemikirannya diantar kami berempat.

Mereka terdiam, dengan aku yang terus menunduk. Aku malu pada teman-temanku, terlebih takut akan apa yang mereka katakan barusan.

"Sar, coba deh kamu ngomong baik-baik sama suamimu. Kenapa dia sampe sekarang nggak mau nyentuh kamu? Pasti ada alasannya kenapa dia kaya gitu ke kamu," ucap Tari yang merangkul pundakku dan mencoba menenangkanku.

"Atau gini deh! Kamu coba beli pakean yang seksi. Seksiiiiiiii banget. Terus, kamu pake pas mau tidur. Nah, dari situ kamu bisa lihat gimana reaksi suamimu. Kalo B aja, berarti dia nggak normal. Tapi, kalau dia gugup atau belingsatan, berarti dia masih normal. Nah … baru setelah itu kamu minta penjelasan sama dia," saran Murni yang selalu tak jauh dari urusan mesum.

"Mur … Mur! Otakmu itu kayanya kudu di laundry deh. Ngeres banget, hahahaha …," ucap Susan yang akhirnya membuat mereka semua tertawa, dan aku pun ikut tertawa kecil mengikuti mereka.

Mungkin Murni benar. Selama ini, aku memang kurang agresif saat berdua dengan suamiku. Bisa saja kan kalau dia malu, dan tak berani menyentuhku karena takut aku menolak ajakannya.

Akhirnya, kuikuti saran dari si mesum Murni. Hari berikutnya, aku ijin kepada Miko untuk pergi ke mall.

Rencananya, aku mau membeli sebuah baju seksi, tapi saat sampai di sana, aku malah kebingungan. Baju seperti apa yang katanya seksi itu.

Masa iya aku harus tanya ke mbak-mbak SPG-nya, kalau mau beli baju yang seksi? Kan malu.

Aku pun menelepon Murni, yang sudah pasti sangat tahu untuk urusan seperti ini. Kuraih ponsel di tasku, dan mencari nomor kontak si mesum itu.

Setelah ketemu, kutekan nomornya, dan langsung tersambung.

"Halo, Sar! Kenapa?" tanyanya.

"Ehm … Mur. Aku lagi di mall nih. Bisa ke sini nggak?" tanyaku.

Ya, barang kali saja dia bisa membantuku yang awam soal urusan ranjang ini.

"Urgent banget yah?" tanya Murni.

Aku sekilas mendengar tangis anak kecil dari seberang sana. Sepertinya dia sedang kerepotan mengurusi anaknya. Aku jadi merasa tidak enak.

"Ehm … nggak urgent banget sih. Aku cuma mau minta bantuan buat beli baju yang kemarin kamu bilang itu. Aku nggak tau yang kaya apa," tuturku.

"Baju yang kemaren?" ucapnya.

Namun, dia kemudian terdiam seperti tengah berpikir.

"Oh … itu. Kamu bilang aja sama mbak-mbak SPG-nya, kalo lagi nyari lingery," sahutnya sambil menenangkan anaknya.

"Apa tadi? Li … li apa?" tanyaku bingung.

Itu terdengar sangat asing buatku.

"Li … nge … ry!" jawabnya yang dieja.

"Oh … oke, deh. Thanks yah," ucapku.

Sambungan pun berakhir. Aku dengan ragu-ragu berjalan menghampiri mbak-mbak SPG, yang tengah berdiri di salah satu stand pakaian.

Aku bisa tahu dengan jelas, jika itu adalah stand pakaian dalam wanita. Banyak sekali model dan jenisnya. Sangat lucu, tapi aku mendadak malu ketika membayangkan tengah memakainya.

.

.

.

.

Jika kamu suka, silakan like dan komen😊

Menggoda

"Mbak, mau tanya dong." kataku saat telah berhadapan dengan si mbak SPG itu.

"Iya, Kak. Ada yang bisa dibantu?" sahutnya.

"Ehm … itu … eng … anu …," entah kenapa aku mendadak gugup dan ragu untuk bertanya.

"Kakak sedang butuh sesuatu?" tanyanya saat melihat aku kebingungan.

"Iya … ehm … itu … li-nge-ry. Saya lagi cari itu," ucapku sambil mengeja kata yang sangat asing itu.

"Oh … Silakan ikut saya, Kak," ucapnya yang kemudian menunjukkan ke sebuah stand, di mana terdapat banyak sekali baju-baju dengan bahan transparan dan minim kain.

Aku mengernyitkan alis melihat baju-baju itu. Kenapa mbak SPG-nya membawaku kemari? Baju-bajunya sangat mengerikan.

"Silakan, Kak. Bisa dipilih, mau yang seperti apa," ucapnya sambil menunjuk ke deretan baju transparan itu.

"Hah?!" aku menganga dibuatnya.

"Mbak, saya carinya li-nge-ry. Kenapa malah dikasih lihat baju transparan begini?" keluhku pada SPG itu.

"Maaf, Kak. Tapi yang namanya lingery ya yang seperti ini. Memangnya kakak belum pernah lihat bentuknya?" tanyanya yang langsung membuatku diam.

Hah? Yang benar saja. Dasar si Murni mesum. Masa aku harus pakai baju seperti ini di depan suamiku. Malu lah.

Aku hanya diam sambil melihat ke kiri dan kanan, di mana banyak sekali model dan jenis dari baju yang katanya seksi itu.

"Bagaimana, Kak? Sudah ada pilihan atau masih mau melihat-lihat dulu?" tanya SPG itu lagi, dan membuatku tersadar dari pikiranku.

"Ehm … boleh saya pilih-pilih dulu, Mbak?" tanyaku yang sebenarnya masih ragu.

"Boleh, silakan. Kalau sudah dipilih, nanti bawa ke sana ya, Kak," ucapnya sambil menunjuk ke arah tempatnya berdiri tadi.

"I … iya, baik," sahutku.

Mbak SPG itu pun lalu pergi meninggalkan aku yang masih kebingungan, antara menunaikan niatku atau membatalkannya saja.

Namun, setelah teringat omongan Murni kemarin, aku pun jadi ikut penasaran dengan alasan suamiku, yang terus membuatku menjadi seorang perawan yang bersuami.

Akhirnya dengan gamang, aku pun memilih satu yang berwarna hitam. Setidaknya jika hitam, akan tersamar di dalam kegelapan dan tidak terlalu terlihat.

"Baiklah. Aku ambil yang ini saja,"

Aku pun mengambil sebuah lingery hitam, lengkap dengan g-string-nya yang saat itu kukira tali rambut, karena ukurannya yang sangat kecil dan tipis.

Setelah membayarnya, aku pun pulang.

Kebetulan, setelah menikah aku hanya tinggal berdua dengan suamiku di rumah yang kami kontrak.

Aku tak pernah mempertanyakan ke mana gajinya selama ini, sampai ia tak memiliki tabungan untuk membeli sebuah rumah.

Aku hanya ingin berusaha menjadi istri yang tak banyak tanya, dan menerima saja apa yang diberikan oleh suamiku.

Toh, selama ini dia selalu memberi uang belanja yang sangat cukup, hingga aku bisa menabung sisanya untuk keperluan pribadiku.

Aku membuka tas belanjaan yang berisi benda yang lebih mirip seperti jaring ikan itu, dan membentangkannya di atas tempat tidur.

Kufoto, lalu kukirimkan ke nomor Murni.

"Bebs, ini bener yang namanya lingery itu? Kok kaya jaring ikan gini sih?"

Sejenak kemudian, masuklah pesan balasan dari Murni.

"🤣🤣🤣🤣 pinter juga milihnya. Iya bener yang itu. Coba ntra malem langsung pake. Sama itu juga dipake yah," dia mengirim balik foto yang kukirim, dengan melingkari benda yang kukira tali rambut itu.

"Emang itu apaan?" tanyaku.

"Itu salah satu peralatan tempur. Makenya kaya kamu pake ****** ***** gitu," jawabnya.

Gila! Masa aku harus pakai beginian juga? Ternyata benda aneh ini dipakai di bawah? Ya ampun! Kenapa harus seaneh ini sih caranya.

"Kamu nggak lagi ngerjain aku kan, Mur?" tanyaku memastikan.

"Ngapain juga aku ngerjain kamu. Udah sana siap-siap. Mandi yang bersih biar wangi. Terus tunggu suami pulang. Jangan lupa, pas pake itu, kamu juga kudu pake lipstik yang warnanya merah merona, biar tambah uwow," kata Murni.

Aku yakin saat ini dia sedang menertawakanku di sana. Dasar si mesum akut.

Aku tak membalas chat-nya lagi. Tapi, dia kembali mengirimkan chat padaku.

"Good luck, ya. Cepet bunting juga🤣"

Hah … aku tidak tahu apa ini akan berhasil atau tidak. Tapi, sepertinya semua ini memang perlu dilakukan untuk memastikan kondisi suamiku.

Sore pun menjelang. Kini semburat jingga di ujung barat menghias cakrawala, yang membuat suasana begitu indah.

Aku menantikan suamiku pulang, dengan duduk di kursi teras depan.

Miko biasanya pulang sebelum magrib, dan itu sebentar lagi. Aku merasa deg-degan, apalagi saat mobil yang ia kendarai telah masuk ke pekarangan rumah.

Suamiku selalu memakai mobil yang katanya inventaris kantor, dan lagi-lagi aku tak pernah bertanya, kenapa tak ambil kredit mobil sendiri saja. Sebagai seorang kepala cabang dari salah satu kantor asuransi ternama di kota ini, bukan hal mustahil jika dia bisa membeli mobil sendiri.

Tak sadar, rupanya Miko sudah berdiri di depanku.

"Assalamualaikum," sapanya sambil mengulurkan tangan ke arahku.

"Ehm … waalaikumsalam, Mas. Kamu udah pulang?" sahutku yang terlihat sangat gugup.

Aku menyambut uluran tangannya dan mencium punggung tangan suamiku itu.

"Kamu sakit?" tanyanya sambil menyentuh keningku.

Aku hanya menggeleng pelan sambil tersenyum.

"Ya sudah. Yuk masuk! Udaranya semakin dingin di luar," ajaknya sambil merangkul pundakku.

Seperti yang ku katakan, dia sangat lembut dan sopan padaku. Aku pun bertanya-tanya, kenapa dia sama sekali tak mau memberi hakku sebagai istrinya.

Seusai mandi, Miko dan aku Shalat magrib berjamaah, dan kemudian kami bersantai di ruang tengah sambil menonton TV, menunggu waktu Shalat isya datang.

Selepas shalat isya berjamaah, kami pun makan malam bersama. Saat itu, aku mulai kembali gugup memikirkan apa yang akan kulakukan setelah ini.

Setelah makan malam, aku langsung masuk kamar, sedangkan Miko, seperti biasa dia selalu menonton TV hingga malam.

Aku mondar mandir di dalam kamar. Apa aku batalkan saja niatku itu. Rasanya sangat malu saat membayangkan diriku, hanya terbalut baju transparan yang jauh dari kata layak pakai itu.

Namun, perkataan Murni kembali mengusikku. Aku menarik nafas dalam, sambil menutup mata. Kuambil tas belanja yang tadi siang, dan segera masuk ke dalam kamar mandi.

Kupandang benda menerawang itu, dengan 'bismillah' aku niatkan untuk ibadah dan menunaikan tugasku sebagai seorang istri.

Malam mulai merangkak. Sudah sekitar pukul sepuluh malam, tapi Miko belum juga masuk ke kamar.

Aku masih menunggunya dengan was-was, sembari duduk di bibir ranjang. Akhirnya, aku pun keluar kamar. Beruntung, lampu-lampu sudah kumatikan sebelumnya, sehingga hanya ada cahaya dari layar TV saja yang menyinari ruang tengah.

Aku berjalan perlahan mendekati Miko.

"Mas," panggilku lirih dengan suara yang terdengar gemetar.

Miko menoleh, dan aku bisa melihat netranya membulat penuh.

Aku menunduk karena malu, sembari menutupi dadaku yang hanya terhalang kain jaring itu, tanpa ada apa pun di baliknya.

Miko mematikan TV-nya, dan itu membuat ku mengangkat kepala seketika.

Kulihat, Miko berjalan ke arahku dan melewatiku begitu saja. Hatiku mencelos, mendapati reaksinya yang seperti tak menyukai hal gila yang kulakukan ini.

.

.

.

.

Jika kamu suka, silakan like dan komen di bawah🙏😊

Awal petaka

Di tengah rasa kecewaku yang entah berharap apa, tiba-tiba seseorang menyelimuti tubuhku dengan selimut tebal dari belakang, dan itu adalah Miko.

Aku menoleh seketika.

"Mas," panggilku lirih.

"Pakailah. Kamu bisa masuk angin nanti," ucapnya sambil menautkan ujung selimut di depan dadaku, agar menutupi tubuh ini seluruhnya.

"Sudah malam. Ayo tidur," ajaknya yang kemudian berbalik dan meninggalkanku.

Aku merasa tak berguna. Aku merasa tak diinginkan. Entah kenapa aku merasa harga diriku sebagai seorang perempuan begitu terluka.

"Mas!" panggilku.

Miko menoleh dan saat itu juga, aku menjatuhkan selimut yang menutup tubuhku.

Entah keberanian dari mana, aku maju melangkah mendekati suamiku.

"Mau sampai kapan kamu mendiamiku, Mas? Kita sudah menikah selama sebulan, tapi sekalipun kamu belum pernah menyentuhku. Apa aku sehina itu buatmu, Mas? Kamu sadar nggak sih kalau kamu sudah menzalimi istrimu!" pekikku di tengah deraian air mata.

Hilang sudah riasan cantik yang sempat kupoleskan di wajahku, karena tersapu oleh luluhan bening dari mataku.

Miko menatapku dengan tatapan sendu, seolah dia pun tengah merasakan kesedihan. Perlahan, tangannya meraih kedua pipiku.

"Kamu sangat berharga buatku, Sar. Aku tak sampai hati jika harus merusakmu. Kalau aku menyentuhmu, aku tak kuasa menahan diri untuk meminta lebih. Kau akan terikat selamanya padaku," ucapnya yang terdengar bergetar.

"Aku minta sama kamu, Mas. Tolong lakukanlah tugasmu sebagai seorang suami," ucapku dengan tatapan tajam.

Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, dan mendaratkan bibirnya di bibirku. Itu adalah ciuman pertamaku yang kuberikan untuk suami tercinta.

Malam itu, Miko benar-benar memenuhi permintaanku, untuk menunaikan tugasnya. Dengan sangat hati-hati dan penuh kelembutan, ia telah menjadikanku wanita seutuhnya, dan menguasai diriku sepenuhnya.

Merobek selaput perawan yang selama ini ku jaga hanya untuk imamku, dan kini telah kuserahkan kepadanya.

Ini adalah malam yang sangat indah, yang baru pertama kali kulewati.

Kami pun tertidur dalam balutan selimut, setelah bergulat semalaman dan akhirnya kelelahan. Walaupun rasanya nyeri, tapi aku sangat menikmati momen ini.

Setelah malam itu, hampir setiap malam, Miko tak pernah absen memberiku nafkah batin. Bahkan, tak jarang aku meminta lagi dan lagi. Seperti tak tahu malu memang, tapi aku tak bisa bohong jika aku selalu menginginkannya.

Kini, suda tiga bulan kami menikah. Pagi ini, aku ada acara kumpul bareng dengan ketiga teman gesrekku.

Tapi rasanya, aku sedang tak enak badan. Sejak bangun tadi, aku merasa pusing dan perutku sedikit mual. Bahkan, saat masak sarapan tadi pun, aku menghindari bawang putih karena tak tahan dengan baunya.

"Jadi ikut kumpulkan, Sar?" chat dari Tari.

"Nggak tahu, Tar. Aku lagi kurang enak badan nih kayaknya. Dari tadi pagi pusing, trus mual gitu," jawabku.

"Udah periksa ke dokter?" tanya Tari lagi.

"Belum. Mungkin cuma masuk angin aja kali ya, Tar? Ntar aku coba minum obat aja," sahutku.

"🤔 kamu bulan ini udah datang bulan belum?" tanya Tari lagi.

"Kenapa emangnya?" tanyaku bingung.

"Cuma nebak aja," jawabnya.

"Nebak apaan?" tanyaku lagi.

"Ya, siapa tahu kamu lagi hamil," jawabnya.

Aku pun seketika mengingat-ingat jadwal haidku. Kuambil kalender yang ada di atas meja.

"Bulan ini belum. Bulan kemarin … belum juga," aku membolak balikkan kalender bulan ini dan bulan lalu.

Ternyata, sudah dua bulan aku belum datang bulan.

"Aku telat dua bulan, Tar," aku kembali berkirim pesan kepada Tari.

"Wah … coba ke apotik beli tespek. Siapa tahu posistif. Cepet!" balas Tari.

Tanpa pikir panjang, aku pun pergi ke apotek di ujung jalan, dan membeli beberapa tespek dengan merek berbeda.

Setelah kembali ke rumah, aku segera ke kamar mandi dan buang air kecil. Kumasukkan sedikit sampel urine ke dalam tabung kecil, dan kucelupkan tespek-tespek itu ke dalam tabung.

Was-was? Sudah pasti. Aku tegang bukan main menunggu hasilnya. Walau hanya butuh waktu beberapa detik saja, namun rasanya sangat lah lama.

Ketika garis pertama mulai tampak, aku semakin menahan napasku, dan ketika garis kedua keluar, aku memekik dengan keras.

"Positif!" seruku.

Aku segera mengabari Tari, dan mengirim gambar tespek bergaris dua itu.

"Tar, aku hamil!" kataku.

"Wah … selamat ya, Sar. Bentar lagi kamu mau jadi ibu. Ya udah, kalau masih ngerasa mual dan pusing, nggak usah ikut dulu aja nggak papa," ucap Tari.

"Makasih ya, Tar," sahutku.

Aku berdebar. Tak sabar rasanya untuk memberitahukan berita bahagia ini kepada Miko.

Sore pun tiba, dan Miko pulang seperti biasa sebelum magrib.

Saat Miko sampai di depan pintu, aku menyambutnya dengan senyum ceria.

"Kamu kenapa, Sar? Kok kayanya seneng banget?" tanya Miko yang seperti biasa selalu lembut kepadaku.

"Mas, aku ada kejutan buatmu!" seruku sambil menyembunyikan sesuatu di belakang punggung.

"Apa?" tanyanya sambil mencubit gemas popiku.

"Tada …," Aku menunjukkan sebuah tespek dengan dua garis kepadanya.

Aku sempat mengira, jika dia akan sangat senang dan langsung memelukku. Namun, aku salah. Miko justru tampak muram dan tak ada raut bahagia sedikit pun di wajahnya.

"Mas, kamu kenapa? Kamu nggak seneng yah bakal punya anak?" tanyaku yang kebingungan dengan eskpresi Miko.

"Ehm … Sar, Sepertinya aku keluapan sesuatu. Aku balik ke kantor dulu yah. Assalamualaikum," ucapnya yang kemudian berlalu pergi dari hadapanku.

Di saat aku baru saja merasakan bahagia atas kehadiran janin di dalam perutku, kini justru sikap Miko membuat aku sedih dan kecewa.

Sejak hari itu, Miko selalu saja menghindariku, dan pulang larut malam dengan alasan lembur. Bahkan akhir-akhir ini, dia sering tidak pulang dengan alasan dinas ke luar kota.

Aku kesepian di tengah kondisiku yang tengah hamil muda, dan sangat membutuhkan kehadiran serta dukungan dari seorang suami.

Hari bergulir, dan kini berganti bulan. Sudah sebulan sejak kabar kehamilanku yang membuat Miko menjauh. Usia janin di perutku kini sudah masuk dua belas minggu. Morning sickness pun masih sering kurasakan.

Suatu hari, aku tengah duduk di ruang tengah sambil menonton acara TV, ketika tiba-tiba ada sebuah suara ketukan dari pintu depan.

"Sebentar!" teriakku sambil berdiri dan berjalan menuju pintu.

Aku membukanya, dan tampak seorang wanita cantik dengan dandanan modis, tengah berdiri di depan pintu rumahku.

"Maaf, cari siapa yah" tanyaku.

"Apa benar ini rumahnya Sarah?" tanyanya dengan nada ketus.

"Iya benar. Saya sendiri. Ada apa ya?" tanyaku heran.

"Perkenalkan, aku Lidia. Istri pertama Miko, suami kamu," ucapnya.

Bagai disambar petir di siang hari, tiba-tiba saja aku mendapat kabar semengejutkan itu. Telingaku tiba-tiba berdengung, dan dunia serasa berputar.

Aku berpegangan pada pintu, agar tidak sampai terjatuh. Aku sudah tak mampu mendengar perkataan yang diucapkan oleh perempuan itu lagi, karena semuanya tiba-tiba hening.

Pandanganku kabur, seiring dengan suara pria yang sangat aku cintai serasa mendekat ke arahku.

Aku tak sadarkan diri, dan entah apa yang terjadi lagi setelah itu.

SARAH AMALIA POV END

.

.

.

.

Jika kamu suka, silakan like dan komen di bawah ya😊🙏

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!