Tak salah ada orang yang bilang, 'I hate monday', karena memang itu yang terjadi padaku setiap waktu. Sejak masih duduk di bangku sekolah, aku paling benci hari senin. Karena di hari senin selalu ada upacara, pelajaran yang memusingkan, dan kenangan tentang mantan. Tunggu, kenapa tiba-tiba ada kata mantan di sini?
Oke, kembali ke hari senin, sampai sekarang ketika sudah bekerja di sebuah perusahaan elit pun aku tetap membenci hari senin.
"Beb, bagaimana persiapan presentasimu? Penjualan minggu ini masuk target, gak?"
Hah... ini nih yang bikin malas mengawali hari. Presentasi dan target penjualan.
"Lho kok malah bengong sih?"
"Berisik banget sih. Ini masih pagi dan kamu udah nyerocos aja kayak burung beo," sungutku sebal.
Oh ya, dia adalah Trianawati Ayudya. Sahabatku dari SMA. Entah takdir atau kutukan, sejak kelas 1, kuliah, hingga kerjapun kami bisa selalu bersama. Sahabat baikku yang lucu, gemesin, dan menjengkelkan di waktu yang berbeda. Hehe
Sedangkan aku adalah Annisa Hapsari, bapak memberi nama itu berharap agar aku bisa menjadi wanita yang seperti bidadari. Padahal kalau dipikir-pikir, sifatku sangat jauh bila dibandingkan dengan bidadari surga. Bayangkan saja, sampai sebesar ini aku masih suka naik pohon, mengusili orang-orang, dan banyak lagi kelakuan absurd lainnya. Semoga saja bapak tak malu pada bidadari nantinya karena menamai anaknya Hapsari padahal kelakuannya mirip lutung kasarung.
"Kamu kenapa sih sensi banget? Apa keinget mantan?"
Uhuk! "Kenapa dengan mantan?"
"Ya, mungkin saja kamu keinget dia karena ini kan hari senin. Senin saat dia menembakmu dan senin saat dia memutuskanmu. Haha," tawanya sungguh sangat keji.
Aku menatapnya jengah, "Sudah kubilang berkali-kali, buanglah kata mantan di tong sampah kalau perlu ke septic tank sekalian. Aku kesal karena target penjualanku kurang memenuhi syarat. Coba bayangkan, pak Udin pasti menghabisiku saat meeting nanti. Hahhh ... apa yang harus kulakukan?" Nama sebenarnya manager marketing kami adalah pak Syarifudin, tapi kami berdua lebih suka memanggilnya pak Udin, tentu saja di belakang orangnya.
Setiap senin, para karyawan harus menyetorkan hasil rekapan penjualan para sales. Jika hasilnya kurang memenuhi target maka bisa dipastikan bonus tak akan didapatkan.
"Sssttt ... " Tri menatap sekitar kemudian mendekatiku dan berbisik, "tenang saja, aku dengar dari Aira bahwa meeting nanti tidak akan membahas tentang target tapi rencana pemindahan pak Udin ke cabang di kota lain." Aira adalah sekretaris pak Udin.
"Apa? Ini serius?" tanyaku ikut berbisik.
"Yap! Kata Aira yang akan menggantikan pak Udin adalah anaknya big boss. Jadi, santai saja jangan terlalu berpikir tentang target."
"Ini baru berita bagus. Huahh ... aku suka hari senin." Aku tersenyum lebar.
"Aku malah lebih penasaran dengan penggantinya pak Udin. Karena anaknya big boss jadi pasti dia seumuran dengan kita. Pasti ganteng."
"Hmm ... tak bilangin mas Zaenal baru tahu rasa." Mas Zaenal adalah pacar Tri dari kuliah yang kini bekerja di Bandung. Mereka menjalani hubungan jarak jauh saat ini.
"Eh, jangan dong. Aku kan cuma bercanda. Hehe. Cuma buat cuci mata di kantor, Beb. Cintaku cuma buat mas Zaenal tersayang."
Aku memasang ekspresi seolah sedang mual. Tri hanya tertawa sambil melempariku map.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Berita dari Tri tadi pagi memang bukan isapan jempol. Meeting hari ini yang biasanya selalu serius dan menegangkan kini malah berubah menjadi keharuan dan kesedihan. Hal ini tak lain dan tak bukan karena pak Syarifudin mengumumkan bahwa dirinya akan dipindah tugaskan di cabang kota lain. Sontak kabar ini mengagetkan banyak orang, tentunya selain aku dan Tri.
Sebenarnya pak Syarifudin adalah manager yang baik dan royal, selama target terpenuhi. Tak jarang dia mentraktir anak buahnya selepas pulang kerja, atau mengundang makan-makan di rumahnya ketika akhir bulan. Baik kan.
"Jadi, di senin terakhir saya di sini, saya mengucapkan banyak terima kasih karena kalian sudah menjadi bagian dari hidup saya. Kalian adalah kumpulan orang-orang hebat, yang mampu berjuang dan berusaha demi memenuhi target perusahaan. Kalianlah yang mengajarkan pada saya arti pengorbanan, perjuangan, kebahagiaan, dan rasa peduli. Kalianlah yang terbaik. Jadi selepas saya pergi, saya berharap kalian pun mengajarkan pada kepala bagian yang baru tentang hal itu."
Aku melihat beberapa karyawan wanita menitikkan air mata bahkan sampai terisak mendengar pak Syarif berbicara dengan suara yang lembut. Bagi kami pak Syarif bukan hanya sekedar bos tapi juga teman, sahabat dan bapak kedua. Satu persatu karyawan menyalami pak Syarif, bahkan ada yang memeluknya.
Tiba saatnya aku menyalaminya. "Nisa, berusaha terus mengejar targetmu, ya. Jangan malas-malas."
"Siap, Pak. Bapak jaga kesehatan ya dan jangan lupakan saya."
"Mana mungkin saya lupa pada karyawan yang diam-diam memanggil Udin di belakang saya? Kamu kira saya OB?" ujarnya tersenyum menggoda.
Ehh? Duh malunya. Ternyata dia tahu tentang kebiasaanku dan Tri. Buru- buru aku pamit dan keluar ruangan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Seminggu berlalu dan belum pernah kulihat manager yang baru. Tri bilang dia akan datang hari ini. Desas desus menyeruak di kantor bahwa manager baru itu ganteng dan cowok idaman banget. Entahlah, aku sendiri juga tak terlalu memikirkannya.
Sejak pagi, sudah ramai karyawan yang bergosip. Memang anak-anak ini, gak ada bos bukannya mengerjakan laporan malah asyik ngumpul di mejanya Aira.
Aku perhatikan juga dandanan mereka lebih wah daripada biasanya. Si Aira misalnya, dia kelihatan feminim banget dengan baju, rok, dan tas pink. Tak lupa Sasha, teman seberang meja, dia me-rebonding rambutnya hingga kelihatan lurus kayak jalan tol. Apalagi Jenni, dia tampil dengan bibir dan pipi semerah saos bakso. Aku hanya geleng-geleng kepala.
"Beb, si bos baru kapan datangnya ya? Perasaan ini sudah mau jam makan siang tapi belum kelihatan batang hidungnya," Tri kelihatan gelisah sambil sesekali melihat pintu masuk.
Ini lagi, Trilala Trilili, apaan coba pake maskara dan eyeshadow yang sumpah gak nyambung banget dengan warna kulitnya. Istilahnya cabe hijau nabrak sama kue kacang. Apa hubungannya? Ya, pokoknya gak nyambung aja.
"Ishh, ini anak ya kebiasaan. Ditanya bukannya jawab malah bengong."
"Aku gak bengong, Say. Cuma bingung aja lihat kamu. Ngapain coba dandan gak jelas kayak gini?"
"Hehe. Cantik gak? Tadi aku minta didandani bibi lho."
Aku menepuk jidat. Pantes saja warnanya itu Joko Sembung bawa golok, harusnya dia mah dandan di salon, ini malah minta pembantu buat dandanin.
"Cantik gak, nyeremin iya. Udah sekarang kamu ke kamar mandi, hapus tuh make up terus kita ke kantin. Daripada di sini jamuran nunggu bos baru mending makan bakso."
"Good idea."
Selang setengah jam kemudian, kami sudah berada di kantin. Suasana masih sepi, karena memang jam istirahat kurang setengah jam lagi. Dua mangkok bakso dan dua gelas es jeruk pun sudah terhidang membuat air liurku ingin menetes.
Tanpa ragu kutuangkan 5 sendok sambal. Tri hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuanku.
"Masih aja bandel. Udah tahu punya maag, malah makin dibanyakin sambalnya."
Aku hanya mengangkat bahu, cuek. Perlahan kuseruput kuah bakso. Hmm... kurang pedas. Tambah lagi 2 sendok.
Di tengah acara makan kami, tiba-tiba Tri tersedak. Aku langsung memberinya es jeruk. Dia masih terbatuk-batuk dan menepuk dadanya pelan.
"Kenapa sih?"
"Uhuk! Man- uhuk uhuk man- uhukk ."
"Mandor?" aku kembali menyuap bakso hingga mulutku penuh.
Sambil terbatuk-batuk Tri menunjuk ke arah belakangku. Aku yang penasaran segera berbalik dan detik berikutnya, gantian aku yang tersedak. Pentol yang sedang aku kunyah mendarat mulus di lantai dengan cipratan kuah dan liur tentu saja. Sedangkan aku terbatuk hebat karena rasa panas yang memasuki hidung akibat kuah yang panas dan pedas.
"Nis, kamu gak apa-apa?"
Oh sial, suara ini.
"Annisa Hapsari, kenapa mantanmu yang tengil ini ada di sini?!!" teriak Tri histeris.
Dunia memang tak selebar kolor mantan, ups daun kelor maksudnya. Sepertinya quote itu menggambarkan keadaanku saat ini. Bayangkan saja, berapa sih luas Jakarta kok bisa-bisanya aku gak tahu kalau aku bekerja di perusahaan milik sang mantan. Kan akhirnya jadi begini. Dan kenapa pula dia tiba-tiba muncul dihadapanku seolah punya jin lampu, gak sekalian aja tuh dia gunakan kekuatannya buat pergi ke neraka. Mantan, go to the hell.
Bicara tentang mantan, pasti kalian bingung siapa sih mantan yang bolak-balik aku sebut. Hehe. Dia adalah Andre Wijaya Kusuma, cowok yang dianugerahi kesempurnaan oleh Tuhan. Ini memang terkesan tidak adil, tapi dia seakan merebut semua elemen yang harusnya dibagi rata dengan cowok bumi lainnya. Tampan, pintar, kharismatik, tinggi, putih, dan jangan lupakan kekayaan keluarganya.
"Pokoknya Nis, kita harus resign dari tempat ini secepatnya. Jujur aja, aku udah eneg lihat muka si songong itu," ucap Tri berapi-api.
Sebenarnya sejak kejadian di kantin tadi, Tri tak henti-hentinya bicara tentang resign. Aku maklum, karena dibandingkan aku mungkin dia yang lebih sebal melihat Andre. Sahabat baik harusnya seperti itu kan, ikut merasa tersakiti melihat sahabatnya sakit. Hehe.
Untuk kesekian kalinya, aku menghela nafas panjang. "Udahlah, Say. Mungkin udah takdirnya dia jadi manager kita. Lagian kalau kita resign, belum tentu juga kita dapat pekerjaan yang lebih baik dari ini."
"Kok kamu jadi lembek gini sih?" Tri menatapku curiga, " Ohh ... jangan bilang kalau kamu masih mengharapkan dia?"
"Najis! Aku tuh cuma berpikir realistis, Tri. Sekarang itu mencari pekerjaan udah ibarat kayak nyari jodoh di Samudera Atlantis. Ribet dan sulit. Apalagi .... "
"Apalagi apa?"
"Ya, kamu kan tahu sendiri aku butuh banyak uang buat kuliahnya Hanafi." Hanafi adalah adik bungsuku. Saat ini dia sedang menempuh pendidikan sarjana. Bisa dibilang aku adalah tulang punggung keluarga sejak bapak pensiun.
Tri menghela nafas. Menatapku dengan ekspresi yang entah. Pandangan kami tertuju pada kantor manager yang sudah ramai dipenuhi dengan para karyawan yang ingin bersalaman dengan bos mereka yang baru, terutama kaum hawa.
"Nah, Tri. Bukannya kamu tadi pagi paling semangat mau menyambut manager kita. Kenapa gak sekalian aja kamu ke sana dan salaman?" tanyaku berusaha mencairkan suasana.
"Gak sudi! Kalau tahu yang datang tadi si sontoloyo itu, mana mau aku bela-belain bangun pagi dan dandan kayak orang gila."
Aku hanya tertawa melihatnya melontarkan sumpah serapah. Saat itulah kulihat Andre keluar dari ruangannya, dan tatapan kami bertemu sekilas sebelum perhatiannya teralihkan dengan suara riuh di sekitarnya.
Aku menahan nafas dan memegang dadaku yang nyeri, saat itulah aku sadar mungkin rasa itu masih berdenyut untuknya.
****************
FLASHBACK ON.
Pagi ini hari senin, rasanya malas sekali bangun dan berangkat sekolah. Apalagi tadi malam, Tri terus-menerus menelponku, dapat gratisan katanya jadi mubazir kalau tidak digunakan. Yaelah Maemunah, kenapa gak sekalian telpon Perdana Menteri Malaysia supaya tayangin episode baru Upin dan Ipin?
"Nis, Annisa. Cepat bangun, Nak. Nanti shubuhnya telat lho!" teriak ibu dari luar kamar.
"Iya Bu, ini sudah bangun," balasku dengan mata dan iler yang masih menempel erat.
Merem dulu deh, lima menit lagi, batinku.
Dok Dok Dok
"Kak, ngapain aja sih di dalam? Ibu udah nyuruh sarapan tuh. Kakkk!!"
"Iya berisikkk!" Aku melemparkan bantal ke arah pintu. Hanafi sialan gara-gara gedoran pintunya jidatku sampai terbentur lantai.
Aku melihat jam dan menjerit, " Ya ampun, jam 6. Astogehh!"
Buru-buru mengambil seragam di lemari dan lari ke kamar mandi. Si ibu yang sedang menata makanan di meja makan hanya geleng-geleng kepala.
"Makanya to, Nduk. Kalau sudah bangun itu mbok ya langsung bangun, jangan tidur lagi. Akhirnya malah kesiangan to. Anak gadis kok bangunnya siang, nanti jodohnya dipatok ayam baru tahu rasa kamu." Omelan ibu terdengar samar dari dalam kamar mandi.
"Biarin aja, Bu. Biar ngenes jadi jomblowati seumur hidup." Hanafi tertawa mengejek.
"Hush. Gak boleh gitu sama kakakmu. Pamali."
Aku tak menyahut dan langsung melaksanakan mandi bebek. Hal yang sudah sering kulakukan karena bangun siang seolah jadi kebiasaanku.
Selesai mandi, ganti seragam, dan berdandan ala kadarnya, aku langsung menuju meja makan. Nampak nasi goreng yang masih mengepul dan telur dadar yang dibagi empat.
"Hmm ... enak, Bu."
Tin Tin
"Tuh, lihat. Tri udah jemput. Kamu itu kok mesti selalu telat. Kasihan kan Tri masih harus nunggu kamu." Kali ini bapak yang bersuara.
"Hiahin aha lah, Pak. Salah hendihi telhon hampai maham, " sahutku dengan mulut penuh nasi goreng.
"Kalau makan itu ditelan dulu."
Aku segera menelan nasi goreng kemudian minum dengan tergesa. Mengambil tas dan buru-buru salim ibu dan bapak.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sampai di luar aku cengengesan melihat Tri duduk di motor bebeknya dengan bibir maju lima senti.
"Kenapa tuh bibir? Habis dicium kuda nil ya?"
"Sembarangan kalau ngomong. Kamu tuh kebiasaan ya, selalu aku disuruh nunggu."
"Yaelah. Belum juga lima menit. Nih, Abunawas disuruh nunggu ayam jantan bertelur aja gak protes. Lagian ini kan gara-gara kamu juga. Siapa suruh nelpon sampai malam?"
"Halah ngeles aja, kek bajaj. Udah buruan naik, ntar tak tinggal lho."
Tak lama, kami berdua pun sampai di sekolah. Senin yang seperti biasanya, upacara bendera. Dan seperti biasanya pula, aku dan Tri buru-buru menempati tempat paling belakang di bawah rimbunan pohon.
"Eh, lihat! Itu bukannya Andre ya yang jadi ketua upacaranya?" bisik Tri takut ditegur guru yang berjaga di belakang kami.
"Mana?" Aku sampai berjinjit melihat ke depan. Begini nih, nasib orang pendek. "Iya benar. Duh, tahu gitu tadi ambil tempat di depan aja biar kelihatan," keluhku. Pantas saja aku heran melihat anak perempuan tadi berebut tempat di depan. Ternyata ini alasannya.
"Giliran Andre aja yang jadi ketuanya minta di depan."
"Hehe. Kan lumayan bisa cuci mata. Kapan lagi hayo lihat yang bening-bening."
Andre Wijaya Kusuma. Ahh, dengan apa aku harus menggambarkan dia. Menjadi cowok idola sejak pertama kali masuk sekolah karena ketampanan dan kepintarannya. Kami beda kelas tapi satu ekskul, teater. Setiap kali bertemu dengannya hatiku selalu berdebar. Nano-nano pokoknya. Apalagi kalau kami beradu akting, rasanya mau pingsan saja. Tatapan matanya, ahh...
"Annisa, ngapain kamu senyam-senyum? Ayo hormat pada sang Saka," ucap pak guru sambil menepuk pundakku.
Aku terkejut dan bersungut sebal karena guru ini berhasil membuyarkan lamunanku. Sekilas kulihat Tri tertawa kecil sambil menjulurkan lidahnya. Sial!
Siang itu kantin tampak penuh, bahkan aku dan Tri harus rela makan semeja dengan 6 orang. Sesak euy.
"Ssst, Nis. Andre Andre," bisik Tri.
Aku segera menoleh ke belakang dan memang mendapati Andre tengah berjalan ke arahku. Entah kenapa wajahku mulai menghangat padahal dia belum tentu juga akan menemuiku. Aku berlagak tak peduli dan kembali melanjutkan makan bakso.
"Nis, bisa minta waktu sebentar?"
Uhuk! Sial! Karena kaget aku sampai tersedak bakso yang sedang kumakan. Andre dengan sigap memberiku minum dan tanpa rasa anggun sama sekali aku menghabiskannya dalam sekali teguk.
"Syukurin." Tri malah tertawa terbahak melihatku. Dasar oneng!
"Kamu gak apa-apa?"
"Ehem ehem. Gak apa-apa kok, Ndre. Duh, maaf ya karena kaget aku jadi kesedak. Hehe." Sumpah, rasanya malu banget. Dia ilfeel gak ya lihat aku brutal kayak gitu?
Andre tersenyum lembut, duh lembutnya selembut selimut bulu. "Gak apa-apa kok. Oh ya, bisa minta waktu sebentar gak? Aku mau bicara beberapa hal sama kamu."
"Oh iya, boleh kok," teriakku antusias.
Dukk
"Aduh!" Sialan, Trilala Trilili, dia sengaja menendang kakiku. Kulihat dia melotot sambil memutar bola matanya. Ehmm ... mungkin maksudnya aku terlihat terlalu antusias, jadi harus jaga image.
"Kenapa?"
"Ehm ... gak apa-apa. Aku lupa kalau aku lupa bawa dompet, jadi makan kali ini ini ditraktir sama Tri. Tolong ya, Tri."
Langsung kutarik tangan Andre dan membawanya berlari ke luar kantin. Samar terdengar Tri berteriak memanggil namaku dengan sumpah serapahnya. Haha.
Kami berjalan menuju sebelah musholla yang lumayan sepi tanpa ada yang memulai pembicaraan. Aku terlalu bahagia bisa berjalan bersisian dengannya hingga tak sanggup mengucap sepatah katapun. Sedangkan Andre, entahlah apa yang dipikirkannya.
Sampai musholla, kami berhenti dan berteduh di bawah pohon beringin.
"Jadi kamu ingin bicara apa, Ndre?"
"Ehmm, anu sebelumnya, ehmm, maaf ya, tapi bisa gak kamu lepasin tanganku dulu?"
Aku kaget dan melihat tanganku ternyata memang masih memegang tangannya. Sontak langsung kulepaskan. Duh, ya ampun. Sangking senangnya aku sampai tidak sadar kalau sejak tadi bergandengan tangan dengannya. Pantas saja dia diam saja dari tadi, pasti dia malu karena dilihat anak-anak di jalan tadi. Ya ampun, wajahku terasa panas. Aku yakin warnanya semerah tomat.
"Ma- maaf, Ndre. Aku gak sengaja," ucapku sambil memalingkan wajah. Malu.
"Oh ya, gak apa-apa kok. Aku malah senang, ehh ... bukan, maksudku aku gak apa-apa kok dipegang terus. Ehh .. maksudnya .... " Kini kulihat Andre malah gugup sendiri. Bolehkah kuartikan itu tanda bahwa dia grogi? Kalau grogi berarti ada rasa, kan?
Senyum sumringah kuberikan padanya, "Oh ya, jadi ada apa?"
Andre berdehem sebentar. "Begini, tadi aku diberitahu pak Yusuf bahwa jadwal lomba teater akan diadakan satu bulan ke depan. Maka dari itu, kita diusahakan latihan setiap hari. Bagaimana? Kamu bisa, kan?"
Pak Yusuf adalah pembina ekskul teater, Sedangkan Andre adalah ketuanya. Dalam drama kali ini, kebetulan aku dan Andre dipasangkan sebagai suami istri. Aihh, senangnya. Coba kalau terjadi di dunia nyata.
"Bisa kok. Ehm ... tapi kalau bisa mulai besok saja ya. Hari ini aku minta izin dulu sama bapak ibu."
"Sipp. Lagipula latihan tiap harinya dimulai minggu depan kok."
Aku mengangguk sambil tersenyum, "Makasih infonya. Ada lagi?"
"Gak kok. Kamu boleh kembali."
Aku membalikkan badan dan berkomat-kamit. 'Ayo, pangil aku dong. Panggil aku.'
"Nisa!"
'Yes!' Aku berbalik, "Ya?"
Andre berjalan mendekat, "Ehmm ... anu ehmm." Cukup lama Andre ber-amem amem hingga akhirnya dia terdiam sebentar. "Maaf, gak jadi. Ya udah, aku balik dulu ya."
What the!! Aku hanya bisa memandang punggung Andre yang mulai menjauh dengan kesal. 'Kukira tadi mau nembak ternyata cuma
mau ngetes suara. Ihh, sebel!!'
********************
Aku ingat hari itu, senin tanggal 28 oktober, dalam memperingati bulan bahasa maka salah satu kampus di kotaku mengadakan perlombaan teater yang diikuti peserta dari berbagai daerah. Setiap peserta diberikan satu ruangan khusus yang bisa digunakan untuk tidur dan menaruh barang-barang untuk keperluan tampil. Memang kebanyakan dari peserta menginap di sana agar tidak terburu-buru menyiapkan diri keesokan harinya, karena lomba memang dimulai pagi hari.
Pagi ini jam 6, kelompok kami melakukan latihan sedikit agar dapat mengingat adegan serta dialog yang akan ditampilkan nanti. Lagi serius-seriusnya latihan, kusempatkan melirik Andre yang sedang membaca naskah dengan serius. Uhh, ademnya. Kalau lagi serius seperti itu, kegantengannya bertambah berkali-kali lipat.
"Matamu lihat kemana sih, Nis. Aku itu lawan mainmu kenapa jadi lihat ke arah lain sih?" ucap Hida kesal. Dia adalah teman sekelasku tapi di sini dia berperan sebagai anakku.
"Hehe, maaf ya. Tadi malam aku kurang tidur jadinya gak konsen," kilahku.
"Yang serius dong. Kita kan mau tampil tadi jam 9. Kalau kamu sampai gak konsen gini, bisa berabe nanti."
"Iya iya maaf."
Jam 7 latihan dihentikan dan kami harus bersiap-siap. Setelah mandi dan sarapan, kami pun mulai mempersiapkan diri untuk tampil. Seksi perlengkapan mulai mendandani para aktor dan sebagian lagi mengangkut barang yang dibutuhkan saat pementasan ke gedung perlombaan.
Pada pementasan kali ini menceritakan tentang kisah kerajaan di zaman dulu. Pada awalnya kerajaan itu begitu damai, namun malapetaka datang ketika seorang musuh dari kerajaan lain mulai menyusup ke dalam kerajaan. Dia membuat kekacauan dengan mengadu domba para anak permaisuri. Siasatnya berhasil karena mereka mulai bertengkar karena berebut kekuasaan dan tahta.
"Nah, sudah siap. Ya ampun, Nis. Kamu cantik banget. Cocok jadi permaisuri beneran," seloroh kak Linda, murid kelas XII.
Otomatis perhatian seluruh ruangan tertuju padaku, dan beberapa di antara mereka memuji kecantikanku.
"Iya benar banget Nis, kamu manglingi. Jadi tambah cuantikk. Kalau kayak gini mah aku jadi mau jadi pacarmu," celetuk Diki, murid kelas sebelah XI D.
Huuuuu. Terdengar sorakan dan selorohan teman-teman pada Diki. Sedangkan dia hanya tertawa menanggapi.
"Jangan mau, Nis. Itu sih enak di Diki gak enak di kamu."
"Diki ganjen amat. Sok-sokan mau pacaran, kerjaannya aja ngutang terus di warungnya Mpok Leha. Mau dikasih apa pacarmu nanti."
Suasana makin bertambah ramai seiring Diki yang berkilah. Tanpa sadar pandanganku memerangkap mata Andre. Saat itulah, dunia seakan terhisap sehingga keramaian di sekitar menjadi hilang. Senyap. Dia terlihat tampan dengan pakaian raja yang melekat pas pada tubuhnya.
"Nis." kak Linda menepuk pundakku sehingga membuatku berjengit kaget.
"Eh iya?"
"Kok malah ngelihatin Andre? Suka ya?" bisik kak Linda di telingaku.
Aku hanya tertunduk malu tak berusaha menjawab. Wajahku mulai memanas saat pandangan kami bertemu lagi. Ya ampun, kenapa dia terus melihatku sih? Aku kan jadi GR nanti.
"Hayoooooo. Lihat-lihat lagi. Ciyeeeee," goda Linda.
"Hush, apaan sih? Jangan keras-keras dong. Nanti yang lain dengar."
"Jadi kamu ngaku nih, kalau suka sama Andre? Ihiirrr."
"Duh, Kak Linda." Wajahku bertambah hangat. Malu.
Kak Linda tambah mendekatiku, "Jangan khawatir, kalau aku lihat-lihat sepertinya dia juga suka padamu."
Aku membulatkan mata dan menatap kak Linda, "Serius Kak? Darimana Kakak tahu?"
"Lihat saja pandangan matanya tak pernah lepas darimu sejak tadi. Sejak kamu mulai dirias. Aku berulang kali memastikan apakah kamu yang dilihat olehnya dan ternyata benar. Kamu berhasil menangkap ikan yang bagus,Nis." Kak Linda mengacungkan jempolnya.
Dadaku berdebar keras. Berbagai pertanyaan muncul dibenakku. Benarkah yang dikatakan kak Linda bahwa Andre suka padaku? Benarkah dia terus memperhatikanku sejak tadi?
Kedatangan pak Yusuf menghentikan aktivitas gurauan kami. Beliau berkata bahwa kami harus segera pergi ke tempat perlombaan, karena sebentar lagi giliran kami yang tampil.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!