Vita tersenyum bahagia melihat suaminya kini sudah terpejam setelah kegiatan halal yang baru mereka beberapa menit yang lalu. Akhirnya, setelah beberapa hari yang lalu menikah—kini mereka sudah bisa menjadi suami istri yang sesungguhnya. Vita masih menoleh ke samping, tangan mungilnya meraba wajah suaminya dengan gerakan memuja. Betapa sempurnanya Tuhan menciptakan laki-laki ini.
Dikecupnya sekali lagi bibir yang tadi membuatnya berkali-kali melenguh tersebut, lalu berpindah ke bagian pipi. Namun pada saat tangannya akan kembali meraba bagian dada suaminya, tiba-tiba tangannya terhenti. Bukan—bukan Vita yang menghentikannya, tetapi tangan Yudha.
Senyumnya kembali terukir karena Yudha merespons gerakannya. Itu artinya Yudha kembali terpancing. Ya, pikirnya demikian sebelum akhirnya nama laknat keluar dari bibir suaminya.
“Rahma ....”
DEG!
Seperti dipelintir hati Vita. Bagai terpelanting jauh dari atas jurang yang terjal. Dia sontak berbalik badan, tubuhnya bergetar disusul dengan bahu yang terguncang. Ia berjanji tidak akan pernah melupakan hari ini seumur hidupnya. Malam pertama, suaminya malah menyebut nama wanita lain. Ini adalah kenangan termanis dan terpahit yang ia rasakan secara bersamaan.
***
-Awal Pertemuan-
BRAKK!!
Suara benturan mobil disusul dengan teriakan seorang perempuan.
“Astaghfirullah ...,” desah Yudha mengeluhkan kecerobohannya telah menabrak seorang perempuan. Karena terus menerus melihat layar ponsel membuat dia tidak fokus melihat jalanan.
Pria berparas rupawan itu langsung turun dari mobilnya untuk memastikan keadaan wanita tersebut. Dilihatnya, seorang gadis berpakaian laki-laki sudah tergeletak di depan mobilnya dalam keadaan pingsan. Sedang di sekitar tubuhnya berceceran kue-kue pasar yang tumpah dari keranjangnya. Sehingga dapat Yudha perkirakan, dia adalah gadis penjual kue.
Yudha melihat kedua telapak tangannya. Gerakannya terlihat ragu akan menyentuh gadis ini lantaran belum pernah sekalipun tangan itu menyentuh perempuan selain ibunya sendiri.
Yudha menoleh ke sana kemari mencari-cari orang yang dapat dimintai pertolongan. Minimal, sekadar bertanya ke mana jalan keluar untuk menuju ke klinik terdekat. Tetapi sayangnya tidak ada satu pun orang yang melintas. Entah desa apa ini yang sangat rimbun sekali seperti hutan belantara. Pria itu tersesat.
“Bismillah ...,” ucap Yudha mengangkat tubuh gadis tersebut ke dalam mobilnya.
Namun setelah ia kembali menjalankan mobilnya selama beberapa meter, mobil tersebut malah mogok total. Bensinnya benar-benar habis.
Oh ya, ampun. Kenapa apesnya bisa berbarengan begini? Ke mana ia harus mencari pertolongan? Sedangkan jalanan masih sangat sepi.
Yudha tak ingin menyerah begitu saja, lelaki bertubuh tegap dan berkulit kuning langsat tersebut berjalan kaki menyusuri jalan sempit tersebut selama beberapa puluh meter, sebelum akhirnya dia menemukan sekumpulan pemuda yang sedang mengopi di warung.
Mereka menatap Yudha dengan mata menelisik. Mungkin heran dengan kemunculan pria tidak dikenal dikampungnya.
“Assalamualaikum, permisi. Mau tanya, apa di dekat sini ada POM bensin?”
“Bensin?” ulang mereka bertanya dengan dahi yang sama-sama mengerut.
“Iya, saat ini saya sedang kehabisan bensin,” kata Yudha memperjelas.
Kemudian salah satu pria berambut pirang menanyainya, “Di sini tidak ada bensin, tapi kalau situ mau saya bantu, saya bisa bagi. Tapi kenapa motormu tidak kau bawa?”
“Kendaraan saya bukan motor, Mas. Tapi mobil,” jawab Yudha.
“Wih, orang kaya dong kamu,” sahut yang lain lalu terlihat saling melirik satu sama lain.
“Oke, saya akan membantumu ke pom bensin terdekat,” ucap salah satu dari mereka yang berambut pirang tersebut. Pemuda yang berpakaian awut-awutan itu, menaiki motor berisiknya dan mempersilakan Yudha untuk duduk di belakangnya. Yudha yang selalu berpikir positif itu langsung membonceng di atas motor.
Saat berjalan, Yudha meminta untuk balik ke tempat tadi sebelum ia tinggalkan. “Kita ke balik ke sana dulu, Mas.”
“Tidak langsung saja?”
“Sebenarnya ... tadi saya nabrak orang,” ungkap Yudha tak enak hati.
“Lah kok bisa? Kenapa baru ngomong?” pemuda tersebut terkejut dengan mata yang sedikit dibelalakkan.
“Tolong jangan salah sangka. Saya nggak sengaja. Tapi dia sepertinya tidak apa-apa, hanya luka ringan. Mungkin dia terlalu kaget dan syok jadi akhirnya pingsan.”
Sesampainya di tempat tadi, Yudha langsung membuka pintu mobil belakang.
“Lah, sih si Vita,” ucap pria tadi setelah melihatnya.
Yudha tersenyum agak lega karena akhirnya ada yang dapat mengenali gadis yang baru saja ditabraknya. “Mas kenal gadis ini?”
“Dia anaknya Pak Rido. Tapi baru meninggal kemarin, bunuh diri di dekat sini. Makanya jalanan sepi. Kan horor.”
“Berarti tahu rumah gadis ini di mana?”
“Ya, tahu. Nggak jauh dari sini.”
“Mas mau bantu saya antar dia ke klinik terdekat?” tanya Yudha lagi.
“Iya ... boleh.” Terlihat agak malas pria tersebut menjawabnya.
“Jauh?”
“Lumayan,” jawabnya singkat. Tetapi karena tidak memungkinkan untuk membawa Vita dengan motor, pria yang berambut pirang karena semir tersebut meminta bantuan temannya yang lain untuk menyewa mobil coak. Tak lama menunggu, akhirnya Yudha berserta korbannya di antar ke klinik terdekat.
Tetapi pada saat ia sampai dan akan membayar mobil coak itu, Yudha baru menyadari bahwa dirinya sudah kehilangan dompet beserta ponselnya. Si pemilik mobil coak itu pun akhirnya kesal dan serampangan menyerapahinya.
Yudha sangat geram. Berapa kali ia mendapat kesialan hari ini? Yudha terus merutuki kecerobohannya sendiri. Sekarang apalagi yang harus Yudha lakukan? Tidak ada lagi yang tersisa terkecuali pakaian yang menempel pada tubuhnya. Ponsel, dompet, uang, identitas, semuanya raib. Sekarang ia harus melapor ke mana? Sementara kondisi gadis itu juga harus ia tanggung jawabi.
“Apa ini kelakuan para pemuda tadi?” gumam Yudha. “Bagaimana aku tak suudzon, aku hanya bersama mereka terakhir kali.”
“Gimana caranya aku balik?” gumam Yudha. Sementara ia tak menghafal satu pun nomor keluarganya terkecuali nomornya sendiri.
Lantas beberapa saat kemudian, gadis itu tersadar, membuka mata dan menoleh ke samping tempat Yudha duduk.
“Maaf, saya yang menabrakmu tadi,” kata Yudha sesaat setelah gadis itu mengetahui keberadaannya.
Gadis itu hanya menggeleng dan tersenyum samar, “Tidak apa-apa,” jawabnya, lalu mengubah posisinya menjadi duduk bersandar. “Tapi saya harus pulang.”
“Ya, tentu akan mengantarmu,” bahkan bukan hanya itu. Mungkin malam ini aku juga akan minta bermalam di rumahmu, lanjut Yudha dalam hati. “Saya Yudha dari Jakarta.”
“Saya, saya ... Vita,” jawab gadis itu menundukkan pandangan. Ia juga melihat lutut kakinya yang tertabrak bagian tubuh mobil, kini sudah diperban dan rasanya sakit sekali.
“Sekali lagi, saya minta maaf karena telah membuatmu kesusahan berjalan.”
“Mungkin ini ujian, saya tidak apa-apa.” Sikapnya yang sabar, tenang dan ikhlas atas apa yang diterimanya membuat Yudha menjadi kagum.
“Ada hal yang harus saya ceritakan padamu,” kata Yudha setelah beberapa saat kemudian. “Dompet dan ponsel saya hilang pada saat mengantarkanmu kemari. Sudikah kiranya saya tinggal di rumahmu dulu selama beberapa waktu, sebelum saya mendapatkan bantuan?”
Raut wajah Vita berubah menjadi tidak enak. Oleh karenanya, dia kembali menunduk. “Maafkan saya, karena saya, Mas Yudha jadi kehilangan semuanya.”
“Itu sudah menjadi kewajiban saya, saya bersalah dan harus bertanggung jawab. Walau pada akhirnya malah justru lebih merepotkanmu lagi.”
“Sama sekali tidak, Mas Yudha,” ucap Vita tak berselang lama. “Tapi rumah sakit ini apakah sudah dibayarkan?”
“Oh, sudah, sudah. Kamu tidak perlu khawatir kalau untuk itu.”
Ya, dia telah menggadaikan jam tangan mahalnya di sini sebagai jaminan.
“Kalau begitu, saya mau langsung pulang saja.”
“Baiklah, kalau begitu saya ikut denganmu,” kata Yudha tanpa berpikir panjang.
***
Yuk dukung dengan tap tombol like dan love.
Keduanya sudah sampai di depan rumah Vita. Rumah sederhana di tengah-tengah perkebunan salak. Tempatnya adem karena banyak sekali pepohonan. Sedangkan jarak dari satu rumah ke rumah lainnya cukup jauh, pertanda bau-bau kemiskinan masih terasa. Suhu udara di sana sangat dingin. Yudha sempat mengira ruangan ini memakai AC, ternyata memang alami dari alam.
“Bagaimana dengan mobilmu?” tanya Vita kepada Yudha pada saat mereka masuk ke dalam rumah. Tetapi dengan kondisi Vita yang dipapah karena masih kesulitan berjalan.
“Sebelum pergi sudah dipinggirkan oleh pemuda-pemuda di sini.”
“Jadi kau meminta tolong dengan mereka?” tanya Vita dengan raut wajah tak biasa.
“Tentu saja aku meminta tolong mereka. Lalu siapa lagi? Hanya ada mereka waktu itu. Di sini sangat sepi sekali.”
“Mereka itu kumpulan pemuda nakal. Kamu lihat saja pakaiannya. Tiap hari pekerjaan mereka itu cuma menongkrong di depan warung sambil mengincar mangsa. Nggak pandang bulu. Laki, perempuan, atau orang tua sekalipun.” Vita menjelaskannya dengan raut wajah yang penuh dengan luapan amarah.
“Mangsa bagaimana?” tanya Yudha.
“Kamu itu pura-pura nggak tahu atau memang polos sih?” tanya Vita heran. “Mungkin saja dompetmu juga dicopet sama mereka.”
“Saya sudah mengira sebelumnya.”
“Lalu kenapa kamu diam saja?”
“Aku mengetahui dompetku hilang setelah mereka pergi. Ke mana aku harus mengejar?”
“Mereka harus diberi pelajaran!” kata Vita bersungut-sungut.
“Ya, terserah kau saja.”
“Kenapa terserah? Kau tidak sayang dompet dan ponselmu?”
“Lalu mau macam mana lagi, aku hanya sendiri, mereka banyak. Aku masih sayang dengan nyawaku.”
Vita hanya menatap Yudha sekilas, lantas mengalihkan pandangannya lagi setelah dia mengerti keadaan Yudha saat itu.
“Kudengar kau tinggal sendiri, Ayahmu meninggal?” Yudha melayangkan pertanyaan.
Vita mengangguk. “Beliau bunuh diri karena stres ditinggal mati istrinya.”
“Apa sangat tipis sekali iman orang-orang di sini sehingga kehilangan saja membuat mereka bunuh diri? Bukankah kita tahu, nyawa yang kita miliki pun bukan milik kita,” jelas Yudha menggebu-gebu. “Aku tak habis pikir dengan orang-orang di sini. Apa lagi dengan para pemudanya yang rusak-rusak itu.”
“Ya, begitulah,” jawab Vita tak ingin menjelaskan lebih lanjut. Dia sudah kenyang menghadapinya setiap hari dan tidak begitu mempermasalahkannya karena sudah terbiasa.
“Kamu seorang gadis, tinggal di sini sendirian dengan keadaan sekitarmu yang seperti ini. Memangnya tidak takut?”
“Justru mereka yang takut denganku,” kata Vita bersungguh-sungguh. Dari yang tampak melalui wajah dan penampilannya, agaknya Vita gadis yang berani.
“Berapa umurmu?”
“Apa perlu kujawab?”
“Aku hanya kasihan. Kamu masih muda tapi sudah tak memiliki orang tua.”
“Dua puluh,” jawab Vita singkat. Berbeda jauh dengan Yudha yang sudah berusia sangat matang.
“Lalu apa tujuanmu ke tempat ini?” Vita bertanya lagi.
“Aku mau ke rumah Kyai Hasyim asyari.”
“Kyai Hasyim?” ulang Vita bertanya. “Kyai itu ada di Desa sebelah,” jelasnya.
“Ya, aku tersesat.” Kemudian Yudha menjelaskan apa tujuannya ke tempat Kyai Hasyim. Perjalanan ini berawal dari Jakarta. Semalam, Yudha pergi tanpa memperoleh izin dari orang tuanya untuk pergi menemui Kyai Hasyim, mantan guru pesantrennya dulu ke sebuah desa yang ada di Jawa tengah. Selain untuk bersilaturahmi, dia di undang ke resepsi pernikahan salah satu teman laki-lakinya. Tetapi karena map di ponselnya sedang eror—membuatnya tersesat entah ke mana dan berakhir demikian.
“Mungkin ini akibat aku pergi tanpa izin dari kedua orang tua,” kata Yudha.
Bukan hanya Yudha, Vita juga menjelaskan bahwa dirinya seorang anak yatim piatu yang baru beberapa minggu ditinggal mati ayah dan ibunya. Ibunya mati karena penyakit, sedangkan ayahnya bunuh diri karena stres terlalu kehilangan istrinya. Oleh sebab itu, dia mencari nafkah sendiri dengan menitipkan kue buatannya ke warung-warung terdekat. Seperti apa yang dilakukannya hari ini. Tapi nahas, karena kejadian ini membuat dia tidak bisa melakukan pekerjaannya lagi sampai ia benar-benar sembuh dan kembali berjalan normal lagi seperti biasa.
“Aku akan secepatnya mencari bantuan,” kata Yuda kemudian yang sekarang sudah jauh lebih akrab dengan Vita.
Tetapi tentu saja tidak bisa melakukannya hari ini karena hari sudah mulai sore. Yudha baru akan pergi dari rumah itu keesokan harinya setelah semalaman ia tidur di ruang tamu dengan hanya memakai alas tikar.
“Kalau Mas Yudha mau menghubungi keluarga, sebenarnya aku punya ponsel walau ... jadul,” kata Vita dipelankan di akhir kalimat karena malu.
“Tapi aku tak menghafal satu pun nomor di keluargaku.”
“Payah.” Vita mencebiknya kesal. Ada-ada saja kelakuan aneh seperti dia. Masa, salah satu nomor keluarganya sendiri pun tidak hafal? Kalau sudah begini, repot sendiri ‘kan, akhirnya?
“Mas Yudha mau pergi sekarang?” tanya Vita setelah mereka selesai melakukan sarapan pagi.
“Iya, tunjukkan di mana rumah Pak RT di sini.”
“Pak RT di sini dungu dan agak tuli. Rupanya saja yang banyak omong, tapi otaknya kosong. Percuma saja Mas Yudha bertemu dengannya menanyakan banyak hal. Dia tidak akan mengerti.”
“Ya Allah. Kenapa nggak ada yang benar orang-orang di desa ini?” geram Yudha menahan emosi. “Jadi aku harus meminta tolong sama siapa?”
“Begini saja, Mas Yudha langsung ke rumah Kyai Hasyim saja. Mas Yudha jalan lurus, nanti kalau ada pertigaan belok kiri, ada perempatan lagi belok kanan, kalau ada perempatan lagi belok kiri, terus tanya saja sama warga setempat di mana rumahnya. Lumayan jauh dan maaf aku tidak bisa mengantarkanmu karena kondisiku belum pulih.”
“Pusing,” keluh Yudha membuat Vita terkekeh.
“Mas Yudha bisa naik ojek,” kata Vita kemudian. “Ada uangnya?” ucapnya berniat ingin membantu.
“Mungkin masih ada di mobil. Kamu tidak usah khawatir.”
“Jangan bohong karena merasa tidak enak denganku.” Vita menarik tangan Yudha dan memberikan uangnya kepada Yudha.
“Vita!” seru Yudha menolak.
“Ambil sajalah, aku malas berisik,” kata Vita santai.
“Tapi mungkin saja kamu sedang membutuhkannya.”
“Kamu lebih membutuhkannya,” kata Vita tak mau kalah. “Ambillah dan cepat cari bantuan. Supaya besok Mas Yudha tidak sakit lagi tidur di lantai seperti semalam.”
“Maaf Vita, aku sudah berkali-kali merepotkanmu. Terima kasih, Vita.”
Vita hanya berdeham.
Yudha keluar dari rumah setelah mengucapkan salam, namun nahas. Saat ia sedang memakai alas kaki, segerombolan warga di sana menghentikan aktivitasnya.
“Hei, mau ke mana kamu?” tanya salah satu dari mereka.
“Saya mau pergi, ada apa ya, Pak?” tanya Yudha tak mengerti.
“Apa yang kalian lakukan semalam? Tidur berdua satu rumah.”
Yudha langsung memotong, tak terima dituduh demikian. “Eh, jangan salah sangka dulu, Bapak-bapak. Saya memang menumpang tidur di sini, tapi kami tidur terpisah.” Jangankan berzina, saling mengenal saja tidak, batin Yudha ingin sekali melontarkan.
“Bohong!” celetuk salah seorang warga menggebu-gebu. “Kita seret saja dua orang ini ke Pak RT! Nggak bisa panen kampung kita kalau ada pasangan beginian dibiarkan!”
Mereka mempunyai kepercayaan, jika mendapati sepasang pemuda-pemudi yang berzina di desanya, maka semua warganya akan terkena sial. Tanah menjadi tidak subur dan tanaman menjadi tidak bisa dipanen. Padahal, murka Tuhan bukan hanya karena itu saja, tapi juga karena jauhnya jarak antara dahi dan tempat sujud. Pemahaman orang-orang ini jelas masih banyak yang keliru. Tidak ada sentuhan azan apalagi kajian, maka hampir semua warganya berkelakuan agak sedikit sesat.
Vita yang sudah mulai merasa tak nyaman tersebut langsung keluar. “Ada apa ini, Pak? Kenapa rame-rame?” tanyanya.
“Kalian berzina ‘kan semalam?”
“Jangan asal nuduh, ya!”
“Jangan percaya sama dia, Pak! Maling mana mau mengaku? Itu buktinya rambutnya basah!” salah seorang dari mereka menunjuk rambut Vita yang setengah basah.
“Saya memang keramas, tapi bukan berarti saya melakukan hal yang kotor. Hanya keramas saja tidak bisa kalian jadikan sebagai acuan bahwa kami telah benar-benar berzina,” jawab Vita membela diri.
Yudha langsung menyahut, “Biar saya jelaskan, Pak.”
“Alaaah, kami nggak percaya! Betul bapak-bapak?”
Semua berteriak menghakimi. Tanpa benar-benar bisa mengalah, akhirnya mereka tak kuasa untuk digelandang ke rumah Pak RT yang katanya dungu tersebut, lalu dinikahkan secara agama.
“Dasar desa gaib,” Yudha mengumpat setelah pernikahan itu benar-benar terjadi.
***
To be continued.
Dukung cerita aku dengan tap like dan love. terima kasih. IG @ana_miauw
Pernikahan terpaksa itu sudah benar-benar dilaksanakan. Karena Vita sudah tak mempunyai Ayah, jadi warga memanggil paman Vita untuk menikahkannya. Malu bukan kepalang, Vita benar-benar dimaki olah pamannya di depan umum. Padahal selama ini lelaki itu tak pernah ada untuknya di saat-saat tersulit sekalipun. Tetapi kini seolah menjadi laki-laki yang paling peduli dengan menyerapahinya segala rupa.
“Kamu ini dididik baik-baik kok, kelakuannya memalukan begini. Kurang apa coba keluarga Paman sama kamu selama ini?”
“Paman, dengarkan penjelasan Vita du—”
“Alah, semua bukti mengarah pada berbuatan bejad kalian. Paman benar-benar malu punya keponakan sepertimu!”
Masih teringat jelas kata-kata Pamannya yang menyakitkan itu. Padahal Vita ingin sekali menerangkannya secara jelas. Tetapi beliau tetap membutakan mata dan telinganya. Benar kata pepatah, ‘Orang yang membenci tetaplah benci, sebaik apa pun kita.’
“Aku juga malas punya Paman sepertimu,” gumam Vita dalam hatinya.
Terhuyung-huyung Vita berjalan menuju ke rumah. Air matanya tak bisa lagi dibendung. Dia benar-benar nelangsa setengah mati sudah dituduh sedemikian buruk oleh sejumlah warga. Jangankan melakukan zina, berpacaran saja Vita tidak pernah. Karena setiap ada laki-laki yang mendekatinya, Vita selalu menolak. Tidak ada pemuda yang benar-benar baik di sini selain para pemuda pemberontak.
Lebih baik Vita tak pernah menikah daripada harus menikah dengan salah satu dari mereka. Karena hanya akan lebih menyengsarakan hidupnya yang sudah sangat malang ini.
“Vit, biar aku bantu jalan, ya,” ucap Yudha. “Kamu bisa pegang tanganku.
“Tidak perlu.” tolak Vita dengan suara yang terdengar agak ketus.
Berkali-kali Yudha menawarkan bantuan untuk membantu Vita berjalan, tetapi ditepisnya lantaran sedang sangat emosi. Bukan kepada Yudha, tetapi entah ditujukan kepada siapa karena tidak ada yang bisa Vita salahkan saat ini.
“Apa kamu punya—maaf, mungkin orang yang tidak menyukaimu?” tanya Yudha sesaat setelah mereka sampai di rumah. “Kalau tidak ada, mana mungkin ada mencari gara-gara denganmu.”
“Mungkin banyak,” jawab Vita singkat.
“Tapi tidak bisa dipungkiri. Akulah penyebab utamanya. Hidupmu akan baik-baik saja kalau aku tidak datang ke sini,” ucap Yudha menyadari kesalahannya. “Sebaiknya aku pergi saja sekarang cari bantuan, karena lebih cepat aku pergi dari sini, pasti lebih baik untukmu dan untukku juga.”
Vita menoleh ke arah Yudha. Menatapnya dengan penuh tanda tanya. Lupakah Yudha dengan status mereka sekarang? Dia akan pergi begitu saja tanpa penyelesaian di antara mereka?
Meskipun mereka menikah di bawah tangan, tetapi status mereka telah sah secara agama. Pernikahan mereka suci. Yudha menyebut nama dirinya dan ayahnya. Mahar yang diberikan berupa surat pendek. Vita tidak akan pernah lupa. Surat Al ikhlas yang dibaca oleh Yudha dengan suara yang bergetar karena dia terlalu gugup.
Nama Vita juga sudah tercemar sekarang. Dia sudah dicap sebagai pezina oleh warga setempat, dan mungkin saja dia sudah kesulitan secara sosial. Lalu dengan siapa dia harus bergantung sekarang kalau Yudha pun tak memedulikannya?
“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Yudha karena gadis itu terdiam selama beberapa lama.
“Tidak. Pergilah temui temanmu itu,” jawab Vita akhirnya.
Setelah punggung Yudha menjauh, gadis itu merenungi diri sendiri. “Ah, siapalah aku. Tidak seharusnya aku berharap pada pernikahan yang dilakukan secara terpaksa ini. Mungkin saja sudah memiliki kekasih atau istri lain. Lagi pula, perbedaanku dan dia juga sangat jauh. Bagaikan bumi dan langit. Aku hanya gadis dusun. Dia pemuda kota yang mungkin saja berasal dari keluarga yang terpandang. Dia hanya sedang menyasar di sini. Jangan salah sangka!” Vita meneguhkan dirinya agar tidak sampai jatuh cinta pada pria itu.
“Kamu tidak boleh berharap kepadanya, Vita. Dia bukan siapa-siapa. Kamu tidak mengenalnya sama sekali.”
***
Beberapa jam berlalu, Yudha kembali bersama dengan mobilnya yang sudah bisa ia gunakan lagi setelah sebelumnya mogok di jalanan dekat sini. Raut wajah Yudha sangat senang ketika menghampirinya. Tetapi tidak sendiri, melainkan bersama dengan satu temannya yang entah berasal dari mana.
“Assalamualaikum, Vit. Mobilku sudah bisa jalan lagi sekarang,” kata Yudha tersenyum. “Perkenalkan ini Jodi, orang yang membantuku. Temanku yang aku ceritakan padamu kemarin.”
Vita menjawab salam dan menyatukan kedua tangannya di depan dada. “Vita.”
“Jodi,” kata pemuda itu yang usianya diperkirakan sebaya dengan Yudha.
Keduanya pun dipersilakan masuk ke dalam rumah. Banyak perbincangan yang dilakukan oleh kedua orang itu. Mulai dari perkembangan bisnisnya, pernikahan Jodi, tentang pertemuannya dengan Kyai Hasyim dan masih banyak lagi. Namun Vita tak benar-benar menanggapinya sampai hati karena dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Akan seperti apa nasibnya setelah ini?
Dan pada saat hari mulai sore menjelang, Yudha menyusul Vita ke ruang tengah, berpamitan untuk meninggalkannya. “Vit?” panggilnya mengejutkan Vita yang sedang melipat pakaian.
Yudha berkata lagi, “Aku pergi, ya. Maaf kalau selama dua hari ini aku merepotkanmu.” Yudha tersenyum tanpa menyinggung hubungan mereka seolah pernikahan tersebut tak pernah terjadi.
“Ya, tidak apa-apa, pergilah,” jawab Vita merasa tak berhak menahan kepergian pria itu karena dia juga mempunyai jalan kehidupannya sendiri.
“Kapan-kapan aku akan kesini lagi.”
Tentu saja kau harus ke sini, bukankah aku ini istrimu? Kata Vita, namun ia tak bisa menyuarakannya.
“Satu atau dua bulan lagi aku akan menikah. Aku sangat berharap kamu bisa datang.”
Deg!
Ternyata dugaannya benar. Yudha memang sudah memiliki kekasih. Mendengarkan demikian membuat hati Vita menjadi nyeri. Meski belum ada perasaan apa pun, tetapi tak bisa dipungkiri ia telah berharap sebagai seorang istri.
“Tidak. Mana mungkin aku datang ke sana? Dengan siapa aku akan pergi? Lagi pula aku memang tidak akan pernah mau datang ke pernikahanmu,” jawab Vita terdengar agak ketus. Tapi karena memang gaya bicara dan pembawaan Vita demikian, Yudha tak benar-benar menanggapinya dengan serius.
“Kamu memang gadis yang tegas dan pemberani,” puji Yudha tersenyum dan menyentuh pundaknya. “Ya sudah, aku pergi dulu. Kamu baik-baik ya, di sini. Ini nomor teleponku yang baru dan alamat rumahku di sana,” Yudha meletakkan selembar kertas di atas meja. “Kamu bisa menghubungiku kalau kamu membutuhkan bantuanku.”
Ya, awalnya Yudha memang berpamitan demikian kepada Vita. Tetapi pada saat Vita beranjak dari tempatnya duduk dan melihat caranya berjalan dengan kepayahan, hati Yudha malah justru terenyuh.
Vita hanya sendirian, masih sakit karena ulahnya. Dan sekarang ia akan meninggalkan begitu saja? Apakah itu bukan perbuatan yang zalim?
“Kenapa Mas Yudha masih di sini?” tanya Vita. “Pergilah! Temanmu menunggumu di depan.”
Terdengar helaan napas dari Yudha sebelum akhirnya dia memutuskan hal yang tak terduga, “Baiklah, aku akan tinggal di sini sampai kamu benar-benar sembuh.”
“Kamu tidak perlu melakukannya. Aku bisa mengatasi semuanya sendiri,” kata Vita menolak dengan tegas. “Keluargamu pasti sedang menunggumu di sana.”
“Biarkan aku bertanggung jawab atas kesalahanku,” kata Yudha kemudian.
***
Jangan lupa main-main ke igku yaa @ana_miauw. dukung dengan cara klik love dan like yah.
Mohon perhatiannya, tolong jangan skip2 bacanya ya, soalnya konflik sepenuhnya ada di awal2 bab (kira2 sampai 30an) Biar dapet feel-nya maksudku😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!