Kalau nggak suka baca Prolog, langsung skip ke Chap pertama ya😊🤞 Ini cuma kayak trailernya aja kok.
...)(...
...Entah, aku harus memulainya dari mana...tapi, yang perlu kalian tahu...ini tentang dia, sosok yang begitu bewarna di antara lainnya...pada kenyataannya, dia tidak dalam kata 'baik'....Aku, mungkin salah satu dari pemberi luka itu...Temani kisahku dengan dia- sampai kau tak bisa lagi menikmatinya.......
Varo mengembuskan napas kasar. Menunduk dalam sebelum akhirnya berucap lirih. "Kalau dibandingin sama Kak Hariz mah beda jauh sama gue, Rei."
"Jelas unggul Kak Hariz," sahut Reihan manggut-manggut dengan tampang polosnya.
"Nggak usah diperjelas!."
"Ya gue cuma ngingetin doang, kok."
Reihan menahan tawanya tak kala wajah Varo berubah masam. Ah, lucu sekali melihat sahabatnya yang baru saja mengalami masa-masa jatuh cinta itu.
"Kak Hariz sama Kak Zoya udah satu server. Lah elu kapan satu servernya?."
Pertanyaan Reihan yang tak perlu repot-repot Varo artikan maupun ia balas. Satu server, atau satu keyakinan? Sama saja.
"Jauh banget ya, Rei."
Varo kembali menundukkan kepalanya dalam. Meremat kertas warna warni itu tanpa sadar.
"Nggak usah sok merana gitu deh! Belum tentu dia suka balik."
"Omongan lo dari tadi nylekit banget tahu nggak Rei! Malah bikin mood gue berantakan!."
"Makanya nggak usah berharap lebih! Lo sama Kak Zoya bagai Langit dan Bumi, nggak bakal nyatu!."
Plak
"Terus yang suruh cepet-cepet nembak kemarin siapa, bego?!."
Lagi, kepala Reihan menjadi korbannya.
"Rumit banget hidup lo Var, pertama kalinya jatuh hati- eh malah dapet yang susah digenggam."
Sungguh, Varo ingin sekali membungkam mulut Reihan yang selalu benar itu!
...)(...
"Var, woy! Ngapain lo?!."
Tatap Varo bertemu dengan netra hanzel milik Reihan. Rambut dan tangan anak itu terlihat basah, sepertinya Reihan habis berwudhu. "Mau shalat? Gue ajarin yok!," celetuk Reihan yang langsung dapat delikan dari sang empu.
"Sekalian syahadat nggak apa-apa lah ya. Mumpung ada Pak Zubaid, noh. Biar anak-anak jadi saksinya."
"Your Mouth!."
Pekik tawa Reihan menggema hingga desisan dari sekitar menyuruhnya untuk diam. Banyak didalam sana yang masih melaksanakan shalat dhuhur.
"Terus ngapain lo kesini?," tanya Reihan sembari mendudukkan dirinya ketangga lantai paling atas. Dan Varo masih setia berdiri disana, ujung batas suci.
"Cari Kak Zoya, ada didalam nggak?."
"Wah kalau cari Kak Zoya susah sih, beda soalnya. Cari yang lain aja, noh cari didepan sekolah kita! Banyak tuh yang sama."
Lagi, kekehan yang terdengar sangat menyebalkan itu membuat telinga Varo memanas. Sial, dia tahu maksud sahabatnya itu. Dan- tepat didepan sekolah mereka, terdapat sebuah gereja yang menjadi tempat anak-anak SKK (Sie Kerohanian Kristen) berkunjung.
"Awas besok ya, gue cingcang mulut lo!."
"Udahlah tunggu aja disitu. Gue mau shalat dulu, bye sad boy!."
...♡♡♡...
...Di Pastikan Harus Happy Ending☺...
...JANGAN LUPA LIKE...
...KOMEN...
...VOTE...
...SEE YOU NEXT CHAP...
...LOVE YOU ALL FRIENDS🥰...
^^^Tertanda^^^
^^^Naoki Miki^^^
...Ya, di awal saja dia sudah menampakkan warnanya yang begitu terang. Awal dari cerita yang tak akan pernah bisa aku ulang...dan sampai detik ini hanya bisa ku kenang....
Mata itu perlahan tertutup, menikmati setiap embusan angin yang membawa suara lantang menguap diudara. Tak dipedulikan nya sosok tegap berdiri didepan dengan segudang nasihat yang hanya membuat mata ingin segera terpejam.
Helaan napas lega akhirnya keluar saat salam penutup yang ditunggu tunggu terucap. Dibawah terik sang mentari ini lah lautan siswa siswi baru mendapatkan masa ospeknya. Sudah dua hari mereka lalui dengan banyaknya keluhan ini itu. Biasa, kalian pasti tahu bagaimana rasanya berdiri berjam jam ditengah lapangan dengan panas yang terasa membakar kulit.
"Ck, kapan selesai nya sih ini?! Nggak tahu cacing cacing udah pada demo apa?! Seneng banget nyiksa murid baru," gerutuNya. Ya, dia...
Sepasang mata menoleh dengan tatapan dingin kearahnya, wajah itu...wajah yang sama dengan, dia. Tak perlu banyak bicara, mari kita ceritakan siapa mereka. Dua orang yang memiliki wajah 95% sama dengan sifat 100% berbeda.
Alvaro Genandra, cowok dengan segala tingkahnya yang tak bisa membuat dunia tenang. Tingkah konyol, kekanak kanakan, ceria, berisik, super nyebelin, dan apapun yang keluar dari mulutnya tidak ada yang benar. Jadi, berhati hatilah jika bertemu dengannya, Alvaro.
Dan Alvero Genandra, adik sepuluh menit dengan sifat bertolak belakang dari sang kakak. Cowok dingin, cuek, dan tidak pernah peduli dengan apapun yang ada disekitarnya.
Ya, cukup kalian tahu bagaimana watak mereka. Dan lihatlah lebih dalam keduanya yang hampir sama menutupi sebuah coretan takdir yang masih tersimpan rapi dalam ingatan.
"Var, lo ikut Persami kan?" tanya Cowok disamping Varo dengan name tag Reihan aditama.
"Hah Persami? Kapan?" beo Varo mengerutkan kening.
"Ck, makanya kalau ada orang ngomong didepan itu dengerin!"
"Emang kapan Persami?! Woaahh nggak sabar gue kalau ada jurit malamnya, pasti seru tuh!"
"Besok," sahut Reihan singkat sembari balik badan mengikuti Vero yang sudah melangkah lebih dulu.
Ya, umur saudara kembar itu baru saja menginjak 16 tahun. Memasuki SMA Adi Bangsa yang tergolong dalam sekolah favorit memang mudah bagi Vero, tapi tidak dengan Varo yang harus mati matian memperbaiki nilainya.
Langkah lebar membawa Varo menelusuri lorong lorong kelas yang cukup sepi, tiga puluh menit setelah bel pulang berbunyi hanya menyisakan segelintir murid yang masih menetap. Seharusnya dia juga pulang bersama adiknya, tapi entah kenapa dia lupa membawa gawai yang berada di loker meja.
X IPA 6 berada diujung lorong urutan ke dua. Kelas paling ujung dihuni XI IPA 4, tepat disebelah kelasnya. Siulan yang keluar dari mulut Varo mengisi kesunyian disekitar, hingga suara seperti kibasan kain membuat Varo menghentikan langkahnya diambang pintu. Menoleh ke kelas sebelah dan-
"Sedang apa Kak?"
Sosok itu terlonjak, dengan mata melebar dan mulut terbuka dia menatap Varo seperkian detik. Cewek dengan kedua tangan memegang bendera smapore itu mengerjap beberapa kali setelah keterkejutannya mereda.
"Ah.. lagi latihan aja," sahutnya dengan seulas senyum.
"Smapore, bukan?"
Cewek itu mengangguk dua kali, mengedarkan pandangannya ke sekeliling yang amat sepi. Tidak ada satu orang pun kecuali mereka berdua.
Varo beranjak dari tempatnya, mendekat kearah siswi berseragam pramuka dengan banyak bet menempel. Senyum merekah menghiasi wajah Varo yang tak luput dari sepasang netra coklat itu.
Masih terasa biasa, tidak ada rasa aneh didalam sana.
"Kenapa nggak pulang?"
Kaki Varo berhenti tepat dua langkah lagi dari-Seniornya. "Ambil HP tadi ketinggalan," balas Varo ringan, dan ya- jangan lupakan bibirnya yang terus terangkat. Senyuman yang terlihat bodoh dimata cewek itu.
"Zoya prameswari."
Cewek itu refleks menunduk melihat name tag yang tertulis namanya. Kali ini, ketika tatapannya bertemu dengan sepasang netra coklat itu...senyuman Varo tak lagi terlihat bodoh didepan Zoya, melainkan senyum hangat yang bisa ia rasakan.
Ya, perkenalkan...dia Zoya prameswari, Senior Varo yang sudah duduk dibangku XI IPA 4, tepat disebelah kelasnya. Cewek yang suka bermain smaphore itu ternyata anggota inti Pramuka. Kenali sifat dari diri Zoya yang harus kalian tahu, dan mungkin Varo sudah sangat kebal dengan watak Zoya yang satu ini....Galak. ya, pastinya kata itu hanya untuk seorang Alvaro.
"Zoy...dipanggil kak Hariz tuh!," teriak seorang cewek dari ujung tikungan lorong.
"Oke, gue ke sana!"
Sebelum benar benar beranjak pergi, Zoya melirik cowok didepannya itu yang masih menyengir bodoh. Tanpa sepatah kata dia berlalu meninggalkan Varo, atau hanya sekedar ingin beramah tamah dengan juniornya itu. Dan ternyata takdir ingin mereka berpikir lebih jauh lagi tentang banyaknya warna yang akan mereka lalui.
...)(...
"Tadi lo sama siapa?"
Zoya mengerutkan kening menatap sahabatnya itu, sembari terus merapikan bendera bendera smapore kedalam rak. "Ohh.....Nggak tahu."
"Hah? Serius Zoya!"
"Ya serius, Lia. Gue nggak tahu siapa dia."
Yulia anatasya, sahabat dari kecil Zoya sejak bangku kanak kanak sampai saat ini. Sifatnya bertolak belakang dari Zoya yang agak cerewet. Lia, cewek polos nan alim yang tidak pernah dekat dengan cowok. Bahkan pernah Zoya menudingnya bahwa Lia seorang lesbian.
"Udah selesai belum?" keduanya menoleh, menangkap sosok berbadan tinggi dengan kulit sawo matang yang membuat kadar gulanya meningkat. Sangat manis.
"Udah kak," balas Zoya singkat.
"Kalau gitu bantu buat tiang bendera gih!"
"Siap kak!" sahut keduanya kompak dengan seulas senyum.
Sebelum lebih jauh lagi, kalian harus tahu siapa dia, Hariz Fernando. Senior yang paling Zoya segani dan kagumi tentunya. Karena berkat dialah Zoya bisa lebih menguasai bakatnya dalam bermain smapore. Cowok yang ramah, supple, mudah diajak ngobrol, dan yang lebih penting- pernah membuat nyaman seorang Zoya prameswari.
"Lo cari benderanya aja dilemari atas noh! Gue mau ambil tongkatnya dulu," ujar Zoya cepat sambil berjalan keluar yang hanya dibalas acungan jempol Lia.
Zoya memilah beberapa tongkat dengan warna yang sama. Ruangan yang cukup berdebu itu membuatnya beberapa kali bersin-bersin. Sampai suara dari arah belangkang lagi-lagi membuatnya terkejut.
"Ada yang perlu dibantu?!"
"Astaghfirullah," spontan Zoya memegangi dadanya. Ya, seperti itulah Zoya, yang mempunyai kebiasaan buruk suka terkejut.
"Ada yang bisa dibantu nggak? Mumpung lagi booring nih, nggak ada yang menarik emang hidup gue, tapi...kalau gue bantuin lo, menarik kali ya?!"
Ucap cowok itu dengan amat sangat lancar, ditambah senyum pepsoden yang membuat Zoya ingin muntah detik itu. Menyebalkan.
"Bisa sopan sedikit bicaranya?!," tekan Zoya menatap Varo dari atas sampai bawah. Ya, untuk kedua kalinya Varo membuat Zoya terkejut dengan kehadirannya. Mungkin datang dan perginya Varo akan selalu membuat Zoya, tak menyangka.
"Ahh maaf nih kak kalau kurang sopan, terus sopannya itu gimana ya kak? Apa harus panggil aku kamu gitu?"
Sumpah demi apapun, baru kali ini Zoya bertemu cowok dengan segudang rentetan kata yang keluar dari mulutnya. Tidak ada rasa malu sama sekali diwajahnya itu, bahkan didepan Seniornya.
"Woaahh kalau panggil aku kamu sih mau banget, apalagi buat seterusnya nggak apa-apa kan kak, biar kayak orang pacaran hehehee," lanjut Varo melangkah mendekat.
"Berhenti!"
Kaki kanan Varo terayang tepat suara lantang Zoya mengintrupsinya. Tatapan Seniornya itu kini tidak dalam mode baik, tapi sayang...Juniornya itu terlalu kebal jika dilawan hanya dengan tatapan ataupun bacotan yang hanya melintas sesaat.
"Sampai saya ketemu kamu lagi, di lapangan Pramuka contohnya...dan masih dengan sikap seperti itu, siap-siap terima hukuman dari saya!"
"Woaahh mau-."
"Termasuk ke kakak lainnya juga, jangan suka bercanda!," potong Zoya dengan jari telunjuk terangkat menunjuk Varo. Sang empu malah semakin melebarkan cengiran kudanya.
"Yaahh kalau sopan sopan nanti nggak bakal bisa dekat dong kak, kaku banget nggak sih kayak robot?"
Zoya menghela napas kasar, sosok didepannya ini tidak ada takut takutnya sama Senior. Biasanya junior bakal cari muka dengan bertingkah sesopan mungkin, tapi- Alvaro tidak seperti itu.
"Sudah cukup, keluar!"
"Nggak mau, aku kan mau bantu kak...Zoya?!"
"Yaa kak Zoya," lanjut Varo menatap Zoya dengan wajah bodohnya. Tangannya bergerak cepat mengambil tongkat tongkat. Belum sempat Zoya membuka suaranya kembali, Varo lebih dulu memotong.
"Udah cukup segini kan? Aku bawa ke lapangan ya."
"Eh..."
Tanpa menperdulikan Zoya dengan raut kesalnya, Varo terus berjalan membawa tongkat tongkat itu.
"Dasar, awas aja ya kalau ketemu lagi di Persami. Gue kasih lo lima puluh push up, udah baikkan gue cuma lima puluh push up?!"
...)(...
Sumpah serapah terus dilayangkan Zoya, meski dalam hati. Tidak luput dari pandangan Varo yang sekarang duduk anteng didepan cewek itu. Dan yang paling merusak mata Zoya adalah kebiasaan Varo tersenyum lebar jika sepasang mata mereka bertemu.
Tidak, bukan Zoya yang membiarkan cowok aneh itu menetap. Tapi karena ulah kecerdasan mulut Varo yang tak bisa dicegah, membuat teman temannya mengiyakan permintaan Varo agar bisa membantu mereka mendirikan bendera dengan banyaknya alasan.
Lia yang berada disamping Zoya merasa aneh dengan sikap sahabatnya itu. Ya, dia tahu sekali sifat Zoya jika sedang dalam mood yang buruk. "Lo kenapa sih ? Ditekuk mulu tuh muka...Benerin dulu itu talinya kurang kenceng nariknya," ujar Lia yang sudah bosan melihat wajah masam Zoya.
"Sini aku bantu tarikin kak," sahut Varo cepat, dan mengambil alih tali dari tangan Zoya.
Ck, sok manis lo!, batin Zoya
"Ekhhmm...gue ke kamar mandi dulu ya," ucap Lia yang langsung ditarik duduk kembali oleh Zoya. Tatapan cewek itu sudah setajam silet. Mengerti akan pikiran Lia yang mungkin sudah salah mengartikan situasi.
"Nggak usah alasan, duduk diem!"
"Udah kuat nih kak, woaahhh jadi pengen ikut pramuka deh kalau kayak gini...seru, apalagi-"
"Nggak boleh!"
Lia spontan menoleh kearah Zoya yang tiba tiba memotong ucapan Varo. "Pengecualian buat kamu!"
"Loh kok gitu? Emang kenapa kalau Varo masuk pramuka inti, toh kakak belum lihat kehebatan Varo pasang tendakan?! Varo jamin deh, nggak ada tiga menit tenda itu udah berdiri lihat aja be-"
"LO KIRA MASUK PRAMUKA CUMA NGANDELIN PASANG TENDA GITU?!"
Teriakkan Zoya berhasil mengalihkan beberapa pasang mata ke arahnya. Dengan kesal ia berdiri dan beranjak meninggalkan lapangan tanpa peduli teriakan Lia dan Varo.
"Kak, kok sensi banget sih kak Zoya sama gue?"
Lia menggeleng, entah dia sendiri juga bingung kenapa sikap sahabatnya itu kurang baik dengan Varo. Tapi, Zoya sendiri tidak tahu akan mood nya yang selalu buruk ketika Varo tersenyum lebar kepadanya seperti orang bodoh.
"Apa...dia lagi PMS?!" bisik Varo yang hanya didengar Lia.
"Husst, udah sana kamu pulang!"
Dibalik pintu kamar mandi tangan Zoya meremas roknya. Dia tidak bisa memungkiri bahwa kehadiran Varo yang baru saja bertemu dan segala tingkah aneh anak itu berhasil membuat Zoya merasa tak karuan. Apalagi, senyuman hangat Varo yang sesaat menyihirnya dalam tatapan teduh cowok itu. Jantungnya terkadang berpacu lebih cepat tak kala Varo menunjukkan cengiran bodoh yang terkadang membuat Zoya mual, tapi disaat yang bersamaan perasaan Zoya menjadi salah tingkah. Bagaimana tidak jika cowok yang selalu menerbitkan bulan diwajahnya memiliki wajah yang tak bisa dibilang biasa biasa saja.
...)(...
"Tingkatkan lagi Varo!" ujarnya dingin dengan tatapan tak luput mengamati cowok itu yang sedang menyantap makan malam dengan tenang.
Cowok disebelahnya menghentikan tangan yang hendak menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut. Salah satu tangan yang berada dibawah meja mengepal kuat. Sedangkan kembaran yang disebelahnya malah bersenandung, tak menggiraukan tatapan yang berubah tajam mengarah kedirinya.
"Papa lagi bicara sama kamu Varo!" masih dengan nada rendah, tapi suara itu terdengar penuh penekanan.
Varo menoleh, tersenyum lebar kepada sosok laki-laki paruh baya itu. "Iya, Varo tahu kok."
"Terus...Papa mau Varo kayak gimana lagi?"
Suasana meja makan menjadi hening, tak ada pergerakan dari ketiga orang itu. Vero semakin mengepalkan tangannya ketika suara berat memecah keheningan yang sempat menyelimuti mereka.
"Papa udah masukin kamu ke tempat bimble yang baru, besok pulang sekolah sudah mulai masuk. Jangan pernah bolos, kamu harus bisa masuk ke kelas unggulan!"
Seketika itu, Varo tertawa sekencang kencangnya. Dia...Genandra kristiando, laki laki yang dipanggil Varo Papa. Orang dengan watak yang tak perlu kujelaskan lagi seperti apa dia. Perlahan kalian pasti mengerti akan setiap sikap yang ada pada diri pria itu. Sosok yang pernah menjadi dongeng yang Varo ceritakan kepada ku.
"Jadi....tiga tempat bimble ya pah?!"
"Aahhh....gampang kok, nanti Varo atur buat cari cara biar sejajar sama...Vero."
Masih dengan senyuman bodohnya itu, Varo menatap Vero dengan tatapan yang terlihat sangat bahagia. Tapi sebaliknya, saudara kembarnya itu menatap dirinya dengan sorot sendu. Seperti ada banyak kata yang ingin diluapkan Vero saat ini. Namun, lagi-lagi dia tahu posisi.
"Vero, pastikan saudaramu masuk kelas unggulan. Papa percaya kamu!"
Vero hanya tersenyum tipis.
Setelah kepergian Genandra, kedua cowok itu sama-sama diam. Hingga Vero menyadari raut wajah Varo yang terlihat berseri seri. Entah apa yang ada dipikiran sang kakak.
"Lo, nggak gila kan?!"
Varo tertawa keras. Meninju lengan Vero yang langsung dibalas tatapan tajam dari sang empu. "Lah, emang sejak kapan gue nggak gila?" balas Varo dengan sisa tawanya.
"Salah gue tanya gitu ke elo," kesal Vero beranjak berdiri sebelum tangannya kembali dicekal.
Sekian detik Varo tak kunjung melepaskan tangannya dari Vero. "Ada apa?!" tanya Vero jengah.
"Gue kangen mereka."
Bahkan dengan raut yang terlihat berseri Varo mengucapkan tiga kata yang sudah lama tak terucap...tapi, Vero bisa melihat tatapan sang kakak dalam keadaan tidak baik. Banyak kerinduan yang ia coba sembunyikan darinya, dan...Vero tahu itu.
"Besok, kita kesana."
...♡♡♡...
...HOLAP HOLAPP👋...
...Like & Komen yukk biar tambah Berkahh😊...
❤ Tambah ke Favorit supaya dapat notifikasi kalau Update ❤
^^^Tertanda^^^
^^^Naoki Miki^^^
...Bertemu kembali....dan, awal dimana kenyataan itu yang tak kusadari akan begitu menyakitkan di hari esok. Jika aku tahu takdir berjalan seperti apa kedepannya, tak akan pernah aku biarkan hari-hari ku di isi olehmu....
"Lia, lo dapat kelas berapa?," tanya Zoya dengan napas naik turun sambil membawa banyak perlengkapan tenda.
"Kelas sepuluh Ipa tiga grup B, lo kelas?."
"Kelas Ipa 6 grup A, kenapa gue dapat anggota cowok-cowok sih?," kesal Zoya menghentakkan kakinya.
Lia tertawa ringan, lucu lihat ekspresi Zoya ketika sedang kesal. "Syukurin aja lah, nggak lo doang kok yang pegang grup cowok."
"Enak lo, dapat grup cewek."
"Ya udah lah sono tungguin depan gerbang adik-adik lo, gue mau ambil tenda dulu," ujar Lia beranjak meninggalkan Zoya yang masih memberenggut.
"Grup apa ya tadi namanya?," monolog Zoya memandang langit yang mulai menampakkan senja diufuk barat.
"Zoy, kenapa masih disini? Udah banyak yang datang tuh didepan gerbang!."
"Eh kak Hariz..Iya ini mau kedepan gerbang kok," balas Zoya menyengir, hadugh kenapa bisa lupa nama grup adik adiknya sih?.
"Yaudah sana!," Hariz menepuk pundak Zoya sebelum pergi.
"Tau ah tanya aja nanti, yang penting grup A Ipa 6," ujarnya mulai melangkah menuju gerbang dengan susah payah membawa tenda juga tongkat dan alat lainnya.
...)(...
"Bosen banget gue," keluhnya meletakkan kepala diatas meja. Tak peduli dengan sosok yang berkoar koar didepan dengan segala macam penjelasan yang tak bisa masuk di otak kecilnya.
Suara helaan napas kasar lagi-lagi keluar, menatap bimbang ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore kurang lima belas menit. Seharusnya dia bersenang senang sekarang, tidak perlu pusing berusaha memahami ocehan orang didepan papan tulis itu.
"Sekarang lagi apa ya disana? Jadi pengen ikut."
Senyum licik seketika terukir diwajahnya.
"Pak!."
Pria berkacamata itu menaikkan satu alisnya, menunggu murid baru itu kembali membuka suara. "Ijin ke kamar mandi, kebelet ini udah nggak bisa ditahan," lanjutnya tak lupa memegang sesuatu yang tertutup celana dengan wajah seakan menahan cairan yang ingin keluar agar aktingnya semakin perfeck.
Pria itu mengangguk.
"Woaahh baik banget deh Bapak...nggak usah khawatir ya pak, lanjut aja...bye!," cerocosnya berlari keluar ruangan.
Murid yang lain mengerutkan keningnya tak kala cowok itu kembali lagi mengendap endap saat guru kembali menjelaskan menghadap papan. Saat apa yang ingin dia ambil sudah dalam genggaman, seorang cewek disebelah mejanya berbisik. "Mau kabur?."
"Ssuuttt, belajar yang rajin ya...Gue dulu," balasnya juga berbisik.
Baru dua langkah berjalan jongkok suara berat mengintrupsi. Cengiran bodoh yang ia tunjukan itu semakin membuat geram pria berkacamata.
"Jangan coba-coba bolos dikelas saya!."
"Heheehee...siapa yang mau bolos sih pak?! Saya cuma mau libur aja hari ini, boleh ya?."
"Nggak ada libur baru pertama masuk-"
"Udah pak bye...belajar yang rajin ya kalian sampai botak tuh kepala!," teriaknya tak tahu malu. Seisi kelas hampir meledakkan tawa ketika guru didepannya spontan mengumpat. Ya, merasa tersindir dengan ucapan bocah ingusan itu. Benar, kepala guru itu botak dibagian tengahnya. Tipe tipe guru matematika hehehee.
...)(...
Suasana didepan gerbang SMA Adi Bangsa begitu ramai murid dengan berbagai barang bawaan yang mereka bawa. Zoya dan beberapa temannya tercengang melihat beberapa murid seperti pindahan rumah. Ya, bagaimana tidak jika salah satu cewek membawa satu koper yang berukuran sedang. Apa dia salah tempat? Ini mau persami loh, bukan mau liburan keluar kota.
"Gila sih anak sekarang," ucap Siska yang berada disamping Zoya. Teman se-Organisasinya.
"Bawa bantal, guling, selimut, nggak sekalian bawa kasur?!," kini Zoya berujar mengamati para junior yang sedang antri mengisi daftar hadir.
"Lah itu ngapain bawa koper sih? Malu maluin tau nggak," lanjut Shasa yang terlihat kesal sendiri.
"Inget inget wajahnya Sis, jangan sampai dia jadi penerus kita."
"Hm, jangan sampai!."
"Ekhmm..."
Kedua cewek itu tersenyum lebar menatap cowok dibelakang mereka. "Eh kak Joy, wahh makin keren nih...hati-hati jangan sampai junior cewek genit," celetuk Zoya.
"Kerja! Jangan gosip!."
"I..iya kak, gue kesana dulu Zoy," ucap Siska diangguki Zoya.
Joylendra, Senior mereka sekaligus ketua umum Pramuka inti.
Setelah kepergian Joy, Zoya bernapas lega. Jangan tanyakan lagi seperti apa ketegasan seorang Joylendra yang bisa membuat semua anggota Pramuka tak berkutik.
"Kak, permisi!."
Zoya mendongak, mendapati seorang cowok yang lebih tinggi darinya beserta beberapa cowok lain yang berdiri dibelakang. "Iya?."
"Kakak, yang namanya kak Zoya bukan?."
"Iya, ahh kalian dari Ipa enam grup A?."
"Iya kak," balas cowok itu tersenyum ramah.
"Udah lengkap belum ini?."
"Belum kak, tinggal satu orang."
Zoya mengangguk, kembali menghitung jumlah adik bimbingnya. "Loh kok cuma delapan orang, bukannya jumlah semua anggota sepuluh? Kalau kurang satu jadi sembilan kan?."
"Yang satunya nggak ikut kak."
"Oke, kita tunggu lima menit lagi kalau nggak datang-datang kita tinggal. Soalnya pasang tenda dulu habis itu upacara pembukaan."
Semuanya mengangguk.
Hampir lima menit mereka berdiri tak jauh dari gerbang, tapi sosok yang ditunggu tak juga tiba. Banyak regu lain yang sudah beranjak menuju lapangan. Tinggal beberapa regu yang masih setia menunggu anggotanya.
Zoya yang mulai bosan memerintah agar mereka meninggalkan satu anggota mereka. Daripada kehabisan waktu untuk mendirikan tenda hanya karena satu orang saja.
"Tunggu dulu kak...Itu dia datang," seru salah satu cowok dibaris belakang.
"Reihan! Nggak telat kan?."
"Hampir ditinggal, lama banget sih lo ngapain aja?!."
Cowok yang baru saja datang itu beralih menatap Zoya yang masih terpaku menatap dirinya. Sepertinya dia sudah berbuat salah membuat mereka menunggu, pikirnya.
"Maaf kak saya telat," ujarnya.
Apa ini? Zoya tidak salah dengarkan dia mengucapkan maaf? Ahh pasti karena peringatan Zoya kemarin dia jadi bersikap sopan.
"Tidak apa, lain kali tepat waktu!."
...)(...
Sedari tadi Zoya terus memperhatikan cowok itu. Ada yang berbeda dari sikapnya, entah kenapa Zoya lebih tertarik mengamati setiap pergerakan adik bimbingnya yang satu itu. Ada yang aneh. Atau hanya perasaan Zoya saja?.
"Kak, pancangnya kurang dua," ujar Reihan membuyarkan lamunan Zoya.
"Oh yaudah tunggu dulu."
Reihan kembali membantu yang lain memasukkan barang-barang kedalam tenda.
"Zoya, lo dipanggil kak Hariz," ujar Lia yang baru saja datang.
"Kenapa?."
"Nggak tahu, udah sono!."
"Oh iya bentar."
Lia meninggalkan sahabatnya yang beralih menatap cowok itu. Langkah ringan membawa Zoya mendekatinya. "Kamu ambil pancang digudang!."
Cowok itu mengerutkan keningnya. Menatap bingung kearah Zoya. "Gudang yang sebelah mana ya, kak?."
Kini ganti Zoya yang mengerutkan kening bingung. "Gudang yang kemarin kamu bantu saya ambil tongkat."
"Hah?...."
"Udah sana saya tinggal sebentar," balas Zoya cepat.
Sepeninggalan Zoya, cowok itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Gudang mana?.
"Kak Zoya bilang apa?," tanya Reihan.
"Lo tahu gudang Pramuka nggak?."
"Hah? Mana gue tahu," acuh Reihan kembali melangkah menghampiri temannya yang lain.
...)(...
"Jurit malamnya di kuburan gang sebelah aja seperti biasa," jelas Hariz diangguki beberapa anak termasuk Zoya.
"Udah disiapin semuanya kan Riz?," tanya Devi. Sahabat Hariz.
"Udah, aturannya nanti aja gue jelasin langsung sebelum permainan."
"Zoya bantu dibagian kesehatan ya nanti, nggak usah ikut jurit malam."
"Loh kak," lesu Zoya, meskipun dia tidak protes.
"Udah gitu aja, kalian boleh bubar!."
Semuanya berdiri, termasuk Zoya yang berjalan lemas. Padahal dia ingin sekali ikut jurid malam, akan tetapi bagian pendamping jurid malam di ubah. Hanya senior cowok dan beberapa cewek yang boleh ikut. Beberapa stay di sekolah termasuk sie kesehatan dan keamanan.
Sesaat Zoya kembali ke anggota regunya, semua sudah selesai. Tenda pun sudah berdiri tegak.
Sekarang pukul lima tepat, waktu upacara pembukaan dimulai. Zoya mengarahkan anggotanya untuk baris dilapangan. Ada satu hal yang dirasakan salah satu cowok anggota regu Ipa 6 A itu. Tatapan, iya...tatapan Zoya ketika bertemu dengannya. Seperti, kakak seniornya itu tidak menyukainya. Apa karena dia datang terlambat? Ah sudahlah, dia terlalu sibuk hanya untuk memikirkan sifat cewek itu.
Hanya butuh setengah jam mereka menyelesaikan upacara pembukaan. Kini waktu mereka bersiap siap untuk melaksanakan shalat maghrib.
"Kalian siap-siap ke masjid! Saya mau ambil mukena dulu," ujar Zoya setelah memastikan adik bimbingnya itu masuk kedalam tenda.
"Siap kak!," balas Reihan paling mendominan.
Zoya mengangguk, sebelum pergi netranya saling beradu dengan netra coklat itu. Tapi yang didapatinya bukan cengiran bodoh yang pernah ia lihat. Hanya tatapan dingin yang memutus pandangan mereka lebih dulu. Tak pikir panjang, Zoya beranjak meninggalkan mereka.
Suara adzan maghrib berkumandang. Suara merdu itu, suara seorang Hariz yang paling Zoya sukai. Dengan langkah pasti, Zoya mendekat kearah tenda regunya, memastikan kalau mereka semua sudah beranjak menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim.
Perlahan Zoya menaikkan resleting tenda, dengan sedikit penerangan dari cahaya bulan dia samar samar melihat dua orang didalam. Sampai tenda itu terbuka sepenuhnya- dan disaat itulah mata Zoya terbelalak. Didetik berikutnya dia berteriak kencang dengan tubuh terhuyung kebelakang. Kedua tangannya menutupi wajah sambil menggeleng gelengkan kepala.
"Zoya ada apa?!," tanya Pak Irfan panik, selaku satpam sekaligus salah satu pembina Pramuka.
Zoya menurunkan kedua tangan yang menutupi wajahnya. Tidak peduli dengan pertanyaan Pak Irfan. Napasnya masih naik turun menatap dua sosok dihadapannya itu. Mulut dan matanya terbuka lebar. Beberapa orang kini bergerombol saat mendengar teriakan Zoya yang cukup menggelegar.
"Zoya kamu ini kenapa?!," tegas Pak Irfan menggoyang lengannya.
"Hah?," beonya menoleh kearah Pak Irfan yang masih terlihat khawatir.
Salah satu cowok yang berdiri didepannya kini tersenyum lebar.
Ya, senyum itu.
"Maaf pak, nggak ada apa-apa kok," balas Zoya tersenyum meyakinkan dan menatap sekelilingnya.
"Udah, nggak ada apa-apa...Kalian lanjut ke masjid aja!," lanjutnya. Anak-anak yang lainpun bubar menuju masjid. Hampir saja mereka menunggu hal yang ingin mereka dengar dari mulut Zoya. Pasti kalian tahu lah apa yang mereka pikirkan saat Zoya berteriak.
"Jangan bikin rusuh kamu!," tegur Pak Irfan dibalas senyum kecil Zoya.
Keadaan hening setelah Pak Irfan meninggalkan ketiga orang itu. Zoya tak bergeming dari tempatnya semula. Masih terpaku menatap dua orang didepannya sekarang.
Satu dengan wajah datar, dan satunya dengan tampang berseri seri.
"Hai Kak Zoya! Kita bertemu lagii wwuyeehhh...." ujarnya meninju udara dengan tangan terkepal penuh semangat.
Zoya mengehela napas kasar.
"Jadi...kalian kembar?."
"Yupss! Kenalin kak..."
"....Saya Upin eh- salah...Saya Varo, dan ini adik saya Vero," ujarnya menirukan logat Upin dengan senyum lebar yang membuat Zoya tahu siapa dia. Dia, cowok aneh yang ia temui kemarin.
Sekarang Vero tahu, kenapa Seniornya itu memandangnya tak biasa. Iya, karena lagi-lagi orang baru akan salah menilai antara dirinya dan sang kakak.
"Zoya lo nggak shalat?! Buruan udah komad tuh!," teriak Lia dari kejauhan.
Zoya kembali menatap keduanya, dan tetap sama. Mereka benar-benar sama persis. Dia tidak melihat hantu yang sedang menyamar, mereka sungguh manusia yang bisa Zoya bedakan hanya dengan melihat raut wajah dan tinggi badan. Vero lebih tinggi dari Varo.
"Cepat ke masjid!," ujar Zoya lalu beranjak. Dilangkah ketiga kakinya terhenti bersama detak jantung yang tak lagi biasa.
"Kita nggak shalat kak."
Itu, suara Varo.
Beberapa detik setelah Zoya menyadari, dia menoleh. Keduanya menatap Zoya dengan raut berbeda.
"Maaf, saya nggak tahu."
Dari tempatnya berdiri, dibawah penerangan bulan Zoya terpaku melihat sebuah kalung terpasang dileher Varo. Iya, kalung dengan bentuk salib bertengger baik disana. Kenapa dia baru menyadari adanya kalung itu?
Satu kenyataan yang baru saja ia ketahui. Mungkin, sekarang belum waktunya dimana dia menganggap kenyataan itu biasa-biasa saja. Tapi entah untuk hari esok...Apa kenyataan itu akan baik-baik saja seperti, sekarang?
...)(...
"Jadi lo kabur dari kelas Var?!."
"Seharusnya lo nggak bolos," ganti Vero yang berucap. Reihan menunggu balasan cowok yang masih melahap makanan yang sudah disediakan pihak sekolah. Setelah semua selesai shalat, semua murid diberi satu kotak makan malam. Kini, semua anggota regu Ipa 6 A sedang berkumpul didalam tenda menyantap makanan mereka.
"Udah lanjutin makan!."
"Habis ini kita ngapain?," lanjut Varo tetap fokus dengan kotak nasinya. Sepertinya satu jam didalam kelas bimble menguras tenaga dan pikirannya.
"Api unggun kali," balas Reihan.
"Var!."
Panggilan Vero tak di indahkan Varo.
"Varo!."
Dan untuk kedua kalinya, sang empu hanya berdehem menimpali. "Gue nggak ikut campur kali ini...Lo, urus sendiri!."
Varo tertawa ringan. Sedangkan Reihan melahap makanannya dengan rakus, berpura pura tidak mendengar dan menganggap kedua temannya itu tidak ada. Meski, dia tahu seperti apa suasana saat ini.
"Tunggu deh, bukannya lo nggak pernah ikut campur ya?!."
"Uhh takut, adik jangan melotot gitu dong...Abang jadi takut loh," ujar Varo ketika Vero menatap tajam dirinya. Reihan yang mendengar lagak ucapan Varo bergidik ngeri, ingin sekali memuntahkan isi didalam perutnya.
"Anjir, suara lo banci banget!," Nyolot Reihan dibalas gelak tawa teman temannya yang juga mendengar suara Varo tadi.
"Udah ah gue mau cari angin dulu."
"Cari angin apa cari cewek lo?!," teriak Daus, ketua regu mereka.
Varo berhenti, menggaruk nggaruk dagunya sembari menatap langit-langit tenda. "Heemmm...Dua-duanya sabi lah."
Varo meninggalkan teman temannya yang menyorakinya. Melangkah menjauhi tenda, entah kemana kakinya membawa.
"Varo!."
Cewek dengan rambut terurai itu berlari mendekati Varo yang tersenyum lebar. Cewek itu mengatur napasnya sebelum berujar kembali. "Kok lo bisa disini? Kata Vero tadi lo nggak ikut."
"Iya sih seharusnya gue nggak ikut, tapi gimana lagi...Gue pengen ikut jurid malam."
Cewek itu mengangguk dengan mulut membuntuk huruf 'O'.
"Jes, itu temen lo yang kemarin namanya siapa?," tanya Varo memandang cewek yang tak jauh darinya.
"Yang itu-."
Cewek itu mendelik ke arah Varo, tak melanjutkan ucapannya. Dia, Jeslyn Kiaranti. Teman Varo dan Vero sejak mereka pindah dan memasuki SMP Tunawiksa. "Nggak usah modusin temen gue ya...Dasar buaya!."
"Ck, pikiran lo jelek amat kalau sama gue."
"Emang apa yang harus gue pikirin dari sikap lo yang mines itu hah?!."
"Dari dulu suka banget gombalin cewek-cewek," lanjut Jeslyn melengos tanpa peduli Varo yang sudah mengumpatinya.
"Sikap gue dibilang mines?!....Dasar Jeslyn, suka bener."
Varo tak sadar jika sedari tadi ia bersama Jeslyn sepasang mata memperhatikan. Mungkin, dia memastikan bahwa yang dilihatnya itu si dia atau satunya.
"Woy! Ngapain bengong ditengah jalan lo?! Awas kesambet."
"Apaan sih Sha," kaget Zoya mengelus dadanya.
"Lagi lihat apa sih Zoy?," tanya Shasa mencoba mengikuti arah pandang Zoya. Untung saja keadaan sedang ramai, Shasa jadi tidak tahu apa yang dilihat temannya itu.
"Ya udah gue mau ke belakang dulu," ujar Zoya.
Berakhirlah Zoya didalam kamar mandi yang terletak paling belakang. Terpaksa dia memasuki kamar mandi yang cukup menyeramkan ini, jika tidak kamar mandi depan dekat lapangan tidak ramai. Bagaimana lagi, cairannya ingin segera dikeluarkan.
"Ahh leganya," ucapnya setelah menutup pintu kembali. Pandangan Zoya beralih ke sekeliling yang sangat sepi, bayangan bayangan mengerikan tiba-tiba saja hinggap dipikirannya. Tanpa menoleh kebelakang, Zoya melangkah cepat keluar.
Dia melewati lorong-lorong kelas dengan langkah yang semakin cepat. Bulu kuduknya sudah berdiri sejak dia meninggalkan kamar mandi itu. Tapi, langkahnya seketika terhenti tak kala menangkap sesosok berdiri didepan pintu Laboratrium Biologi.
Matanya menyipit agar bisa melihat sosok itu dengan jelas, karena penerangan yang minim. Sosok itu menoleh menatap dengan tatapan kosong.
Tidak bisa dipungkiri jantung Zoya saat ini hampir copot. Tapi akal sehatnya sekarang mengajak ia berjalan mendekati sosok itu.
"Kamu ngapain disini?!."
Tak ada jawaban, pandangannya kosong menatap Zoya. Membuat cewek itu berpikir yang tidak-tidak. Dengan satu kali hentakan, tangan Zoya mendarat dipundak cowok itu dan- detik berikutnya Zoya melotot disaat tubuh itu luruh ke bawah.
"Hei!."
...♡♡♡...
...HOLAP HOLAAP👋...
...Mampir di story Zehntara dulu yuk sambil nunggu Update☺...
Menurut kalian kepanjangan nggak sih? Takutnya kalau kepanjangan jadi ngebosenin😌 Tolong dijawab ya Friends🤗
...JANGAN LUPA LIKE...
...KOMEN...
...VOTE...
...SEE YOU NEXT CHAP GAES...
...LOVE YOU ALL😚...
^^^Tertanda^^^
^^^Naoki Miki^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!