Aku menyesap teh melatiku sambil duduk di gazebo yang berada di kebun istana Ratu bersama dua dayangku. Akhirnya aku bisa sedikit bersantai setelah hampir seminggu mengurus pekerjaan sebagai seorang Ratu. Mungkin Idris juga lebih sibuk dariku. Surat yang kuberikan setiap hari untuknya tidak pernah mendapatkan balasan darinya sejak seminggu belakangan ini.
Ada sedikit perasaan aneh yang dari kemarin menggelitik hatiku. Entah apa maksudnya.
Saat itulah aku melihat Chloe, dayangku yang paling muda berlari menghampiriku dengan raut wajah ketakutan dan pucat pasi.
Aku berdiri dan memegang kedua bahu Chloe untuk membuatnya tenang. “Apa yang terjadi?”
“Ra-Ratu kumohon larilah!” seru Chloe panik. Tiba-tiba saja panah sudah menancap jantungnya dari belakang. Chloe jatuh dalam keadaan tak bernyawa.
Aku menoleh ke belakang karena teriakan kedua dayangku. Naas, mereka sudah bernasib sama seperti Chloe. Kini, tersisa aku sendirian yang berdiri di tempat ini. Munculah para Pasukan Kekaisaran Vanhoiren dengan persenjataan lengkap.
“Apa kalian yang melakukan hal keji ini pada dayang-dayangku?” Aku menatap mereka semua. Sepertinya tidak ada yang memiliki niat untuk menjawabku. “Jika Kaisar tahu tentang hal ini, kalian akan mendapat akibatnya.”
Jack, tangan kanan Idris muncul dari belakang barisan Pasukan Kekaisaran. “Sayangnya, ini perintah langsung dari Yang Mulia Kaisar.”
“A-Apa?!” Nyut. Hatiku mencelos mendengarnya.
Jack memberi kode pada para Pasukan Kekaisaran dan aku pun dibawa paksa oleh mereka ke penjara bawah tanah Istana Kaisar.
Semuanya berubah dalam kurun waktu kurang dari sehari. Pakaian kebesaranku dilepaskan dan diganti oleh pakaian lusuh yang biasa dipakai oleh para budak di jaman dahulu. Kabar keluargaku pun masih belum pasti. Aku khawatir dengan keselamatan mereka.
Aku tidak menyangka jika Idris tega melakukan hal keji ini kepadaku. Padahal, aku adalah wanita yang dia pilih sendiri untuk naik takhta bersama dengannya.
Sekarang, dia malah hendak melenyapkanku secara tidak terhormat.
***
Tepat tiga hari lamanya aku di penjara, akhirnya aku pun dikeluarkan. Namun, aku tetap saja tidak bisa bernapas lega. Karena ..., hari ini aku akan dieksekusi di tiang gantung untuk kesalahan yang tidak kuketahui. Tidak ada kesempatan untuk memberikan pembelaan, tidak ada kesempatan untuk bertemu keluargaku.
Di hadapan semua rakyat Vanhoiren, aku berdiri dengan sisa harga diriku yang mati-matian kupertahankan. Rakyat yang tadinya menatapku dengan tatapan hormat dan cinta, kini berubah menjadi dengki dan jijik.
Dan dari kejauhan, Idris menonton eksekusiku dengan tersenyum. Demi Tuhan, dia benar-benar tersenyum.
“Charlotte Mikaela Vanhoiren, Ratu dari Kekaisaran Vanhoiren ke-XX. Dengan segala bukti yang ada, Ratu diketahui telah berkomplotan dengan Kerajaan dari Wilayah Barat dan membantu mereka untuk menggulingkan Kekaisaran. Ratu juga sudah menjalin hubungan terlarang dengan Raja Kerajaan Wilayah Barat dan menggunakan uang kas Kekaisaran untuk hubungan terlarangnya.”
Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal.
“Dengan berkat dari Dewi Kebajikan dan restu dari Kaisar ke-XX, Idris Theodoric Vanhoiren, gelar Ratu akan dicabut darinya dan dieksekusi dengan hukuman gantung.” Jack selesai berbicara.
Para rakyat berseru senang dan melempariku dengan segala macam jenis hal yang bisa mereka lempar. Telur, tomat busuk, dan bahkan batu.
Penghinaan dan semua tuduhan-tuduhan palsu yang kuterima dari semua orang termasuk Idris, tidak akan pernah bisa kulupakan. Meskipun di akhir hidupku.
Air mataku mengalir begitu saja. Rasa tersiksa saat seluruh beban tubuhku ditahan oleh leherku ... sesak dan menyakitkan. Kesadaranku pun mulai menghilang.
Kupikir aku sudah berada di dunia yang lain. Tapi, aku malah bangun di sebuah taman penuh bunga dan juga kupu-kupu yang cantik. Di tengah-tengah taman berdiri gadis rupawan dengan rambut perak dan iris mata biru muda. Kuhampiri dirinya dan dia pun menoleh padaku.
“Selamat datang, Ratu,” ucapnya lembut. Perasaanku campur aduk saat dipanggil Ratu. “Kondisimu tampak tak baik.”
“Aku baik-baik saja,” kataku sopan.
Gadis itu tersenyum. “Dunia bersikap tidak adil padamu, ya? Sayang sekali mereka tidak menyadari potensi spesialmu.”
“Potensi spesial?”
“Pergilah ke Kerajaan di Wilayah Barat. Hidupmu akan berubah di sana.”
“Tapi aku sudah-”
“Sst!” Dia menempelkan jari telunjuknya di bibir tipisnya. “Jangan mengingat masa lalu yang menyakitkan dan mulailah lembaran baru yang membuat hatimu bersemi.”
Cahaya yang menyilaukan membuatku tidak bisa melihatnya lagi. Aku terduduk di tanah dan telingaku berdengung.
“Hiduplah dengan penuh kebanggaan, Anakku. Aku memberkatimu.”
***
Aku terbangun di sebuah kamar yang familiar untukku. Ini adalah kamarku sendiri saat masih tinggal di rumahku. Kediaman Viscount Winston. Tubuhku agak sedikit lebih kurus dan wajahku terlihat lebih muda saat bercermin.
Tok! Tok! Tok!
“Nona Charlotte! Ini saya, Layla.” Ah, aku sudah lama tidak melihat Layla. Kepala Pelayan Winston yang ikut andil merawatku saat masih bayi hingga aku pindah untuk menjadi Ratu.
“Masuklah,” ucapku tenang.
Layla masuk lalu tersenyum padaku. “Apa tidur Nona nyenyak semalam?”
Aku ikut tersenyum dan mengangguk. “Berkat lilin herbal yang kau berikan padaku semalam, aku bisa tidur dengan tenang.” Wewangian dari lilin herbal yang kukenali masih tercium sampai saat ini. Layla sering memberikanku lilin herbal saat aku bermimpi buruk.
Jika ini bukanlah mimpi, itu artinya aku kembali lagi di masa kepemimpinan Kaisar ke-XIX yang tak lain adalah Ayahanda Idris dan mertuaku sendiri di masa lalu.
Gadis yang kutemui saat itu bisa jadi adalah sosok dari Dewi Kebajikan. Dia memberiku kesempatan kedua ..., untuk bahagia.
“Apa hari ini Nona akan pergi ke Pergaulan Atas di kediaman Duchess Harriston?” tanya Layla.
Oh, iya. Ini adalah saat di mana Idris yang masih menjadi Putra Mahkota bertemu denganku, ya. Aku enggan melihat wajahnya, tetapi pertemuan kali ini harus dilakukan agar bisnis Ayahku berjalan dengan baik jika reputasiku baik pula.
“Ya, siapkan gaun untukku.”
“Baik, Nona. Saya permisi.” Layla pergi dan meninggalkanku sendirian di kamar. Pelayan lain keluar-masuk ke dalam kamarku untuk menyiapkan sarapan dan air basuh untukku.
Satu-satunya hal yang mengganjal pikiranku adalah sebab dari tuduhan palsu yang diberikan oleh Idris hingga membuatku dihukum mati. Beberapa kabar angin tentang sebuah kudeta memang pernah sampai ke telingaku. Tapi, aku terlalu dibuat sibuk oleh tugas sebagai Ratu hingga tidak punya waktu untuk memikirkannya. Aku berpikir jika Jack yang akan mengurusnya.
Ternyata kabar itu bukanlah sebuah kabar angin, dan kudeta itu adalah untuk menggulingkanku dari Kekaisaran. Tapi apa tujuan mereka? Uh, setidaknya aku harus menyelidikinya untuk keselamatanku dan juga keluargaku.
*
Viscount adalah tingkatan kedua terendah dari gelar kebangsawanan. Dan sebagai seorang Viscount, Ayahku termasuk bangsawan yang berhasil di bidang bisnis. Berkat usaha dan kerja keras keluarga Winston dalam mengembangkan bisnis di bidang pertanian secara turun-temurun, keuangan kami sudah setara dengan bangsawan setingkat Count.
Karena itulah, aku yang merupakan anak tunggal dari keluarga Winston pun mulai menjadi sorotan di Pergaulan Atas, wadah bagi para wanita dan gadis bangsawan menaikkan eksistensinya untuk popularitas dan kedudukan penting di setiap rencana Pergaulan Atas.
Malam ini pun, aku diundang oleh Duchess Harriston untuk menghadiri Pergaulan Atas di kediamannya.
Aku mengenakan gaun biru berbahan satin yang diberi hiasan renda di bagian atasnya. Aku membiarkan rambut blonde-ku digerai seperti biasanya sesuai dengan saran Layla.
“Selamat datang, Nona Winston,” sambut Duchess Harriston di depan pintu kediamannya. Dia menyambut para tamu yang baru datang.
Aku menunduk untuk memberikan salam dan tersenyum padanya. “Terima kasih sudah mengundang saya, Duchess.”
“Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, Nona Winston. Masuklah ke dalam dan berbaurlah dengan bangsawan lain. Aku akan menyusul ke dalam setelah para tamu sudah datang.”
Aku mengangguk. “Baik, Duchess,” kataku sambil berjalan masuk ke dalam.
Aku menghela napas dan menatap seluruh wajah-wajah para bangsawan yang tak asing di mataku. Setelah mengambil anggur di atas meja, aku duduk di sudut ruangan dan menghindari orang-orang.
“Kenapa Nona duduk sendirian di sini?” Itu Rose Hindley, putri dari Baron Hindley. Mata berwarna hijau dan rambut semerah bunga mawar. Sangat cocok dengan namanya. Warna rambut yang mencolok itu masih menjadi misteri di kalangan bangsawan. Pasalnya, tidak ada satu pun keturunan keluarga Hindley yang memiliki rambut merah selain Rose Hindley.
Aku menatapnya dan tersenyum. “Aku sedang tidak enak badan,” ujarku berbohong.
Rose duduk di sampingku dan mengambil gelas berisi anggur di tanganku yang sama sekali tidak kutenggak. “Kalau begitu jangan meminum ini. Nanti Nona bisa tambah sakit.”
Aku ingat jika Rose akhir-akhir ini sangat populer di kalangan bangsawan kelas atas karena bakat memujinya yang bisa membuat semua bangsawan senang.
Saat menjadi calon dari Idris yang dahulu masih menjadi Putra Mahkota pun, dia sering mendekatiku dan berusaha mendapatkan hati serta kepercayaanku. Tapi tetap saja aku merasa jika Rose bukanlah teman bicara yang baik. Oleh karena itu, aku jadi sedikit tertutup jika Rose berada di sekitarku.
“Apakah Nona Charlotte belum memiliki rencana untuk mencari calon suami?” tanya Rose. “Aku tahu jika Nona sangat diincar di antara para bangsawan lelaki.”
Aku benci topik bahasan ini. Aku tak ingat apa yang kukatakan pada Rose saat diberikan pertanyaan ini di masa lalu. Lagipula, kenapa dia memanggilku dengan nama depan? Kami bahkan tidak akrab. “Aku masih belum memikirkan hal itu.”
“Begitu, ya. Padahal Kakakku salah satu pengagum Nona,” ungkap Rose sambil memasang wajah muram.
Oh, anak tertua Baron Hindley? Aku belum pernah melihatnya.
“Yang mulia Putra Mahkota memasuki ruangan!” seru salah seorang Pasukan Kekaisaran Vanhoiren.
Semua orang tertuju pada laki-laki yang amat kukenal itu. Mata hijau zamrud dan rambut emas kekuningan khas keluarga Kekaisaran Vanhoiren. Idris, dia tidak berubah sama sekali. Saking samanya dengan yang dulu, kepalaku seketika sakit seperti dihujam oleh benda tajam.
Aku kembali duduk setelah tadi berdiri bersama seluruh bangsawan lain sebagai bentuk hormat akan kehadiran Idris. Rose menatapku dengan tatapan khawatir.
“Jika parah sebaiknya Nona istirahat saja,” kata Rose memberikan saran.
Aku tidak bisa berdiri. Kepalaku rasanya berputar-putar sekarang. Jika aku berdiri, bisa jadi aku akan langsung jatuh ke lantai dan menjadi bahan tontonan. Jadi pusat perhatian membuatku teringat saat di mana seluruh rakyat Vanhoiren menontonku untuk dieksekusi.
“Aku baik-baik saja jika tetap duduk,” kataku pada Rose.
“Baiklah. Tunggu di sini sebentar, Nona. Aku akan membawakanmu air.”
Baru saja aku ingin menolak, Rose sudah pergi meninggalkanku.
Bagaimana bisa hanya dengan melihat wajah Idris saja aku jadi begini? Yah, sudah seharusnya aku menghindar darinya. Kuharap setelah ini, aku bisa menyelidiki kebusukan Idris tanpa perlu bertatap muka lagi dengannya.
Sekian lama tetap duduk, Rose tak kunjung muncul. Aku bersandar pada sofa empuk milik Duchess untuk meringankan sakit kepalaku. Saat itulah aku kaget karena Idris datang menghampiriku. Ugh, aku harus memberi salam. Tapi saat mengangkat kepala dan melihat wajahnya lagi, sakit kepalaku menjadi lebih parah dari sebelumnya.
Ketika aku berdiri, kesadaranku pun mulai menghilang. Ingatan terakhirku kala itu adalah, wajah Idris yang berada dekat dengan wajahku dan seseorang yang menggendongku.
Setelah aku pingsan, aku terbangun di kamarku lagi. Kuraih segelas air yang telah disediakan di atas nakas. Tenggorokanku kembali segar setelah meneguk air itu. Layla masuk ke kamarku dan terkejut ketika melihatku sudah bangun.
“Maaf, Nona. Saya tidak tahu jika Nona sudah bangun dan lancang tidak mengetuk pintu,” katanya sambil menunduk.
“Tak apa, Layla. Tidak perlu terlalu formal padaku,” ucapku pelan. “Ada apa?”
“Dokter Kekaisaran baru saja pulang setelah memeriksa keadaan Nona, beliau juga memberikan Nona beberapa obat untuk diminum,” jelas Layla.
“Dokter Kekaisaran?”
Layla mengangguk. “Setelah Yang Mulia Putra Mahkota mengantar Nona pulang, Yang Mulia Putra Mahkota memerintahkan Dokter Kekaisaran untuk datang memeriksa kesehatan Nona.”
Aku kaget mendengar hal itu. Bagaimana bisa Idris melakukan hal merepotkan seperti itu untukku yang masih berstatus bukan siapa-siapanya? Aku merinding saat yakin jika yang menggendongku adalah Idris.
“Maaf menanyakan hal ini, Nona. Apa Nona masih belum bisa merelakan kepergian Nyonya Viscountess?” tanya Layla dengan raut wajah khawatir.
Ibuku yang seorang Viscountess memang sudah meninggal sejak aku masih kecil. Dan karena hal itu, aku jadi sering sakit kepala jika melihat sesuatu yang memicu ingatanku tentang Ibu. Jadi, Layla terus memberiku lilin herbal agar aku tetap rileks.
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Layla?” tanyaku pada Layla.
“Dokter Kekaisaran bilang, Nona mengalami sebuah gejala trauma,” kata Layla. “Untuk itulah saya berpi-”
“Kau tidak perlu khawatir, Layla. Aku baik-baik saja sekarang. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku,” potongku.
Layla tersenyum lalu memberikan sebuah amplop kuning yang dia keluarkan dari saku roknya kepadaku. “Pelayan dari kediaman Baron Hindley mengirimkan surat ini untuk Nona.”
Aku menerima amplop itu dan melihat stempel keluarga Hindley. Kubuka amplop itu dan membaca isinya.
Nona Charlotte, aku minta maaf karena membiarkanmu sendirian kemarin. Apakah Nona sudah baikan? Putra Mahkota sangat mengkhawatirkan Nona Charlotte kemarin. Semoga Nona diberkati Dewi Kebajikan.
Tertanda, Rose Hindley
Dalam tata krama Kekaisaran maupun di antara para bangsawan, sudah sepantasnya jika seorang bangsawan meminta ijin terlebih dahulu untuk saling mengirim surat kepada bangsawan yang dituju kecuali untuk hal mendesak.
Rose mengabaikan hal itu dan bersikap seenaknya. Apakah pelajaran tata krama hanya dilewatkan begitu saja olehnya?
“Apa Nona akan membalas surat itu?” tanya Layla.
“Tidak. Besok akan ada pertemuan antar bangsawan di kediaman Grand Duke. Aku akan bicara dengannya nanti.” Bisa kurasakan jika tubuhku sudah kembali fit. “Panggilkan Jayden saat kau keluar nanti. Minta dia menemuiku di ruang kerja besok.”
“Baik, Nona.”
Aku tidak bisa menunda-nunda sesuatu yang sudah ditakdirkan untukku. Untuk sekarang, aku harus pergi ke Perpustakaan Kekaisaran dan mencari buku tentang Kerajaan Wilayah Barat.
Semasa hidupku dulu di masa lalu, Kerajaan Wilayah Barat termasuk kerajaan yang tertutup. Dahulu kerajaan ini sempat berperang dengan Kekaisaran Vanhoiren. Namun, akhirnya memilih gencatan senjata dan tidak pernah berhubungan lagi dengan Vanhoiren. Mereka adalah kerajaan yang independen. Untuk itulah pengetahuan Vanhoiren tentang Kerajaan Wilayah Barat cukup minim.
*
Perpustakaan Kekaisaran hanya bisa dimasuki oleh keluarga Kaisar dan para bangsawan. Aku sering ke sini untuk menghabiskan waktu setelah mengurus pekerjaan di rumah yang merupakan pekerjaan Ibu di masa lampau sebagai Viscountess.
Para penjaga perpustakaan tersenyum padaku saat turun dari kereta kuda. Yah, mereka semua mengenalku karena aku adalah pengunjung lama di sini.
Namun, tetap saja. Meskipun mereka familiar denganku, mencari buku tentang Kerajaan Wilayah Barat adalah sebuah hal yang tidak biasa. Untuk itulah aku membawa Jayden. Jayden adalah tangan kanan Ayah yang sangat akrab dengan Kepala Perpustakaan bernama Ruby.
Selagi aku menunggu Jayden bernegosiasi dengan Ruby, aku mencoba mencari buku-buku menarik lain yang sangat ingin kubaca namun terhalang tugas Ratu dahulu.
Aku menyayangkan semua dedikasiku sebagai seorang Ratu. Apa artinya itu semua? Tidak ada.
“Nona Winston?” Itu ... suara Idris. Aku tidak ingat jika dulu aku pernah bertemu dengannya di perpustakaan. Biar bagaimanapun, segala hal yang berbeda dari masa lalu akan menciptakan masa depan yang berbeda pula.
Aku menunduk untuk memberi salam. “Semoga Yang Mulia Putra Mahkota diberkati Dewi Kebajikan.” Kulihat Idris tersenyum saat aku mengangkat kepalaku.
Sakit kepalaku mulai datang kembali.
“Apa Nona sudah baik-baik saja?” tanya Idris.
“Uhm, y-ya. Terima kasih atas perhatiannya, Yang Mulia,” kataku sambil berusaha tersenyum. Tapi kurasa senyumanku malah lebih seperti seringaian.
“Yang Mulia, kita harus segera pergi,” kata Jack yang daritadi berada di samping Idris.
Idris mengangguk lalu pergi setelah menatapku dan tersenyum. Kakiku lemas hingga tak bisa menopang tubuhku. Aku mengabaikan gaunku yang akan kotor karena duduk di lantai.
Tak sengaja kujatuhkan sebuah buku tebal yang usang dari rak saat mencoba berpegangan pada rak di belakangku untuk berdiri.
Ada sengatan kecil saat kusentuh buku itu. Setelah kusentuh untuk yangkedua kalinya, buku itu tidak lagi menyengat. Mungkin hanya perasaanku saja. Kupegang buku itu dan Jayden pun menghampiriku.
“Bagaimana?” tanyaku pada Jayden. Sakit kepalaku sudah sirna entah ke mana.
“Hanya satu buku yang bisa dipinjam. Besok harus dikembalikan,” jawab Jayden.
Aku tersenyum puas. “Kerja bagus, Jayden. Itu sudah lebih dari cukup.”
Aku pun meminjam salah satu buku tentang Kerajaan Wilayah Barat dan satu buku yang jatuh dari rak. Karena lupa meletakannya kembali di rak, aku terus membawa buku tersebut sampai di bagian peminjaman.
Sampai rumah, aku langsung disambut oleh Rose di ruang tamu. Dia datang ke kediamanku tanpa memberi kabar apa pun. Apa lagi yang dia inginkan?
“Selamat datang, Nona Charlotte,” sambut Rose sumringah. “Apa Nona dari Perpustakaan Kekaisaran?”
“Ya. Ada perlu apa Nona Hindley kemari hingga tidak memberi kabar padaku terlebih dahulu?” tanyaku to the point.
“Maafkan aku. Nona pasti kaget karena aku datang secara tiba-tiba. Aku hanya ingin melihat kondisi Nona Charlotte,” kata Rose bersemangat.
Aku tersenyum. “Sejak kapan kita akrab, Nona Hindley?” tanyaku serius.
Rose bungkam. Sepertinya dia berpikir aku tidak akan berani menyinggung segala bentuk kelancangannya dan terus mengusikku seakan-akan kami adalah teman akrab. Bukannya aku tidak suka, hanya saja aku terganggu jika dia datang dengan semena-mena tanpa memberitahu terlebih dahulu. Itu adalah sebuah tata krama dasar dalam kehidupan bangsawan.
“Maaf menyinggungmu, Nona Hindley. Namun, sebaiknya kau menghentikan sikapmu yang seperti ini. Aku pasti akan membiarkan hal ini dan hanya menegurmu. Tapi, jika bangsawan kelas atas yang kau perlakukan seperti ini ..., aku tidak menjamin hal baik,” tegurku pada Rose.
Semoga setelah ini, dia bisa berubah menjadi lebih baik.
Rose berdiri dari sofa. “Baiklah, Nona Charlotte. Maaf mengganggumu. Kupikir kita sudah cukup akrab untuk saling menjenguk satu sama lain saat salah satu di antara kita sakit. Aku pamit pulang dulu,” kata Rose yang kemudian pergi tanpa mendengar tanggapanku.
Aku bisa mendengar Rose berdecak kesal di luar ruang tamu. Ternyata dia memang tipe gadis seperti itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!