NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Dua Cincin (Aku Yang Tak Dirindukan)

Bab 1. Penghianatan, Pernikahan, Kematian

"Apa kamu hamil anaknya mas Riki?" Teriak Dinda, ia terkejut sekali--gus kecewa saat mendengar pengakuan dari Bella, adik kandungnya sendiri, bahwa adiknya itu kini tengah mengandung anak dari calon suaminya.

Bella menundukkan kepalanya, ia tak berani menatap kakaknya, "maafkan aku mbak," lirih Bella.

Dinda mengeleng-gelengkan kepalanya, seakan ia tak percaya dengan kenyataan yang saat ini ia dengar, bagaimana bisa? Adik kandungnya dan calon suaminya itu tega berbuat sekejam ini kepadanya. Apa salah Dinda? Kenapa mereka menusuk Dinda dari belakang seperti ini?

"Dinda maafkan aku, aku khilaf." Ucap Riki, ia mencoba menjelaskan apa yang sudah terjadi. Raut penyesalan terpancar dari wajahnya.

Dinda mematung terdiam, tubuhnya seketika terasa lemas. Hancur, hatinya sangat hancur. Bagaimana tidak? Hari ini tepat hari pernikahannya dan Riki akan di langsungkan.

Semua persiapan sudah selesai, para tamu undangan sudah berdatangan. Namun kenyataan pahit harus Dinda rasakan. Penghianatan Riki dan Bella sangat menyakitkan.

Air mata lolos begitu saja dari pelupuk mata indah milik Dinda, dadanya terasa ditusuk ribuan belati. Dinda tak memperdulikan riasan make-up yang sudah terpoles rapi di wajahnya terhapus oleh air matanya.

Ia membiarkan make-up itu hancur, luntur, seperti perasaannya saat ini. Dunianya terasa hancur lebur.

"Cukup, kalian berdua pergi dari sini," bentak Atmaja, Ayah Dinda kepada Riki dan Bella.

"Dan kamu," ia menunjukkan Bella, putri bungsunya, "mulai saat ini kamu bukan putriku lagi, pergi dari sini dan jangan anggap kami keluargamu lagi. Aku tidak Sudi mempunyai anak sepertimu."

Amarah dan kekecewaan terpancar jelas dari wajah laki-laki parubaya itu, malu sungguh ia malu mempunyai anak seperti Bella. Yang tega menghianati kakaknya dan menghancurkan semuanya.

"Ayah, maafkan aku..." Lirih Bella, sambil terisak tangis.

"Pergi..." Teriak Atmaja, ia mengusir Bella. Sambil memegangi dadanya yang mulai terasa sesak. Atmaja memang mempunyai riwayat sakit jantung, ia sangat shock mendapati kenyataan ini, membuat kondisi jantungnya mulai tak stabil.

Bella dan Riki pasrah, akhirnya mereka--pun keluar dari dari rumah tersebut. Atmaja langsung menarik Dinda kedalam pelukannya. Ia mengerti apa yang kini tengah di rasakan putrinya, jangankan Dinda, ia--pun merasa sulit menerima kenyataan tersebut.

"Ayah, kenapa mereka tega melakukan semua ini padaku?" Lirik Dinda, di sela isakkan tangisnya.

Atmaja tak bisa bicara apa-apa, ia mengelus punggung Dinda, berharap putrinya itu tegar dan bisa menerima semuanya. Entahlah saat ini Atmaja juga bingung harus bagaimana? Apa pernikahan putrinya akan di batalkan? Bagaimana dengan para tamu undangan yang sudah datang? Sudah cukup malu Atmaja dengan kelakuan Bella, yang sudah mencoreng namanya, bahkan seperti menaruh kotoran di wajahnya, apa kini Atmaja sanggup menanggung malu yang kedua kalinya, jika pernikahan Dinda dibatalkan. Sudah di pastikan banyak omongan orang yang terdengar tidak nyaman. Bukan hanya kepadanya, tapi kepada Dinda, apa lagi kalau mereka tau pernikahan Dinda batal gara-gara calon suaminya sudah menghamili Bella, adik kandung Dinda. Ia tidak mau Dinda dijadikan bahan ocehan orang-orang.

"Sudah jangan menangis, ayah akan cari jalan keluarnya!" Ucap Atmaja, ia melepaskan pelukannya, lalu menangkubkan tanganya di pipi Dinda, sebisa mungkin Atmaja harus terlihat kuat dimata putrinya itu. Walau--pun sebenarnya dadanya sudah semakin sesak.

Dinda tak bergeming, pikirnya sudah tak mencerna setiap ucapan ayahnya. Tatapan matanya--pun kosong. Entah apa yang tengah wanita itu pikirkan saat ini. Atmaja--pun berajak dari kamar Dinda.

Dinda memejamkan matanya sejenak, berharap air matanya berhenti mengalir membasahi wajahnya. Dinda juga berharap ketika ia membuka matanya, semua ini hanya mimpi. Beberapa detik Dinda memejamkan matanya lalu ia membuka kembali matanya.

Tidak, semua ini bukan mimpi. Semua ini nyata, Riki dan Bella memang sudah menghianatinya. Air mata lagi-lagi semakin mengalir deras. Dinda hanya bisa meratapi nasib malang yang kini menimpanya.

Tak lama kemudian, Atmaja terlihat kembali memasuki kamar Dinda. Dinda menoleh sekilas kearah ayahnya yang berjalan mendekat kearahnya.

"Dinda, pernikahan ini akan tetap berlangsung!" Ucapnya.

Dinda langsung menatap kearah ayahnya, "maksud Ayah? Aku dan mas Riki akan tetap menikah?" Tanya Dinda, ia langsung mengelengkan kepalanya. "Dinda tidak mau ayah, mas Riki sudah menghianatiku, aku tidak mungkin tetap menikah dengannya!"

"Tidak Dinda, kamu tidak akan menikah dengan Riki. Ayah juga tidak mungkin menikahkan kamu dengan laki-laki itu, setalah apa yang sudah ia lakukan. Kamu akan menikah dengan Aditia, dia putra dari sahabat ayah," jelasnya.

"Apa? Tidak ayah. Dinda tidak mau," tolak Dinda cepat, ia tak mungkin menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak ia kenali.

Atmaja langsung memegangi dadanya, ia tak bisa menahan lagi sakit yang sedari tadi ia tahan. Jantungnya semakin tidak stabil, apa lagi mendengar penolakan dari Dinda.

"Ayah," teriak Dinda terkejut. Ia langsung membantu Ayahnya duduk di tepi ranjang. Lalu Dinda mengambil gelas yang berisi air putih, yang berada di atas nakasnya.

"Minum dulu yah," pinta Dinda. Ia menyodorkan gelas tersebut kepada ayahnya.

Dengan tangan yang gemetar, Atmaja mengambil gelas tersebut, Dinda membantu Atmaja meminum air putih tersebut.

"Ayah, sebaiknya kita ke dokter sekarang!" Ajak Dinda, ia takut terjadi apa-apa kepada Ayahnya.

"Tidak usah,'' tolak Atmaja.

"Tapi ya---"

"Tidak Dinda. Ayah akan sembuh jika kamu menuruti permintaan Ayah. Jika kamu sayang sama ayah, tolong. Tolong menikahlah dengan Aditia. Kita tidak mungkin membatalkan acara ini Dinda, mengertilah posisi ayah."

Dinda tak menjawab, ia mencoba mencerna semua ucapan ayahnya. Pilihan yang sangat sulit untuk Dinda, ia sangat mengkhawatirkan kondisi Ayahnya, namun di sisi lain, Dinda tidak mungkin menyanggupi permintaan Ayahnya itu.

Atmaja yang melihat Dinda tak menjawab ucapnya, ia--pun membuka suaranya kembali. "Dinda apa kamu tidak sayang sama ayah? Jika pernikahan ini dibatalkan mau di simpan dimana wajah kita. Pikirkan dampaknya Dinda, sudah cukup adikmu membuat malu ayah. Apa kamu juga akan melakukannya?"

"Ayah melakukan semua ini demi kebaikan kita Dinda. Ayah tidak mau kalau nantinya kamu menjadi bahan gosip orang-orang, apa lagi kalau mereka tau, pernikahan kamu batal gara-gara, Riki sudah menghamili Bella," lanjut Atmaja. Ia berusaha agar Dinda menyetujui semuanya. Tanganya masih memegangi dadanya, nafasnya mulai tidak beraturan, menandakan bahwa kondisinya semakin memburuk.

'Ya tuhan, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa harus aku menikahi laki-laki itu? Aku tidak ingin mengecewakan ayah.' batin Dinda.

"Baiklah Ayah, Dinda akan mau." Ucap Dinda. Ia terpaksa menyetujui semuanya, demi sang Ayah.

Seulas senyuman terpancar dari bibir Atmaja, "terima kasih, kamu sudah menuruti permintaan Ayah!" Ada sedikit rasa lega di hati Atmaja. "Maafkan ayah Dinda, ayah terpaksa melakukan semua ini." Lanjutnya dalam hati.

Dinda memaksakan senyumanya. Dinda sudah pasrah, jika memang ini takdir yang sudah digariskan Tuhan untuknya, Dinda akan mencoba berlapang dada menerimanya.

Dinda hanya berharap jika laki-laki yang akan menikahinya itu, lebih baik dari Riki.

Atmaja dan Dinda--pun bersiap-siap. Atmaja turun kebawah ia bergabung dengan penghulu, yang sudah datang sedari tadi. Sementara Dinda, ia merapikan terlebih dahulu make-upnya oleh MUA.

Tak lama kemudian, Dinda selesai. MUA langsung menuntun Dinda menuju kebawah.

Para tamu undangan menatap takjub kearah Dinda, yang terlihat sangat cantik dan anggun. Dinda hanya tersenyum tipis

Saat orang-orang memujinya, walaupun ini pernikahan yang tak diinginkan Dinda, namun sebisa mungkin Dinda harus bisa pura-pura bahagia, menampakan senyuman palsunya.

Dinda langsung duduk di samping Aditia, laki-laki yang menjadi pengganti calon suaminya itu nampak acuh. Bahkan tak melirik Dinda sekali--pun yang saat ini sudah duduk di sampingnya.

Dinda yang melihat Aditia dari sudut matanya, Dinda akui dari segi ketampanan, Riki jauh dibanding Aditia. Namun Dinda tidak tau bagaimana sifat laki-laki itu, Dinda hanya berdoa semoga Aditia laki-laki yang baik, laki-laki yang bisa menuntun rumah tangganya kelak menuju surganya. Walaupun menikah tanpa cinta, Dinda berharap suatu saat nanti baik Aditia ataupun dirinya, bisa saling mencintai.

"Bagaimana apa sudah siap?" Tanya penghulu. Kepada kedua calon pengantin, wali dan para saksi. Mereka semua menganggukan kepalanya.

"Baiklah, mari kita mulai." Penghulu membuka acara akad nikah tersebut dengan doa. Sebelum Aditia mengucapkan ijab kobulnya.

Setelah itu, penghulu meminta Aditia menjabat tangan walinya Dinda, yang tak lain adalah Atmaja, ayahnya Dinda.

"Aditia Mehendra saya nikah dan kawinkan engkau dengan putri saya yang bernama Dinda Alzaira bin Atmaja dengan mas kawin 111 gram emas dan seperangkat alat solat dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Dinda Alzaira dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah!"

"Sah!"

Ucap mereka serentak, lalu bertepuk tangan. Usai itu penghulu memimpin doa penutup akad nikah tersebut.

Dinda meraih tangan Aditia yang kini sudah sah menjadi suaminya dimata hukum dan agama itu. Dinda menyalami Aditia takzim. Sebagai tanda bakti istri kepada suami. Setelah itu, Aditia meraih tengkuak Dinda, lalu mendaratkan kecupan di kening wanita itu. Tidak ada senyuman sama sekali di wajah Aditia.

"Bruuugg..."

"Ayah..." Teriak Dinda, yang melihat ayahnya Atmaja, jatuh dari kursi yang ia duduki.

Dinda terkejut, ia langsung mendekati Ayahnya, begitu juga para tamu undangan mereka ikut terkejut pula.

"Ayah, ayah. Bangun yah..." Dinda mengoyang-goyangkan tubuh ayahnya, sambil terisak tangis.

"Din--da, berjan--jilah, ka--mu ti--tidak ak--kan berpi--sah de--dengan su--amimu,'' ucap Atmaja lirih, bahkan terbata-bata, karna ia berbicara sambil menahan sakit, di dadanya.

Belum sempat Dinda menjawab, Atmaja sudah menutup matanya.

"Inalilahiwainalilahi'rojiun." Ucap penghulu, yang baru saja memeriksa keadaan Atmaja, ia mencoba merasakan denyut nadi dan nafas Atmaja, namun sayangnya Atmaja sudah tiada.

"Tidak... Ayah... " Teriak Dinda, ia memeluk jasad sang Ayah. Air mata mengalir deras membasahi wajahnya.

Bersambung...

Hay selamat datang di karyaku aku yang terbaru, semoga kalian suka ya.

Btw novel ini lagi ikut lomba, "Berbagi Cinta" mohon dukungannya ya teman-teman semua.

Jangan lupa kasih like, komen dan Votenya.

Yang mau tanya-tanya, boleh Dm ke Ig aku ya.

@Ar_Inthan99

Terima kasih.

Bab 2. Bagai jatuh tertimpa tangga

Rumah Dinda masih ramai, namun bukan untuk merayakan repsesi pernikahannya, tetapi ramai orang yang melayad dan mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Atmaja sang Ayah.

Dinda masih menangis pilu, di depan jasad sang Ayah yang sudah terbujur kaku. Ayahnya sudah tiada, meninggalkan Dinda untuk selama-lamanya.

"Sabar nak, ini semua sudah takdir. Ikhlaskan Ayahmu," ucap seorang wanita. Ia mengusap lembut bahu Dinda. Dinda tak mengenali siapa wanita itu.

"Aditia tenangkan istrimu," ucap wanita itu kembali, ia berbicara kepada Aditia suaminya Dinda.

Aditia terlihat menghelai nafasnya, lalu ia mendekati Dinda. Menuruti apa yang dikatakan mamahnya.

"Sudahlah, jangan menangis. Biarkan ayahmu tenang." Ucap Aditia kepada Dinda, namun dengan ekspresi wajah yang dingin.

Dinda tak menghiraukannya, ia masih tetap menangisi kepergian mendiang ayahnya itu.

Setalah itu jasad ayahnya Dinda, di mandikan, lalu dikapani. Setalah selesai mereka membawanya ke masjid untuk menyolatinya. Setelah itu, mereka semua mengantarkan jasad Atmaja ke peristirahatan terakhirnya.

Jasad Atmaja kini mulai di masukan ke liang lahat, perlahan tanah mulai menutup jasad tersebut. Hingga tanah itu penuh dan membentuk makam seperti pada umumnya.

Ustad memimpin doa penutup, semua orang menadahkan tanganya, ikut serta mendoakan mendiang Atmaja. Tak lama kemudian doa selesai.

Satu persatu pelayad yang mengantarkan mendiang Atmaja mulai meninggalkan pemakaman tersebut. Kini hanya ada Dinda, Aditia dan mamah serta papah Aditia, yang tak lain mereka kini mertua Dinda.

Dinda masih berjongkok, tanganya mengelus nisan sang Ayah, air mata masih setia membasahi wajah cantiknya.

'Ayah, maafkan Dinda. Dinda belum bisa jadi anak yang berbakti sama Ayah. Dinda belum bisa bahagiain Ayah. Kenapa ayah pergi secepat ini yah? Semoga Ayah tenang di alam sana, semoga Ayah mendapatkan tempat yang paling indah disisinya. Ayah tidak perlu khawatir, Dinda janji akan menuruti permintaan terakhir Ayah. Apa--pun yang terjadi, Dinda dan laki-laki pilihan Ayah itu, tidak akan berpisah.' gumam Dinda dalam hatinya.

"Dinda, ayo kita pulang!" Ajak seorang wanita, wanita itu adalah wanita yang tadi terus menyemangati Dinda.

Dinda menoleh kearah wanita itu, wanita itu tersenyum saat Dinda melihat kearahnya.

"Maaf, Tante siapa?" Tanya Dinda, dengan suara khas orang yang masih bersedih.

"Saya Amira, jangan panggil Tante, panggil saya mamah. Saya mamahnya Aditia, suami kamu. Kamu sekarang menantu saya!" Jelasnya.

"Iya benar sekarang kamu menantu kami, saya Mahendra, papahnya Aditia." Timpalnya.

Dinda memaksakan senyuman tipisnya, lalu menganggukan kepalanya.

'Jadi mereka orang tuanya mas Aditia. Mereka mertuaku? Kelihatanya mereka sangat baik. Ya tuhan semoga ini awal yang baik.' batinnya.

Sedangkan Aditia, ia tak menyahut obrolan orang tua dan istrinya itu. Aditia hanya memasang wajah datar dan dinginnya.

Sangat-sangat acuh dan tak perduli sama sekali.

"Ayo kita pulang!" Ajak Aditia, ia membuka suaranya kembali. Karna ia sudah merasakan kakinya pegal, akibat sedari tadi berdiri.

Orang tua Aditia menganggukan kepalanya, begitu juga dengan Dinda. Mereka--pun mulai meninggalkan pemakaman tersebut.

"Dinda, kami pamit duluan ya! Kamu ikut saja bersama suami kamu, papah ada metting dadakan, maaf ya jadi kami gak bisa ngantar kalian!" Sesal Amira.

"Iya mah, tidak apa-apa!"

"Ya sudah, Adit kamu antar istri kamu dulu kerumahnya untuk mengambil pakaiannya, lalu kamu bawa saja dia tinggal di rumah kamu," titah Amira.

"Iya mah," jawab Aditia memalas.

Dinda dan Aditia merah tangan Amira dan Mahendra, sebelum mereka pergi. Setalah mobil yang digunakan kedua orang tuanya itu, Dinda dan Aditia masuk kedalam mobil. Aditia langsung melajukan mobilnya menuju rumah Dinda.

Dalam perjalanan, baik Dinda maupun Aditia tidak ada yang membuka suaranya. Suasana dalam mobil tersebut hening, mereka larut dalam pemikiran mereka masing-masing. Dinda yang masih merasa kehilangan sang Ayah, ia masih larut dalam kesedihannya.

Sebenernya, Dinda tak ingin seperti. Ia berusaha agar air matanya tidak menetes lagi, sedangkan Aditia entah apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, yang pasti seorang Aditia tidak bisa di tebak bagaimana perasaannya.

Hingga tak lama mereka sampai, Dinda turun dari mobil tersebut.

"Bawa barang-barang yang penting saja!" Ucap Aditia kepada Dinda, yang hendak keluar dari mobilnya.

"Ya," jawab Dinda singkat. Dinda--pun berjalan masuk ke dalam rumahnya.

Sementara Aditia menunggu Dinda di dalam mobilnya. Beberapa menit kemudian, Dinda kembali dengan menyeret satu buah koper berukuran sedang.

"Masukkan kopermu kebelakang, hati-hati jangan sampai mobilku tergores sedikit--pun," titah Aditia. Dinda hanya menganggukan kepalanya. Bukankah seharusnya Aditia membantunya? Dia sekarang sudah menjadi suami Dinda. Namun Dinda tak ambil pusing, hanya sebuah koper saja, dia bisa mengatasinya sendiri, pikirnya.

Usai memasukan kopernya ke bagasi, Dinda masuk ke dalam mobil kembali. Aditia langsung melajukan mobilnya meninggalkan rumah tersebut.

Lagi-lagi dalam perjalan mereka masih sama-sama diam. Hening, itulah suasana yang kini mendominasi di dalam mobil tersebut.

Sekitar menempuh perjalan kurang lebih satu jam, akhirnya mobil Aditia berhenti di depan sebuah rumah mewah. Dinda menatap takjub rumah tersebut. Benarkah ini rumah milik Aditia? Sekaya apa sebenarnya suaminya itu?

"Turun," titah Aditia. Dinda menganggukan kepalanya, lalu ia ikut turun dari mobil tersebut bersama suaminya itu. Tak lupa Dinda mengambil terlebih dahulu koper miliknya yang berada di bagasi.

Dinda berjalan mengikuti Aditia dari belakang, suaminya itu masih acuh. Sama sekali tak menghiraukannya, bahkan terkesan seperti tidak menganggapnya ada.

Seorang wanita membukakan pintu menyambut ke kedatangan mereka. Wanita itu bernama Santi, asisten rumah tangga di rumah Aditia.

"Biar saya yang bawakan nyonya!" Ucap bi Santi, ia mengambil alih koper yang di bawa oleh Dinda. Dinda hanya mengangguk dan tersenyum, membiarkan kopernya di bawa oleh bi Santi.

Mereka berjalan masuk ke dalam rumah mewah tersebut, lagi-lagi Dinda di buat takjub dengan isi rumah tersebut. Barang-barangnya terlihat sangat mahal. Rumah tersebut juga sangat besar, sangat jauh berbeda dengan rumah miliknya. Dinda memang bukan terlahir dari keluarga kaya raya, selama ini Dinda yang menanggung kehidupan keluarganya, mendiang Ayahnya sudah tidak berkerja karna kondisi kesahatannya yang sangat rentang, bahkan Dinda yang selama ini membiayai kuliah adiknya Bella. Ibu Dinda sudah meninggal saat Dinda masih kecil. Tapi sangat di sayangkan perjuangan Dinda, sama sekali tidak di hargai oleh adiknya, Bella. Bella bahkan tega merebut Riki, calon suaminya. Bahkan sampai hamil anak laki-laki itu, memang miris nasib Dinda.

"Mas, apa kamu tinggal sendiri di rumah sebesar ini?" Tanya Dinda kepada Aditia.

"Tidak," jawab Aditia singkat.

"Sayang..." Teriak seorang wanita cantik berpenampilan sexy, yang tengah berjalan menuruni anak tangga, wanita itu menampakan senyuman manisnya kepada Aditia.

'Sayang?' gumam Dinda, ia menatap bingung kepada wanita itu. Yang memanggil suaminya dengan sebutan sayang.

'Siapa wanita itu?' gumam Dinda lagi, ia bertanya-tanya dalam hatinya.

Aditia terlihat menampakan senyumannya, ia merentangkan tangannya, lalu memeluk wanita itu. Terlihat pancaran cinta dan sayang dari mata Aditia kepada wanita itu.

Dinda masih terdiam, ia benar-benar tak mengerti, dengan sikap suaminya dan wanita tersebut, mereka terlihat sangat dekat. Bahkan seperti sepasang kekasih atau lebih, mereka sangat mesra. Apa mungkin wanita itu adiknya Aditia? Tapi kenapa memanggil Aditia dengan sebutan sayang?

"Ini wanitanya?" Tanya Lisa, ia menatap kearah Dinda, dengan tatapan yang sulit diartikan, bahkan bibirnya mengulas senyuman smirk.

Aditia menghelai nafasnya, lalu mengangguk pelan.

"Tidak terlalu buruk! Siapa namamu?" Tanya Lisa kepada Dinda.

Dinda tersenyum tipis, ia mengulurkan tanganya kearah Lisa. Sambil menyebutkan namanya. "Dinda."

"Lisa," ucap Lisa sambil menerima uluran tangan Dinda, "saya istrinya Aditia." Lanjutnya.

Deg...

Jantung Dinda terasa berhenti berdetak. Apa, Lisa istrinya Aditia? Apa maksud semua ini? Jadi Aditia sudah mempunyai istri, lalu untuk apa dia menikahi Dinda?

"Kau maduku," ucap Lisa lagi.

Dinda mengalihkan pandanganya kearah Aditia, sorot matanya meminta Aditia untuk menjelaskan semuanya.

"Ya, Lisa istriku. Dia istri sah--ku. Kamu harus menghormatinya, bersikap baik padanya. Kau mengerti!" Jelas Aditia.

Dinda mengeleng-gelangkan kepalanya pelan. Dinda sangat terkejut, Matanya mulai berkaca-kaca. Cobaan apa lagi ini? Ternyata Aditia sudah mempunyai istri dan Dinda dijadikan istri kedua oleh Aditia.

"Kenapa kamu menikahiku, jika kamu sudah mempunyai istri? Dan kenapa kamu tidak memberitahuku sejak awal mas?" Tanya Dinda, diiringi dengan air mata yang lolos dari pelupuk mata indahnya.

"Apa itu penting?" Aditia malah berbalik tanya.

"Tentu saja, kamu sudah menipuku mas. Andai saja aku tau kamu sudah mempunyai istri, aku tidak akan mau menikah denganmu!"

"Dan kamu mbak Lisa, kenapa kamu membiarkan suamimu menikah lagi? Apa kamu rela cintanya terbagi?" Lanjut Dinda, bertanya kepada Lisa istri pertama suaminya.

"Cinta? Kamu jangan berharap saya akan memberikan cinta saya sama kamu. Cinta saya hanya untuk Lisa, saya juga tidak Sudi menikahimu jika ini semua bukan kemauan istri dan orang tua saya. Wanita malang yang dicampakkan oleh calon suaminya, bahkan calon suaminya menghamili adik kandungnya sendiri. Harusnya kamu berterima kasih, karna saya sudah mau menikahimu dan membebaskanmu dari rasa malu." Papar Aditia. Sambil tersenyum mengejek istri mudanya itu.

"Lalu apa tujuan kalian sebenarnya?"

"Kamu mau tau tujuan kita?" Sahut Lisa, ia memberikan senyuman smirknya, "tujuan mas Aditia menikahimu, hanya untuk membuat kami mempunyai anak!" Jelasnya.

Lagi-lagi Dinda terkejut, ia benar-benar tak percaya dengan kenyataan yang saat ini ia ketahui. Aditia menikahinya hanya untuk memanfaatkannya, hanya butuh rahim Dinda, agar dapat memberikan anak untuk mereka.

"Dan asal kamu tau ya! Andai saja kandunganku tidak bermasalah, aku tidak akan membiarkan suamiku menikahimu." Ucap Lisa lagi.

"Sudahlah sayang, aku capek. Kita istirahat saja!" Ajak Aditia, ia mengandeng tangan Lisa dengan mesra. Aditia malas berdebat, kepala dan tubuhnya sudah terasa tidak bersahabat.

Lisa menganggukan kepalanya, lalu mereka berjalan meninggalkan Dinda yang masih mematung, melihat mereka yang berjalan menaiki anak tangga.

Bagai jatuh tertimpa tangga, itulah yang kini tengah Dinda rasakan, hatinya masih terasa sakit akibat penghianatan dari Riki dan Bella, ditambah dengan kepergian sang Ayah, dan sekarang, Dinda harus mendapati kenyataan yang lebih pahit lagi, bahwa Aditia sudah beristri, Dinda dijadikan cincin kedua oleh suaminya.

'Ya tuhan, cobaan apa lagi ini? Kenapa datang bertubi-tubi? Aku tidak sanggup tuhan!' batin Dinda.

Bersambung..

Jangan lupa like, komen dan votenya ya.

Terima kasih buat kalain yang sudah mampir baca, ikutin terus kelanjutanya ya! Dan simpan di rak favorit kalian juga, biar dapat notifikasi, kalau sudah up nantinya.

I love you all.

Thank You....

Bab 3. Aku yang tak dirindukan

Dinda menatap nanar kepergian suami dan istri pertamanya itu. Sakit, sungguh mengiris hati Dinda, memang Dinda tak mencintai Aditia. Dinda terpaksa menikah dengannya. Tapi walaupun begitu, awalnya Dinda berpikir keputusannya menikah dengan Aditia. Mampu mengobati luka dihatinya. Tapi nyatanya tidak. Dinda merasa dibodohi oleh Aditia, lalu sekarang Dinda harus bagaimana? Mengakhirinya?

Entahlah, posisinya sungguh sulit saat ini. Dinda teringat kembali pesan terakhir dari mendiang sang Ayah, yang menginginkan bahkan meminta Dinda untuk berjanji mempertahankan pernikahannya dengan Aditia. Dan naasnya Dinda sudah mengiyakan janji tersebut. Dinda tak tau jika semuanya akan seperti ini! Dinda tak tau jika Aditia sudah beristri. Kenapa? Kenapa ayahnya menikahkan dirinya dengan laki-laki yang sudah beristri? Apakah Ayahnya sudah tau kebenaran ini? Ataukah tidak?

Mampukah Dinda menjalani hari-harinya dengan status istri kedua Aditia? Sementara sikap Aditia condong terhadap Lisa sang istri pertama, sudah dipastikan di sini Dinda yang akan tersiksa. Tidak akan ada keadilan untuknya. Ya tuhan, seberat inikah cobaan yang harus Dinda rasakan?

Nasi sudah menjadi bubur, demi menepati janji kepada mendiang sang Ayah, Dinda bertekad akan menjalankan semuanya. Dinda pasrahkan semuanya, jika memang ini sudah jalan takdirnya, Dinda akan berusaha sekuat tenaga, mempertahan pernikahannya. Dinda hanya bisa berdoa kepada yang maha kuasa agar dirinya di berikan kesabaran untuk menjalaninya. Dinda tau tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas umatnya, Dinda berharap suatu hari nanti, semua akan indah pada waktunya. Walau--pun entah kapan waktu indah itu tiba.

'Ya tuhan, berikan aku kekuatan, kesabaran dan ketabahan untuk menjalankan pernikahan ini,' batin Dinda.

"Nyonya," panggil bi Santi kepada Dinda. Dinda buyar dari lamunannya. Ai segara mengusap air mata yang membasahi wajah cantiknya itu.

"Iya bi," jawab Dinda. Ia mencoba tersenyum, Dinda tidak ingin terlihat lemah di mata orang lain. Jangan sampai orang lain tau kesakitannya itu.

"Bibi sudah membawa koper nyonya ke kamar nyonya. Kamarnya ada di sebelah sana nyonya." Ucap bi Santi, ia menunjuk salah satu pintu kamar yang tak jauh dari sana.

"Baik bi, terima kasih!"

"Sama-sama nyonya, kalau begitu bibi permisi kebelakang dulu," pamit bi Santi. Diangguki oleh Dinda, ia--pun berjalan menuju kamarnya.

Klek

Dinda membuka pintu kamar tersebut, dilihatnya sebuah ranjang berukuran besar terletak disana. Kamarnya cukup mewah bagi Dinda, sangat jauh berbeda dengan kamar miliknya dulu, bahkan menurut Dinda kamar ini sudah seperti kamar hotel bintang lima. Isinya lengkap. Dinda--pun mulai melangkahkan kakinya ke dalam kamar tersebut, Dinda berjalan menuju ranjang, lalu ia duduk di tepi ranjang tersebut.

Dinda termenung kembali, walau--pun ia sudah mencoba mengikhlaskan kondisinya saat ini, namun tetep saja Dinda tak bisa membohongi dirinya sendiri, tak ada rasa nyaman sama sekali di tempatnya kini. Air mata lagi-lagi lolos begitu saja dari pelupuk mata indahnya.

POV Dinda.

Tuhan kenapa engkau memberikanku ujian seperti ini, berat tuhan! Ini sangat berat. Hatiku masih sangat hancur dengan penghianatan yang sudah diberikan laki-laki yang sangat aku cintai. Dan dalam waktu bersamaan engkau ambil orang yang sangat aku cintai juga, ayahku. Dia adalah laki-laki terhebatku, kenapa engkau ambil secepat itu tuhan. Dan kini, aku harus menjalani statusku sebagai istri kedua dari laki-laki yang sama sekali tidak aku kenali.

Aku merasa menjadi wanita paling terhina dimuka bumi ini, aku hadir menjadi orang ketiga dalam rumah tangga mereka, aku melihat mereka saling mencintai. Aku yakin tidak akan ada cela di hati mas Aditia untukku, tuhan aku tau poligami dalam agamaku itu diperbolehkan, tapi jika keadilan dalam poligami itu tidak dilaksanakan, apa surga dalam rumah tangga itu dapatku temukan?

~Aku yang tak dirindukan~

~Dinda Alzaira.

***

Sementara itu, Aditia dan Lisa baru saja memasuki kamar mereka. Wajah Aditia terlihat sangat suram, bagaimana tidak? Kini ia sudah mempunyai istri dua. Ia merasa sudah menghianati Lisa istri tercintanya, walaupun Aditia ini semua keinginan Lisa, atas izin Lisa dia menikah lagi dengan Dinda.

Tapi tetap saja, Aditia merasa sudah merusak surga dalam rumah tangganya.

Andai saja kedua orang tuanya, tak menuntut Aditia dan Lisa segera memberikan cucu kepada mereka, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Di sisi lain, Aditia juga tidak bisa menerima Dinda. Cinta memang sudah dipastikan tidak ada, Aditia sama sekali tidak mencintai Dinda, ia menikahi Dinda hanya untuk memanfaatkan rahim Dinda. Tapi jujur saja Aditia merasa bersalah, ia merasa kasian dengan Dinda yang menjadi keegoisan keluarganya.

Sekarang Aditia harus bagaimana? Belum genap satu hari ia menikahi Dinda, ia merasa rumahnya sudah seperti neraka. Tidak ada kenyamanan yang rasakan Aditia.

Lalu bagaimana hari-hari selanjutnya? Kini Aditia sudah berpoligami, tapi ia tidak bisa membagi cintanya, hatinya tetap utuh untuk Lisa. Bukankah berpoligami itu diharuskan adil kepada istri-istrinya? Menerima pernikahannya dengan Dinda saja, Aditia tidak bisa, bagaimana ia bisa adil terhadapnya?

Apa Aditia bisa membimbing kedua istrinya menuju surga? Akankah rumah tangga mereka menjadi istana, yang di penuhi dengan kebahagiaan nantinya? Jawabannya tidak, Aditia tidak yakin melakukan hal itu.

Aditia tau Lisa tak menerima keberadaan Dinda dalam rumah tangganya, Aditia tau Lisa hanya bersandiwara. Dalam lubuk hati terdalam Lisa ia tak rela jika Aditia menikah lagi. Namun jika Lisa tak melakukan hal itu, ia kan kehilangan Aditia selama-lamanya.

Mana ada seorang istri yang ingin cintanya di bagi? Wanita seperti itu hanya wanita pilihan, bisa menerima namun belum pasti bisa menjalankan.

"Mas kamu kenapa sih? Kok wajahnya gak ada gairah banget!" Tanya Lisa, sedari tadi ia memperhatikan suaminya yang terlihat gelisah, bahkan tidak bersemangat.

Aditia menghelai nafas beratnya, ia menatap kearah Lisa dengan lekat. Lisa tersenyum kepada Aditia yang tengah memandanginya itu.

"Maafkan aku," ucap Aditia dengan lirih.

"Maaf?" Lisa menatap heran kepada Aditia, "maaf untuk apa mas?" Lanjutnya bertanya.

Aditia meraih tangan Lisa, ia menggenggamnya dengan erat, "maafkan aku, aku sudah menodai pernikahan kita."

"Tidak mas. Mas tidak usah minta maaf ini sudah menjadi keputusan kita bersama. Aku sudah mengizinkan kamu menikahi dia mas, tapi ada satu hal yang harus mas ingat, tujuan mas menikahi wanita itu."

"Iya mas pasti mengingatnya. Tujuan pernikahan mas dengannya, agar kita bisa mempunyai anak. Bersabarlah sayang, mas akan secepatnya mengakhiri semua ini. Setelah dia hamil, lalu melahirkan anaknya, mas pasti akan menceraikannya." Tutur Aditia, ia mendaratkan kecupan di kening Lisa.

"Maafkan aku mas," Lisa langsung memeluk Aditia, "andai saja aku bisa memberimu keturunan, mungkin semua ini tidak akan terjadi, maafkan aku yang tak sempurna ini mas," lanjut Lisa. Ia terisak tangis dalam pelukan Aditia.

Aditia mengusap kepala Lisa, "jangan bicara seperti itu sayang. Kamu wanita paling sempurna di mataku, aku menikahimu bukan karna aku ingin memiliki anak darimu, tapi aku ingin hidup bersamamu. Jika saja orang tuaku tak menuntut seorang cucu, aku tidak akan melakukan ini, maafkan aku, aku sudah menyakitimu." Ucap Adita, dengan mata berkaca-kaca.

Lalu mereka melepaskan pelukannya, Aditia mengusap lembut air mata yang membasihi pipi istrinya itu. Lisa tersenyum, ia merasa sangat beruntung memiliki suami seperti Aditia. Lisa pikir, setalah suaminya itu menikah lagi, sikapnya akan berubah, tapi ternyata salah, Aditia masih seperti yang dulu, mencintai dan menyayanginya.

'Aku harap kamu akan tetap seperti ini mas, walaupun kini istrimu bukan hanya aku. Aku berharap kamu tidak akan tergoda dengan istri mudamu itu,' gumam Lisa.

Bersambung...

Jangan lupa, like, komen dan Votenya.

Terima kasih.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!