NovelToon NovelToon

Dia Milikku ( Berbagi Cinta )

Will You Marry Me

Siapa yang tidak bahagia, saat mendengar permintaan sang kekasih, di malam romantis yang bertabur bintang di langit.

"Will you marry me?"

Bahagia. Rasa hati ingin terbang ke langit malam, dan memeluk bintang. Dada terasa penuh dengan bunga-bunga yang bermekaran dengan cinta.

Begitu juga dengan apa yang dirasakan oleh Adhisti Andriani, saat sang kekasih mengajaknya makan malam romantis, di sebuah resto miliknya, yang baru saja dibuka bulan kemarin.

Adhisti begitu bahagia. Dia sampai menangis, karena merasa terharu, dengan jalinan kisah cintanya dengan Elang Samudra.

Adhisti dan Elang, menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, sejak masih usai sekolah. Saat itu, mereka berdua, masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas.

Banyak sekali rintangan dan halangan yang terjadi, saat hubungan mereka berdua berjalan. Apalagi dengan waktu yang begitu lamanya.

Pertengkaran dan perselisihan antara mereka berdua, sering juga terjadi. Kesalahpahaman dalam berkomunikasi, adanya pihak ketiga, dan gosip-gosip yang datang, terdengar dari berbagai pihak yang tidak menyukai hubungan mereka. Putus sambung hubungan, sering juga menjadi bumbu yang menguatkan jalinan cinta mereka hingga saat ini.

Kini, keduanya sama-sama menyakinkan hati masing-masing, jika mereka berdua memang berjodoh. Apalagi bisnis Elang Samudra sudah semakin sukses. Semua itu juga berkat bantuan dari Adhisti yang berperan sebagai manager untuk perusahaan yang dijalankan oleh Elang.

*****

Tiga hari kemudian, Elang Samudra dan Adhisti Andriani, berencana untuk melakukan foto prewedding, secara outdoor di salah satu villa milik keluarga Elang, yang berada di daerah puncak, Bogor.

Elang dan Adhisti, akan berangkat pada hari Jumat sore, sepulang mereka dari kantor. Jadi mereka berdua bisa beristirahat sejenak, sebelum melakukan kegiatan foto prewedding mereka pagi harinya.

EO yang menanggani, baru akan datang Sabtu pagi, jadi mereka bisa melepas lelah terlebih dahulu, kemudian pagi harinya bisa berfoto, dengan wajah yang tidak lagi terlihat capek.

"Honey. Kamu sudah siap?" tanya Elang pada Adhisti, saat mereka berkemas, sebelum jam pulang kantor.

"Iya Mas. Aku sudah bawa baju ganti dan juga perlengkapan pribadi. Kalau untuk gaun dan semua yang diperlukan untuk foto, sudah disiapkan EO kan!"

"Syukurlah. Kita tidak perlu khawatir dengan persiapan yang mepet. Kita tgl minta tolong pada EO, untuk semua yang kita perlukan nantinya. Mereka akan mengurusnya nanti."

Adhisti mengangguk setuju, dengan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu. Dia merasa sangat senang, bisa menjadi orang yang diutamakan oleh Elang Samudra selama ini.

"Terima kasih ya Mas. Untuk semua cinta Mas selama ini."

Adhisti berkata dengan mata berkaca-kaca. Dia tidak bisa menahan rasa haru, karena merasa sangat beruntung bisa mengenal Elang. Dia, yang hanya anak panti asuhan, anak yatim-piatu, yang sudah tidak memiliki siapapun, bisa menjadi pendamping elang yang mapan dan tampan.  Dia juga merasa tersanjung, karena sudah bisa melewati banyak rintangan, untuk hubungannya dengan Elang, dan tetap menjadi prioritas utama, dari kehidupan seorang Elang Samudra.

"Terima kasih untuk apalagi Honey?" Elang bertanya dengan bingung atas pernyataan Adhisti.

"Untuk semua cinta dari Mas selama ini."

Elang Samudra, mendekat dan memeluk calon istrinya itu, dengan penuh kasih sayang. Dia tidak hanya menganggap Adhisti sebagai kekasih, tapi juga teman, sahabat, adik dan partner bisnis yang sangat baik selama ini. Bagaimana bisa dia tidak begitu mencintainya, jika semua itu sudah bisa dia dapatkan dari Adhisti.

"Sama-sama Honey. Aku juga berterima kasih, untuk semua cinta, waktu dan juga pikiran, yang kamu dedikasikan untukku."

Kini, keduanya saling berpelukan. Menyalurkan semua rasa yang sama. Rasa yang tidak pernah bisa lepas dari hati dan pikiran. Rasa cinta yang dalam, yang sudah teruji dan mendapatkan banyak sekali cobaan selama ini.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Elang, begitu pelukannya terlepas.

"Iya," jawab Adhisti pendek.

Elang Samudra dan Adhisti Andriani, melangkah keluar bersama-sama. Wajah mereka berdua, terlihat sekali jika sedang bersemangat. Dari wajah mereka, terlihat juga kebahagiaan yang terus terpancar. Senyuman mereka yang merekah, terus mengembang, bahkan sejak dari pagi hari tadi.

*****

Mobil melaju perlahan keluar dari area parkir pabrik garmen milik Elang. Melewati beberapa gedung yang berjejer di area kawasan berikat. Terus melaju melewati jalan depan restoran milik Elang, tempat di mana malam itu, dia melamar Adhisti, untuk menjadi istrinya nanti.

"Mas. Sudah izin pada mama dan papa, untuk acara foto kita besok?" tanya Adhisti pada Elang.

"Sudah," jawab Elang tanpa menoleh. Dia masih fokus menatap ke arah depan, karena macet diwaktu bubaran jam kantor.

"Syukurlah. Mereka tidak berkomentar apapun?" tanya Adhisti lagi, sedikit khawatir.

"Tidak ada. Mereka hanya berpesan, agar kita  berhati-hati di jalan. Katanya calon pengantin itu banyak sekali cobaan yang datang," jawab Elang menirukan pesan mamamnya.

"Semoga kita jauh dari cobaan untuk calon pengantin ya Mas. Aku tidak ingin ada halangan lagi untuk rencana kita ini," kata Adhisti bedoa, dengan penuh harap.

"Aamiin..."

Elang mengamini doa dari calon istrinya itu. Dai tersenyum dan menoleh sekilas ke arah Adhisti yang juga sedang tersenyum melihat kearahnya.

"Tetap positif thinking ya!"

Elang meminta Adhisti untuk tidak berpikir macam-macam. Dia mengenggam tangan Adhisti. Menyalurkan dukungan dan juga rasa cintanya yang begitu besar.

"Iya Mas," jawab Adhisti pendek dengan tersenyum juga. Dia ikut mengenggam tangan Elang dengan satu tangannya yang lainnya.

Sore itu, mereka berdua melewati waktu bersama-sama, dengan perjalanan panjang menuju puncak, Bogor. Semua itu mereka dilakukan, untuk sebuah rencana demi kesuksesan pesta pernikahan mereka berdua, yang akan mereka gelar satu bulan lagi.

*****

Perjalanan panjang menuju puncak Bogor sudah tinggal seperempat jalan lagi. Mereka berdua sudah melakukan istirahat satu kali, saat berada di pom bensin, tidak jauh dari pasar tradisional dekat stasiun kereta Bogor.

Kini mereka terlihat lebih santai dengan bersenandung kecil dan sesekali bergurau juga.

"Coba putar lagu lawas yang jadi kenangan kita Mas," kata Adhisti, meminta Elang untuk memutar lagu kenangan mereka berdua.

"Lagu yang itu?" tanya Elang memastikan.

"Iya. Lagu itu emang lagu jadul, tapi tetap enak didengar sepanjang waktu."

Akhirnya, elang mencari-cari lagu kenangan yang diminta Adhisti. Dia masih dalam keadaan menyetir, namun dalam keadaan pelan.

Saat lagu yang di cari sudah ketemu, Elang kembali melakukan mobil dengan kecepatan normal. Mereka berdua ikut bersenandung, menghayati lagu kenangan tersebut. Lagu yang mereka dengar saat tidak sengaja berada di warung tenda, tidak jauh dari sekolah saat itu.

Malu aku malu

Pada semut merah

Yang berbaris di dinding

Menatapku curiga

Seakan penuh tanya

"Sedang apa di sini?"

"Menanti pacar, " jawabku

Sungguh aneh tapi nyata

Takkan terlupa

Kisah-kasih di sekolah

Dengan si dia

Tiada masa paling indah

Masa-masa di sekolah

Tiada kisah paling indah

Kisah kasih di sekolah

Lirik lagu lawas tersebut sudah mereka hafal dengan baik. Mereka berdua ikut bernyanyi dengan penghayatan yang sama, seperti yang mereka alami semasa sekolah dulu.

"Masih tetap sama kan Mas?" tanya Adhisti tersebut lembut.

"Apanya?" tanya Elang balik bertanya. Dia tidak mengerti apa yang ditanyakan oleh Adhisti.

"Perasaan kita ini," jawab Adhisti memberikan penjelasan.

"Oh. Justru makin besar Honey. Bagaimana tidak bertambah rasa yang Aku miliki ini, jika Kamu begitu banyak memberikan cinta juga untukku," jawab elang, sambil melihat ke arah Adhisti, yang tampak memerah wajahnya karena mendengar perkataan cinta darinya.

"Kamu itu, semakin hari semakin cantik saja," kata Elang memuji.

"Jangan memujiku terus Mas. Bisa-bisa, Aku terbang dan lupa untuk mendarat nantinya," kata Adhisti dengan malu. Dia merasa bahagia sekali hari ini.

Pernikahan Mendadak

Rencana tetaplah sebuah rencana. Garis takdir dan perjalanan hidup manusia yang terjadi, tetap ada ditangan Sang Pencipta.

Begitulah kehidupan manusia di dunia ini. Tidak ada yang tahu dan bisa memastikan dengan benar, semua yang akan terjadi kedepannya.

Saat Elang dan Adhisti masih bersenda gurau dan juga bersenandung menghayati lagu yang mereka dengar, kecelakaan terjadi tanpa bisa Elang hindari.

Bruakkkk!!!

Sebuah sepeda motor terpental di depan mobil Elang. Ternyata, Elang tidak melihat dengan jelas bahwa ada sebuah sepeda motor yang melintas pelan di depannya.

Akhirnya, kecelakaan yang berakibat fatal itu terjadi juga, tanpa bisa Elang hindari.

"Astaghfirullah..."

Elang mengerem mobil dengan cepat. Suara ban mobil dan aspal terdengar berdecit.

Sepeda motor tersebut, terpental beberapa meter dari tempat kejadian. Elang dan Adhisti yang tidak sadar sebelumnya, terkejut dengan kejadian itu. Mereka berdua bergegas keluar untuk melihat korban, setelah Elang menepikan mobilnya.

"Cepat panggil ambulans!"

"Bagaimana korban?"

"Wah. Parah sekali!"

"Semoga bisa diselamatkan!"

Berbagai macam komentar orang-orang yang melihat kejadian tersebut. Elang dan Adhisti, menjadi sorotan utama dari warga yang menjadi saksi atas kecelakaan yang baru saja terjadi.

"Wah. Mas, hati-hati kalau nyetir!"

"Ngantuk ya?"

"Gak bisa nyetir kali."

"Tanggung jawab woiii!"

"Awas jangan kabur ya?"

"Telpon ambulans dan polisi juga!"

Ada banyak sekali orang-orang, yang memberikan usulan dan komentar. Suara simpang siur jadi terdengar di telinga.

"Maaf. Tadi Saya tidak melihat ada sepeda motor melintas di depan," jawab Elang jujur.

"Wah meleng dia!" maju seseorang yang mendengar perkataan Elang.

"Maaf-maaf. Saya pasti bertanggungjawab atas kejadian ini. Dari pada lama menunggu ambulans, bagaimana kalau korban Saya bawa langsung ke rumah sakit. Saya tidak akan kabur," kata Elang meminta agar warga mengerti dengan keadaannya.

"Bawa. Bawa sana! cepat! Kasihan kalau nunggu lama. Belum tentu ambulans datang dengan tim dokter juga," kata seorang ibu-ibu yang ikut membantu merapikan barang bawaan korban.

Akhirnya, Elang dibantu oleh beberapa orang membawa dua korban kecelakaan tersebut ke dalam mobil. Adhisti, membawa tas dan barang bawaan korban. Motor yang remuk, karena terbentur pembatas jalan, dibawa warga ke bengkel terdekat. Semuanya sudah didokumentasikan Elang dan juga pemilik bengkel.

"Saya akan bertanggung jawab atas semua ini. Jangan khawatir. Salah satu dari kalian bisa mengambil foto dari plat nomor mobil Saya."

"Iya Mas. Cepat bawa mereka ke rumah sakit!"

Salah satu warga yang mempunyai toko di dekat jalan, dan melihat kejadian itu, mengiyakan perkataan Elang.

Setelah semuanya selesai, Elang dan Adhisti masuk kedalam mobil, membawa korban menuju ke rumah sakit terdekat.

"Maaf ya Mas. Gara-gara Aku, malah jadi kayak gini."

Adhisti sadar, jika semua ini juga terjadi karena kesalahannya. Dia tadi yang memulai pembicaraan dan gurauan pada Elang. Memintanya untuk bernyanyi dan mengikuti semua yang dia inginkan.

"Sudahlah. Tidak ada yang salah dengan semua yang terjadi ini. Mungkin ini adalah takdir yang lain, yang akan membuat cinta kita bertambah kuat nantinya."

Elang mencoba menghibur Adhisti, calon istrinya itu. Padahal sebenarnya, dia juga merasa bersalah dan menyesal karena tidak berhati-hati.

Elang jadi teringat dengan nasehat mamanya tadi malam. Saat itu dia berpamitan untuk kepergiannya hari ini. Mamanya berpesan agar tetap berhati-hati, sebab biasanya, calon pengantin itu banyak sekali cobaan dan ujiannya. Makanya, orang-orang dulu menyarankan untuk dipingit saja, jika sudah dekat waktunya.

*****

Mobil masuk kedalam rumah sakit dan langsung berhenti di depan pintu IGD.

"Suster! Cepat tolong, ada dua korban kecelakaan!"

Elang berteriak memanggil suster yang berjaga. Dengan cepat, dua suster yang berjaga membawa brangkar pasien, tapi karena Elang mengatakan jika ada dua korban, satu suster memangil Security yang berada tidak jauh dari tempat mereka dan memintanya untuk mendorong satu lagi brangkar pasien.

"Pak. Tolong satu lagi brangkarnya!"

Tak lama, dua brangkar pasien berjalan menuju ke ruang IGD, untuk penanganan lebih lanjut.

"Masnya keluarga korban?" tanya salah satu dari suster tadi. Dia baru saja keluar tak lama setelah kedua korban ditangani.

"Saya... Saya yang menabrak mereka Sus," jawab Elang dengan wajah cemas.

"Kenapa Sus?" tanya Adhisti ingin tahu.

"Korban yang bapak-bapak, mengalami pendarahan di kepala dan juga tulang kering kakinya patah. Sedangkan yang wanita gegar otak dan wajahnya juga rusak parah. Mungkin kakinya juga ada tulang yang patah atau retak. Dan yang pasti, bagian punggung sobek dibagian atas. Kami harus segera melakukan tindakan operasi. Bagaimana untuk administrasinya Mas?"

Elang sangat terkejut mendengar penjelasan dari suster. Dia tidak menyangka, jika kecelakaan itu berakibat fatal pada korban.

"Lakukan yang terbaik Sus. Saya akan membiayai semua perawatan mereka."

Suster mengangguk mengerti dengan jawaban Elang. Dia segara masuk kembali ke dalam ruangan IGD dan tak lama kemudian, kedua korban di dorong untuk menuju ke arah ruang operasi.

"Mas..."

Adhisti lemas. Dia seakan-akan tidak bertenaga saat mendengar semua penjelasan dari suster tadi. Dia merasa bersalah pada korban.

"Sudah Honey. Kita berdoa saja, semoga semuanya berjalan dengan baik dan mereka berdua bisa selamat."

Adhisti mengangguk pasrah. Dia tersedu, menyesali semua yang terjadi dalam waktu singkat ini.

"Seandainya tadi Aku tidak meminta Mas Elang untuk ikut bernyanyi dan bercanda."

Seandainya tadi Aku duduk diam dan menunggu hingga sampai di villa."

Adhisti merasa menyesal dan takut dengan semua kejadian ini. Dia pasti sudah menghancurkan masa depan gadis, yang menjadi korban kecelakaan itu. Dia membayangkan, bagaimana seandainya korban tadi adalah dirinya dan bukan orang lain.

"Sudah Sayang. Kita berdoa untuk keselamatan mereka ya!"

Elang mengingatkan Adhisti, dengan memeluknya dari samping. Mereka berdua duduk di kursi tunggu yang ada didepan ruangan operasi.

"Aku takut Mas. Aku takut seandainya mereka tidak selamat. Dan ini adalah karena Aku," kata Adhisti dengan suara bergetar.

Elang menghela nafas panjang. Dia juga merasa bersalah dan menyesal. Dia juga takut jika korban tidak ada yang bisa diselamatkan. Itu artinya, dia akan berurusan dengan pihak kepolisian.

"Semoga saja mereka bisa diselamatkan dan bisa diajak berdamai. Meskipun nantinya Aku harus menanggung semua biaya hidup mereka kedepannya. Aku rela, asalkan mereka selamat."

Elang mengatakan itu pada Adhisti. Dia juga tidak mau jika harus dipenjara, karena kecelakaan ini. Dia tidak mau meninggalkan Adhisti sendiri.

*****

Beberapa jam kemudian.

Pintu ruang operasi terbuka. Satu suster keluar memangil Elang.

"Mas. Bisa masuk sekarang!"

"Ada apa sus?" tanya Elang takut. Dia tidak bisa membayangkan jika operasi itu gagal.

"Bapak yang tadi siuman dan meminta anda masuk."

Akhirnya elang dan Adhisti ikut masuk ke dalam ruang operasi.

"Mas. Saya tidak akan lama lagi. Kamu harus menikahi anak Saya."

Bapak tua itu meminta Elang untuk menikahi putrinya yang masih dalam keadaan koma.

"Dia akan cacat seumur hidup. Saya tidak yakin jika akan ada laki-laki yang mau menikahinya nanti. Jadi Kamu harus bertanggung jawab atas semua ini," kata bapak tadi melanjutkan kata-katanya.

Elang menoleh pada Adhisti. Adhisti bingung tapi dia juga mengangguk dengan pasrah.

Akhirnya, pernikahan dadakan itu terjadi diruang operasi, dengan pengantin wanitanya yang masih terbaring koma.

Dilema Hati

Tiga bulan kemudian, Anjani Ashita sadar dari komanya. Dia berusaha membuka matanya yang terasa lengket dan susah untuk dibuka. Saat berhasil membuka mata, sinar lampu yang ada di ruangan ICU, menyilaukan mata Anjani, sehingga dia menutup matanya kembali.

Beberapa menit kemudian, Anjani berusaha untuk mengerakan tubuhnya, tapi ternyata, seluruh badan Anjani, terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Dia kesusahan, meskipun hanya sekedar ingin mengerakan tangannya saja. "Sebenarnya, Aku dimana?" tanya Anjani, dalam hati, masih dalam keadaan terpejam dan diam, tanpa bisa bergerak.

Kini, saat Anjani sudah berhasil membuka matanya, dia melihat ke sekeliling. Dalam ruangan ICU yang terpisah, ada didalam ruangan kaca dengan banyaknya alat medis yang menopang kehidupannya untuk beberapa bulan ini. "Tempat apa ini?" tanya Anjani lagi, masih di dalam hati.

"Ayah," panggil Anjani dengan suara lemah, bahkan mungkin tidak terdengar, jika ada orang yang ada didekatnya.

"Pasien sadar!" teriak salah satu perawat, diruang terpisah, yang mendengar adanya suara pergerakan dari ruangan ICU khusus untuk Anjani.

Ruangan khusus yang ditempati Anjani, terdapat alat deteksi suara yang bisa merekam suara apapun, yang terjadi di ruang kaca tersebut. Ini memudahkan perawatan medis, sebab pasien koma, tidak selamanya ditunggui oleh pihak keluarganya. Jadi, perawat dan pihak medis bisa memantau dari ruangan terpisah, tanpa harus bolak-balik ke ruangan steril tersebut. Tentunya dengan biaya yang tidak biasa juga.

*****

Sudah hampir tiga jam, Anjani sadar dari komanya. Dia mencoba mengingat semua kejadian yang dialaminya saat itu.

"Dia sudah sadar Tuan. Kira-kira tiga jam yang lalu. Tapi sepertinya, dia belum sepenuhnya sadar," kata seorang Dokter, yang menanggani Anjani, pada Elang Samudra, suami dari Anjani.

"Ya. Tidak apa-apa Dok. Terima kasih atas pemberitahuannya tadi."

Elang Samudra, mendapat kabar saat baru saja datang dari kantor. Dia baru saja pulang dan belum sempat masuk ke dalam rumah, sehingga memutar kembali mobilnya dengan cepat, menuju ke arah rumah sakit.

Kini, dia berada di dekat Anjani, yang sudah dipindahkan ke kamar pasien, menemaninya malam ini, saat pertama kalinya Anjani sadar dari komanya. Anjani Ashita, Istrinya yang pertama, meskipun tidak secara hukum negara, tapi mereka juga sudah sah secara agama.

..."Anjani baru saja sadar Sayang. Aku belum bisa pulang. Jadi, Aku bermalam di rumah sakit. Maaf ya," kata Elang saat menerima telpon dari istrinya di rumah. Adhisti Andriani....

..."Benarkah, kenapa tidak memberi kabar sedari tadi, dan baru memberitahu sekarang? Aku sudah cemas Mas, makanya Aku menelpon."...

..."Maaf. Aku terlalu senang mendengarnya tadi, sehingga lupa memberikan kabar lebih dulu padamu. Ini juga belum sepenuhnya sadar dan belum bisa bicara banyak."...

..."Baiklah. Besok Aku akan datang menjenguk ke rumah sakit. Apa sekarang saja?"...

..."Besok saja Sayang. Sekarang sudah terlalu malam."...

..."Baiklah. Hati-hati Mas."...

..."Iya. Terima kasih Sayang. Kamu juga hati-hati ya di rumah!"...

Anjani yang sedang terpejam, masih bisa mendengar semua percakapan antara Elang dan Adhisti. Meskipun dia belum tahu, dan mengenal siapa Adhisti, tapi dia bisa menyimpulkan bahwa ada hubungan yang tidak biasa di antara mereka berdua.

"Siapa dia yang dipanggil Sayang? Bukankah tadi dia bilang, jika dia adalah suamiku? Dengan foto dan video yang dia tunjukkan padaku tadi," pikir Anjani dalam hati.

"Apa yang sebenarnya terjadi kemarin itu? Apa sebaiknya Aku bertanya pada dia, bagaimana bisa dia adalah suamiku dan siapa yang tadi dia ajak bicara dan dia panggil dengan sebutan, Sayang?"

Anjani, terus menerus bertanya kepada dirinya sendiri. Dia tidak tahu, apa yang sedang terjadi dalam kehidupannya ini. Bagaimana bisa, dia menikah dalam keadaan koma, dan ayahnya meninggal setelah itu. Dan sekarang, saat dia sadar, dia mengetahui jika suaminya itu sudah memilki wanita lain juga.

"Mas..." panggil Anjani, pada Elang.

"Ya," jawab Elang pendek, tanpa panggilan dan embel-embel lain sebagai sebutannya.

"Apa yang sebenarnya terjadi. Dan siapa yang tadi Mas telpon?" tanya Anjani, dengan suara pelan.

"Maaf," jawab Elang pendek.

"Maaf, untuk?" tanya Anjani bingung, dengan jawaban yang diberikan oleh Elang.

"Aku menikah denganmu, karena kecelakaan, tiga bulan yang lalu. Dan sebenarnya, waktu itu, Aku sedang mempersiapkan pernikahanku dengan calon istriku. Jadi kami sudah menikah sebulan yang lalu. Dia, Adhisti Andriani."

Anjani merasa sangat terkejut, saat mendengar penjelasan dari suaminya itu, Elang Samudra.

"Jadi... jadi, Mas sudah punya istri? lalu bagaimana denganku?" tanya Anjani terkejut.

"Kamu juga istriku," jawab Elang pendek.

"Tidak. Ini tidak benar," kata Anjani dengan mengeleng.

"Ini benar. Dan Kamu, juga adalah istriku."

Elang tidak menanggapi perkataan dari istri pertama itu.

"Tidak. Lebih baik kita berpisah Mas. Aku tidak mau, jadi orang ketiga di antara kalian berdua. Aku tidak mau, menyakiti hati seseorang wanita, karena Aku juga sama."

"Sudahlah. Lebih baik, Kamu fokus dengan kesehatanmu. Tidak usah berpikir yang lain," kata Elang tegas, tidak mau dibantah lagi.

*****

Di rumah, Adhisti Andriani, sedang merasakan kesedihan dan kekecewaannya. Dia berpikir jika suaminya, Elang, telah melupakannya.

"Baru saja dia sadar, dan mas Elang sudah lupa padaku," keluh Adhisti kecewa.

"Aku harus bisa membuat keputusan sendiri. Aku tidak mau jika mas Elang, akan kebingungan pada akhirnya nanti. Lebih baik Aku memintanya untuk menceraikan diriku saja, jika dia tidak mau meninggalkan istrinya itu."

Entah kenapa, Adhisti merasa sensitif malam ini. Dia merasa terabaikan, padahal sebenarnya bukan seperti itu juga yang terjadi.

Akhirnya, Adhisti mencoba menghubungi salah satu dari temannya, yang bekerja sebagai seorang pengacara. Dia ingin bertanya-tanya tentang masalah perceraian.

..."Halo, Adhisti!"...

..."Malam Indah. Apa Aku menganggu istirahatmu?"...

..."Tidak. Aku belum tidur. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaan, yang akan Aku gunakan untuk sidang besok."...

..."Oh, syukurlah. Aku jadi tidak menganggu."...

..."Ada apa?"...

..."Aku ingin bertanya tentang beberapa hal tentang perceraian."...

..."Apa? Kamu tidak ingin menceraikan suamimu itu kan?"...

..."Memang itu maksudku."...

..."Kalian masih terhitung pengantin baru. Ada apa?"...

..."Nanti saja Aku ceritanya."...

..."Yang pasti, Kamu tidak dalam keadaan hamil."...

..."Tidak boleh ya?"...

..."Tentu saja. Wanita yang sedang hamil, tidak bisa bercerai dengan suaminya."...

..."Tapi, Aku baru saja cek tadi siang, dan Aku positif hamil. Sebenarnya malam ini, Aku mau kasi tahu mas Elang. Tapi ternyata dia tidak pulang, karena menunggui istrinya yang baru saja sadar dari komanya."...

..."Istrinya Elang? Koma? Maksud Kamu apa Adhisti? Dan yang pasti, jika Kamu dalam keadaan hamil seperti sekarang ini, Kamu tidak bisa bercerai. Itu pasti akan ditolak oleh pihak pengadilan agama."...

*****

Di pihak lain, Elang Samudra sedang dalam dilema. Dia tidak mungkin melepaskan tanggung jawabnya sebagai suami pada Anjani, tapi dia juga tidak ingin menyakiti hati istrinya yang lain, yaitu Adhisti Andriani, istri sahnya.

Jadi, bagaimana seharusnya Elang membuat keputusan untuk kebaikan mereka bertiga?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!