...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
11 November.
Hari ini adalah hari pernikahanku. Pernikahan sederhana berdasarkan adat dan tradisi setempat, di lingkungan tempat tinggal mempelai wanitaku yang berlokasi di sebuah desa kecil dan dilangsungkan dengan khidmat. Meski tak meriah, meski hanya dihadiri beberapa orang saja, tapi hari ini begitu indah, hari yang istimewa dan sakral, bersama istriku, Suci Mayang Sari Sanjaya.
Yeah, mulai hari ini dia sudah resmi menjadi istriku. Sosok wanita yang kuharap dialah satu-satunya cinta terakhirku. Teman hidup yang akan memberikan kebahagiaan dan kehangatan untukku yang sebatang kara ini.
Dan akhirnya, dengan bangga kukatakan: sekarang aku sudah punya keluarga. Aku bukan lagi seorang duda. Dan, aku sudah kembali menyandang status terhormatku -- sebagai seorang suami, untuknya: istriku tercinta. Satu-satunya wanita yang akan menjadi ratu dalam hidupku. Dengan catatan: selama dia setia kepadaku, maka dialah satu-satunya. Satu, hingga nanti aku mati.
Sekali lagi, meski pernikahan kami tidak meriah, meski hanya dihadiri beberapa orang saja, aku tetap menggelar resepsi pernikahan sebagai mana mestinya. Pesta kecil yang kupersembahkan untuknya supaya ia merasa istimewa. Di pekarangan kecil itu, resepsi pernikahan kami digelar dengan nuansa serba putih. Suci nampak sangat cantik dan anggun dengan gaun pengantinnya. Meski adegannya tidak semanis seperti di dalam film, tapi aku cukup puas saat melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya begitu ia keluar dari pondoknya dan menapaki pekarangan rumahnya yang sudah dihias sedemikian rupa, juga dengan kehadiran orang-orang yang ia tak pernah menyangka mereka akan datang. Aku tidak memberitahukannya kalau ibunya, adiknya, Bibi Merry dan Anne juga akan datang ke sini, menghadiri resepsi pernikahan kami.
Dia menoleh ke arahku dengan matanya yang berkaca-kaca. "Terima kasih," gumamnya, kemudian ia menghampiri dan memeluk wanita paruh baya itu dengan erat. Meski menurutku tak seharusnya, tapi Suci menuturkan permohonan maaf, dia juga memohon restu dan berterimakasih karena ia bersedia datang di hari pernikahan kami.
Yeah, apa pun boleh, aku hanya tidak suka pengantin cantikku itu berurai air mata meski bukan air mata kesedihan. Dia sudah tampil cantik dan sempurna, air mata itu tak boleh mengganggu. Tak boleh mengurangi kecantikannya meski sedikit.
"Hapus air matamu," kata Bibi Merry. "Mempelai pria sudah menunggu pengantinnya."
Suci tertawa kecil, lalu ia menghapus air matanya. Aku mengamatinya berjalan dengan wajah berseri-seri. Dia bagaikan bayangan dalam gaun pengantin berwarna putih, bidadari yang menyamar sebagai manusia. Cinta membuncah di dalam hatiku dan aku berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberiku kesempatan sekali lagi untuk menemukan kebahagiaan bersama wanita yang kucintai.
Lalu wanita istimewa itu berada di sini, dia di sampingku. Aku menatap dalam-dalam mata Suci. Tidak ada keraguan yang terpancar di sana, hanya ada cinta yang kuharap akan selalu bertahan selamanya. Cinta yang hanya ditujukan untukku. Milikku. Selamanya, hingga maut yang memisah.
Di saat itu, tenggelam dalam cinta dan perasaan berdebar, aku harus mengerahkan seluruh konsentrasi untuk mengucapkan kata-kata penuh makna yang akan menjadikannya istriku. Kata-kata indah yang mengikatku pada gadis impianku. Kata-kata yang membuat mata Suci berkaca-kaca ketika aku mengucapkannya, janji suci yang mengesahkan kami menjadi sepasang suami istri yang sah. Dan...
Lega. Sungguh, aku luar biasa gugup seolah ini pengalaman pertamaku, dan semuanya tumpah begitu saja ketika aku menatap pengantinku selama beberapa detik untuk mengenang saat ini untuk selamanya. Kemudian...
Dengan mata terpejam, aku mencium keningnya dengan sepenuh cinta di hatiku -- menciumnya untuk pertama kali sebagai istriku.
Aku menjanjikanmu selamanya. Semua cinta dan kesetiaanku.
Sisa siang itu berlalu dengan samar. Waktu berlalu dalam kebahagiaan dan terabadi dalam kenangan hingga malam datang. Pemotongan kue, makan malam yang cukup mewah, lalu berdansa di bawah gemerlapnya langit yang bertabur bintang dan dikelilingi anggrek, mawar, dan kacapiring putih di mana-mana, lengkap dengan pita-pita putih dan emas pucat -- di mana aku memeluk pengantinku -- seakan-akan menimang sebutir berlian tak ternilai dalam dekapanku.
"Aku bahagia," bisiknya di antara lantunan merdu You Are The Reason - Calum Scott. "Terima kasih, ini hadiah ulang tahun terindah di sepanjang hidupku. Pernikahan yang tidak akan pernah terlupakan. Aku mencintaimu."
Rasanya ingin menangis jika aku bukan lelaki yang harus pandai-pandai menahan diri. Sedikit ada rasa sesal kenapa dulu aku sempat melabuhkan hatiku pada Rhea. Baru kusadari, dia bahkan jarang sekali mengutarakan cinta kepadaku. Meski pernah, mungkin hanya untuk membohongiku.
"Aku mencintaimu," kataku dengan parau. "Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi teman hidupku. Aku berjanji, kita akan bahagia dan menua bersama. Selamanya."
Suci tersenyum. Di saat yang bersamaan, aku teringat perkataan Mama Sania: kebahagiaan seorang istri hanya satu, dicintai oleh suaminya melebihi apa pun di dunia ini. Dan aku menjanjikan itu untuk wanita yang saat ini berada di dalam pelukanku. Janji dalam hati, janji kepada Tuhan.
Sungguh, kami terhanyut dalam perasaan damai yang kuat, bermandikan cahaya lampu-lampu hias keemasan yang tak henti mengerlip. Semua orang bahagia dan beberapa pasangan turut berdansa bersama. Roby dan Jessy. Haris dan Anne. Billy dan Indie pun turut serta, mereka sudah sepakat untuk berteman baik.
"Sayang?"
"Emm?" Dia mendongak.
"Aku...."
"Apa? Katakan saja."
"Apa aku boleh menciummu sekarang? Di depan semua orang?"
Nyaris terbelalak, pipi Suci langsung merona dengan senyum malu yang tertahan.
Dia tidak suka keromantisan di depan publik untuk pencitraan, dan aku juga tidak ingin melakukan itu untuk sebuah pencitraan. Aku hanya ingin adrenalinnya tertantang hingga menghasilkan emosi yang meluap dalam detak jantung yang berdetak lebih keras. Dia malu hingga kelopak matanya turut bergetar terpejam. Bahkan saat bibir kami bersentuhan, dia seakan tidak bisa bernapas dan kakinya gemetaran, lalu tertunduk malu ketika aku melepaskan bibirnya dari ciumanku yang hangat.
"Sudah malam," katanya sambil menahan senyum malu. "Aku lelah. Bisa kita istirahat?"
Aku menyunggingkan senyuman paham, dan langsung menyudahi dansa. Setelah berpamitan pada semua orang, kami langsung melangkah menuju pondok. Kugendong mempelai wanitaku sembari menaiki undakan tangga sementara ia memekik karena malu.
"Kamu yakin tidak ingin pergi ke hotel malam ini?" tanyaku sembari menendang pintu kamar pengantin kami dengan tumitku hingga tertutup.
Dia menggeleng. "Tidak. Aku ingin kita menghabiskan malam ini di sini. Tempat kita bertemu lagi. Tempat di mana aku pertama kali melihat wajah kekasihku."
"Wajahku yang tampan," kataku.
Suci tergelak. "Ya, memang tampan. Dan aku yakin kalau nanti kita punya anak laki-laki, wajahnya pasti akan setampan kamu."
"Anak?"
"Em."
"Mari kita buat, Sayang."
Kami sama-sama tertawa, seandainya bisa. Huh! Sayangnya dia belum bisa disentuh sampai dua minggu ke depan. Itu tidak baik bagi rahimnya yang masih terluka. Jadi ya sudahlah. Ala kadarnya saja. Kuluma* bibirnya dengan bibirku. Kami berciuman panas sampai terengah-engah, lalu dengan sangat perlahan aku menurunkan Suci dan membiarkan tubuhnya meluncur dengan intim di sepanjang tubuhku.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan sekarang? Hmm? Ini malam yang indah, bukan?"
Pagi besoknya berlangit cerah dan berlimpah matahari, awal hari yang sempurna untuk pernikahanku dan Suci. Aku bahkan masih terngiang-ngiang manisnya suasana saat kami terbangun tadi pagi. Dia yang terbangun lebih dulu menghujaniku kecupan hangat, hingga aku terbangun dengan senyuman, dan segalanya terasa sempurna. Ada dia di sisiku, seseorang yang paling berarti, yang ada di saat aku memejamkan mata dan yang pertama kali kulihat di pagi aku membuka mata. Istriku, Suci. Permataku yang paling berharga.
"Pagi, Suamiku Sayang," sapanya dengan senyuman manis.
Sungguh, aku tidak ingin mengingat masa laluku, tapi tidak bisa kupungkiri, perlakuan hangat dan manis -- yang tulus seperti ini tidak kudapatkan di pagi pertamaku bersama Rhea. Benar kata Jessy, aku harus memperistri wanita -- bukan yang hanya kucintai, tapi harus yang juga mencintaiku. Dan pagi ini aku menyadari sepenuhnya, aku menemukan sosok itu di dalam diri Suci. Teman hidup yang hangat. Dia memberikanku pelukan mesra sebelum memaksaku bangun, katanya mulai sekarang aku harus terbiasa bangun lebih pagi. Itu lebih sehat.
Sebagian besar dari kami sudah bangun, menikmati sarapan ala inggris lengkap atas kebaikan hati Indie, dengan keterampilan meracik hidangan pagi harinya yang "legendaris." Pengalamannya bertahun-tahun sebagai anggota pramuka -- kata Suci. Dengan bantuan Suci, Anne, dan Jessy -- Roti, telur, buncis, mentega, dan sosis panggang disajikan dengan tampilan yang menggugah selera. Jujur, kuakui itu sandwich yang lezat. Siapa yang menyangka gadis kecil itu memiliki keahlian tersembunyi? Semua orang memuji kemampuannya itu.
Dan satu hal lagi yang kuingat pada pagi pertama kami yang indah itu, Indie menghampiri kami sewaktu aku olahraga angkat beban untuk menjaga massa otot-otot lenganku di depan sumur tua di belakang pondok, walaupun dengan alat yang sederhana, sebuah ember dan tali penggereknya. Tak disangka-sangka, dia menuturkan permintaan maaf kepada Suci atas semua sikap dan kejahilannya selama ini, terlebih kelakuannya malam itu yang mencekoki Suci dengan alkohol dan obat perangsan*. Dia mengakui tujuannya memang supaya Suci kehilangan kesuciannya, dan dia juga mengaku, "Aku tidak suka Mbak selalu jadi kebanggaan keluarga tunangannya Mbak."
"Mantan tunangan," selaku.
Suci terkikik.
"Iya, maaf. Maksudku mantan tunangan Mbak Suci," tandasnya. "Maafkan aku, ya, Mbak? Aku mohon?"
Suci mengangguk, dia meraih tangan Indie dan menggenggamnya erat. "Mbak sudah memaafkan semua kesalahanmu. Asal... kamu harus selalu seperti sekarang ini, jadi anak yang baik untuk Mama, ya? Janji?"
Momen melow pun terjadi, kedua kakak beradik itu berpelukan dengan mata mereka yang berkaca-kaca.
"Lagipula tidak apa-apa, kok," kata Suci. "Kalau tidak begitu, Mbak tidak tahu bagaimana cara Tuhan mempertemukan Mbak dan Mas Rangga, ya kan? Jadi itu Mbak anggap sebagai berkah."
Cieeeee... namaku disebut. Lagipula memang benar, kejahilan Indie juga merupakan berkah bagiku. Aku dan Suci bisa bertemu malam itu. Meski dengan cara yang salah. Tapi, toh aku dan Suci berjuang bersama untuk berubah, berusaha menjadi manusia yang lebih baik dan memperbaiki kehidupan kami. Menata ulang kehidupan kami yang sempat kacau balau akibat semua kesalahan-kesalahan yang telah terjadi."
"Mbak punya satu syarat lagi."
"Apa?" tanya Indie.
"Mbak mau kamu melanjutkan pendidikan. Kamu harus kuliah. Harus jadi orang sukses, minimal nantinya kamu punya pekerjaan yang baik."
Tetapi Indie tidak langsung menyahut, dia justru menggeleng. "Biayanya? Papa sudah tidak ada. Biar aku kerja dulu, Mbak. Nanti--"
"Ssst... Mbak mau kamu fokus kuliah."
"Mbak...."
"Mbak yang akan biayai semuanya."
"Iya, tapi--"
"Kamu tenang saja, Mbak sekarang sudah punya pekerjaan baru. Jadi sekretaris pribadinya Pak Bos," celotehnya seraya melirikku, lalu dia cekikikan lagi.
Sama, aku juga jadi cekikikan -- membayangkan dia duduk di depan meja kerjaku dengan anggun, itu akan membuatku semangat setiap waktu.
"Hei, kamu mau, kan?"
"Ya," sahut Indie. "Terima kasih, Mbak."
"Ya, Sayang," kata Suci. "Sudah, Mbak mau mandi dulu."
Indie mengangguk paham, kemudian berlalu meninggalkan kami berdua.
"Ehm...."
"Apa...?" tanyaku.
"Kamu jadi suami jangan cemburuan, ya. Masa depanku hanya kamu. The one and only." Lalu dia menciumku. "I love you, Mas."
Uuuh... manisnya istriku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!