"Ngapain lo ngeliat gue kayak gitu? Iri? Eh jangan lo pikir kalo lo udah jadi istrinya Mandala, status lo sama kayak gue ya! Gue tetap istri pertama dan satu-satunya wanita yang dicintai Mandala! Jangan pernah lo bermimpi akan mendapatkan Mandala! Gue pastikan lo akan tersingkir dari pernikahan ini!" ancam Kinara sambil mengacungkan pisau makan yang Ia pakai.
Sehari setelah menikah, istri pertama yang dinikahi secara siri oleh Mandala sudah memulai genderang perang pada Jenaka. Bukannya takut, Jenaka malah mau membuktikan kalau Ia istri sahnya Mandala dan akan merebut cinta Mandala!
"Engga salah kan kalo genit sama suami sendiri? Aku akan lakukan apapun agar Kak Mandala mencintaiku!" tekad Jenaka. "Akan kubuktikan kalau Kak Mandala bisa mencintai wanita selain Kinara. Akan kugagalkan rencana kalian!"
*****
8 Hari sebelum pernikahan
"Assalamualaikum!" Jenaka yang baru saja pulang kerja memberi salam saat masuk ke dalam rumah. Adzan maghrib baru saja berkumandang, pertanda sore hari berganti menjadi malam hari.
"Waalaikumsalam." Jawab Bunda dengan senyum terpasang di wajahnya. "Akhirnya kamu pulang juga! Ayah dan Bunda udah nungguin kamu dari tadi!"
"Ayah dan Bunda nungguin Jena? Tumben banget! Pasti mau ngajak makan di luar ya?" tebak Jenaka.
"Wah... Kamu nih memang kalau masalah makan di luar paling bisa menebak dengan tepat. Nilai seratus deh buat kamu!" puji Ayah.
"Beneran? Jadi tebakan Jena bener ya? Asyik! Mau makan dimana kita? Makan bebek goreng, bakso beranak atau makan ayam geprek sambal gila?" tanya Jenaka. Semua menu yang Jenaka sebutkan adalah menu yang biasa mereka makan saat makan di luar.
"Kali ini, kita akan makan di restoran yang mahal!" bisik Bunda.
"Serius? Dalam rangka apa nih? Ayah dapat bonus ya?! Tumben banget kita diajak makan di restoran mahal! Biasanya juga kalau jalan-jalan dan makan yang agak mahal sedikit, Ayah selalu protes! Bilangnya pemborosan-lah, mubazir-lah, buat nabung-lah, ada apa nih?" Jena menaruh curiga akan gelagat Ayah dan Bundanya.
"Enggak mau nih diajak Ayah dan Bunda makan di luar?" Ayah berpura-pura ngambek agar Jenaka tidak banyak bertanya.
"Mau dong! Jena mandi dulu dan sholat maghrib ya! Tungguin Jena pokoknya!"
"Iya! Ditungguin. Kamu mandi yang wangi lalu dandan yang cantik ya! Pakai baju batik yang Bunda belikan waktu itu di Mall! Jangan lupa sisir rambut kamu yang rapi! Pakai minyak wangi dan lotion biar wangi dari ujung kepala sampai ujung kaki! Jangan lupa make up, jangan tebal-tebal tapi cukup membuat kamu terlihat segar dan cantik tentunya!" pesan Bunda panjang lebar.
"Kita sebenernya mau kondangan apa makan malam sih Bun?" protes Jena.
"Bunda! Udah anaknya jangan kebanyakan dikasih wejangan! Nanti kita telat! Ayo kita sholat berjamaah. Bunda juga kan harus dandan yang cantik, biar enggak kalah sama anaknya!" ujar Ayah.
"Iya.... Iya..." Bunda dan Jenaka menuruti perintah Ayah.
Jenaka masuk ke dalam kamarnya. Rasanya malas ikut serta dengan Ayah dan Bunda. Kakinya terasa pegal sehabis kerja seharian. Hari ini survey lapangan untuk lokasi outlet baru. Tak ada kesempatan untuk duduk. Bolak-balik mencari ruko yang pas, mengambil foto dan membuat analisa. Panas, terik, debu dan polusi dirasakan Jenaka. Maunya langsung tidur, apa daya tawaran makan di restoran mahal membuatnya tak kuasa menolak.
Jenaka mengambil handuk yang sudah Bunda sediakan. Ia lalu mandi dan bersolek di depan kaca. Baju batik yang Bunda belikan memang bagus di tubuhnya. Pas dengan lekuk tubuhnya dan cocok dengan warna kulitnya yang putih bersih.
Jenaka memoles wajahnya dengan sedikit sentuhan make up dan mengepang sedikit rambut di sisi kiri dan kanan lalu mengikatnya ke tengah. Dandanan simple namun terkesan cantik di wajah Jenaka.
Ayah dan Bunda sudah tak sabar menunggu Jenaka. Beberapa kali Bunda mengetuk pintu kamar, meminta Jenaka segera bergegas takut telat.
Jenaka bingung, telat apa? Namun Ia tak banyak bertanya dan duduk manis di kursi belakang mendengarkan lagu Broeri Marantika mengalun di radio mobil Ayah.
Ayah membelokkan mobilnya ke sebuah hotel bintang lima. Jenaka langsung merasa kagum karena Ayah akan mentraktirnya di restoran mahal. Ternyata Bunda tidak bohong. Mereka akan makan di restoran mahal.
Senyum di wajah Jenaka terus mengembang sepanjang jalan menuju restoran yang terletak di lantai 20 tersebut. Matanya berbinar melihat kemewahan hotel yang harga check in permalamnya saja setara gajinya sebulan.
"Ayah hebat banget! Bonusnya gede ya Yah?" tanya Jenaka.
"Hush! Diem aja kamu! Jangan ngomong kenceng-kenceng! Jangan bikin Ayah malu!" omel Ayah.
"Iya... iya... Makasih ya Yah udah ngajak Jena kesini. Ayah keren!" Jenaka mengacungkan jempolnya memuji Ayah. Ia merangkulkan tangannya di lengan Ayah dengan manjanya.
Sesampainya di restoran, Ayah menyebutkan nama seseorang yang telah membooking restoran. Pelayan restoran lalu mengantar Ayah dan keluarga menuju tempat yang dipesan.
Ternyata sudah ada sepasang suami istri yang berusia sebaya dengan Ayah dan Bunda. Mereka tersenyum dan menyambut dengan hangat kedatangan Ayah dan Bunda.
Ayah lalu memperkenalkan Jenaka pada kedua sahabatnya, Prabu dan Nina.
"Wah Jena cantik ya? Waktu kecil saja cantik, eh makin besar cantiknya makin nambah aja!" puji Tante Nina, teman Ayah dan Bunda.
"Iya dong! Siapa dulu Bundanya!" gurau Ayah.
"Ish... Iya deh. Ayo duduk dulu!" Tante Nina mempersilahkan tamunya untuk duduk.
"Jenaka sudah kerja atau masih kuliah?" tanya Om Prabu, suaminya Tante Nina.
"Udah kerja, Om." jawab Jenaka sopan.
"Wah! Pas sekali ya! Memang jodoh namanya. Enggak usah ditunda lagi. Minggu besok aja gimana? Ha...ha...ha..." tanya Tante Nina sambil tertawa.
"Saya sih ikut aja." Bunda juga ikut tertawa.
"Ikut? Jodoh? Enggak usah ditunda? Maksudnya apa?" gumam Jenaka dalam hati.
"Jena mau kan nikah secepatnya?" tanya Tante Nina lagi.
"Nikah? Jena?" Jena menunjuk dirinya sendiri.
"Iya. Rencananya, Om dan Tante mau menjodohkan anak kami sama kamu." ujar Tante Nina.
"Beneran Bun?" Jenaka yang tak percaya ucapan Tante Nina menanyakannya langsung pada Bunda.
"Iya, Sayang. Sebenarnya tujuan kami mengajak kamu kesini adalah untuk diperkenalkan dengan anaknya Om Prabu dan Tante Nina. Kamu udah kenal kok sama orangnya." Bunda tersenyum penuh arti.
"Aku kenal? Siapa Bun?" makin penasaran Jenaka dibuatnya namun mau bertanya lebih jauh Ia tak berani.
"Iya! Itu anak Tante. Calon suami kamu!" Tante Nina menunjuk seorang cowok yang berjalan mendekat ke meja makan mereka.
Jenaka berbalik badan dan mengikuti arah pandangan Tante Nina. Jenaka terkejut melihat siapa yang Ia lihat. "Kak Mandala?"
****
Hi Semua!
Aku hadir lagi. Jangan lupa like, komen, add favorit dan vote tentunya untuk novel baruku ini ya.
Maaf untuk awal terbit Up-nya masih belum teratur. Next, setelah lancar jaya aku Up rutin, oke?
Mandala Wangi datang dengan senyum terbaiknya. Ia mengenakan celana jeans yang dipadukan dengan turtle neck warna hitam dan jas warna biru doungker. Senada dengan warna celana jeans yang Ia kenakan.
Ganteng as always. Kedua lesung pipinya terlihat, membuat siapapun yang melihat senyumnya merasa terbuai. Meleleh...
Mandala menatap Jenaka seperti mengingat-ingat wanita di depannya. Ia yakin pernah melihat wanita ini sebelumnya. Tapi dimana?
"Kak Mandala?" Jenaka tersenyum dan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Ia menyambut kedatangan Mandala dengan senyum terbaiknya.
"Wah! Kalian rupanya sudah saling mengenal ya? Bagus sekali! Jodoh memang enggak kemana ya?!" ujar Om Prabu yang terlihat amat bahagia.
"Duduk dulu Nak Mandala!" Bunda mempersilahkan Mandala yang sejak tadi berdiri untuk duduk.
Dengan sopan Mandala duduk disamping Tante Nina. Sebelumnya Ia menghampiri Bunda dan Ayah untuk cium tangan. Jenaka semakin terpesona dengan attitude Mandala yang sopan dan hormat terhadap orang tua.
"Kamu sudah kenal sama Jenaka?" tanya Tante Nina pada Mandala.
"Aku agak lupa nama sih Mi. Inget mukanya aja. Lesung pipinya sih Mi yang bikin Mandala langsung inget." Mandala kini menatap lekat ke arah Jenaka. Wajah Jenaka langsung bersemu merah.
"Lesung pipi? Kak Mandala inget lesung pipi aku? Wah.... Aku harus cerita sama anak-anak nih!" Jenaka bahagia sekali hatinya.
"Yaudah kenalan dulu dong!" pinta Tante Nina. "Mandala, ini Jenaka. Jenaka, ini Mandala."
"Mandala." Mandala mengulurkan tangannya pertama kali.
"Jenaka." Jenaka menyambut uluran tangan Mandala dengan tangannya yang dingin karena grogi.
"Nah apa saya bilang, mereka tuh cocok! Jadi gimana? Besok bisa kita langsungkan pernikahannya?" pertanyaan Om Prabu membuat Jenaka amat terkejut.
"Pernikahan Om? Pernikahan Jena dan Kak Mandala?" Jenaka memastikan lagi.
"Loh? Memangnya Ayah dan Bunda Jena belum kasih tau?" tanya balik Om Prabu.
Jenaka menggelengkan kepalanya. "Baru tau mau dijodohkan aja barusan, Om. Belum tau kalau mau dinikahkan sama Kak Mandala."
"Maaf, Prabu. Tadi Jenaka pulang kerja udah maghrib. Belum sempat kami beri tahu. Biar surprise gitu rencananya." Ayah yang menjawab pertanyaan Om Prabu.
"Kak Mandala udah tau?" tanya Jena pada Mandala.
Mandala mengangguk. "Justru karena aku menyetujui pernikahan ini makanya aku datang. Aku menyetujui apa yang kedua orang tuaku pilihkan. Apapun yang baik menurut mereka, pasti aku turuti. Asalkan Mami dan Papi bahagia."
Hati Jenaka terenyuh. Sungguh Mandala memang anak yang baik dan berbakti pada kedua orang tua.
"Saya setuju!" ujar Ayah. "Besok pun saya setuju menikahkan Jena dengan Mandala. Saya enggak akan menyesal punya menantu sebaik Nak Mandala." ujar Ayah penuh semangat.
"Sayang! Jena yang mau menikah kok kamu yang semangat sih?!" tegur Bunda.
"Menurut pandangan Ayah ya Bun, anak yang berbakti pada kedua orang tua adalah anak yang paling baik yang akan menjadi menantu dan suami idaman buat anak Ayah. Apalagi kedua orangtuanya sudah bersahabat dengan kita sejak kita masih muda. Kurang apalagi coba?" ujar Ayah.
"Jadi kamu setuju ya kita nikahin besok? Mumpung saya dan Nina lagi di Jakarta nih. Kita nikahkan anak-anak kita secepatnya. Enggak perlu lama-lama, malah numpuk dosa. Biarkan mereka berpacaran setelah menikah. Mau dibawa kemana aja udah halal!" Om Prabu tertawa bahagia.
"Kalau Mandala dan keluarga sudah setuju, bagaimana dengan Jena? Jenaka mau kan menikah dengan anak Tante, Mandala?" tanya Tante Nina dengan lembut. Sorot mata Tante Nina penuh pengharapan agar Jena mau menerima pinangan keluarganya.
"Mi, seharusnya Mandala yang bertanya secara resmi dong! Masa Mami yang nanya?" protes Mandala.
"Maaf... Maaf... Mami terlalu bersemangat. Sok atuh kamu yang nanya sama Jena."
Mandala lalu bangun dari duduknya dan mendekati Jenaka. Senyum yang menghiasi wajahnya membuat Ia tampak lebih tampan.
"Jenaka, hari ini aku memintamu untuk menjadi teman hidupku." Mandala mengeluarkan sebuah kotak dari dalam saku jasnya. Ia membuka kotak tersebut dan mengeluarkan cincin cantik bertahtakan berlian. "Maukah kamu menjadi istriku?"
Jenaka menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Semua ini bagaikan mimpi. Semua terasa tak nyata. Jenaka bahkan sampai mencubit pipinya sendiri untuk memastikan apakah semuanya nyata atau hanya mimpi belaka.
"Aww! Sakit!"
Mandala tersenyum dengan ulah menggemaskan Jenaka. "Ini bukan mimpi kok Jen. Semuanya nyata. Jadi gimana? Mau enggak nerima pinangan aku?"
"Mau!" jawab Jenaka cepat. "Aku mau!" Jenaka menjawab dengan penuh semangat. Semua yang ada tertawa dibuatnya. Bahkan Mandala tak bisa menyembunyikan tawanya. Jenaka memang semenggemaskan itu. Selalu tampil apa adanya.
Mandala memakaikan cincin di jari manis Jenaka. Pas sekali cincin di jarinya. Terlihat indah dan bersinar. Semua bertepuk tangan dan tersenyum bahagia. Rencana perjodohan kedua keluarga berlangsung tanpa halangan.
"Maaf Prabu dan Nina, kayaknya pernikahan mereka terlalu cepat ya kalau besok? Meskipun akad nikah dulu namun tetap saja semuanya perlu dipersiapkan. Jangan terlalu terburu-buru. Saya juga harus memberitahu keluarga besar saya. Boleh minta waktu seminggu?" Bunda mengajukan protes. Baginya pernikahan bukan sekedar mengatakan iya dan langsung terlaksana. Semua ada persiapannya sendiri.
"Oh maaf. Kita berdua terlalu bersemangat menikahkan Mandala jadi tidak memikirkan kalau kalian butuh persiapan matang. Baiklah, seminggu lagi. Saya setuju. Tapi langsung dipestakan saja! Biar sekalian gitu!" ujar Om Prabu.
"Masalah gedung dan keperluannya biar kita serahkan pada wedding organizer karena waktunya sempit. Paling kedua mempelai yang akan repot karena harus fitting baju dan segala macam. Kalian setuju kan kalau kami yang menentukan pestanya mau gimana?" tambah Tante Nina.
"Tentu saja kami tidak keberatan. Apapun yang terbaik buat kebahagiaan anak-anak, kami berdua setuju saja." jawab Bunda.
Makan malam pun menghasilkan keputusan kalau pernikahan Jenaka dan Mandala akan dilangsungkan seminggu lagi.
Hati Jenaka penuh sukacita. Ia tak menyangka surprise yang kedua orangtuanya berikan adalah hadiah terindah yang selama ini Ia harapkan.
*****
"Kak Mandala akan menjadi suamiku? Ya Allah mimpi apa aku semalam? Apa aku di masa lalu pernah menjadi pahlawan bagi bangsa dan negara sehingga diberikan keistimewaan seperti ini?" senyum Jenaka di depan kaca lemarinya.
"Seminggu lagi! Seminggu lagi Kak Mandala akan jadi suamiku. Wooooowww.... Amazing!" Jenaka meloncat kegirangan.
Jenaka lalu mengabari kedua sahabatnya Lily dan Lulu tentang kabar membahagiakan ini.
"Beneran lo mau nikah sama Kak Mandala? Lo cuma berkhayal aja kali Jen!" ujar Lily.
"Iya. Kebanyakan berkhayal lo!" tambah Lulu.
Kedua sahabatnya ini memang mengenal Mandala karena mereka satu SMA. Siapa sih yang tidak mengenal Mandala? Kakak kelas terganteng dengan banyak kemampuan yang dimiliki.
Jago taekwondo, basket, bola dan juga didapuk sebagai Ketua Osis pula! Orangnya juga ramah dan sopan, membuat namanya harum dan banyak dipuja-puja oleh banyak wanita.
Mandala Wangi, namanya seperti nama sebuah kecamatan di Pandeglang yang dikelilingi oleh pegunungan. Mandala yang ini juga dikelilingi oleh banyak perempuan.
Baik Lily maupun Lulu tak ada yang mempercayai perkataan Jenaka. Mereka berpikir kalau Jenaka hanya berkhayal saja. Biarlah, seminggu lagi mereka akan melihat kalau Jenaka memang tidak berbohong.
****
Jenaka sudah siap untuk pulang kerja. Wajahnya lelah dan berkeringat. Kemejanya juga agak kusut. Hari ini audit laporan stok barang di beberapa outlet membuatnya tidak sempat memperhatikan penampilan.
Dengan langkah tak bersemangat Jenaka keluar kantor dan terkejut ketika suara klakson mengagetkannya. Jenaka menunggu pemilik mobil keluar dan lebih terkejut lagi ketika mengetahui kalau pemilik mobil tersebut adalah Mandala.
"Kak Mandala?" Jenaka tersenyum lebar menampilkan lesung pipi di wajahnya yang kucel.
"Hi Jen!" sapa Mandala sambil tersenyum memamerkan deretan gigi indahnya. "Mama nyuruh kita ke butik untuk fitting baju. Ayo masuk!" Mandala membukakan pintu untuk Jenaka.
"Oh... Iya Kak!" Jenaka mengumpat dirinya sendiri yang tidak mementingkan penampilan dan terlihat berantakan seperti sekarang.
Jena merapihkan sedikit rambutnya agar lebih terlihat cantik dimata Mandala. Cepat-cepat Ia menyemprot parfum saat Mandala berjalan memutari mobilnya dan duduk di kursi pengemudi.
"Pakai seat belt dulu ya!" tanpa permisi Mandala memakaikan Jenaka seat belt. Membuat jantung Jenaka berdegup kencang dibuatnya. Jenaka bahkan sampai menahan nafas karena terkejut oleh sikap tiba-tiba Mandala.
"Makasih Kak." jawab Jenaka gugup. Mandala hanya membalasnya dengan seulas senyum.
Mandala mengemudikan mobilnya menuju butik tempat mereka harus fitting baju pengantin. Beberapa kali mencoba akhirnya pilihan jatuh pada kebaya putih untuk akad dan gaun warna merah maroon dengan payet gold yang terlihat cocok di tubuh Jenaka.
"Kita makan dulu yuk Jen!" ajak Mandala setelah selesai fitting baju.
"Iya Kak!" Jenaka setuju saja. Dia terlalu sibuk menenangkan debaran jantungnya yang bertalu semakin cepat.
Mandala lebih banyak diam sepanjang perjalanan. Hanya berkata seperlunya saja. Jenaka tak mempermasalahkannya. Toh Ia tak tahu mau membahas apa. Diajak makan bareng saja sudah anugerah baginya.
Makan malam juga tanpa banyak mengobrol. Kadang Mandala sibuk mengetikkan pesan di handphone miliknya. Jenaka maklum, Mandala adalah pengusaha yang punya banyak pekerjaan untuk diselesaikan. Justru Jenaka senang, saat Mandala asyik dengan Hp miliknya, Jenaka justru asyik memandangi wajah gantengnya hihihi...
****
Waktu berjalan dengan cepat. Seminggu berlalu tanpa terasa. Tibalah hari pernikahan Jenaka dan Mandala dilangsungkan.
Mereka menikah di masjid dan melangsungkan pesta pernikahan di hotel tempat mereka pertama kali bertemu waktu itu.
"Saya terima nikah dan kawinnya Jenaka Putri Binti Lukman Hadi dengan mas kawin emas 100 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!" dengan sekali tarikan nafas Mandala resmi memperistri Jenaka.
Jenaka mencium tangan Mandala yang kini menjadi suaminya. Mandala mencium kening Jenaka, istri yang baru dinikahinya. Jenaka tersenyum lebar. Lelaki impiannya sudah menjadi suaminya sekarang.
*****
Pesta pernikahan berlangsung amat megah dan meriah. Tamu yang hadir pun hanya orang pilihan. Ada pejabat dan pengusaha terkenal. Maklum saja, Om Prabu adalah salah seorang pengusaha yang memiliki banyak perusahaan besar, dan Mandala adalah calon penerusnya.
Dari pihak keluarga Jenaka pun hanya keluarga Ayah dan Bunda serta teman dekat Jenaka saja yang diundang. Ayah dan Bunda malu jika mengundang banyak tamu, semua karena Om Prabu yang membiayai pestanya dan juga karena merasa minder dengan tamu yang hadir.
Jenaka yang masih merasa semua ini bak mimpi terus tersenyum bahagia di hari spesialnya. Bahkan Lulu dan Lily yang awalnya tak percaya hanya bisa menatap iri kebahagiaan sahabatnya.
Jenaka melirik lelaki gagah yang berdiri di sampingnya. Mandala nampak sangat tampan saat mengenakan tuksedo hitam dengan dasi kupu-kupu. Bak porselen mahal yang dipahat sempurna oleh Yang Maha Kuasa.
Saat pesta berakhir, Jenaka yang sudah mengganti gaunnya dengan dress lalu mengikuti Mandala pulang ke rumah milik Mandala. Rumah mereka kini.
Rumah milik Mandala amat besar. Dengan taman besar di depannya dan sebuah mobil yang diparkirkan di halaman rumahnya.
Mandala membawakan koper milik Jenaka dan mengantarnya ke kamar atas. "Ini kamar kamu."
"Kamar aku? Bukannya.... kamar kita?" tanya Jenaka malu-malu.
"Iya. Kamar kamu. Kamar aku ada disana!" Mandala menunjuk kamar di seberang kamar Jenaka yang dipisahkan sebuah balkon.
"Mm... Maksudnya Kak Mandala, kita enggak satu kamar?" Jenaka bertanya terus terang.
Mandala mengangguk. "Iya. Masuklah! Akan kujelaskan semuanya di dalam!"
****
Jenaka masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan untuknya. Kamar dengan kasur besar dan terlihat jauh lebih nyaman dari kamarnya di rumah Ayah dan Bunda.
Mandala menaruh koper Jenaka di dalam kamar lalu mengeluarkan sebuah foto dan memberikannya pada Jenaka.
"Foto pernikahan? Ini foto-" Jenaka menutup mulutnya dengan tangannya saat melihat siapa yang ada di foto tersebut.
"Itu fotoku dan istri pertamaku, Kinara. Kami sudah menikah siri. Sayangnya, hubungan kami tidak direstui oleh kedua orang tuaku. Mereka malah menikahkan kita berdua." Mandala terlihat tenang saat mengatakannya. Tak ada kata maaf. Tak ada rasa bersalah sama sekali.
Jenaka masih belum menyadari kalau semua ini nyata. Sampai air matanya yang menetes tanpa bisa Ia tahan. "Maksud Kak Mandala, pernikahan ini cuma pura-pura?" tanya Jenaka dengan suara yang susah payah Ia keluarkan.
"Pernikahan ini bukan pura-pura. Pernikahan ini benar adanya. Namun aku tidak mau kamu jadi berharap aku akan benar-benar menjadi suami kamu yang sebenarnya. Perlu kamu ketahui, hatiku hanya untuk Kinara seorang." ucap Mandala dengan tegas. Tak Ia berikan sedikitpun Jenaka harapan. Langsung Ia hempas ke jurang terdalam.
"Tapi-"
"Semua terserah kamu, Jen. Mau meneruskan pernikahan ini namun menerima semua keadaan atau mengakhirinya! Perlu kamu ketahui, saat kamu mengakhirinya aku akan bilang kalau kamu yang meninggalkan rumahku dan menghancurkan pernikahan ini. Kamu yang akan memberikan malu pada kedua orangtua kamu!" ancam Mandala.
"Kenapa Kak Mandala enggak bilang sebelumnya sama aku kalau Kak Mandala sudah menikah?" kini Jenaka sudah mulai terisak. Rasanya sangat menyakitkan mengetahui semua kenyataan ini.
"Untuk apa? Supaya kamu membatalkan pernikahan kita? Dan orangtuaku semakin murka dengan Kinara? Enggak ada gunanya jujur, toh kamu juga enggak bertanya kan? Jangan menyalahkan semuanya padaku. Seharusnya kamu yang inisiatif bertanya, apa aku sudah punya pacar atau belum?! Kamu yang sudah terlalu senang dijodohkan sama aku jadi menutup mata pada semua hal." ucapan Mandala semakin menyakiti hati Jenaka saja.
Jenaka mencoba menghapus air mata yang tak mau berhenti dari kedua kelopak matanya. "Kenapa Kak Mandala memilih aku? Kenapa Kak Mandala tidak memperjuangkan hubungan Kak Mandala dengan wanita yang Kak Mandala cintai?"
"Kamu pikir aku tidak berusaha melakukannya? Asal kamu tahu, tak sekalipun orangtuaku merestui hubunganku dengan Kinara. Hanya dengan pernikahan ini aku bisa mendapat kepercayaan mereka. Aku bisa meminta mereka untuk mengakui Kinara sebagai istri sahku. Jujur saja, kita berdua sama-sama diuntungkan dengan hubungan pernikahan ini. Keluarga kamu yang bahagia mendapat besan keluarga kaya, dan aku yang bisa mempertahankan hubunganku dan Kinara. Enggak ada yang dirugikan disini!"
"Tapi Kak-" mau protes pun Jenaka tak didengar oleh Mandala.
"Aku mau istirahat. Seharian lelah memasang senyum palsu dan berdiri menyambut para tamu. Kalau kamu mau berpisah, bersiaplah orangtua kamu menanggung malunya!" Mandala lalu keluar kamar dan meninggalkan Jenaka.
Jenaka menangis tersedu-sedu. Bayangan indahnya malam pertama dengan suami yang juga idolanya sirna sudah. Kini bahkan Ia harus mengecap pahitnya pernikahan sebelum merasakan manisnya.
Jenaka menangis dan terus menangis sampai Ia tertidur di lantai. Lelah tubuhnya sehabis menjadi pengantin dan lelah hatinya melebur jadi satu. Hanya berharap dengan tidur Ia akan melupakan semuanya. Berharap saat terbangun semua hanya mimpi.
Suara adzan subuh membangunkan Jenaka. Badannya terasa sakit. Rupanya semalaman Ia tertidur di lantai. Mandala sedikitpun tidak peduli dan melihat keadaannya.
Jenaka pun beranjak bangun. Menatap wajahnya yang terpantul di cermin. Matanya bengkak dengan make up yang berantakan. Luntur oleh air mata.
Ternyata semalam Ia tidak bermimpi. Mimpi buruk itu benar nyata dan baru saja dimulai. Kehidupannya yang bak neraka baru saja Ia tapaki.
Bukan idola yang Ia nikahi, melainkan seorang laki-laki licik yang penuh ambisi dan tipu muslihat. Laki-laki tersebut bahkan memakai topeng untuk menipu semua orang, termasuk keluarganya.
Air mata kembali menetes di wajah Jenaka. Namun segera Ia hapus. Ia harus sholat subuh dan berdoa meminta pada Yang Maha Kuasa agar selalu diberi kemudahan dalam menghadapi cobaan yang dialaminya.
Jenaka mengambil handuk mandinya dan masuk ke dalam kamar mandi yang jauh lebih mewah dari kamar mandi di rumah Ayah dan Bunda. Sayangnya, meski rumah ini lebih bagus sekalipun tetap saja tidak sehangat cinta kasih di rumah Ayah dan Bunda.
Jenaka membasahi seluruh tubuhnya dengan air. Membuat pikirannya kembali jernih. Ia lalu melaksanakan sholat subuh. Membuat hatinya lebih tenang.
Pikiran jernih dan hati yang lebih tenang membuat Jenaka memutuskan untuk menghadapi semuanya. Jika semalam Ia menangis karena sangat shock, kini Ia harus bisa bertahan.
Jenaka keluar dari kamarnya dan memperhatikan keadaan sekitar. Rumah Mandala amat besar dan mewah. Ada kolam renang di bagian belakang rumah.
Jenaka berjalan menuju dapur dan hendak menyiapkan sarapan. Ternyata sudah ada salah seorang asisten rumah tangga yang sedang memasak disana.
"Pagi, Bu." sapa asisten rumah tangga pada Jenaka. "Perkenalkan saya Mala, yang bekerja di rumah ini."
"Pagi Mala. Aku Jenaka, panggil aja Jena. Istrinya Mandala." Jenaka merasa hatinya agak sakit saat menyebut kata 'istri'.
"Bapak sudah memberitahu saya, Bu. Disini ada Pak Sahrul juga yang bekerja sebagai supir Bapak. Saya disuruh memperkenalkan kalau Ibu sudah bangun." kata Mala.
"Iya. Nanti saya akan berkenalan dengan Pak Sahrul. Kamu sedang buat sarapan apa? Biar saya bantu! Saya juga harus siapin sarapan buat Bapak." Jenaka hendak membantu pekerjaan Mala namun Mala menolaknya.
"Biar saya saja, Bu. Mm... Maaf, Bu. Bukannya Bapak semalam pergi ke rumah Bu Kinara?" tanya Mala.
Deg...
"Jadi semalam Mandala pergi meninggalkanku dan malah menemui Kinara? Pergi di malam pernikahan kami?" batin Jenaka.
Sekuat tenaga Jenaka menahan air matanya. Jangan sampai Mala tau kalau Ia menangis.
"Kamu kenal dengan Kinara?" tanya Jenaka sambil mengendalikan suaranya agar tidak bergetar.
"Tentu saja kenal, Bu. Bu Kinara kan tinggal tidak jauh dari sini. Hanya beda beberapa blok saja." jawab Mala dengan jujur.
"Maksud saya... Kamu kenal siapa Kinara?" Jenaka bertanya sekali lagi.
"Kenal, Bu. Bu Kinara adalah istri pertama Bapak Mandala kan? Bapak berpesan jangan memberitahu keluarganya tentang hubungan mereka. Kalau Ibu, sudah tau juga kan?" tanya balik Mala.
Jenaka terpaksa mengangguk. "Yaudah kalau Bapak tidak ada saya enggak jadi buatkan sarapan. Saya balik ke kamar saja ya Mal."
Tanpa menunggu jawaban Mala, Jenaka kembali ke kamarnya. Tangisnya kembali pecah. Kenapa hanya dirinya yang tak tahu? Kenapa Ia begitu bodoh mempercayai semua ucapan Mandala tanpa mencari tahu kebenarannya dahulu.
Jenaka menatap cincin berlian yang melingkar indah di jari manisnya. Sangat cantik. Sayangnya si pemberi cincin tidak memberikan cintanya juga. Hanya cincin tanpa makna.
Tak mau terus menerus bersedih, Jenaka memutuskan untuk merapihkan baju-bajunya yang ada di koper. Memasukkannya satu persatu ke dalam lemari baju yang sangat besar.
"Lemari ini akan tetap terlihat besar. Karena aku mungkin hanya sementara dan tamu di rumah ini. Aku, istri sah namun hanya sebagai topeng belaka." gumam Jenaka.
Tok.... tok... tok... suara ketukan di pintu membuat Jenaka secepatnya menghapus air mata di pipinya.
"Ini Mandala, Jen! Boleh aku masuk?" ternyata Mandala yang datang.
"Masuklah!" jawab Jenaka.
Mandala masuk dan melihat Jenaka sedang merapihkan bajunya di lemari. Ia tersenyum senang. "Jadi, kamu memutuskan melanjutkan pernikahan ini?"
Pertanyaan macam apa itu? Sungguh menyakiti hati Jenaka!
"Pernikahan ini tetaplah pernikahan, meskipun terselip niat yang salah dibelakangnya tetap saja tidak mengurangi kesakralan pernikahan tersebut." jawab Jenaka. Kini Ia menutup lemari pakaian dan menatap Mandala dengan lekat.
Sikap Jenaka seperti menantang kalau Ia tidak takut dan siap menghadapi semuanya.
"Baguslah. Ayo kita sarapan bersama!" Mandala tersenyum lega dan berjalan duluan ke meja makan.
Ternyata maksud dari sarapan bersama adalah Mandala sarapan bersama kedua istrinya. Kinara dan Jenaka.
"Kenalin Jen, ini Kinara." Mandala memperkenalkan Kinara pada Jenaka.
"Jenaka." Jenaka mengulurkan tangannya pertama kali yang ditepis secepat mungkin oleh Kinara.
"Kinara." ucap Kinara dengan judesnya.
Dalam sekali lihat, Jenaka tahu bagaimana sifat madunya. Semua akan semakin menyakitkan kedepannya. Akankah Jenaka mampu?
****
Readers Sayang....
Maaf kalo updatenya belum beraturan ya. Aku masih nunggu feedback editor karena novel ini ikut kompetisi. Mohon dukungannya untuk tetap like, vote dan add favorit ya. Setelah dapet feedback aku akan rutin up-nya in sha Allah.
Kalian belum kenal kan siapa Jenaka? Yuks tetap stay tune ya 🥰🥰🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!