Deting jam terus saja bergerak dipertengahan malam, namun dengan bodohnya diriku masih menunggu suami tercinta. Entah, sampai kapan akan terus begini, saat suami selalu pulang larut malam.
Netra mulai tidak tahan lagi oleh rasa ngantuknya, hingga berkali-kali tanpa sadar jatuh terkulai. Kepala berusaha kutegakkan kembali supaya kuat menahan.
"Huaah, kenapa mataku tidak tahan untuk terbuka. Sabar ... sabar, Jihan. Pasti mas Bayu sebentar lagi akan pulang," rancau hati yang sudah melihat ke arah jam, menunjukkan pukul setengah dua belas.
Karena tidak tahan, terpaksa tubuh kubaringkan disofa ruang tamu. Hawa dingin ketika malam, membuat tubuh kian meringkuk memeluk tubuh sendiri.
Brok ... brok, suara gedoran pintu begitu kuat diketuk.
"Jihan buka .... Jihan buka," Suara teriak seseorang.
Akibat kaget, langsung saja aku bangun terjingkat, ketika sudah berkeliaran berada di alam mimpi.
"Astagfirullah, kenapa aku tertidur? Bukankah itu suara mas Bayu? Aku harus cepat membuka pintu untuknya" rancau hati kebingungan, antara setengah sadar saat baru bangun.
Secepat mungkin aku berlari ke arah pintu untuk segera membukanya, yang terdengar suara suami tidak sabar untuk segera masuk rumah.
"Jihan buka ... Jihan. Brok ... brok," panggil suami teriak-teriak lagi.
"Iya Mas ... iya, sebentar ... sebentar," Kegrogianku menjawab.
Klek ... klek, kunci telah kubuka dan kini menampakkan suami telah sempoyongan berjalan masuk.
"Lelet amat jadi perempuan. Buka pintu saja lama banget. Dasar perempuan sial," ucap suami kasar.
"Maaf, Mas. Aku tadi tidak sengaja ketiduran, jadi tidak dengar kalau kamu sudah pulang," jawab alasanku.
"Halah, dasar kamu itu. Dari dulu memang lelet dan pemalas. Masih untung nikah sama orang kaya sepertiku, tapi selalu saja mengerjakan sesuatu tidak becus," ucapnya menyinggung.
"Maaf, Mas!" jawabku menundukkan kepala sendu.
"Cepat lakukan pekerjaan kamu," suruhnya.
"Ii--iiya, Mas!" jawabku ketakutan
Dengan segera aku menjongkokkan badan dibawah suami yang duduk diatas sofa, untuk segera melepaskan sepatu dan kaos kakinya.
"Cepat siapkan air panas. Aku mau mandi sekarang," suruhnya lagi.
"Baik, Mas."
Dengan lari tergopoh-gopoh, aku langsung lari ke kamar mandi untuk segera menyiapkan apa yang disuruh suami. Jika tidak dituruti, pasti aku akan dibentak habis-habisan lagi.
Kran untuk memunculkan air panas sudah kuputar. Lama sekali menunggu untuk penuh. Dengan sabar, sekarang kusiapkan semua pelengkapan mandi termasuk handuk.
"Mas ... Mas, bangun. Air mandinya sudah siap," ucapku mencoba membangunkan, dengan cara mengoyang-goyangkan tangannya.
"Hah, bikin kesel saja kamu ini. Orang lagi enak-enakkan tidur, main ganggu dibangunkan segala," keluhnya tidak suka.
"Maaf, Mas. Tadi minta disiapkam air panas, jadi sekarang aku bangunkan untuk Mas segera mandi," jelasku agar tidak kena marah.
"Banyak alasan saja kamu. Sudah minggir sana, bikin eneg saja melihat muka kamu itu," ucapnya kasar lagi.
Saat akan berdiri, suami sudah sempoyongan akan ambruk, namun untung saja aku sigap menangkap, untuk segera membantunya berdiri lagi.
"Mas minum lagi 'kah?" tanyaku keceplosan.
"Hah, banyak omong dan tanya melulu kamu ini. Apa urusan kamu?" jawabnya sudah menjambak rambutku yang sempat tergerai.
"Aaa ... aaa, sakit Mas. Lepaskan, ini sakit sekali!" pintaku.
"Manja amat jadi orang. Baru saja dipegang rambut, sudah kesakitan seperti orang bodoh, ha ... ha ... ha!" gelak tawa suami tidak ada rasa kasihan.
"Makanya jangan banyak tanya dan urusi kehidupanku. Kamu ada disini hanya numpang hidup, jadi jangan banyak tingkah. Kalau tidak nurut, apa mau kusiksa lebih kasar lagi, hah!" ucap Mas Bayu mulai murka, dengan kuatnya menarik rambut ke belakang .
"Aaa, ampun Mas. Maafkan aku, jika tadi salah bertanya," ucapku pilu mau meneteskan airmata.
"Dasar perempuan tidak tahu diuntung dan berguna. Sudah sana, enyah dari hadapanku," usir suami yang melepas rambut, namun dengan kasar membanting tubuhku.
Badan sudah tersungkur kuat dilantai ubin keramik. Lagi-lagi airmata telah mengiringi rumah tangga kami, yang sudah bagaikan neraka didalamnya. Hanya luarnya saja kelihatan romantis, tapi didalamnnya hanya ada kekerasan dan pemukulan saja.
Sungguh ironis kehidupanku. Mau pergi tapi orangtua begitu banyaknya berhutang pada keluarga suami, tapi jika bertahan tubuh dan raga akan semakin terpuruk hancur. Hanya airmata yang selalu mengiring langkah rumah tangga yang tak sehat ini.
"Ya Allah, sampai kapan penderitaanku akan berakhir? Apakah aku memang pantas mendapatkan ini semua?" guman hati yang masih menitikkan airmata.
Badan langsung berdiri, untuk segera melayaninya lagi, sebab tidak mau kena semprot kemarahannya. Entah sampai kapan aku bisa bertahan seperti ini. Apakah dengan hadir malaikat pencabut nyawa penderitaan ini akan berakhir? Atau aku harus terdiam sampai tubuh ini remuk penuh luka? Hanya takdirlah yang bisa menjawab, ketika kepasrahan menjadi kekuatanku sekarang.
Walau status kami sudah menikah, tapi tidak pernah terbesit sedikitpun dipikiran suami untuk satu kamar denganku. Walaupun sudah sah menjadi kekasih halalnya, seujung rambut sampai mata kaki belum pernah disentuh, yang boleh dikatakan aku masih dalam keadaan per*wan.
Rumah tangga ini penuh drama topeng saja, didepan umum maupun orangtua mas Bayu sifatnya akan sangat manis, tapi jika kami berdua saja selalu terbanding terbalik.
Awalnya aku memang tidak setuju atas pernikahan ini dikarenakan tidak ada cinta. Belum mengenal baik sifat mas Bayu, jadi alasan utama. Nasi sudah menjadi bubur, semua kekerasannya padaku tetap kuterima dengan sabar. Jika orang lain tahupun, pasti mengatakan aku ini bodoh sebab mencintai laki-laki kasar, tapi dari lubuk hati terdalam aku masih berharap suami akan tetap jadi imam akheratku nanti.
Klonteng ... klonteng, suara spatulla sedang mengaduk nasi goreng. Beberapa suwiran ayam dan sayur jadi bahan campuran. Tak lupa telur ceplok mata sapi menjadi pelengkap untuk sarapan suami.
Jam empat pagi aku selalu bangun untuk menyiapkan sarapan dan tak lupa untuk sembahyang juga, dengan segudang doa agar suami cepat berubah.
Kerjaanku adalah sebagai guru sekolah SMP. Sudah hampir dua tahun aku melakoni pekerjaan ini. Suami adalah pegawai disebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang kurasa lumayan besar. Namun sayangnya dia begitu pelit, hanya cukup untuk belanja saja. Selalu tidak ada kelebihan uang, hanya sekedar untuk membeli bedak atau yang lain. Sebulan hanya dijatah tujuh ratus ribu, itupun hanya untuk mengisi bahan-bahan dapur saja. Sedangkan kebutuhan yang lainnya kubiyai sendiri.
Aku harus pintar-pintar mengelola uang, jika suatu saat terjadi apa-apa. Uang yang kusisihkan dalam tabungan, nanti semoga saja bisa membantu.
Kujalani ini dengan ridho dan sabar, sebab surga yang ada ditelapak kaki ibu sekarang sudah pindah ke kaki suami, jadi aku sekarang harus benar-benar patuh dan taat padanya.
Tok ... tok, pintu kamar suami telah kuketuk.
"Mas ... Mas, bangun! Ini sudah pagi, jangan sampai kamu nanti terlambat bekerja," ucapku memelankan suara.
Tok ... tok, untuk yang kedua kali pintu kembali kuketuk.
"Iya ... ya, aku sudah bangun ini," simbatnya marah dari dalam.
Karena sudah ada simbatan darinya, aku sekarang pergi untuk menyiapkan beberapa keperluan mengajar.
Kuguyur tubuh dengan air shower, untuk menghilangkan rasa lelah badan dan pikiran. Inilah cara yang sering kulakukan agar menghilangkan stres, sebab banyaknya kejadian yang terus saja menguras tenaga.
"Jihan ... Jihaaaan!" teriak kuat mas Bayu.
Dengan tergesa-gesa aku langsung menyudahi mandi. Baju yang sempat kupakai tadi, kukenakan kembali karena terburu-buru.
Dengan berlari tergopoh-gopoh, sekarang mencoba menghampiri panggilan suami yang terus saja berteriak-teriak.
"Ada apa, Mas?" tanyaku ketakutan.
"Hah, selalu saja lelet datang, kalau ada orang memanggil," keluhnya.
"Maaf, Mas. Tadi aku masih mandi."
"Kopi, mana kopi? Cepat siapkan sekarang, sebab aku akan berangkat pagi-pagi hari ini," pintanya.
"Iya ... ya, Mas. Akan kusiapkan sekarang," jawabku gugup.
Tergesa-gesa 'lah yang kulakulan lagi. Tangan secepat kilat berusaha memasukkan bubuk kopi dan gula.
"Ini, Mas!" Sodorku memberikan.
"Taruh disitu saja."
Brussss, dengan kasar kopi yang sudah masuk ke dalam mulut suami, tiba-tiba disemburkan tepat mengenai wajahku.
Dengan sabar, aku segera mengelap wajah yang terasa hangat akibat kopi baru diseduh.
"Dasar wanita t*lol, apa kamu gila mau meracuni suami kamu sendiri," bentaknya marah.
Plaaak, dengan tiba-tiba suami telah menampar pipi. Rasanya pipi mulai panas dan berdenyut ngilu, sehingga tangan langsung memegang untuk mencoba meredakan sakitnya.
"Itu hukuman akibat kecerobohan kamu. Masak kopi rasanya pahit banget, tidak ada sedikitpun manis-manisnya," keluh Suami.
"Maafkan aku, Mas. Tidak ada niatan sama sekali aku mau meracuni maupun menyuguhkan yang pahit, tapi gula dirumah kita sudah habis, jadi kopi bubuk saja tadi kububuhkan banyak ditambah sama gula sedikit," jawabku memberi alasan.
"Kalau ada otak, ya kamu beli gulanya. Jangan b*doh menyuguhkan kopi pahit saja," ucapnya masih marah-marah.
"Gimana aku mau beli, sedangkan uang yang Mas berikan kemarin hanya cukup untuk beli bahan dapur, sedangkan gajiku belum keluar ditanggal awal-awal begini," jelasku.
"Eghem ... hmm," deheman mas Bayu mati kutu tidak bisa menjawab.
"Kamu ambil dimeja kerjaku, ada banyak uang recehan disana. Semoga cukup untuk beli gula setengah kilo saja," suruhnya.
"Iya, Mas. Nanti akan aku ambil," jawabku kepasrahaku.
Tangan lagi-lagi mengusap airmata yang jatuh dipipi. Sungguh nelangsa sekali kehidupanku sekarang. Hanya demi membeli gula saja, harus menahan malu memakai uang koin seratus dan lima ratusan perak.
"Sabar ... sabar, Jihan. Dibalik masalah dalam rumah tangga kamu ada hikmahnya. Semoga ini semua tetap menjadi berkah untuk hidupmu. Ya Allah, kuatkan aku untuk menjalani ini semua. Semoga mas Bayu akan segera sadar mengenai sifatnya yang kasar, amiin!" Doaku dalam hati sedih ketika memungut uang koin dalam kamar suami.
Suami yang tidak sabar, terpaksa pagi-pagi buta mengetuk warung tetangga hanya demi membeli gula. Untung saja si pemilik warung bersedia membuka, sehingga permintaan suami untuk minum kopi segera kusuguhkan.
Baju yang rapi dengan atasan warna putih dengan bawahan rok hitam, telah membawaku segera masuk ke dalam kelas SMP 1A. Walau terbilang masih baru menjadi guru, harus tetap bersyukur saat murid-murid bisa akrab menyayangiku.
Pikiran yang suntuk telah terobati, oleh canda tawa anak didikku. Walau sering kali merasakan siksaan, namun amarah itu tidak pernah kubawa dalam sekolah. Bagiku rumah kedua yang paling ternyaman adalah sekolah, makanya aku selalu ceria disekolah walau bathin begitu tersiksa.
"Pagi anak-anak!" sapaku pada semua murid.
"Pagi juga, Bu!" jawab kompak semuanya.
"Hari ini kita akan belajar Matematika, maka keluarkanlah buku dan paket kalian," suruhku.
"Baik, Bu."
Hampir dua jam mengajar. Memberikan soal dan cara-cara mengerjakan yang benar mengenai rumus metematika itu bagaimana, akhirnya selesai juga sesi memberi ilmu pada mereka.
Suara ketukan sepatu, telah membawaku untuk keruang guru segera, meredakan rasa lelah habis mengajar.
"Bu Jihan, disuruh kepala sekolah untuk rapat para guru, diruang seperti biasanya. Dimohon untuk hadir diruang rapat segera," suruh Bu Guru olahraga.
"Iya, Bu. Terima kasih atas pemberitahuannya. Saya akan segera kesana sekarang," jawabku santai.
"Oke! Jangan sampai terlambat, ya. Kalau terlambat datang kamu bakalan menyesal, sebab ada guru tampan yang bakal menjadi anggota kita," ucap berbisik Guru olahraga.
"Benarkah itu?" ucapku pura-pura tidak percaya.
"Iya, benar itu. Makanya cepetan kesana."
"Baik, Bu!" jawabku pelan.
Wajah beliau kelihatan sumringah bahagia, seperti akan menemui seorang artis saja. Aku tidak antusias kepo seperti beliau. Bagiku buat apa kita tergiur pada ketampanan seseorang, sedangkan dirumah ada yang lebih tampan.
Ternyata banyak para guru pria dan wanita sudah berkumpul. Aku yang baru saja datang, hanya menyalami tangan dan menyapa membungkukkan badan, sambil tersenyum ramah pada semua orang.
Kepala sekolah yang kami nanti, akhirnya datang juga bersama seorang pemuda, yang mengiringi langkah beliau dari belakang.
Netra sudah takjub pada pemuda itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh Bu guru olahraga tadi ada benarnya, bahwa dia sangat tampan dan kelihatan imut sekali wajahnya.
"Baiklah, pasti kalian sudah tahu kenapa saya kumpulkan disini. Wakil kepala sekolah kita sudah pensiun, maka saya akan mengangkat wakil baru, yaitu Pak Satria yang merupakan masih kerabat jauh dengan saya. Pindahan dari sekolah SMP Negeri 2 dan beliau akan resmi menetap disekolahan kita sebagai wakil saya. Selain sebagai wakil, beliau akan membantu mengajar dikelas, dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya harap kalian bisa akrab dan membimbing beliau, untuk lebih mengenal baik di sekolahan kita," ucap Kepala sekolah.
"Iya, Pak. Kami pasti akan akrab kok, apalagi Pak Satrianya tampan begitu," ucap centil Ibu Olahraga.
"Hehehe, bisa saja Ibu guru yang satu ini. Terima kasih atas pujiannya. Salam kenal untuk semuanya. Saya harap, kita semua akan semakin akrab. Apabila saya butuh bantuan, semoga kalian bisa membantu dengan hati lapang dan ikhlas," ucap Pak Satria.
"Iya, Pak. Semoga kita akan jadi rekan yang berguna, untuk memberikan ilmu yang terbaik pada anak didik kita," jawab salah satu guru pria.
"Emm, amin."
Aku hanya menatap biasa-biasa saja. Namun beda sama guru-guru perempuan lain, yang kelihatan agresif dan centil pada beliau.
Pak Satria orangnya kelihatan ramah dan supel, hingga banyak guru yang sudah mulai akrab pada beliau. Karena tidak ada rapat yang penting, maka aku langsung melanjutkan pekerjaanku, untuk memberikan nilai pada jawaban yang dikerjakan para murid tadi.
Akhirnya selesai memberikan nilai pada tugas mereka. Bel telah berbunyi, menandakan jam mata pelajaran kedua telah dimulai.
Jadwal hari adalah mengajar di kelas dua juga, dengan pelajaran yang sama yaitu Matematika.
Langkah perlahan-lahan mulai menuju ke kelas, yang jadi pekerjaanku sekarang.
Bhugh, tanpa sengaja bahu sudah menabrak seseorang, ketika netra telah fokus menata buku, yang sudah berantakan saat berada ditangan.
"Maaf ... maafkan saya," Suara seorang pria.
"Tidak apa-apa," jawabku lemah, sambil memunguti buku yang jatuh.
Ternyata yang kutabrak adalah wakil kepala sekolah. Sungguh memalukan sekali, akibat tidak hati-hati berjalan hingga menabrak kasar beliau.
"Ini!" Sebuah buku telah disodorkan Pak Satria.
"Terima kasih, Pak!" ucapku malu-malu.
"Iya, sama-sama. Maaf ya, bukunya jadi kotor begitu, sebab aku menabrak kamu tadi," ucap beliau tak enak hati.
"Iya, Pak. Tidak apa-apa. Mungkin saya tadi yang kurang hati-hati akibat tidak fokus melihat jalan," ucapku merasa bersalah.
"Iya, sama. Tadi saya juga sedang tidak fokus melihat jalan. Fokus saya tadi terbagi, sebab melihat ke sekeliling sekolahan," jelas beliau.
"Oh, begitu. Kalau begitu saya permisi dulu untuk pergi mengajar," pamitku
"Oh, iya. Selamat mengajar kalau begitu. Maaf ya, tadi tidak sengaja," imbuhnya tak enak hati lagi.
"Baik, Pak."
Tidak ingin terjebak mengulur waktu. Langkah mencoba tergesa-gesa pergi, dari hadapan Wakil kepala sekolah. Lagian aku tidak mau ada yang membicarakan kami, perihal lamanya kami saling berbicara barusan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!