NovelToon NovelToon

Ein Weg Zur Familie

EPISODE 1 - Pensiun

Kota Köln, Jerman

Seseorang berbadan tinggi dan sedikit kekar, berambut pirang, bermata biru, memiliki codet pada pipi kirinya, serta berkulit putih. Ia sedang melakukan upacara pencopotan pangkat di kantor lapangan militer Angkatan Darat Jerman. Dia bernama Roter Schädel.

Upacara itu disaksikan banyak orang termasuk teman-temannya. Satu persatu pangkat di seragamnya dilepaskan.

Beberapa saat kemudian, upacara itu akhirnya selesai. Roter tengah mengeluarkan bagasinya untuk pergi dari sana, meninggalkan tempat pengabdiannya sebagai militer.

Ia sangat senang sebab terbebas dari tugas yang bertahun-tahun diembannya. Tak hanya itu, Roter juga mendapatkan uang pensiun yang terbilang banyak. Sebelum pergi, ia menyempatkan diri untuk mengobrol dengan rekannya.

"Setelah ini kau akan kemana, Roter?" tanya Peter.

"Untuk sementara waktu mungkin tinggal di rumah kakekku dulu di Berlin"

"Apa Kau punya rencana lain?" tanya Krubs.

"Emm... Mungkin pindah ke Jepang"

"Tunggu, apa? Jepang?" Peter terkejut.

"Yeah, ibu dan adik perempuanku tinggal di sana. Sekarang adikku sudah kelas 1 SMA"

"Kalau boleh tahu, adikmu lahir di sana?" tanya Krubs.

"Yep, hanya selisih 12 tahun dariku"

"Kau lahir tahun berapa?" tanya Peter.

"Hmmm.... Antara tahun 1997 sama 1996"

"Mungkin 1997" jawab Peter

"Kurasa begitu"

"Lalu Teramiter bagaimana jika kau pergi?" tanya Krubs.

"Tenang saja..... Itu mudah"

"Mudah dari mana? kami kehilangan kepimpinanmu" kata Peter.

"Yo, aku ke Jepang sekalian bertemu sahabat ayahku, dia pemimpin Kuromogramo bagian Jepang. Aku akan mengajaknya kerja sama dan menghapus kenangan buruk Teramiter dan Kuromogramo ketika ayahku dan Havontz menjabat"

"Kau serius? Kuromogramo rival abadi kita! Franklin, pemimpin utama itu pasti tak akan menerimanya. Dia orang yang keras kepala!"

"Yeah, aku setuju denganmu, Peter" sambung Krebs.

"Dia sudah tak menjabat lagi. Kini pemimpinnya sekarang adalah mantan Jenderal Amerika Serikat, George Arley W.. Mungkin dia akan menerimanya selama Kuromogramo diuntungkan. Intinya kita jalani kesepakatan dengan sahabat ayahku dulu"

"Dan Franklin bukanlah pemimpin pertama Kuromogramo" tambahnya.

"Aku tak yakin, kau pasti akan terkena jebakan. Mereka itu sangat licik sekali" kata Peter.

"Itu hanya propaganda, Peter.... Aku yakin dia mau menerima ajakan kita"

"Semisal dia tak mau?"

"Berarti bukan rejeki kita"

"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu nanti di Jepang" sahut Krubs.

"Mungkin kembali jadi pelayan kafe semasa SMA, haha..." jawab Roter.

"Selama visa kerjaku masih aktif, aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak" tambahnya.

"Ssst... Dia punya Teramiter, penghasilannya cukup untuk membeli lima villa mewah" bisik Peter pada Krubs.

"Ahh.... Aku lupa"

Disela-sela itu, teman-temannya yang lain datang untuk memberikan salam perpisahan.

"Roter" panggil Albert.

"Ya?"

"Ada bingkisan untukmu, semoga kau tetap kuat menjalani hidup baru, haha...."

"Ini untukmu" Krebs memberikannya.

"Dan ini ada sedikit bunga untukmu" sambung Burgdorf.

"Wahh.... Terima kasih banyak, aku sangat menyukainya....." Roter tersenyum ramah menerimanya.

"Sama-sama" jawab Krebs.

"Oh iya, ini earphone yang kemarin ku pinjam" kata Albert.

"Ambil saja, aku tak memerlukannya lagi" jawab Roter

"Oke, terima kasih" Albert tersenyum bahagia.

"Oh yah, Krebs, 85 persen gaji ku di Teramiter kalian boleh mengambilnya atau diberi ke yang lain atau boleh juga disumbangkan ke badan amal" kata Roter.

"Untuk gaji berikutnya bagaimana?"

"Aku tak perlu mengambilnya, lagipula nanti aku tak berada di Teramiter"

"Itu artinya kau mengundurkan dari Teramiter?" tanya Peter.

"Tidak, aku hanya tak aktif untuk beberapa bulan ke depan. Aku juga sudah mengabari Erika, bahwa selama aku tak ada, dia memegang kepemimpinan Teramiter. Tapi akan ku pantau dari jauhnya perkembangannya"

"Semisal uangmu tiba-tiba habis, bagaimana kau akan hidup di sana?" tanya Peter.

"Tenang saja, aku bisa bekerja yang lain. Jangan khawatir, aku bisa bertahan hidup selama satu tahu di sana, haha...." jawab Roter.

"Baiklah, sudah waktunya untuk pergi, sampai bertemu lagi" tambahnya. Ia mulai mengangkat barang bawaan menuju ke luar kawasan.

"Hati-hati dijalan" kata Albert.

"Jangan lupa untuk mampir ke rumahku di Jepang, kawan-kawan, hahaha...." jawab Roter.

Keluar dari kawasan itu, ia memberhentikan taksi pergi meninggalkan tempat itu. Selepas kepergiannya, teman-teman Roter langsung sangat gembira karena bisa bebas di Teramiter nanti. Disela-sela itu, datang Erika yang berlari menghampiri mereka berlima.

"Haah... Haah... Haah... Ke-kemana Roter?" tanyanya, terengah-engah.

"Baru saja pergi tadi" jawab Albert.

"Apa? dia sudah pergi?"

"Yeah....."

"Sial, aku baru aja ingin memberi bingkisan"

"Kenapa tak berikan ke kami saja?" tanya Peter.

"Sure....."

"Eh? seriusan?"

"Iya, mubazir kalau dibuang"

"Wahh... Terima kasih banyak...."

Tiba-tiba saja, ponsel milik Erika berbunyi. Ia mendapatkan sebuah pangggilan dari Roter.

"Halo, Roter..."

"Erika, tolong awasi mereka nanti. Aku tahu mereka senang jika aku pergi"

"Hahaha... Oke, aku akan pantau mereka" Erika tersenyum jahat melihat teman-teman Roter yang bahagia.

"Baiklah... Aku titip amanah sama kamu"

"Kira-kira kau sudah dimana?" tanya Erika.

"Lagi berhenti di lampu merah, aku akan ke pergi Berlin"

"Ke Berlin?"

"Yeah, aku mau ke rumah kakekku dulu untuk minta izin pindah ke Jepang"

"Eh? kau mau pindah?"

"Iya, rencananya begitu kalau aku dapat izin"

"Hati-hati di jalan"

"Baiklah, kita akhiri dulu, nanti akan ku lanjut"

"Oke..."

Roter pun akhirnya mematikan panggilan itu.

"Tuan, tolong berhentikan saya di stasiun kereta" kata Roter pada sang sopir.

"Dimengerti"

Beberapa saat kemudian, ia akhirnya sampai sampai di sebuah stasiun kereta. Sambil mengangkat barang bawaannya keluar dari mobil, Roter dibantu oleh sang sopir untuk meringankannya.

"Ini uangnya, pak... Kalau ada kembaliannya, Anda bisa mengambilnya" ucap Roter, memberikan uang pada sang sopir.

"Terima kasih banyak, tuan..."

"Sama-sama... Kalau begitu, saya pergi, yah"

"Iya, semoga selamat sampai tujuan" sang sopir tersenyum ramah padanya.

"Amin..."

Roter pun berjalan meninggalkan sang sopir. Setelah itu, ia menghampiri sebuah mesin untuk membeli tiket kereta menuju Berlin. Setelah mendapatkan tiketnya, ia berjalan menuju peron untuk menunggu kereta yang akan datang.

Beberapa menit berlalu, kereta akhirnya sampai pada peron. Roter berdiri dari tempat duduknya dan berjalan masuk kedalam kereta. Disana ia duduk bersebelahan dengan seorang wanita muda. Tak lama kemudian, kereta itu mulai bergerak meninggalkan stasiun.

Berada disepanjang perjalanan, Roter berbincang-bincang dengan wanita muda tersebut.

"Apa kamu pergi ke Berlin juga?" tanya Roter.

"Iya, saya pergi kesana"

"Ternyata jalur kita sama"

"Ahaha... Saya juga tak menyadarinya" si wanita menjadi canggung.

"Kalau boleh tahu, tujuan kamu kesana untuk apa?" tanya Roter.

"Saya ingin mengunjungi keluarga, kebetulan hari ini merupakan libur semester"

"Kamu seorang mahasiswi?"

"Ya, saya mahasiswa dari sebuah universitas di Kota Cologne,"

"Ahh... Ternyata kamu kuliah disana, yah"

"Iya, ini adalah tahun pertama saya. Kalau Anda sendiri bagaimana?"

"Selepas upacara pencopotan pangkat pagi tadi, saya ingin pulang ke Berlin"

"Whoa... Anda seorang tentara?"

"Tapi sekarang tidak, saya memutuskan untuk berhenti"

"Kenapa?"

"Masalah pribadi"

"Ngomong-ngomong, saya juga punya kakak laki-laki yang jadi tentara seperti Anda"

"Ahh... Benarkah itu?"

"Iya, sekarang dia ada di Kota Leipzig. Kakakku sering mengirimkan banyak foto tentang militer dan kebersamaan bersama rekan-rekannya. Saya iri dengannya bisa mempunyai teman yang serasi"

"Cepat atau lambat kamu juga akan mendapatkannya, intinya kamu harus giat belajar karena orang-orang sekarang hanya mau berteman dengan yang pintar dan bisa diajak kompromi"

"Baik, mulai detik ini saya akan belajar dengan giat untuk menjadi seorang dokter"

"Anak pintar" Roter tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.

Empat jam berlalu, Roter dan wanita itu akhirnya sampai di Stasiun Utama Kota Berlin pada pukul 12.10 siang.

"Pak" panggil si wanita itu pada Roter.

"Terima kasih banyak karena mau mengobrol dengan saya" tambahnya.

"Oh iya, sama-sama"

"Anda tak ingin makan siang dulu?"

"Tidak, saya harus cepat-cepat pulang ke rumah"

"Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu, semoga bisa bertemu kembali"

"Iya, kamu juga"

Mereka berdua kemudian berpisah ke jalannya masing-masing.

"Pak? aku dipanggil pak? apakah wajahku terlihat tua?" Roter merasa aneh dengan percakapan tadi.

"Mungkin karena penampilanku seperti orang tua, itu bisa jadi" tambahnya.

Ia kemudian memesan sebuah taksi. Setelah itu ia pergi keluar membawa barang bawaannya dan menunggu taksi yang akan datang.

Beberapa menit berlalu, taksi pun akhirnya datang. Roter dengan dibantu oleh sang sopir memasukkan barang bawaannya kedalam bagasi. Setelah itu, mereka berdua pun pergi menuju pinggir kota di dekat Danau Hundekehlesee.

Tak berselang lama, Roter akhirnya sampai di rumah ayahnya yang kini ditempati oleh kakek dan neneknya. Barang bawaan mulai dikeluarkan dari bagasi, Roter kemudian membayar tumpangan taksi yang ia naiki. Si sopir memutar mobilnya lalu pergi meninggalkan Roter disana.

Selepas kepergian si sopir, Roter tiba-tiba merasa sangat gugup.

"Duh... Kok jadi gugup, yah?" ucapnya.

Ia melangkah maju secara perlahan dan menaiki tangganya.

Ding, dong...

Roter menekan bel rumah itu.

"Siapa disana?" intercom rumah itu berbunyi, menandakan bahwa ada orang didalamnya.

"Ini aku, kek, Roter... Cucumu, kakek lupa denganku?"

"Roter? cucu aku?" si kakek bergumam kebingungan mengingatnya.

"Aku Roter Schädel, kek, cucumu dari Royen dan Arabell. Masa kakek gak kenal"

Pintu kemudian terbuka, kakeknya Roter menampakkan dirinya dan menyambut Roter dengan hangat.

"Selamat datang, cucuku.... Kakek baru ingat, kakek suka lupa akhir-akhir ini, hehe...."

"Minum teh rosemary yang banyak, kek"

"Kakek akan usahakan. Mari masuk, silahkan masuk"

"Dimana kamarku?" tanya Roter.

"Seperti biasa"

"Ohh oke.."

Roter kemudian naik ke lantai atas menuju kamar yang pernah ia tempati ketika kecil. Ia masuk kedalamnya, menggantikan pakaiannya menjadi pakaian yang santai. Setelah itu, ia turun kebawah menuju ruang keluarga.

Ia duduk santai disebuah sofa sambil melepaskan lelahnya.

"Ahh... Akhirnya ada waktu untuk bersantai..." ucapnya.

"Jadi bagaimana dengan pekerjaanmu sebagai militer sekarang?" tanya si kakek, menghampirinya sambil membawa secangkir kopi dan duduk berhadapan.

"Aku memutuskan pensiun"

"Apa? pensiun?"

"Yeah, aku pensiun. Jam 8 pagi tadi, aku sudah melakukan upacara pencopotan pangkat dan resmi menjadi warga sipil kembali"

"Tapi mengapa kau harus pensiun, Roter? bukankah menjadi militer bagus? aliran keluarga kita berasal dari kalangan militer"

"Ada dua faktor aku memutuskan hal ini"

"Apa saja?"

"Pertama, aku tak bisa jauh-jauh dari Cologne ataupun Berlin. Rencananya aku bakal dipindahtugaskan ke Nürnberg dan aku tidak mau. Yang kedua, aku sangat sibuk mengurus usaha ayah semenjak ia menghilang. Jika usaha itu ku biarkan, maka aku merasa tak amanah"

"Apa usahanya Royen selama ini? kakek tak pernah mendengarnya?"

"Ya, umm... Itu... Anu... A– hahaha...." Roter tiba-tiba menjadi canggung dan kesulitan menjawabnya dikarenakan sangat rahasia.

"Katakan saja, tak perlu ragu"

"Anu... Usaha ayah adalah... Adalah..."

"Adalah apa?"

"Adalah perusahaan kecil yang bersektor pada bidang alat-alat dapur" Roter pun akhirnya memberanikan diri.

"Ya Tuhan.... Sebenarnya aku ingin bilang bahwa warisan atau usaha ayah adalah Teramiter" tambahnya, bergumam didalam hati dengan ekspresi wajah canggung.

"Itu saja?" tanya si kakek.

"Iya, hanya itu saja"

"Kemana ibumu, Roter?" tanya si kakek.

"Katanya dia sibuk, jadi untuk perayaan Natal bulan depan dia tak bisa datang"

"Lalu adikmu?"

"Kalau itu, aku belum mau bolehkan dia pergi sendiri ke Jerman. Bahaya nantinya. Tunggu umurnya mencukupi baru aku izinkan"

"Ngomong-ngomong, Roter... Apakah kau masih tahu kemana Royen pergi?"

"Soal itu, aku juga tak tahu kemana ayah pergi. Dia menghilang saat hendak pergi membeli perkakas"

"Ini sudah 7 tahun lebih, kakek berharap dia dapat ditemukan. Kakek ingin melihat wajahnya, dia pasti bahagia bertemu kembali denganmu juga Arabell dan adikmu"

"Aku juga berharap begitu, aku masih memikirkan apakah dia masih hidup atau gugur"

Disela-sela itu, pintu rumah terbuka, seorang nenek terkejut melihat Roter ada disana.

"Roter?"

"Nenek?"

"Wahh... Sudah pulang kamu, yah?" si nenek merasa sangat bahagia.

"Haha... Iya, nek. Senang bertemu kembali dengan nenek" Roter tersenyum mencium tangan si nenek.

"Nenek habis darimana?" tambahnya.

"Nenek tadi habis pergi dari supermarket"

"Nenek ke dapur dulu, yah" tambahnya.

"Iya, nek.... Silahkan"

Si nenek kemudian pergi dari sana menuju dapur.

"Jadi sekarang gimana, Roter?"

"Apanya?"

"Maksudnya apakah kau sudah punya pacar atau semacamnya?"

"Emm.... Sepertinya aku harus fokus pada pekerjaan dulu, soal pasangan itu urusan belakang"

"Yakin? teman-teman kamu yang tinggal disini sudah banyak yang punya pacar bahkan menikah dan punya rumah. Adiknya Royen juga sudah menikah, masa kamu belum" si kakek meyakinkan Roter.

"Aku belum terlalu siap untuk membangun rumah tangga apalagi menjadi seorang ayah. Akhir-akhir ini aku banyak memiliki kesibukan, aku khawatir jika kesibukan itu akan menghilangkan waktu berkumpul bersama anak dan istri?"

"Kamu tahu, Roter?" kata si kakek.

"Hubungan antara Royen dan Arabell sebenarnya kakek tak merestuinya" tambahnya.

"Benarkah itu?" Roter menjadi terkejut.

"Dengarkan kisah ini. Royen dan Arabell sudah dekat sejak masa pertengahan SMA. Selepas SMA dan memiliki pekerjaan, mereka memutuskan untuk menikah. Tapi kakek tak merestuinya dikarenakan suatu hal pribadi. Mendengar jawaban tersebut, keduanya menjadi sangat kecewa"

"Lalu bagaimana mereka bisa menikah, kek?" tanya Roter dengan penasaran.

"Heh... Mereka menggunakan cara kotor, yaitu hamil diluar nikah. Mau tak mau kakek harus merestui keduanya menikah secara sah. Beberapa bulan kemudian, kamu akhirnya lahir ke dunia ini"

Mendengar jawaban itu, Roter menjadi terkejut. Raut wajahnya berubah seakan-akan tak percaya apa yang telah ayah dan ibunya lakukan.

"Jadi aku adalah anak hasil hubungan terlarang?" Roter berdiri dari tempat duduknya.

"Bisa jadi" si kakek tersenyum lalu tertawa.

"Ahh sial! ini tak mungkin! ini mustahil!" Roter bergumam dengan merasa sangat kecewa.

"Apakah itu benar, kek?" tambahnya.

"Marshall...." tegur si nenek dari dapur

"Jangan percaya itu, Roter....! kakekmu pendongeng handal....!" tambahnya.

Si kakek pun tertawa puas dapat mengerjai cucu kesayangannya.

"Kek, itu tak lucu" ucap Roter.

"Hahahaha.... Kakek ingin tahu ekspresimu. Sebenarnya mereka berdua sangat cocok, aku bangga ayahmu memiliki pasangan sejati"

"Bikin tegang saja...." Roter menggelengkan kepalanya dan kembali duduk.

"Arabell sangat mencintai ayahmu, begitu juga sebaliknya. Semenjak Royen menghilang, dia masih memikirkan ayahmu dan tak memutuskan untuk menikah lagi"

"Jadi sekarang aku tahu kenapa ibu selalu tak menjawab jika ditanya ingin menikah lagi"

"Kau benar-benar beruntung punya orang tua seperti itu. Apalagi keduanya masih saling mencintai sampai sekarang" kata si kakek.

"Lalu bagaimana dengan kehidupan kakek?"

"Heh... Cukup pahit"

"Ceritakan saja"

"Waktu masih muda dan jadi anggota Wehrmacht bagian Heer (Angkatan Darat), kakek sudah berkali-kali dikirim ke medan tempur, entah itu front timur atau front barat. Banyak rekan-rekan kakek yang tewas, tapi hanya kakek yang selamat dan kembali ke keluarga. Jadi separuh kehidupan kakek digunakan untuk bertempur. Tangan ini masih bisa merasakan berbagai macam tekstur setiap senjata"

"Apakah kakek pernah tertangkap sebelumnya?"

"Yap, kakek pernah tertangkap oleh satu kompi infanteri ke-17 Amerika Serikat, mereka juga menangkap sebagian anggota SS lalu menembaknya ditempat. Untung saja waktu itu kakek tak ditugaskan di front timur

"Memangnya ada apa dengan front timur, kek?"

"Cerita yang beredar saat perang berlangsung disana sangat menyeramkan. Banyak tentara merah Soviet yang siap merobek perutmu atau dikirimkan ke penjara Gulag. Dikatakan teriakan serangan serbu mereka cukup membuatmu kena mental"

"Bagaimana bunyi teriakannya?" Roter semakin penasaran.

"Mereka berteriak Ura! dalam bahasa Rusia artinya hore dengan cukup keras dan maju kedepan beramai-ramai melewati hujan peluru. Skalanya mirip dengan serangan banzai atau kamikaze yang dilakukan Jepang dulu" jawab si kakek

"Dulu kakek dan kawan kakek yang kebetulan adalah penembak runduk terkenal dimasanya akan dikirimkan ke Stalingrad untuk menghalau tentara Soviet dibawah pimpinan Jenderal Zhukov" tambahnya.

"Terus gimana? kakek berhasil melumpuhkan banyak dari mereka?"

"Tidak, kami berdua malah keringat dingin mendengarnya karena disana ada penembak runduk yang sangat terkenal"

"Wow.... Siapa namanya, kek?"

"Vassily Zaitsev"

"Bagaimana rupa orang itu, kek?"

"Uuuiss... Mengerikan! dia orang Soviet, penembak handal, banyak yang mati ditangannya, kalau kau dikirim kesana, huuuu... Mendengar namanya saja sudah cukup buat bikin kakek ketar-ketir setengah mati"

"Kira-kira skor kakek berapa?"

"Emmm... Kalau tak salah sekitaran 340 korban yang kakek tembak"

"Tunggu apa? sebanyak itu?"

"Yeah, kira-kira segitu"

"Lalu skornya penembak runduk dari Soviet itu berapa?"

"200-an, kakek tak tahu pasti berapa jumlahnya, tapi kakek dengar korbannya 200 lebih"

"Kalau rekan kakek gimana?"

"Rekan yang mana?"

"Rekan sniper kakek"

"Ohh Allerberger?"

"Iya" Roter pura-pura tahu.

"Heh... Dia lebih rendah dari kakek. Walaupun begitu, kami berdua masih sama seperti dahulu, sifat kekanak-kanakan tak bisa hilang dari diri kami. Kakek punya banyak kenangan manis bersamanya dimedan perang dulu. Kami masih dapat bercanda tawa walau keadaan sangat bombastis hingga tertangkap oleh tentara Amerika"

"Apa yang terjadi setelah kakek dan rekan kakek tertangkap?"

"Kami berdua dibawa ke kamp tahanan dan menetap di Perancis. Ketika pemimpin Jerman Reich ketiga bunuh diri dan pasukan Uni Soviet dari timur sudah menduduki Berlin, Jerman akhirnya kalah lalu menyerah tanpa syarat ke pasukan merah (Uni Soviet) dan Sekutu, kami di kamp tahanan masih belum dibebaskan"

"Kira-kira berapa lama kakek menetap di kamp itu?"

"Kalau tak salah.... Di bulan Februari 1945 hingga Juni 1947, berarti 3 tahun"

"Tapi pada akhirnya kakek bebas?"

"Yah, hanya 200 tawanan saja bersamaan dengan rekan kakek, Allerberger"

"Pasti cukup pedih masa-masa itu, yah"

"Pesan moral dari kisah kakek adalah, jangan sia-siakan hidup yang berharga. Ikuti kata hati dan ambilah sebuah jalan yang benar untuk menuntun dirimu ke masa depan yang cerah. Hidup hanya sekali dan tak ada orang yang bisa menjual nyawa"

"Sekarang aku paham, aku akan mengikuti arahan dari kakek"

"Bagus... Tetap berada di jalan yang lurus" kata si kakek

"Walaupun begitu, sebagai veteran perang kakek tak pernah mendapatkan keadilan dimasa sekarang setelah melayani banyak tugas negara" tambahnya.

"Yaiyalah... Kakek kan tentara Jerman, apalagi jadi negara terjahat pada masanya. Mana mungkinlah kakek bisa dapat diskon saat pergi belanja sebagai veteran, haha..."

"Tapi tiap tahun kakek merayakan hari veteran sedunia, meskipun kakek adalah bekas anggota Wehrmacht. Yang penting kakek bukan anggota Schutzstaffel" jawab kakek

"Ngomong-ngomong, Roter, apa kamu punya rencana lain" tambahnya.

"Emmm..... Mungkin pindah ke Jepang, aku punya beberapa tujuan di sana"

"Pergilah, kakek mengizinkanmu. Tapi ingat, kamu harus bisa jaga diri, jangan mudah percaya dengan warga lokalnya"

"Halah.... Mana mungkin warga lokalnya begitu"

"Kakek punya pengalaman buruk di sana"

"Itu hanya oknum, oknum, oknum dan oknum"

"Intinya jaga diri saja, lindungi ibu dan adikmu. Kakek masih tak bisa berharap Monika bisa menjaga dirinya"

"Haha.... Siap, kek! itu beres, akan ku awasi dia nanti"

"Kapan kamu berangkat?" tanya kakek.

"Entahlah, aku butuh istirahat dulu sebelum berangkat. Soal tiket itu bisa diatur"

"Hati-hati dalam perjalanan, dan jangan lupa dengan kewajiban agama" kata

"Siap...." Roter tersenyum mengacungkan jempolnya.

"Oh yah, ini ada sedikit uang, jumlahnya lumayan. Setengahnya aku berikan ke kakek dan nenek" ia mengeluarkan uang dari amplop.

"Tidak usah, Roter..... Itu uangmu, kamu bisa menabungnya untuk masa depan. Kehidupan kakek sudah terpenuhi disini"

Si kakek lalu berdiri dari tempat duduknya.

"Kakek mau kemana?" tanya Roter.

"Menemui rekan kakek"

"Ngomong-ngomong... Kamarnya ayah ada dimana?"

"Seperti biasa"

"Oke...."

EPISODE 2 - Alien dan kafe

Malam harinya,

Berada di kamar ayahnya, Roter yang tak tahu harus melakukan apa, melihat-lihat semua rak yang dipenuhi banyak buku.

"Rata-rata banyak buku tentang seni disini, apakah ayah sebenarnya ingin menjadi pelukis handal tapi gagal masuk universitas seni?"

"Hmm... Hanya berspekulasi, tapi mungkin saja itu benar dan ia membangun Teramiter"

"Banyak juga buku disini. Ada buku geologi, astronomika, sosiologi, sejarah, fisika, kimia, matematika, ilmu pertanian, ilmu abad pertengahan, kitab injil, dan kamus dari macam-macam bahasa"

"Buku biologi jilid VII? Ahh.... Akhirnya dapat juga buku ini. Aku akan mengambilnya, hahaha...."

Tiba-tiba saja, pandangannya tertuju pada salah satu buku yang berada paling atas pojok kanan. Merasa penasaran, ia mengambil buku tersebut.

"Buku hasil penelitian? tak pernah ku lihat ini sebelumnya. Sampulnya terlihat berbeda dari yang lain dan teksturnya agak kasar"

Roter lalu membukanya. Ia langsung terkejut melihat isi buku tersebut tentang penelitian pembuatan makhluk hibrida yang dijelaskan secara detail lengkap dengan gambar yang ayahnya kerjakan. Ia sangat kagum dan terkesima membacanya.

"Whoaa... Lengkap sekali, penjelasan disini begitu sangat detail. Buku ini yang aku inginkan! haha, sekian lama membuat makhluk hibrida di Teramiter selalu saja gagal. Tapi sekarang hal itu tak akan terjadi lagi. Buku ini akan menjadi acuanku"

"Apa ini? Proyek Subject-727?" Roter membaca halaman terakhir.

"Well, well.... Ternyata proyek yang terbengkalai di Jepang. Yosh, akan ku kerjakan mengikuti panduan dari buku ini"

Tiit... Tiit... Tiit...

Jam tangannya tiba-tiba saja berbunyi. Roter keluar dari kamar ayahnya. Setelah itu, ia keluar dari rumah dan menuju ke selatan hingga sampai disebuah jalan yang disekitarnya dipenuhi banyak pepohonan. Jalan itu begitu tampak gelap dan memberikan kesan menyeramkan.

Dari langit diatas, muncul sebuah cahaya berwarna putih sangat terang. Cahaya itu menuju kearahnya dan menjadi besar setiap detiknya. Roter terus berdiam diri, seolah-olah sedang menunggu sesuatu. Ternyata, cahaya itu merupakan sebuah lampu dari objek terbang yang tak dikenal yakni UFO dengan ukuran yang amat besar.

Lampu-lampu diluar dari UFO tersebut mati agar pencahayaannya tak menarik perhatian penduduk sekitar. Kemudian, cahaya berwarna putih kebiruan turun dari bagian bawah objek terbang tersebut. Tak ada hembusan angin yang dihasilkan dari sana.

Dari cahaya itu, muncul seorang makhluk tak dikenal (Alien) yang memiliki wujud hampir menyamai manusia dalam wujud hologram. Alien itu bernama Letherumine Revilium.

"Selamat malam, Roter. Lama tak bertemu" sapanya.

"Selamat malam juga, mungkin karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan"

"Aku ingin bertanya padamu" tanya Revilium.

"Apa?"

"Apakah Royen sudah ketemu?" Revilium penasaran dengan ayahnya Roter.

"Sampai sekarang ayahku masih belum ditemukan, padahal sudah lebih tujuh tahun. Kasusnya akan ditutup tahun depan dikarenakan sangat sulit diselesaikan"

"Ahh ternyata begitu, aku turut berdukacita"

"Iya..."

"Ngomong-ngomong, ada perlu apa memintaku datang ke bumi tadi siang?" tanya Revilium.

"Ini soal tentang Teramiter"

"Kenapa? apa yang terjadi? apakah ada masalah?"

"Tidak, aku hanya ingin menyampaikan sesuatu padamu" jawab Roter.

"Apakah kontrak kerjasama kita masih aktif hingga lima tahun kedepan?" tambahnya.

"Masih aktif. Aku siap memperpanjangnya. Ini adalah bentuk balas budi karena ayahmu telah menyelamatkanku dulu"

"Baiklah, Revilium.... Aku saat ini tak memimpin Teramiter dan aku baru saja berhenti menjadi militer"

"Eh? kenapa begitu?"

"Panjang jika diceritakan. Intinya aku tak memimpin organisasi itu untuk beberapa bulan kedepan"

"Lalu siapa yang memimpin juga mengelola setiap yayasan dan perusahaan?"

"Soal itu aku memberikan wewenang kepada Erika. Seorang wanita berambut pirang, bermata hijau, dan selalu ada disampingku ketika melakukan transaksi denganmu"

"Ahh aku ingat. Erika Duno namanya?"

"Yah, tepat sekali"

"Lalu bagaimana nasibnya Havontz Xeilotz sekarang yang dulu kau kudeta?" tanya Revilium.

"Heh... Dia sudah kabur entah kemana, tapi ku rasa dia memiliki dendam denganku. Teman-temannya masih bekerja di Teramiter, aku tak menghukumnya sejak Havontz berhasil dikudeta. Orang-orang disana telah mengecap Havontz sebagai pecundang dan tak amanah"

"Ternyata begitu...."

"Oh yah, Revilium. Rencananya aku ingin mengajakmu kerjasama dengan organisasi sebelah" kata Roter.

"Apa nama organisasinya?"

"Kuromogramo, terdengar agak aneh tapi mereka sedikit lebih kaya dari Teramiter. Dulu kami punya kenangan buruk tapi aku akan menghapusnya dan mengajaknya bekerjasama. Kira-kira kau mau menerima tawaran ini?"

"Nantinya akan berfokus kemana?" tanya Revilium.

"Emm... Kita akan berfokus untuk membuat berbagai macam senjata futuristik, amunisi mutakhir, juga kendaraan yang lebih modern dan bisa melayang. Senjata dan kendaraan itu bisa kita jual dan mendapatkan keuntungan yang banyak. Orang-orang di bumi ini pasti akan tertarik dengan hal ini nantinya"

"Baiklah, aku setuju. Ini demi balas budi, aku akan ikut dalam proyek tersebut"

"Kau yakin, Revilium?"

"Yah, aku sangat yakin. Tapi dengan satu syarat"

"Apa syaratnya?"

"Kerjasama ini harus bersifat rahasia, kami tak ingin ada oknum yang menyebarluaskan gambar atau video tentang kami sebagai Alien atau makhluk asing. Nantinya muncul kaum-kaum aneh yang menentang dan memuja kami sebagai Tuhan"

"Akan ku atasi masalah tersebut"

"Bagus, aku menunggunya"

"Baiklah, aku akan mengabarimu kapan kita akan mulai jika Kuromogramo menerima tawaran itu"

"Dapat dipahami"

"Ngomong-ngomong, sudah sampai mana kau menjelajahi galaksi?" tanya Roter.

"Ada kali sampai galaksi GN-z11"

"Berarti sudah sangat jauh, yah"

"Yaa begitulah. Kami banyak menjalin hubungan dengan planet lain dan menjajah planet yang punya angkatan bersenjata yang lemah"

"Kira-kira berapa banyak kolonimu?"

"Mungkin lebih dari 500 ribu miliar populasi atau bahkan melebihi itu"

"10 triliun?"

"Lebih dari itu, yang pasti aku tak tahu berapa banyak, mungkin bisa sampai kuadriliun atau lebih"

"Baiklah, walaupun Teramiter pro kedamaian, kami tak ikut campur dengan penjajahan yang kalian lakukan. Intinya kami bersifat netral denganmu"

"Kenapa? kenapa kau tak menentang kami? apakah kamu takut jika kami akan menyerangmu?" Revilium tersenyum jahil.

"Tidak, aku hanya ingin menjaga hubungan pertemanan ini. Agar ayahku tidak kecewa nantinya"

"Kau tahu, Roter? kami tak melakukan penjajahan ataupun invasi sama sekali. Kami hanya berpetualang menemukan sumber daya lalu memanggil banyak pasukan untuk mendudukinya atau mengajak wilayah lain bergabung dengan kami agar terlindung dari berbagai ancaman"

"Ku dengar kau menyerang sebuah kerajaan di suatu planet"

"Andai kamu tahu, kami menyerangnya karena kerajaan itu dianggap tak becus mengurus rakyatnya bahkan si raja sendiri malah sibuk memperkaya diri dan asik korupsi saat kami menduduki planet itu untuk berdagang"

"Itu serius?"

"Yeah, kami juga memerdekakan setiap planet yang tak bertuan dan mendirikan negara boneka dibawah kepimpinan negara kami agar dapat memaksimalkan sumber daya. Negara boneka kami yang dulunya terlihat sangat kumuh kini berkembang pesat menjadi suatu kota yang besar dan terkenal di seluruh galaksi"

"Sekarang aku sangat respek terhadapmu, Revilium. Ayahku mungkin akan bangga denganmu"

"Hahaha... Aku turut senang"

"Bagaimana dengan sumber dayanya? kau dapat banyak?" tanya Roter.

"Yeah, tapi kami kesulitan mencari planet yang memiliki cairan bening seperti bumi. Kalaupun ada kami cuma dapat satu atau dua"

"Jadi kalian mendapatkannya?" tanya Roter.

"Hanya dua saja, tapi lumayanlah jumlah cairannya"

"Planet apa saja?"

"Teergarden B dan Kepler 69-C"

"Ohh ternyata begitu"

"Ngomong-ngomong, kami sedang membuat markas pangkalan di sekitaran Galaksi Bima Sakti, juga di planet Uranus"

"Ouhh... Benarkah itu?" Roter penasaran.

"Yeah, rencananya agar dapat mempermudah transaksi antara kita berdua nantinya. Sudah banyak markas pangkalan yang ku bangun dibeberapa galaksi, tapi yang satu ini adalah yang pertama di Bima Sakti"

"Semoga hubungan pertemanan kita lancar dan sama-sama diuntungkan" kata Roter.

"Aku juga"

"Oh yah, untuk bulan depan kau ingin memesan apa buat dikirim ke tempatmu?" tanya Roter.

"Bagaimana dengan 50 juta liter air? akan ku kirimkan 10750 ton bijih besi dan baja, juga 500 ton logam mulia termasuk uranium, paladium, plutonium, dan titanium untuk Teramiter"

"Hmmm... Setuju" Roter langsung menerima tawaran itu tanpa basa basi.

"Baiklah, sampai sini sepakat?" tanya Revilium.

"Ya, kita sepakat"

"Kalau begitu sampai ketemu di bulan depan" kata Revilium sambil tersenyum

"Yeah... Kau juga"

Revilium dalam bentuk hologram itu menghilang secara perlahan menuju keatas. Setelah itu, lampu-lampu pada bagian bawah UFO menyala dan berkedip selama tiga kali sebagai tanda perpisahan. Roter melambaikan tangannya keatas. Revilium dan para anggotanya pun terbang keatas menuju luar angkasa.

"Awal yang baik, semoga berakhir dengan baik" ucap Roter, menatap langit malam dengan penuh senyum.

Ia lalu berbalik badan dan kembali ke rumahnya untuk tidur mengistirahatkan dirinya.

.

.

.

Keesokan harinya....

.

.

.

Matahari mulai nampak secara perlahan-lahan dan menyinari seisi kota. Di halaman depan rumah, Roter sedang meregangkan otot-ototnya dan melakukan olahraga santai agar tubuhnya tak merasakan pegal-pegal sehabis bangun tidur.

"Roter?" ucap seorang kakek yang lewat di depan rumahnya.

"Iya, ada apa?" Roter tersenyum ramah menghampirinya.

"Roter Schädel kan?"

"Iya, ini saya"

"Wahh... Lama tak kelihatan sudah tumbuh besar ternyata"

"Ahaha... Begitulah" Roter menjadi sedikit canggung.

"Katanya kamu anggota militer? pasti seru, yah, jadi anggota militer"

"Tapi sekarang saya bukan lagi anggota militer"

"Eh? kenapa begitu?"

"Anu... Sibuk, banyak pekerjaan, belum lagi usaha ayah saya yang harus diteruskan"

"Royen sudah kembali?"

"Masih belum ditemukan, kami masih menunggunya. Tapi kasusnya akan ditutup tahun depan"

"Kok mau ditutup?"

"Katanya kasus ini sangat sulit dipecahkan. Detektif profesional saja sampai menyerah. Mau tak mau, kami sekeluarga harus ikhlas menerima kenyataan ini"

"Sedih sekali.... Arabell, istrinya pasti sangat kecewa mendengar kabar ini"

"Iya... Tapi saya dengar dia mulai mengikhlaskan kepergiannya"

"Marshall! selamat pagi!" si kakek menyapa kakeknya Roter yang sedang berdiri didepan pintu.

"Pagi juga, Henry! bagaimana kabarmu hari ini?"

"Kabarku baik, bagaimana denganmu?"

"Baik juga"

"Pagi yang indah, bukan? hahaha" kata kakek Henry.

"Iya, tak biasanya indah seperti ini"

"Kalau begitu aku pergi dulu, yah... Nanti siang kita ketemuan ditempat biasa"

"Siap"

"Roter, saya pergi dulu" kata kakek Henry.

"Iya, silahkan..."

Beberapa menit berlalu, Roter bersama kakek dan neneknya sedang sarapan pagi sambil menikmati sebuah acara televisi.

"Kakek" panggil Roter.

"Hmm..." si kakek sedang membaca buku.

"Adiknya ayah sekarang kemana?"

"Adiknya Royen?"

"Iya, sekarang ada dimana?"

"Dia pindah ke Austria, lalu pindah lagi ke Perancis dan akhirnya menikah disana. Sampai sekarang tak ada kabar. Kami menghubungi tak pernah dijawab. Kalaupun dijawab, dia pasti mengatakan bahwa dirinya sedang sibuk. Kakek juga tak tahu apa pekerjaannya sekarang"

"Dia tinggal di bagian kota mana?"

"Hmm... Kalau gak salah di sekitaran Normandia"

"Berarti dekat pantai?"

"Kira-kira begitu"

"Tapi kalau perayaan hari Natal dia pulang?" tanya Roter.

"Tiga tahun sekali dia pulang, entah apa yang ia takutkan. Padahal Royen tak ada disini"

"Dia takut dengan Royen?"

"Uuiiss... Dari kecil sudah takut sama dia, tapi Royen tak tega jika adiknya di-bully seseorang. Mereka berdua jarang berbicara, apalagi tatapannya terlihat sangat tajam"

"Tatapan siapa, kek?"

"Royen lah.... Siapa lagi kalau bukan ayahmu?"

"A– hahaha....." Roter sedikit canggung.

"Tapi mereka mulai membaik?" tambahnya.

"Dari mereka kecil hingga saat ini, kakek tak pernah melihat perubahan signifikan pada mereka berdua. Kakek khawatir ketika kakek tiada, hubungan antara keduanya renggang dan mereka tak akan pernah berkomunikasi lagi"

"Nanti pasti ada saatnya mereka mulai berbaikan kembali, kek"

"Kakek hanya ingin keduanya terlihat akur tanpa adanya dendam"

"Kek" panggil Roter.

"Apa?"

"Emmm.... boleh aku pinjam mobilnya?"

"Buat apa? mau kemana? sama siapa? kapan pulangnya? kau punya urusan?"

"Engga.... Aku cuma mau ke kota saja, melihat-lihat apa yang berubah semenjak aku pindah ke Kota Cologne" jawab Roter.

"Kek, kira-kira itu mobilnya sudah dipanasi?" tambahnya.

"Sudah, tinggal siap jalan itu"

"Lalu villa yang ada di Rusia kabarnya gimana?"

"Entahlah, sudah bertahun-tahun tak terurus. Mungkin kakek akan menjualnya"

"Itu boleh ku ambil? hahaha...."

"Ambil lah, tapi kau harus menjaganya dengan baik"

"Wuiis, siap kek!"

"Ngomong-ngomong kau bisa bahasa Rusia seperti ayahmu?" tanya si kakek.

"Hanya sedikit"

"Membaca hurufnya?"

"Belum, aku belum bisa"

"Di rak kamar ayahmu, ada buku kecil panduan membaca aksara Sirilik. Kalau tak ngerti, kamu bisa cari panduan lain di internet"

"Siap, kek... Kalau begitu, aku pergi dulu"

"Iya, hati-hati dijalan"

"Nek.... Aku pergi dulu, yah" kata Roter.

"Iya.... Hati-hati"

Roter pun pergi ke garasi. Ia menaiki sebuah mobil sedan keluaran 1984 milik kakeknya. Pintu garasi terbuka otomatis secara perlahan. Roter memundurkan mobil tersebut keluar. Setelah itu, ia tancap pergi meninggalkan rumah menuju kota.

Ia menikmati setiap detik perjalanan sambil melihat-lihat ke sekelilingnya dengan penuh antusias. Berada di kota, ia memarkirkan mobilnya dipinggir jalan. Saat menginjakkan kakinya keluar, seseorang memanggil namanya.

"Roter?" panggil orang itu, familiar melihat Roter.

"Herold?" Roter merasa mengenalnya.

"Sudah lama tak bertemu, bagaimana kabarmu?" Herold tersenyum ramah sambil bersalaman dengan Roter.

"Baik, kabarku baik hari ini, bagaimana denganmu?"

"Baik, aku juga baik"

"Haha... Senang mendengarnya"

"Kira-kira bagaimana pekerjaanmu sebagai militer? apakah masih lancar?" tanya Herold.

"Haha... Tidak"

"Kenapa? ada masalah?"

"Pertanyaan yang cukup bagus, aku bukan lagi anggota militer?"

"Tunggu apa? kau bukan lagi bagian dari mereka?"

"Yah, sekarang aku adalah warga sipil"

"Kenapa kau bisa mengundurkan diri?"

"Aku tak bisa jauh-jauh dari Cologne atau Berlin dan juga alasan keluarga yang harus membuatku mengambil keputusan ini"

"Ouhh... Ternyata begitu"

"Ngomong-ngomong, kafe tempat kita bekerja dulu masih berdiri?" tanya Roter.

"Masih, banyak teman-teman kita pisah menuju jalannya masing-masing. Tapi, ada dua orang yang masih bertahan. Selain itu, seragamnya juga berubah"

"Siapa saja yang bertahan?"

"Datang sajalah.... Intinya banyak perempuan dan anak-anak muda lainnya yang bekerja paruh waktu disana"

"Baiklah, aku akan mengunjunginya" kata Roter.

"Kira-kira kau habis darimana, Herold?" tambahnya.

"Hanya sekedar jalan-jalan saja. Aku tak tahu harus ngapain lagi dirumah, aku butuh hiburan. Oh yah, aku harus pergi sekarang, sampai bertemu dilain waktu"

"Iya, hati-hati dijalan"

Roter pun pergi berjalan menuju ke sebuah kafe tempat ia bekerja dulu semasa SMA. Ia memasuki kafe tersebut.

"Eh? Roter, itu kau?" seorang wanita cantik yang mengepel lantai didekatnya, memanggil Roter karena nampak familiar.

"Maaf, Anda siapa, yah?" Roter merasa tak kenal dengannya.

"Yo, aku rekan kerjamu semasa SMA dulu"

"Emm... Otto?"

"Aku perempuan, Roter... Nama ku Reichie Stefanie"

"Ahh sekarang aku ingat, hahaha...."

"Kalau begitu, silahkan cari tempat duduk, pelayan akan datang kepadamu" kata Stefanie.

"Baik" Roter pergi menuju ke tempat duduk yang kosong.

"Daniel! meja nomor 6 layani segera!" teriak Stefanie.

"Baik, baik...." dengan perasaan lesu dan tak bersemangat, orang itu berjalan menghampiri Roter membawa sebuah buku menu.

Tiba-tiba, ia merasa terkejut melihat rekan kerjanya yang dulu ada dihadapannya.

"Mein Gott! (Ya Tuhan!) Roter? apa itu kau?" tanya Daniel.

"Yah, ini aku, senang bertemu denganmu kembali" Roter berjabat tangan dengan Daniel.

"Wah, wah, wah.... Sudah lama tak ketemu, tapi kau masih terlihat sama saja" Daniel duduk berhadapan dengan Roter.

"Mungkin gara-gara terlalu lama bekerja di Cologne"

"Ngomong-ngomong ada perlu apa datang kemari? ingin ngambil lowongan pekerjaan lagi?" tanya Daniel

"Danieeel..... Layani dia! itu tamu VIP!" kata Stefanie.

"Iya, iya..." jawabnya, "Ini menunya, kau mau pesan apa?" lanjutnya.

"Emm.... Aku pesan Kartoffelsalat satu sama Apfelschorle-nya"

"Apfelschorle satu?"

"Yah"

"Itu aja? gak yang lain?"

"Itu saja"

"Oke, aku akan kembali" Daniel kemudian berdiri dari tempat duduknya dan pergi menuju dapur untuk membuat makanan dan minumnya.

Beberapa saat kemudian, Daniel datang kembali sambil membawa pesanan milik Roter.

"Ini pesananmu, ada tambahan?"

"Ini sudah cukup, terima kasih"

"Sama-sama" Daniel duduk berhadapan dengan Roter kembali.

"Jadi kapan kamu kembali ke Cologne lagi?" tanyanya.

"Aku sudah tak bekerja lagi sebagai militer"

"Eh? dari kapan?" Daniel merasa penasaran.

"Kemarin, sekarang aku resmi jadi warga sipil kembali"

"Cukup menyedihkan"

"Daniel.... Kembali ke kasir!" kata Stefanie.

"Sebentar, kami lagi asik ngobrol!" jawab Daniel.

"Jadi kenapa kamu berhenti menjadi militer?" tambahnya.

"Panjang jika dijelaskan, intinya masalah keluarga dan alasan pribadi lainnya"

"Ternyata begitu"

"Ngomong-ngomong, apakah pak manajer masih disini?" tanya Roter.

"Yah, tapi sekarang dia ada di Nürnberg untuk menghadari sebuah pernikahan"

"Dia masih memegang jabatan di kafe ini?"

"Masih, sampai sekarang. Sejak kepergianmu, banyak yang mulai berubah disini. Mulai dari menu yang bervariasi, seragam baru, renovasi ulang, gaji dinaikkan, dan banyak anak muda yang bekerja paruh waktu untuk mendapatkan uang tambahan"

"Baiklah, kapan kau akan meninggalkan kafe ini?" tanya Roter.

"Aku? sepertinya aku tak bisa. Walaupun aku sudah menyelesaikan kuliahku, aku merasa tak tega meninggalkan tempat ini, banyak kenangan yang tak terlupakan sejak kafe ini berdiri. Kecuali kalau ada desakan orang tua"

"Lalu Stefanie bagaimana? dia akan meninggalkan pekerjaan ini juga?"

"Kira-kira begitu"

"Kapan?"

"Katanya tahun depan, dia mendapat tawaran pekerjaan dari teman ayahnya dengan gaji yang fantastis di Düsseldorf"

"Begitu rupanya"

"Kau tahu, Roter? ketika Stefanie akhirnya berhenti, mungkin hanya akan tersisa aku sendiri sebagai pelayan kafe paling lama disini. Ketujuh teman-teman kita banyak yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing"

"Barusan aku ketemu Herold di jalan"

"Benarkah?"

"Yeah, bilangnya dia berjalan-jalan karena bosan dirumah terus"

"Ehhmm, paling lagi bingung karena hampir 2 minggu gak ada orang yang membayar jasanya untuk editing video"

"Dia gak ada pekerjaan lain?"

"Entah tuh orang. Lulus kuliah nilainya paling tinggi, pas ku tanya mau kerja dimana, dia malah takut buat daftar kerja, takut ditolak banyak perusahaan dan studio katanya. Alhasil kerjaan dia selama ini hanya nunggu orang yang memesan jasanya"

"Pasti ada sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu"

"Mungkin" jawab Daniel.

"Daniel... Itu orang-orang nunggu kamu buat bayar makanan dan minumnya dikasir" Stefanie mendekatinya.

"Iya, iya..." Daniel berdiri dari tempat duduknya membawa talenan "Roter, aku pergi dulu, yah" lanjutnya., pergi meninggalkan Roter.

"Iya...."

"Kira-kira sudah berapa lama kamu ada di Berlin ini, Roter?" tanya Stefanie, duduk berhadapan dengannya.

"Satu hari yang lalu, rencana aku mau pindah ke Jepang"

"Eh? pindah? kamu mau pindah?"

"Yap, aku ingin tinggal dengan ibu juga adikku disana"

"Kabar ayahmu bagaimana? sudah ditemukan?"

"Masih belum, mungkin aku harus ikhlas menerima kenyataan bahwa dia pergi untuk selama-lamanya"

"Ternyata begitu...." Stefanie merasa ikut sedih.

"Stefanie.... Kembali kerja!" Daniel dari kasir menegur Stefanie.

"Iya...." Stefanie berdiri dari duduknya, "Roter, aku pergi dulu, nikmati makanan disana" ia tersenyum ramah.

"Haha, iya.... Aku akan menikmatinya"

Beberapa saat kemudian, Roter akhirnya telah menyelesaikan santapannya. Ia beranjak dari tempat duduk dan pergi ke kasir untuk membayarnya.

"Oh, Roter. Ada apa?" tanya Daniel.

"Aku ingin membayar makanan dan minumannya, berapa total semuanya?"

"Kartoffelsalat satu dan Apfelschorle satu, jadi totalnya sekitar 20,5 Euro"

"Ini uangnya" Roter memberikan uang lebih

"Tunggu sebentar. Baik, ini kembaliannya"

"Ambil saja kembaliannya"

"Baiklah...."

"Oh yah, Daniel.... Ini ada sedikit uang dariku, ini adalah uang pensiunanku. Mohon diterima, yah" sambil tersenyum, Roter memberikan uang yang cukup banyak.

"Eh? ini untukku?"

"Ya, benar sekali"

"Aku tak bisa menerimanya, Roter, uang ini terlalu banyak"

"Ambil saja, siapa tahu bisa membantu ekonomi keluargamu. Aku akan pindah ke Jepang dan kemungkinan tidak akan kembali, jadi terimalah ini sebagai bentuk perpisahan"

"Baiklah...." Daniel pun akhirnya menerima uang itu.

"Oh yah, aku punya foto kita bertujuh waktu masih bekerja disini" Roter mengeluarkan sebuah foto dari balik casing HP-nya, ia memberikannya pada Daniel.

"Wahh.... Jadi teringat kembali masa-masa indah itu"

"Haha... Dan penuh kekonyolan jika diingat lebih detail"

"Yeah, aku masih ingat Herold pernah ditolak oleh perempuan dikafe ini"

"Haha.... Masih ingat juga ternyata"

"Iya dong, momen paling tak terlupakan itu"

Disela-sela itu, Stefanie keluar dari dalam. Roter lalu menghentikannya dan memberikan sesuatu yang sama.

"Stefanie" panggilnya.

"Ya?"

"Ini ada uang untukmu, jumlahnya terlalu banyak dan aku ingin memberikanmu sebagian, tolong diterima, yah" kata Roter.

"Emm... Uang ini terlalu banyak, a-aku tak bisa menerimanya, maaf yah" Stefanie tersenyum lalu pergi.

"Tunggu sebentar" Roter mencegatnya.

"Kemungkinan aku tak akan kembali ke Jerman lagi, jadi tolong diterima, ini bisa berguna untuk masa depanmu. Tolong diterima...."

Dengan perasaan yang tidak tega menolak pemberian itu, Stefanie akhirnya menerima uang itu.

"Ba-baiklah, aku menerimanya"

"Semoga kamu dan Daniel selalu sehat, juga teman-teman yang lain"

"Iya...."

"Kalau begitu, aku pamit pergi. Sampaikan salamku pada manajer"

"Iya, terima kasih atas pemberianmu"

"Sama-sama" jawab Roter.

"Daniel, aku pamit" tambahnya.

"Ya... Hati-hati dijalan, yah"

"Oke..."

Roter pun kemudian pergi keluar meninggalkan kafe itu dan menuju mobilnya.

"Yo, kau dapat juga? hahaha..." tanya Daniel pada Stefanie.

"Yah, aku juga dapat, kamu?"

"Sama, aku juga dapat darinya"

"Untuk apa dia memberikan uang pensiun miliknya ke kita?" tanya Stefanie dengan penasaran.

"Mungkin sebagai bentuk mempererat hubungan pertemanan, kau tahu? hanya kita berdua yang tersisa di kafe ini. 90 persen lainnya adalah pelayan baru" jawab Daniel.

"Ku harap dia dapat kembali ke Jerman lagi, dia memiliki masa-masa yang amat pahit dibandingkan kita. Aku ingin dia dapat merasakan kehidupan yang nyaman seperti kita" tambahnya.

"Aku juga berpikiran sama denganmu"

"Yo, mau ikut denganku nanti malam?" ajak Daniel.

"Kemana?"

"Ke tempat biasa dimana kita bertujuh saling berkumpul, sudah lama tak kesana"

"Tapi cuman kita berdua yang ada"

"Tidak apa-apa, setidaknya kita masih dapat berkumpul disana sebelum akhirnya kau pindah ke Düsseldorf dan aku menuju jalan ku sendiri"

"Baiklah, jam 8 malam kita berangkat bersama-sama"

"Oke.... Aku tunggu" Daniel tersenyum ramah.

EPISODE 3 - Persiapan

Malam hari yang cerah dan udara terasa segar, Roter tengah bersantai diruang keluarga bersama kakeknya sambil menikmati sebuah acara di televisi. Disela-sela itu, handphone miliknya berbunyi secara tiba-tiba.

"Halo?" ucapnya.

"Halo, kakak" kata adik perempuannya.

"Siapa, yah?"

"Ini aku, kak, ini aku. Monika, adikmu. Aku baru saja mengganti nomorku"

"Itu siapa" tanya si kakek.

"Monika, kek" jawab Roter.

"Ahh, ku kira kau orang lain, Monika. Ngomong-ngomong kenapa kamu mengganti nomor?" tambahnya.

"Banyak stalker dan banyak orang asing yang menghubungiku juga mendatangi rumah kita, aku merasa seperti diteror. Makanya aku mengganti nomor handphone. Aku mau ajukan pindah rumah tapi ibu tak mau, dia bilang tak ada apa-apa disini."

"Ahh ternyata begitu" kata Roter.

"Bagaimana kabarmu dan ibu disana?" tambahnya.

"Aku baik-baik saja dan ibu juga dalam keadaan yang sama. Sekarang dia sedang memasak makanan untuk makan malam"

"Ohh begitu"

"Oh yah, kak. Kapan kamu datang kesini?" tanya Monika.

"Emm... Mungkin besok atau lusa"

"Kenapa tak sekarang saja?"

"Aku lelah, aku butuh istirahat dulu. Jika dipaksakan, tulang dan pikiranku akan bermasalah"

"Lalu bagaimana dengan pekerjaanmu di Cologne? kamu sudah dapat izin dengan atasanmu?"

"Aku bukan militer lagi sekarang, aku adalah warga sipil"

"Eh? kamu berhenti?"

"Yah, aku berhenti?"

"Kenapa? bukannya gagah menjadi militer?"

"Masalah pribadi, juga aku harus mengurus peninggalan ayah"

"Halah... Mengurus perusahaan itu gampang, kamu hanya tinggal duduk di meja dan memeriksa sejumlah laporan, ehe..." Monika meremehkannya.

"Hey! dengar ini" Roter beranjak dari tempat sofa dan menuju tangga.

"Peninggalan ayah tak hanya sebatas satu perusahaan, dia punya banyak perusahaan dan dua yayasan yang dikelola dalam suatu organisasi rahasia yang ia bangun. Aku tak mau menyebutkan namanya. Intinya aku harus blusukan tiap hari untuk memeriksa kinerja buruh, tani, karyawan, dan tenaga kerja lainnya" tambahnya, mengecilkan suaranya agar tak didengar oleh si kakek.

"Tapi organisasi itu pasti bisa membantu meringankan pekerjaanmu"

"Yeah! itu benar sekali! tapi tidak bisa semuanya. Belum lagi, aku adalah pemimpinnya disana. Sebab itu aku selalu sibuk dan jarang mengangkat panggilan telepon dari ibu ataupun kamu" jawab Roter.

"Dan itu mengapa ayah memilih pensiun meski harus meninggalkan pangkatnya sebagai jenderal lapangan yang sudah lama mengabdi kepada negara" tambahnya.

"Oh jadi kamu berkhianat, yah?" tanya Monika.

"Berkhianat maksudnya gimana?"

"Kamu memihak pada peninggalan ayah padahal kamu adalah anggota militer, jelas-jelas itu sebuah pengkhianatan yang dilakukan oleh kakak"

"Mungkin bisa dikatakan seperti itu. Tapi sekarang aku murni warga sipil kembali, aku bebas berpihak pada siapa saja"

"Terserah kakak saja... Ngomong-ngomong kapan kamu akan datang kesini?"

"Emmm... Lusa. Lusa aku akan terbang ke Jepang jika Tuhan mengizinkan"

"Dan kapan kembali?"

"Aku tak akan kembali ke Jerman nantinya, kecuali perayaan Natal dan Oktoberfest"

"Tunggu apa? kakak serius tak pulang ke Jerman?" Monika merasa terkejut.

"Yeah, aku sangat serius"

"Lalu siapa yang akan menjaga oma dan opa?"

"Hmm... Mereka tak meminta untuk dijaga, mereka ingin hidup seperti biasa layaknya sepasang kekasih"

"Dan peninggalan ayah juga organisasinya?"

"Aku sudah serahkan wewenangnya kepada temanku, jadi untuk beberapa bulan aku tak memimpin. Rencananya aku ingin berhenti mengurusnya dan memberikan semua itu pada teman-temanku. Hanya saja aku ragu mengatakan hal itu pada mereka. Pasti akan ada perpecahan disana nantinya"

"Licik sekali" kata Monika.

"Jika kakak berhenti memimpin dan mengelola, kakak akan kerja apa nanti? lowongan pekerjaan sekarang semakin menipis" tambahnya.

"Soal itu aku tak tahu, mungkin aku akan menjadi pelayan kafe kembali untuk awal-awal. Aku ingin punya penghasilan sendiri tapi jumlahnya tidak banyak juga tidak sedikit"

"Ngomong-ngomong, visa dan paspor milikmu masih aktif?"

"Yah, masih aktif untuk lima tahun kedepan"

"Baiklah, kakak mau dijemput atau jalan sendiri menuju rumah?" tanya Monika.

"Aku jalan sendiri saja, lagipula ibu akan bekerja dan kau juga akan pergi sekolah"

"Kakak masih ingat dimana alamatnya berada?"

"Aku ingat. Di Osaka dekat dengan sebuah klinik di jalan nomor 12, kan?" tanya balik Roter.

"Bukan, aku dan ibu sudah pindah"

"Dimana? kota apa? kapan pindahnya?"

"Gotcha! (Dapat!)" Monika mengerjai Roter.

"Scheiße! (Sial!)"

"Aku dan ibu menunggumu datang kemari"

"Oke, aku akan segera kesana"

"Baiklah, jika aku sekolah dan ibu masih bekerja, kunci rumah aku taruh dipot bunga dekat pintu"

"Aku mengerti"

"Oke, nanti kita bicara dilain waktu, aku harus makan malam dan mengerjakan tugas sekolah"

"Iya, sampaikan salamku pada ibu"

"Oke, dadah...." Monika lalu mematikan panggilan tersebut.

"Siapa yang menghubungimu, Roter?" tanya si nenek turun dari tangga.

"Eh, nenek. Tadi itu Monika" Roter menjawabnya dengan tersenyum.

"Monika dan Arabell gimana kabarnya?"

"Mereka berdua kabarnya baik-baik saja disana"

"Kapan kamu akan berangkat kesana, Roter?"

"Lusa, lusa aku akan berangkat"

"Eh... Cepat sekali, tak terasa waktumu disini akan habis"

"Hahaha.... Begitulah" Roter menjadi canggung.

"Roter, kau sudah beli tiketnya?" tanya si kakek.

"Belum, rencananya aku mau beli besok dan sekalian mempersiapkan barang-barang"

"Jaga diri baik-baik disana, yah" kata si nenek.

"Iya, nek...."

.

.

.

Keesokan harinya....

.

.

.

Pagi hari yang cerah, sinar mentari menerangi seisi kota dan membangunkan orang-orang untuk mulai beraktivitas kembali. Di halaman depan rumah, Roter seperti biasa berolahraga santai untuk meregangkan otot-otot tubuhnya sehabis bangun tidur agar tak merasa pegal.

"Pagi yang cerah dan udara terasa sangat segar. Ahh.... Indahnya dunia ini" ucapnya, menghirup udara segar.

"Yeah... Aku masih ingat masa-masa itu sewaktu kecil ada disini" ia tersenyum menatap keatas.

"Roter, selamat pagi. Semoga harimu menyenangkan" Kakek Henry menyapanya dengan tersenyum ramah.

"Pagi juga..."

"Marshall! selamat pagi!" Kakek Henry menyapa kakeknya Roter yang tengah berdiri didepan pintu.

"Pagi juga, Henry!"

"Duluan, yah..."

"Iya, hati-hati dijalan" jawab kakeknya Roter.

"Roter, tangkap ini!" tambahnya, melemparkan sesuatu padanya.

Roter berhasil menangkapnya, ia terheran-heran dengan benda berupa pistol.

"Untuk apa revolver ini?" tanyanya pada kakek.

"Mainan punyamu dulu, kakek baru saja dapat digudang"

"Mainan? aku tak ingat kalau aku punya ini?

"Sebenarnya itu sudah cukup lama, ambil ini" si kakek melemparkan kantung berisikan peluru.

"Apakah ini aman?"

"80 persen aman, hanya mengeluarkan bunyi yang cukup keras"

"Aku akan mencobanya" Roter mulai mengisi peluru itu pada pistolnya.

Disela-sela tersebut, muncul Stefanie dan Daniel untuk pergi bekerja menuju kafe. Stefanie tampak memegang lengannya Daniel sambil tersenyum dan mendekatkan kepalanya pada bahu Daniel. Kakeknya Roter bersiul romantis pada mereka menggunakan tangannya hingga membuat mereka berdua terkejut lalu menjaga jarak.

"Yo.... Apa-apaan itu?" tanya Roter.

"Eee.... Tak ada apa-apa, hahaha...." Stefanie menjadi canggung.

"Kalian pacaran? sejak kapan kalian berdua mulai pacaran?"

"Sudah lama, sih...." jawab Daniel.

"Kapan?" tanya Roter.

"Kira-kira 2 tahun yang lalu, hanya saja kami berdua tak ingin terlalu mencolok dan terlalu malu jika ada orang yang melihat kami" jawab Stefanie.

"Yeah, itu benar" tambah Daniel.

"Kira-kira hubungan kalian sudah sampai mana?" Roter tersenyum sinis.

"Ada kali sampai hubungan in–"

Stefanie langsung menutup mulutnya Daniel dikarenakan ia memiliki rahasia yang besar. Roter yang melihatnya menjadi mengerti maksud dari Daniel walau perkataannya sempat dipotong.

"Yea, yea, yea... Aku paham" ucapnya.

Stefanie merasa kesal dan menyenggol lengannya Daniel.

"Tak ada salahnya memberitahu, itu sudah jadi rahasia umum" kata Daniel dengan suara kecil.

"Matamu!" umpat Stefanie.

"Roter! kakek masuk kedalam dulu, yah"

"Iya, kek"

"Apa yang kau pegang itu, Roter?" tanya Daniel, mengalihkan suasana.

"Oh ini pistol revolver"

"Apakah itu asli?"

"Oh jelas! 100 persen asli" Roter berbohong berniat mengerjai mereka berdua.

"Mau lihat seberapa keras suara dan hentakannya?" tambahnya.

"Perlihatkan" jawab Daniel.

Roter kemudian keluar dari halaman rumahnya dan menjaga jarak dari Stefanie juga Daniel. Setelah itu, ia langsung menodongkan pistolnya pada mereka berdua dengan tersenyum lebar hingga membuat keduanya panik ketakutan.

"Roter! Roter! jangan bidik aku! jangan bidik aku!" Daniel mundur sambil menundukkan dirinya.

"Roter! ini tak lucu! hentikan itu! hentikan sekarang juga!" Stefanie berlindung dibalik pohon.

"Tembak Stefanie saja, Roter! jangan aku! aku teman dekatmu!" kata Daniel.

"Dia saja, Roter! tembak saja dia!" kata Stefanie.

DOORR!!! DOORR!!! DOORR!!! DOORR!!! DOORR!!!

Roter melepaskan beberapa tembakan, suara yang dihasilkan cukup keras dan asap bekas tembakan juga keluar. Mereka berdua langsung ketar-ketir hingga Daniel sampai harus bertiarap di trotoar jalan.

"Aku hidup? aku masih hidup?" Daniel memegang-megang tubuhnya untuk memastikan tak ada luka tembak.

"HAHAHAHAHAHA!!!" Roter tertawa terbahak-bahak melihat mereka berdua.

"Itu tak lucu, Roter! aku hampir pindah alam!" kata Daniel.

"OH TUHAN, PERUTKU SAKIT! HAHAHAHAHA!!! HAHAHAHAHA!!!" Roter semakin terbahak-bahak.

"Roter...... Hentikan itu......" si kakek menegurnya sambil berdiri di pintu.

"Marahin aja, kek! dia sudah kelewatan!" kata Stefanie.

"Kayaknya kalian harus ekstra sabar berteman sama dia" kata kakek sambil tersenyum.

"Mungkin. Itu adalah orang yang kehilangan masa kecilnya, kek" jawab Daniel.

"Ahh... Ohh... Aku minta maaf" Roter tampak tersenyum menahan tawa dan menghapus air matanya.

"Dasar manusia bodoh" ucap Daniel, membersihkan dirinya.

"Siapa yang kau bilang bodoh, hah?" Roter mendekati Daniel dengan tatapan yang sangat tajam.

Merasa ilmunya lebih rendah, Daniel langsung ciut dan menjadi canggung seketika berhadapan dengan Roter yang memiliki ilmu lebih tinggi daripada dirinya.

"Eee.... A-aku hanya bercanda"

"Yea, yea, yea... Skor kita adalah satu sama, tapi aku lebih pintar darimu dan menjadi kebanggaan sekolah waktu dulu" Roter tersenyum sinis.

"Cih, dasar sombong!" gumam Daniel dengan kesal.

"Lihat, ada apa diatasmu?" tanya Roter.

Daniel mendongakkan kepalanya keatas. Roter langsung menyentil lehernya.

"Arrg..." Daniel merintih kesakitan.

"Hey, Stefanie, uang dibawahmu" kata Roter.

Stefanie langsung melihat bawahnya dan mencari uang yang disebutkan.

"Mana? mana uangnya?"

"Mata duitan" jawab Roter.

"Scheiße! (Sial!) aku kena lagi!"

"Haha... Aku menang" kata Roter.

"Aku akan membalaskan aksimu dan akan menjadi nomor satu"

"Perkataan yang bagus, kawan.... Sekarang pergi bekerja"

"Sial!"

"Haha... Dapat lagi!"

"Roter, kami pamit dulu" kata Stefanie.

"Iya..."

"Kakek Marshall! kami pamit dulu, yah!"

"Iya, hati-hati dijalan"

Daniel dan Stefanie akhirnya lanjut jalan menuju tempat kerja meninggalkan Roter juga kakeknya disana.

.

.

.

Siang hari....

.

.

.

Waktu pun berganti menjadi tengah hari. Di ruang keluarga setelah makan siang, Roter sedang mencari dan melihat-lihat tiket pesawat di internet menggunakan ponsel miliknya untuk berangkat ke Jepang pada hati esok.

"Tiket di internet malah mahal semuanya, tak ada yang murah?" ucapnya.

"Kamu lagi apa, Roter?" tanya si kakek.

"Lagi mencari tiket pesawat buat berangkat ke Jepang. Tapi harganya sangat mahal dibandingkan 5 tahun yang lalu"

"Uangmu kan banyak"

"Aku hanya ingin berhemat"

"Disitu ada promo?" tanya si kakek.

"Yeah, diskon 20 persen, destinasinya hanya mencakup wilayah Italia, Korea Selatan, Perancis, dan Swiss saja"

"Coba kamu pergi ke kota, siapa tahu kamu bisa dapat tiket yang sesuai"

"Di kota? apakah ada? tiket pesawat sekarang kebanyakan dibeli lewat internet"

"Ada... Coba kamu cek setiap agen tiket disana, siapa tahu dapat tiket yang sesuai"

"Baiklah... Kalau begitu aku pergi dulu"

"Iya, hati-hati dijalan"

Roter pun mengambil paspor dikamarnya, setelah itu ia pergi mengambil kunci mobil dan pergi keluar dari rumah. Setelah itu, ia tancap gas menuju kota. Berada di kota, ia kebingungan mencari tempat agen tiket pesawat.

"Yang mana satu agen tiket pesawat disini? tampak tak ada? kakek sesat! mending yang mahal aja tadi" ucapnya, melihat sekelilingnya.

"Roter" Herold memanggilnya.

"Herold? sedang apa kau disini?"

"Aku sedang menuju supermarket untuk membeli aksesoris Natal"

"Natal? bukannya masih lama?"

"Pohon dan aksesoris dirumahku banyak yang rusak. Mumpung aku masih banyak uang, ku beli sekarang saja"

"Tapi ini masih terlalu sangat awal"

"Kau benar. Aku tak tahu apakah uangku nanti akan cukup dibulan depan atau seterusnya, sebab itu aku membelinya diawal-awal"

"Begitu rupanya... Aku punya pertanyaan untukmu, Herold"

"Apa?"

"Apa kamu berbohong? Daniel bilang kalau kamu sedang tak ada pelanggan yang membayar jasamu"

"Ya, Umm... Itu... Uhh..." Herold tampak kesulitan menjawabnya.

"Aku minta kau berkata jujur" kata Roter, mendesaknya.

"Ya, aku berbohong, tapi yang ini tidak. Sudah dua minggu aku tak mendapatkan pelanggan"

"Kenapa kamu tak mendaftarkan diri di perusahaan ataupun studio? mereka pasti membutuhkan jasamu, apalagi nilai hasil kuliahmu sangat tinggi dibandingkan yang lain dan kamu pernah menjadi yang pertama dalam lomba editing video di kampusmu dulu""

"Aku takut jika harus diinterview, aku tak tahu harus menjawab apa nantinya. Aku takut jika ditolak dan aku takut jika akan menjadi pengangguran" jawab Herold.

"Kau tahu, Roter? a-aku ini introvert dan pemalu, aku kesulitan untuk berkomunikasi ataupun bersosialisasi, ini saja aku memberanikan diriku untuk keluar dari rumah" tambahnya.

"Dengar ini, jika kau terus-terusan begitu, hidupmu akan suram. Kau mungkin akan sendiri terus selamanya bahkan tak memiliki pasangan ataupun anak yang dapat membantumu"

"Yeah, tapi kau ku lihat tak memiliki pasangan, ehe..." Herold tersenyum sambil meledek Roter.

"Yo, aku sibuk dan aku harus mengurus peninggalan ayahku. Berhari-hari aku hanya tidur 3 jam dan harus pergi ke sana-sini hanya untuk memeriksa kinerja setiap perusahaan dan yayasan. Pasangan itu akan datang sendiri, intinya kau harus fokus pada tujuan hidupmu"

Herold terdiam dan mengerti dengan keadaan dirinya yang begitu suram.

"Herold, ingat perkataanku ini, kau harus yakin pada dirimu, buang rasa takut itu jauh-jauh. Jangan takut untuk mencoba dan jangan takut untuk gagal, kau masih punya banyak kesempatan. Lakukanlah sebisa mungkin dan mintalah pertolongan pada Tuhan, sesungguhnya manusia akan lumpuh jika tak punya pegangan hidup dan kehidupan spiritual" ucap Roter.

"Jangan sampai kau jadi seorang yang hikikomori" tambahnya.

"Apa itu?"

"Penyakit sosial yang membuat seseorang lebih suka mengurung dirinya dikamar terus-menerus. Aku tak mau kau jadi seperti mereka, yang aku mau kau adalah seorang yang tangguh dan berani. Buang rasa malu dan ubah kepribadian introvert mu"

"Aku mengerti, aku paham sekarang. Aku akan mencobanya dan mengingatkan perkataanmu dalam pikiranku"

"Bagus, itu baru namanya temanku! ngomong-ngomong dimana agen tiket terdekat disini?"

"Buat apa kau mencari agen tiket?"

"Aku akan meninggalkan Jerman dan pindah ke Jepang"

"Eh? kapan?"

"Besok"

"Besok? alah-alah.... Aku lupa beli oleh-oleh untukmu"

"Kalau perlu bawakan yang besar nanti, yah, hahaha...."

"Oh siap... Hahaha"

"Aku bercanda, hahaha.... Kira-kira agen tiket pesawat disini dimana?"

"Lurus terus ikuti jalan ini, kira-kira sekitar 600 meter kedepan. Kalau kau lihat ada tulisan Official ticket agent disalah satu bangunan, nah kau sudah sampai"

"Lengkap kah disana?"

"Lengkap, kau mau cari tiket ke surga juga bisa, hahaha...."

"Baiklah, dapat dipahami, semoga harimu menyenangkan"

"Kau juga, Roter"

Roter kemudian memacu mobilnya menuju arahan dari Herold. Tak berselang lama, ia akhirnya sampai ditempat yang disebutkan tadi.

"Ini kah tempatnya? tampak sedikit megah, aku ragu untuk memasukinya" ucapnya.

Ia pun langsung masuk kedalam.

"Selamat datang...." sambut ramah seorang karyawan.

"Ada yang bisa saya bantu?" tambahnya.

"Apakah disini menjual tiket pesawat?" tanya Roter.

"Ada, kebetulan banyak diskon spesial sekitar 25 persen. Untuk selengkapnya mari ikuti saya"

"Baik"

Roter pun mengikuti karyawan itu menuju kedepan.

"Baik, tuan... Ini daftar tiket, silahkan dilihat-lihat dulu..." si karyawan dengan tersenyum ramah memberikan sebuah daftar tiket.

Roter melihat-lihat setiap daftar tiket dan maskapai disana. Ia sama sekali tak menemukan destinasi menuju Jepang.

"Emmm... Apakah ada destinasi menuju Jepang?" tanyanya.

"Ada, hanya saja saya lupa menambahkan daftarnya, hahaha... Kira-kira tujuannya ke kota apa? Tokyo? Akihabara?"

"Kota Osaka"

"Biar saya lihat dulu.... Ah, ada! Tiket untuk satu orang atau lebih?"

"Untuk satu orang saja"

"Bisa saya lihat paspornya dulu?"

"Ini..." Roter memberikannya.

"Saya cek dulu, yah...."

"Iya, silahkan"

Karyawan itu mulai memeriksa identitas Roter secara detail.

"Kira-kira berangkat ke Jepang kapan?"

"Sekarang tanggal berapa?"

"Tanggal 12"

"Apakah saya bisa mengatur jadwal keberangkatan pada tanggal 13, hari esok?" tanya Roter.

"Bisa, semuanya tergantung dari keputusan Anda"

"Baiklah, kalau begitu tanggal 13 saja"

"Anda memilih jam berapa untuk berangkat?" tanya si karyawan.

"Emm... Jam 9 pagi saja"

"Oke... Jadwal keberangkatan Anda adalah besok tanggal 13 November, pukul 9 pagi waktu setempat, dengan tujuan Kota Osaka, Jepang"

"Baik. Berapa total harganya?"

"Karena sekarang sedang ada promo, harganya menjadi 655,35 Euro"

"Ini uangnya" Roter memberikan uang lebih.

"Ini kembalian dan tiketnya, terima kasih telah membeli tiket disini"

"Sama-sama...."

Roter kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi keluar.

"Sekarang aku sudah dapat tiketnya, tinggal membeli beberapa oleh-oleh untuk dibawa ke Jepang" ucapnya

"Monika dan Ibu, aku datang, haha...." tambahnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!