Sinopsis
Takdir yang membingungkan untuk remaja berusia 21 tahun bernama Anindira yang baru saja ditinggal pergi seorang Kakak kandung dan Kakak iparnya yang selama ini menjadi tempatnya bersandar. Kecelakaan merenggut nyawa kedua orang yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya.
Tiba-tiba saja dia harus menjadi orang tua tunggal bagi keponakan berusia 10 tahun yang sama bingungnya dengan dirinya. Hanna Gayatri, gadis cantik berambut panjang yang sangat cerdas.
Perjuangan hidup yang penuh liku harus mereka berdua lalui bersama, meski dalam kebingungan, keduanya saling menguatkan dengan caranya masing-masing.
Perjalanan hidup mempertemukan Nindi dengan laki-laki tampan yang jatuh hati padanya. Ivar John Samuel, pasukan khusus yang punya banyak prestasi di kepolisian.
Cerita yang penuh tawa dan drama kesedihan akan mewarnai perjalanan keduanya. Selamat membaca, mari kita nikmati setiap jengkal langkah kaki keduanya berjalan. Akankan mereka berhasil mendarat di dataran yang penuh kebahagiaan?
(Berduka)
Nindi memaksakan senyum di bibirnya menyambut setiap tamu yang menyalaminya sebagai ungkapan rasa berbela sungkawa. Hanna melakukan hal yang sama, tidak ada lagi air mata. Sudah habis air mata sejak mendengar kabar yang sangat mengejutkan dari Antoni.
Akhirnya semua prosesi selesai Nindi dan Hanna lalui, hanya berdua. Mereka tidak punya saudara kandung. Sejak kecil Nindi hidup bersama Kakaknya. Menurut cerita yang Nindi dengar, Ibunya meninggal saat Nindi berusia 3 tahun karena sakit. Ayah Nindi entah kemana, tidak diketahui keberadaannya sejak istrinya meninggal dunia.
Jadilah Cakra Abimana yang saat itu masih berusia 15 tahun berjuang seorang diri membesarkan adik kandungnya. Semua keluarga meninggalkan Cakra, tidak ada yang mau direpotkan mengurus keponakan yang ditinggalkan kedua orang tuanya. Sejak saat itu Cakra bertekad hidup seorang diri jauh dari keluarga besarnya.
Cakra merantau ke Jakarta, kota yang menjanjikan kesuksesan bagi siapa saja yang mau bekerja keras. Tidak punya bekal apapun membuat Cakra harus memulung barang-barang bekas sambil menggendong adiknya yang masih berusia 3 tahun. Cakra tidak pernah menangis, baginya air mata tidak lagi ada.
Cakra beruntung bertemu dengan seorang kakek renta yang dengan suka rela menampungnya. Awalnya cakra menolak tinggal di rumahnya karena tidak mau lagi jadi beban orang lain. Tapi mempertimbangkan keadaan Nindi yang demam karena harus kepanasan dan kehujanan hatinya luluh. Permata cantik yang harus Cakra jaga agar bisa bersinar kelak.
Kakek Tama yang sangat baik hati sama dengan dirinya, hidup sebatang kara. Kakek Tama menyekolahkan Cakra, dia tidak ingin melihat seorang laki-laki tanpa masa depan. Cakra tidak serta merta berpangku tangan, dia berjualan asongan sepulang sekolah. banyak teman yang mengejeknya, tapi tidak Cakra hiraukan. Hidup keras, jangan terlalu ambil pusing dengan banyaknya omongan orang.
Melihat Nindi tumbuh dengan sehat memberi kepuasan atas kerja keras Cakra selama ini. anak yang berusia 3 tahun sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang sangat cantik. Perlahan Cakra bisa menata hidupnya dibantu Kakek Tama yang tidak lelah membimbingnya.
Menginjak 20 tahun Cakra kembali merasakan kehilangan, Kakek tua yang selalu menemaninya kini sudah terbaring kaku tidak bernyawa. Cakra merawat kepulanganya dengan penuh kasih sayang. Belum sempat membalas segala keihlasannya, Tuhan sudah mengambilnya dari sisi Cakra.
Kini Cakra berjuang seorang diri membesarkan Nindi, Cakra sering membawa Nindi ke kampus dan menitipkannya pada Ibu Kantin sekolah yang berbaik hati mau menjaga Nindi. Ibu Suni namanya, dari Ibu Suni Nindi mendapat kasih sayang seorang Ibu. Nindi yang berusia 8 tahun sangat menggemaskan, dia bahkan bisa di andalkan Ibu Suni membereskan piring-piring kotor bekas makan para pelanggan kantinnya.
Awalnya Ibu Suni tidak rela Nindi membantunya, tapi gadis yang tau terimakasih ini ingin membalas sebisa mungkin semua perbuatan baik Ibu Suni yang selalu mau direpotkan menjaga dirinya.
Cakra sangat mencintai Nindi, apapun dia lakukan agar Nindi hidup bahagia dan tidak kekurangan apapun. Nindi sadar kerja keras Cakra selama ini demi dirinya, kini usianya sudah matang dan Nindi merasa Cakra sudah pantas memiliki pendamping hidup, Nindi dewasa melibihi usianya.
Cakra memutuskan menikahi Agnia Aruni. Perempuan cantik yang menjalin hubungan dengannya selama dua tahun. Agni memutuskan meningalkan keluarga yang menentang hubungannya dengan Cakra. Cinta buta yang sudah membuat keduanya nekad menikah tanpa keluarga besarnya, hanya Ayah Agni yang memberi restu.
Semua orang menentang, dia harus mengurus suami dan adik yang akan menjadi keluarganya juga. Agni tidak keberatan, tapi tidak dengan keluarga besar Agni. Dia putri satu-satunya yang harus menerima nasib buruk menikahi laki-laki yang tidak punya masa depan. Begitu keluarganya berfikir.
Satu tahun menikah Cakra bisa membuktikan dirinya laki-laki bertanggung jawab yang bisa diandalkan. Usahanya berkembang pesat, kini Agni dan Nindi hidup berkecukupan tanpa rasa khawatir. Rumah tangganya semakin terlihat harmionis dengan hadirnya putri cantik bernama Hanna Gayatri.
Suasana rumah selalu ramai dengan suara Hanna yang menggemaskan. Agni juga sangat menyayangi Nindi yang tidak pernah menyusahkannya, kehadirannya membuat Agni seperti memiliki sahabat perempuan. Meski kecil, Agni sering berbagi cerita dengan adik kecilnya yang bisa menjadi pendengar yang baik meski tidak memberikan solusi apapun atas masalahnya.
Suasana bahagia tinggal kenangan. Kini Nindi seperti terpental jauh ke masa lalu dimana Cakra berada. Menatap wajah gadis kecil yang terlelap di pangkuannya seperti sedang menatap dirinya sendiri. Perasannya hancur berkeping-keping melihat Hanna harus melaui masa lalu yang pernah dia lalui penuh kepahitan.
***
Nindi mulai menghitung sisa tabungan yang dia miliki. Cukup untuk biaya kuliahnya satu semester dan biaya hidup satu tahun ke depan. Beruntung dirinya selalu menyisihkan uang yang Kak Cakra berikan. Sekolah Hanna juga sudah aman, sudah Kak Cakra bayar biaya sekolahnya sampai Hanna naik kelas. Nindi harus mulai mencari pekerjaan, dia harus memenuhi kebutuhanya kedepan.
Tok…tok…tok…
“Han, tolong lihat siapa yang datang.” Tanpa berkata-kata Hanna meluncur ke pintu masuk.
“Tuan cari siapa?” Hanna lupa, dia menepok jidatnya karena membukakan pintu untuk orang asing yang tidak dia kenal.
“Dimana Nona Anindira, kami ingin bertemu dengannya.” Dua pria berpakaian rapih tapi wajahnya seram menurut Hanna.
“Tunggu sebentar tuan-tuan.”
Brakkkk….
Dua pria yang berdiri di depan pintu kaget, Hanna menutup pintu cukup keras.
“Maaf Tuan, kelepasan.” Teriak Hanna dari dalam rumah.
“Tante Nin, ada dua orang laki-laki mencari Tante Nin.” Nindi menyipitkan matanya penasaran. “Jangan Tanya siapa, Hanna juga tidak kenal.” Celetuk Hanna menebak pertanyaan yang akan Nindi ajukan.
“Kau ini.” Nindi mengacak rambut Hanna gemas sebelum menemui tamu yang datang.
“Selamat siang Tuan-tuan, ada yang bisa saya bantu?” Sapa Nindi dengan ramah. Nindi mempersilahkan tamunya masuk.
“Begini Nona, kami dari pihak bank. Tuan Cakra memiliki pinjaman di bank kami dengan jaminan rumah. Sudah 6 bulan ini beliau tidak bayar. Dan kami mendengar Tuan Cakra mengalami kecelakaan.” Laki-laki yang menyampaikan maksud kedatangannya bahkan menghela nafasnya panjang.
Nindi tersenyum meski di hadapannya ada ujian berat yang tidak mudah di lalui.
“Apa rumah ini akan di sita?” Dengan berat hati laki-laki yang duduk di hadapannya mengangguk. “Berapa lama kami diberikan waktu sampai kami menemukan rumah baru?” Hanna menguping di balik tembok ruang tengah.
“Perusahaan kami memberikan waktu 2 minggu Nona. Setelah 2 minggu rumah harus sudah kosong.” Melihat cicilan Nindi tidak bisa membayarnya, cukup besar. Dia bahkan tidak punya banyak dana untuk dirinya dan Hanna.
Cukup lama Nindi mencoba mencari solusi bersama, dirinya tidak punya pekerjaan. Pihak bank tidak bisa memberikan solusi lain selain menyita rumah sampai Nindi bisa membayar semua pinjamannya.
Hanna memeluk Nindi yang melamun di ruang tamu. Dia tau kegundahan hati Nindi. “Tante Nin, kita ngontrak saja. Teman Hanna ada yang ibunya ngontrak rumah.” Celetuk Hanna memberi semangat.
“Kita akan tinggal di rumah kontrakan! Apa Hanna yakin?” Hanna mengangguk.
“Disana akan banyak tikus dan kecoa.” Nindi bergidik ngeri mencoba menakut-nakuti Hanna.
“Tidak apa, aku punya racun tikus dan raket serangga. Kita bisa kan membawanya?” Hanna masuk memastikan kedua benda itu ada di tempatnya.
Nindi terharu melihat semangat Hanna, dirinya harus lebih kuat dari Hanna. “Ayo Han, mumpung libur kita pilih-pilih apa saja yang perlu kita bawa.” Hanna mengangguk, meraih buku da menulis daftar barang yang wajib mereka bawa.
Paginya Nindi mencari kontrakan dekat sekolah Hanna, dia tidak mau Hanna terganggu karena jarak dan waktu jika tempat tinggal mereka terlalu jauh. Tidak terlalu sulit, dalam sekejab Nindi menemukan rumah kontrakan kecil yang akan dirinya dan Hanna tempati.
Berulang kali Nindi meminta maaf pada kakaknya karena membawa Hanna hidup dengan kesulitan. Nindi berjanji akan berusaha sekuat tenaga menjaga Hanna. Entah akan memulainya dari mana. Nindi masih memikirkan apa yang bisa dia lakukan kedepannya.
“Tante, kau tidak bisa diam sebentar saja. Mataku sakit melihat mu mondar-mandir dari tadi.” Hanna mulai pusing melihat Nindi seperti setrika rusak.
Brukkk
Nindi menjatuhkan diri di samping Hanna. “Menurut Hanna apa yang bisa aku lakukan untuk menghasilkan uang.” Hanna biasanya punya ide-ide cemerlang. Menatap penuh harap. Hanna mengangkat bahunya menyerah.
Keduanya terkulai di atas sofa memandang langit-langit rumah yang akan segera mereka tinggalkan.
“Ahhhaa…..” Nindi terjingkat kaget tapi juga senang. Hanna sepertinya menemukan ide cemerlang. “Bagaimana jika kita makan ice cream untuk menjernihkan pikiran.” Nindi mencubit hidung Hanna gemas, dia malah mengajaknya bersantai di waktu seperti ini.
Nindi berdiri merentangkan kedua tangannya. “Baiklah………mari kita makan ice cream untuk masa depan kita!!!!” Berteriak penuh semangat.
“Horeee…” Balas Hanna senang. “Aku tidak akan minta yang mahal Kak. Ada yang harganya Rp.3.000,-. Kita bisa hemat jika jajan sedikit hari ini.”
“Jangan pikirkan uang Hanna, tugas Hanna sekolah dan belajar yang rajin. Tante Nindi akan urus semua kebutuhan kita.” Hanna menganguk setuju.
Hanna memilih Ice Cream dengan harga paling murah dan menyerahkannya pada Nindi. Diam-diam Nindi memasukkan ice cream coklat kesukaan Hanna. Setelah membayar mereka berdua duduk di taman.
“Tante, aku tidak mengambil ini.” Tunjuknya pada Ice Cream kesukaannya.
“Aku yang mengambilnya. Terlihat enak bukan?” Hanna mengangguk.
“Jadi tante beli dua ice cream?” Nindi mengangguk. Ingin tau reaksi Hanna jika dirinya membeli dua dan Hanna hanya satu. “Iya, Tante boleh beli dua karena sudah bekerja keras.” Hanna tersenyum dengan tulus pada Nindi.
“Tentu saja ini untuk Hanna. Gigi tante sakit dan ngilu.” Nindi menyerahkan ice cream pada Hanna. “Satu saja cukup.” Nindi menikmati ice cream di tangannya menirukan gaya Hanna yang menggemaskan.
“Tante Nin…..” Teriak Hanna memanggil Nindi yang ada di kamar mandi.
“Tante……, ada tamu.” Hanna menyapa tetangga yang datang berkunjung.
“Tunggu sebentar ya tante, tante Nin sedang di kamar mandi.”
“Hanna yah namanya?” Hanna mengangguk. “Tante ini mamah nya Lula, temen sekolah Hanna.”
“Ohhhh…..masuk tante.” Mendengar Nama Lula yang tidak asing, Hanna membukakan pintu. “Tante tau darimana aku pin…”
“Halo Hanna” Lula muncul di balik pintu. “Aku beli jajanan sebelum ke sini.” Plastik besar penuh dengan makanan ringan.
Hanna masih menjaga gensi tidak menyentuh jajanan di depan matanya sebelum Nindi keluar. Hanna menyiapkan minuman untuk dua tamunya. Hanna memang meceritakan kepindahannya pada ketiga sahabatnya, Lula salah satunya. Rumah Lula dekat dengan kontrakannya saat ini. mungkin itu alasan mereka datang.
“Maaf menunggu lama.” Suara Nindi memecah keheningan. “Saya Nindi Tante.” Nindi menyalami tamunya dan tersenyum ramah.
“Iya, saya Ira Mamah nya Lula.”
“Oh iya, Hanna sering cerita tentang Lula.” Mata Hanna menyipit, seingatnya Hanna jarang membicarakan teman-temannya. Nindi yang menyadari pandangan mata Hanna memberikan kode agar Hanna diam saja.
“Iya Mbak Nindi, saya turut berduka ya Mbak. Lula cerita kalau Hanna sekarang sering diam sendiri di dalam kelas.” Ujung bibir Hanna dan Lula terangkat tidak percaya. “Kasihan Hanna.” Mamah Lula mengusap kepala Hanna yang duduk di sebelahnya.
Pembicaraan orang dewasa banyak tidak masuk akal dan di buat-buat. Hanna memilih mengajak Lula duduk di teras rumah kontrakan kecilnya membawa jajanan yang Lula bawa.
“Kenapa beli banyak sekali?” Padahal senang dalam hati.
“Mumpung boleh.” Jawab Lula singkat.
“Apa ini enak?” Lula mengangguk.
“Ambil semuanya, aku nanti minta Mamah belikan lagi.”
Yeayyyy…..
Hanna bersorak senang. Dapat jajanan gratis tanpa harus merogoh koceknya sendiri. Tidak lama Lula dan Mamah nya pamit pulang. Hanna kembali membantu Nindi yang sedang mebereskan barang-barang bawaan mereka.
“Tante, kita belum makan siang. Aku lapar.” Nindi menengok jam dinding yang masih tergeletak di lantai.
“Benar, ayo kita cari makan siang dulu.”
Hanna dan Nindi bergegas menuju rumah makan padang terdekat. Ada paket serba Rp.10.000,- disana. Mata kedunya beredar memilih menu apa yang mereka makan hari ini.
“Aku ayam bakar.”
“Tante makan ikan kembung saja.” Segera pelayan membungkus pesanan Nindi dan Hanna.
“Tante, apa boleh aku kentut si sini?” Bisik Hanna. Hanna tidak bisa menahan angin yang mondar-mandir di perutnya.
“Boleh. Asal jangan bersuara.” Bisik Nindi.
Hanna tidak yakin suara kentutnya kecil, tapi sudah melilit di ujung tidak bisa di tahan.
Duttt…tiittt…dutt…
“Hahahaa….” Nindi tertawa dan segera menarik Hanna ke belakang barisan.
“Maaf.” Nindi menahan malu, banyak wajah-wajah tersenyum di sana.
“Aku kira tidak bunyi, karena sudah terlanjur aku sekalian saja lepaskan semuanya.” Menjelaskan sebelum Nindi bertanya. Dengan polos Hanna tersenyum tanpa rasa bersalah.
Nasi padang berhasil memenuhi perut dua insan yang kelaparan. Istirahat sebentar sebelum melanjutkan pekerjaannya.
“Han…memang benar Hanna suka melamun di dalam kelas?” Penasaran.
“Tidak. Itu bisa-bisanya Mamah Lula saja supaya ada bahan pembicaraan.” Nindi kaget. Dia duduk tepat di depan Hanna dengan matanya yang membulat.
“Kanapa punya pikiran seperti itu? Mamah nya Lula sudah baik memperhatikan kita. Hanna tidak boleh punya pemikiran seperti itu.” Nindi memeluk Hanna dengan erat.
Nindi menasehati Hanna agar punya pikiran yang baik terhadap orang lain. Lebih baik berfikir positif agar isi kepalanya dipenuhi energi-energi positif. Keduanya terlelap dengan perut kenyang setelah bicara cukup lama.
***
Sore yang sedikit mendung, di Mabes Polri sedang berkumpul anggota kepolisian yang mendiskusikan kasus demi kasus. Termasuk kasus kecelakaan Cakra yang ada unsur sabotase. Sore ini anggota yang mendalami kasus akan melakukan kunjungan ke rumah keluarga korban.
“Sedang apa kau di sini Var?” Ezra kaget melihat Ivar ada di dalam mobilnya.
“Aku ikut kalian.”
“Bilang saja kau tidak ada kerjaan Var….Var.” ledek Abrar yang sudah kenal betul siapa Ivar.
Sesampainya di lokasi, ketiga anggota kepolisan dengan pakaian bebas dikejutkan plang selebar 2 meter bertuliskan “Rumah Disita”
“Aku Tanya warga sekitar.” Ezra cepat mengambil langkah.
Beberapa orang yang Ezra tanyai tidak tau dimana keluarga Cakra berada. Mereka bertiga memutuskan makan siang di warung padang dekat perumahan. Ezra dan Abrar makan dengan lahap kecuali Ivar yang hanya minum teh manis hangat.
“Tuan-tuan ini bukan warga sini yah?” Tanya pemilik warung kepo.
“Bukan Pak, kita sedang mencari alamat tapi orangnya sudah pindah.” Jawab Abrar ramah.
“Ohhh begitu. Silahkan dilanjutkan Tuan-tuan.”
“Pak, apa mungkin bapak tau dimana keluarga Bapak Cakra pindah?” Pemilik warung yang sudah hendak pergi kembali berbalik.
“Oh Pak Cakra yang sudah meninggal?” Aduh, jangan-jangan mereka mau menagih hutang. “Saya kurang ta..tau Tuan.” Pemilik warung bergegas meningalkan ketiga pemuda yang menanyainya.
“Sepertinya dia tau, wajah mu seram Brar jadi Bapaknya kabur. Hahahaha” Ledek Ivar.
Akhirnya Ezra memutuskan menanyakan dengan ramah pada pemilik rumah makan yang benar saja tau keberadaan keluarga Cakra berada.
“Aku dapat alamatnya.” Ezra dengan bangga meletakkan alamat yang sudah dia catat di atas kertas.
“Itu bukan alamat, itu seperti peta jalanan.”
“Hahhaha, bapaknya tidak tau alamatnya dimana. Tapi dia tau jalannya, jadi dia memberiku petunjuk jalan.”
“Sudah-sudah, ikuti saja petunjuknya.” Ivar malas berdebat, membuang-buang waktu.
Jalanan setapak mereka telusuri perlahan, sesekali bertanya rumah gadis bernama Nindi yang sedang mereka cari. Tujuan tepat berada di depan mereka sekarang.
Tok…tok…tok…
Ezra mengetuk pintu perlahan, ketukan kedua sedikit kencang karena sang pemilik rumah tidak kunjung datang. Baru saja Ezra akan mengetuk, muncul wajah gadis kecil di kaca rumah. Abrar sampai melompat kea rah Ivar, dia pikir ada hantu di sana.
“Tuan cari siapa?” Hanna membuka pintu kecil, hanya wajahnya saja yang muncul di sana. Matanya menelusuri wajah ketiga pria yang berdiri di hadapannya.
“Apa ini rumah keluarga Tuan Cakra?” Hanna masih belum menjawab. “Adik manis, tolong panggilkan orang dewasa yang tinggal bersama dengan mu.” Ezra habis kesabaran.
“Tante….!!!!” Suara Hanna mengejutkan ketiganya dan Nindi yang masih terlelap.
“Ada apa Han…” Nindi yang baru bangun terkejut, ada tiga pemuda tampan di depan rumahnya. “Selamat sore Tuan-tuan.” Nindi merapihkan rambutnya yang berarakan.
Ezra memamerkan lencananya.
Hanna langsung merentangkan tangannya lebar melindungi Nindi. “Jangan tangkap Tante Nindi.” Dengan wajah ketakutan tapi pura-pura berani.
“Hahahaha…Hanna, tante tidak melakukan kejahatan.” Nindi menurunkan tangan Hanna.
“Oh…” Wajahnya berubah datar lagi.
“Tentu saja kami datang bukan untuk menangkap Tante Nindi.” Celetuk Ivar. “Apa kami tidak dipersilahkan masuk? Kaki ku pegal.”
“Oh iya, silahkan masuk. Maaf rumah kami masih berantakan.” Nindi menggeser meja membuat ruang untuk duduk yang lebih besar.
“Langsung saja.” Abrar menatap tidak tega gadis cilik yang duduk di pangkuan Nindi. “Han..na. Bisa tolong belikan Om coklat?” Hanna menatap mata Nindi.
Tentu saja Nindi mengangguk. Sebaiknya Hanna tidak mendengar percakapan mereka. “Tolong belikan 5 coklat.” Abrar menyodorkan uang pecahan Rp.50.000,- dua lembar.
“Hanna, beli saja dua.” Nindi menyerahkan kembali uang yang Abrar kasih. “Yang satu Hanna bagi yah sama teman Hanna.” Gadis cerdas yang tau betul sedang di suruh pergi secara halus menurut saja. Pembicarannya pasti tidak akan bisa dirinya pahami juga.
“Kami bertiga yang akan mengawasi perkembangan kasus kecelakaan Tuan Cakra. Saya Abrar, ini Ezra dan ini Ivar.”
“Nindi.” Nindi menjawab dengan ramah. Dia sedikit risih dengan tatapan mata Ivar.
“Dengan berat hati harus saya sampaikan bahwa kecelakaan yang menimpa Tuan Cakra bukan murni kecelakaan. Kami masih mendalami kasusnya.” Abrar menjelaskan dengan detail. Memberikan pengertian agar Nindi menyetujui kasus Kakanya di ungap. Sesekali Nindi mengusap air matanya yang mentes.
Meski senyum terulas di bibir manisnya, kepedihan menyelimuti jiwa Nindi. Ivar sedikit tertegun, Nindi terlihat sangat tegar. Jantungnya juga berdegub cukup kencang saat Ivar menatap manik mata Nindi yang basah.
“Kenapa rumah Tuan Cakra yang lama di sita Bank?” Tanya Ezra mengulik sedikit demi sedikit sumber masalah.
“Aku tidak tau banyak, Kak Cakra tidak pernah banyak bercerita.” Nindi menyerahkan surat penyitaan yang pihak bank serahkan padanya.
“Tante….apa aku masih belum boleh masuk?” Tanya Hanna yang menunggu di luar sejak tadi.
“Kok sudah pulang Han.” Nindi mengusap sisa air mata.
“Iya, semuanya lagi pergi ikut Mamah nya arisan. Aku kan tidak punya Mamah, jadi aku gak ikut arisan.”
Semua dibuat tertawa oleh Hanna, gadis cantik yang polos dan cerdas.
“Ya sudah Nona, kami pamit pulang. Kami akan segera menghubungi Nona jika ada kabar terbaru.” Nindi mengangguk.
Ivar berjalan belakangan bersama Hanna, Ivar menjatuhkan ponselnya sengaja di tempatnya duduk. Hanna menatap wajah Ivar yang memberinya kode agar tutup mulut. Hanna tidak perduli. Orang dewasa memang suka aneh menurut Hanna.
“Loh….ponselnya Tuan tadi ada yang ketinggalan.” Teriak Nindi saat melihat ponsel teronggok di pojokan. Hanna yang sudah tau cuek saja. Memang sengaja di tinggalkan, bukannya ketinggalan.
Ponsel yang teronggok di atas meja terus berbunyi. Nindi tidak berani mengangkatnya, Hanna apalagi. Suara berisik membuatnya sedikit terganggu.
“Han, kalau Tante angkat sopan atau tidak yah.” Hanna menjawabnya dengan menaik turunkan pundaknya. “Takut penting.” Masih sama saja jawabannya.
“Tapi ponselnya sangat berisik.”
“Benarkan, takut penting kan Han…” Bicara penuh penekanan. Bukan itu maksud Hanna. Hanna menggeleng tidak percaya Nindi benar-benar bermaksud mengangkat panggilan masuk.
Nindi meraih ponsel, menghembuskan nafasnya panjang sebelum mengangkat ponsel. “Hallo”
“Bukankah ini ponselnya Ivar.” Suara wanita.
“Benar…tadi…”
“Kenapa kau yang mengangkatnya? Siapa ini? Berani sekali kau main-main dengan tunangan ku! Dasar Pelakor!!!!” Nindi menyesal mengangkat ponsel yang tertinggal. Panggilan terputus, Nindi hanya mendengar wanita diseberang telpon memakinya tanpa mau mendengar penjelasan darinya.
Ponsel kembali bordering. Ragu tapi Nindi kembali mengangkatnya. Kali ini Nindi harus menjelaskan kenapa ponsel Ivar ada padanya.
“Nona, Boleh saya jelaskan?” Wanita di seberang telfon berhenti bicara.
“Sebenarnya aku….” Ivar menyambar ponsel dari tangan Nindi yang kaget bukan main sampai mematung.
“Jangan ganggu kekasih ku.” Nindi tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ivar mematikan ponselnya. Senyumnya membuat Nindi ngeri.
“Tuan apa yang kau lakukan? Dia bisa saja salah paham.” Nindi meminta penjelasan.
“Biarkan saja, salah mu kenapa mengangkat ponsel milik orang lain!”
“Aku tidak bermaksud mengangkatnya. Ponsel mu terus berbunyi.” Nindi kesal disalahkan tanpa alasan.
“Kalau begitu terima akibatnya.” Nindi semakin kesal.
Orang dewasa memang selalu rebut tidak jelas, Hanna menutup wajah dengan buku yang sedang dia baca.
“Aku mengangkatnya karena Hanna jadi tidak bisa belajar karena suaranya terlalu berisik.” Hanna menggeleng, lagi-lagi anak kecil jadi tumbal orang dewasa mencari alasan.
“Tolong buatkan aku mie.” Ivar meletakkan kantong belanjaan di tangan Nindi. Setelah mencacinya Ivar memintanya masak mie.
Berani sekali dia menyuruh-yuruh ku. Tapi aku tidak berani marah padanya, bisa-bisa aku ditembak dengan pistol yang ada di pinggangnya.
“Tidak ada kompor, aku tidak bisa memasangnya.” Memang benar Nindi menyerah memasang kompor. Tidak semudah tutorial yang dia tonton di media social.
Ivar berjalan ke belakang melihat kompor yang masih berantakan di atas meja. Pasti sulit mengurus semuanya seorang diri. Tanpa diminta Ivar memasang kompor sampai siap untuk di gunakan.
Baik juga laki-laki ini, sayang sekali dia sangat aneh. Jangan sampai aku punya suami seperti dia, ganteng-ganteng aneh.
Ivar duduk di depan bersama Hanna yang menatapnya tajam. “Apa ada kotoran di wajah ku?” Hanna menggeleng. “Kenapa melihat ku seperti itu?”
“Kenapa Tuan meningg…” Ivar membekap mulut Hanna.
“Jangan keras-keras, Tante Nindi bisa dengar.” Ivar melepaskan tangannya. “Aku ingin mendekati Tante Nindi, apa boleh?”
“Terserah!” Jawaban Hanna datar.
“Apa kau suka pada ku?” Hanna terlihat menimang-nimang jawabannya. “Apa aku tampan?” Kali ini Hanna mengangguk. “Benarkah?” Ivar tersenyum penuh percaya diri.
Hanna tau kriteria laki-laki tampan, dia sudah cukup besar untuk mengerti apa itu hubungan pertemanan special antara laki-laki dan perempuan. Anak-anak jaman sekarang lebih cepat dewasa, apalagi anak perempuan.
“Mie sudah matang…..” Nindi membawa panci yang penuh mie ke ruang tamu. Hanna membantu Nindi menyiapkan mangkuk dan membawa ceret berisi air putih dengan tiga gelas, sesuai dengan orang yang ada saat ini.
Mie terasa enak di situasi apapun. Ivar yang kelaparan menuangkan mie beberapa kali ke mangkuk miliknya tanpa rasa malu.
“Makan sayur juga Tuan, biar bergizi apa yang masuk ke dalam tubuh Tuan.” Ivar tersenyum mendapat perhatian dari Nindi.
“Apa kalian pacaran?”
Uhukkk…uhukkkk…
Nindi dan Ivar terbatuk mendengar pertanyaan Hanna.
“Tentu saja tidak Han, kau ini. Kita kan baru saja kenal.” Pipi Nindi merona menahan malu. Bisa-bisanya Hanna menanyakan hal yang sangat memalukan.
“Apa Hanna mau punya om setampan aku?” Hanna membalas dengan senyum. Awalnya ingin mengangguk, tapi mata Nindi melotot padanya.
“Jangan membuatnya berpikir yang tidak-tidak.” Nindi menekan suaranya. “Hanna cepat habiskan, nanti mie nya jadi lembek.” Hanna kembali melahap mie instan yang sangat enak. Melupakan apa yang baru saja dia pikirkan.
“Hanna, Om pulang yah. Jangan biarkan Tante Nindi di dekati pria lain.” Pesan Ivar dengan senyum mematikan.
“Tuan….tolong jangan memprofokasi otaknya.” Nindi segera masuk setelah Ivar keluar dari rumahnya. Geram sekali, tapi Nindi menahan di depan Hanna. Tapi tetap saja ada rasa senang diperhatikan laki-laki seperti Ivar.
Nindi merasakan jantungnya berdetak kencang, ada-ada saja. Dia hanya orang asing, tidak ada arti apapun untuk dirinya. Nindi menepuk pipinya sendiri. Sadar Nindi sadar….bukan waktu yang tepat memikirkan laki-laki.
Hanna sudah terlelap di bawah selimut tebal, meski keadaan sulit. Hanna tidak mengeluh sedikitpun. Dia melewati hari-harinya dengan penuh kebahagiaan. Nindi memeluk Hanna dalam tidurnya, tidak rela jika Hanna menderita karena dirinya tidak cakap dalam mencari nafkah. Besok harus ada perkembangan, Nindi akan mencari cara memenuhi semua kebutuhannya dan Hanna.
***
“Nak!!! Apa yang sudah kau lakukan?” Teriak Ellie pada putranya yang baru saja masuk. Ivar tidak menanggapi dan masuk ke dalam kamarnya. “Ivar!” Ivar mengunci pintu kamar malas berdebat.
“Nanti saja kita bicara, aku ingin mandi dan istirahat.”
“Lihat putra mu. Dia suka sekali mempermainkan perasaan wanita.”
“Bukankan dia putra mu juga?” Balas Edwin sambil tersenyum. “Sudah biarkan saja, toh mereka masih belum serius.”
“Apa!” Edwin sampai tersentak kaget. “Mereka pasangan yang sangat cocok Pak! Mana boleh bapak bicara seperti itu.” Edwin hanya menelan ludahnya tidak ingin melanjutkan. Argumennya akan di tolak mentah-mentah jika sudah menyangkut hubungan antara Ivar dan Luna.
Sudah sering Ivar mengacuhkan Luna yang sudah sejak lama di jodohkan dengannya. Ivar menganggapnya adik, tidak lebih. Tapi para Ibu-Ibu menginginkan hubungan lebih di antara mereka. Luna sendiri sangat menyukai Ivar dan suka sekali menyebarkan gossip pertunangan di antara mereka. Ivar cuek saja karena menganggap Luna anak kecil yang belum dewasa.
Selesai mandi Ivar menuju dapur mencari air putih karena tenggorokannya terasa kering. Dia tidak terbiasa makan makanan instan karena Ellie tidak pernah membiarkan putranya jajan sembarangan, kecuali jika sedang dinas dan jauh dari keluarganya.
“Nak, kenapa kau melukai hati Luna. Kau kan tahu bagaimana perasaan Luna, dia sangat menyayangi kamu Nak.” Ivar cuek saja menenggak air putih sampai habis satu gelas penuh. “Kau tidak dengar Mamah bicara dengan mu.” Ivar tersenyum menatap wajah wanita tersanyangnya.
“Wanita yang Ivar sayang Cuma Mamah.” Ivar mencium pipi Ibunya. Ellie masih mengikuti Ivar sampai ke kamarnya.
“Jangan terlalu kasar pada perempuan. Orang tuanya sudah sangat baik pada kita.” Ellie berdiri di belakang Ivar. Melihat wajah Ibunya cemberut di cermin Ivar jadi tidak tega. Ivar meraih tangan Ellie dan menciumnya.
“Aku sudah katakan berulang kali Mamah ku Ellie yang sangat cantik. Aku menganggapnya tidak lebih dari adik ku. Aku tidak menganggap nya perempuan.”
“Mana bisa seperti itu, Mamah sudah menjodohkan mu dengan Luna. Dia gadis yang cukup baik. Mamah mau menantu Mamah hanya Luna! Titik.” Ellie meninggalkan Malik dengan amarah. Malik yang sudah biasa mendengarnya tidak terkejut. Baginya Luna tetap adiknya.
“Ivar!” Kaka Ivar Edelweis masuk sambil menggendong putranya yang berusia 6 bulan. “Kau tidak bisa sehari saja tidak membuat masalah?” Ivar hanya tersenyum, pasti Mamah mengadukan perbuatannya.
Ivar tidak menanggapi ocehan Kakak perempuannya, dia malah menggoda keponakan yang baru saja tidur. Mengunyel unyel pipinya yang menggemaskan.
“Ivar. Dengarkan aku.” Edel juga tidak bisa marah pada Ivar, sebenarnya bukan dia yang salah. Tapi kedua orang tuanya yang berharap Ivar dan Luna menjalin hubungan. “Apa kau tidak bisa berpura-pura saja menyukai Luna.” Ivar melotot.
“Kau mengajarkan adikmu perbuatan tercela, apa yang akan Kak Ayman katakan.” Edel menjitak kepala Ivar. “Kau seperti Samson.”
“Ivar…..kau selalu saja mengejek Kakak.” Akhirnya bukan ribut keduanya malah bercanda, Edel sangat menyayangi adik semata wayangnya. Baginya Ivar separuh nafasnya.
“Aku sepertinya jatuh cinta pada pandangan pertama.” Edel yang sudah di depan pintu akan keluar berbalik dengan kecepatan super. Wajahnya berbinr-binar.
“Apa aku tidak salah dengar?” Edel duduk di samping Ivar yang terlentang di atas kasurnya. “Siapa? Apa dia cantik?” Ivar hanya tersenyum. “Ihhhh…dasar bucin, kenalkan pada ku.” Edel tidak sabaran sampai merampas paksa ponsel dari tangan Ivar.
Semakin mencari Edel semakin tidak menemukan apapun, jangankan foto, chat nya saja tidak ada. “Kenapa hanya ada foto-foto anak kecil.” Edel bingung, tumben sekali Ivar mau berfoto selfi. “Siapa dia?”
Ivar lagi-lagi tersenyum, dia benar-benar sedang kasmaran. Edel yang melihat wajah Ivar jadi ikut bahagia.
“Kau tau, dia kunci mulusnya perjalanan cintaku.” Edel menoyor kepala Ivar yang ada di pangkuanya.
“Jangan memanfaatkan anak kecil. Kau ini.” Setidaknya adiknya normal, dia tertarik pada perempuan.
“Sudah jangan lama-lama di sini. Kasian Jason.” Ivar tidak berhenti menciumi kepala Jason yang wangi.
Edelweis Kakak perempuan yang selalu menjaga Ivar dan mebelanya apapun keadaannya. Dia sama dengan Bapak yang tidak setuju jaman sekarang masih ada perjodohan antara laki-laki dan perempuan. Sebaiknya berikan kebebasan dan tidak menekan seorang anak agar mau melakukan apapun yang menjadi keinginan orang tuanya.
Edel sering mberikan nasehat pada Ellie, namun nasehatnya di anggap angin lalu. Tekad Ibunya sudah bulat untuk menjodohkan putra semata wayangnya dengan putri sahabatnya. Baginya tidak ada lagi menantu idaman selain Luna. Dia gadis yang cukup baik, tapi sikapnya yang kekanakan membuat Edel terkadang merasa tidak nyaman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!