Menjadi anak yang dituntut untuk menjadi nomor dua. Membuat Lueina Philips, di kesampingkan keberadaannya.
Deon Philips adalah pria kaya raya yang merajai segala bisnis. Pria itu memiliki seorang istri yang sangat cantik bernama Ludwina Thompson.
Mereka dikaruniai anak kembar sepasang. Louis Edwar Philip dan Lueina Elisabeth Philips.
Louis memiliki mata biru sang ayah sedang Luein memiliki warna abu-abu seperti kakeknya Dek Robert Philips, ayah dari Deon.
Rambut Louis yang blonde dan warna kulitnya putih bersih. Ia juga memiliki ketampanan di atas rata-rata. Sama dengan saudara kembarnya, Luein juga memiliki kecantikan yang sangat sempurna.
Sayang. Sebagai anak perempuan, Luein harus jadi nomor dua, apapun prestasi yang ia capai.
"Bagus, Nak," hanya itu saja yang terlontar dari mulut keduanya ketika ia berhasil memperoleh bintang dalam karya lukisnya.
Tapi, jika Louis yang mendapatkan nilai bagus, walau anak itu mendapatkan nilai kedua. Baik Deon dan Ludwina akan menyanjungnya dengan membawanya jalan-jalan atau memberinya hadiah yang mahal.
Bahkan tak jarang, jika piala-piala yang Luein dapatkan adalah hasil dari Louis.
Hal itu tentu saja membuat Luein marah. Gadis itu merasa jika orang tuanya sudah sangat keterlaluan.
Sebagai aksinya. Luein akhirnya memposisikan diri selalu nomer dua, baik itu prestasi akademik atau non akademik.
Hal itu bertujuan agar Louis tidak bisa dibanggakan kedua orang tuanya.
"Luein, kenapa akhir-akhir ini nilaimu selalu nomor dua?" Tanya Wina, sang Mama.
"Kenapa, Ma? Kemarin ketika aku selalu nomor satu, nilaiku tidak Mama perhatikan sama sekali, bahkan dengan bangga Mama bilang itu adalah nilai Kak Loui!?' sarkas Luein.
"Apa maksudmu. Mama tidak pernah ...."
"Tidak apa, Ma!?" sergah Luein kesal memotong.
"Bukankah kemarin Kak Louis menyabet gelar juara satu tiap tahun, tapi sebenarnya itu adalah gelar ku!?" lanjut Luein tak terima.
"Lantas kenapa sekarang ketika aku tidak lagi juara, Mama bilang aku malas belajar?!"
"Apa tidak ada lagi bukti untuk kau ambil guna menutupi kebodohan putramu itu!"
"Luein!"
"Cukup, Ma! Aku tak tahan lagi. Lulus tahun ini, aku sudah mendaftarkan diriku ke sekolah asrama putri di kota N!" ujar gadis itu langsung memberikan keputusan.
Mamanya terdiam. Luein pergi begitu saja, walau sekarang gadis itu menyesal telah berkata keras pada wanita yang melahirkannya itu.
Luein abai akan kedatangan papanya. Gadis itu melangkah meninggalkan rumah dengan tatapan kosong.
Deon hanya menghela napas kasar mendapati putrinya melangkah tanpa berpamitan dengannya.
"Kenapa putrimu?" Tanya Deon ketika melihat sang istri keluar dari kamar gadis itu.
Ludwina hanya bungkam. Deon tak melanjutkan keingin tahuannya. Pria dengan postur tubuh 180cm itu berjalan ke kamar diiringi oleh istrinya.
Malam telah datang. Deon, Ludwina dan Louis sudah berada di meja makan, sedang Luein tidak ada. Mereka tetap makan seakan memang tidak ada yang mereka tunggu.
Ludwina melayani dua lelaki kebanggaannya dengan sangat manis. Sebuah percakapan ringan terdengar sebelum mereka menyantap makan malam. Lalu hening ketika makan.
Semua terjadi seperti itu hingga empat tahun kemudian.
4 TAHUN KEMUDIAN.
Usai makan malam mereka pergi begitu saja ke ruang keluarga. Para maid bergegas membersihkan meja makan.
Ketika di ruang keluarga. Deon nampak bertanya serius ke arah Louis.
"Nak, sebentar lagi kau lulus. Akhir-akhir ini, nilaimu merosot drastis. Daddy tidak yakin bisa memasukkan mu ke universitas Brocton Institute."
"Tapi, nilai Louis tidak buruk-buruk sekali Pa! Aku yakin putraku bisa lulus dengan nilai gemilang nanti," bela Ludwina sambil memasang wajah yakin.
Deon hanya menghela napas berat.
"Kau tahu! Universitas itu mengubah skrip nilai yang mereka terima. Mereka akan mendata keseluruhan nilai dari semester awal sekolah. Dan kau tahu, nilai Louis tidak begitu baik!"
Ludwina memberengut. Ia tidak bisa menampik penjelasan suaminya. Ia sangat tahu kualitas yang diusung universitas ternama di kota mereka. Hanya anak orang kaya yang benar-benar cerdas yang bisa masuk, atau jika tidak memiliki kekayaan. Anak tersebut harus berebut beasiswa yang memang dikejar oleh para anak-anak yang lain.
Louis tidak menanggapi percakapan kedua orang tuanya. Pria itu hanya diam melamun. Pikirannya entah kemana. Dididik untuk mengikuti semua kemauan orang tua, membuat pria itu tidak memiliki pendirian.
Ludwina memanjakan putranya secara berlebihan, sedang Deon tidak ambil pusing dengan apapun yang dilakukan oleh sang istri.
Pria itu terlalu sibuk mengembangkan usahanya hingga ke mancanegara. Kepiawaiannya dalam bisnis tidak bisa ditandingi oleh siapapun. Banyak kawan dan lawan yang sangat segan padanya. Sosok Deon bukanlah pria dingin dan arogan. Tapi, tegas dan berwibawa.
Sayang. Kepiawaiannya dalam berbisnis tidak sebanding dalam mengolah rumah tangganya. Menikah dengan wanita yang dijodohkan dengannya.
Pria itu benar-benar melewati siklus puber karena sejibun kesibukannya. Bisa dibilang pria itu tidak pernah jatuh cinta.
Sedang Ludwina adalah sosok wanita yang memang didandani untuk dinikahi oleh pria kaya raya. Hanya berbekal kecantikan dan sedikit kelebihan, tetapi banyak kepintaran, kelebihan dari Ludwina. Wanita itu sangat penurut.
Makanya ketika orang tua Deon tengah mencari istri yang bisa di stir oleh keluarga. Ludwina satu-satunya wanita yang mengalahkan ribuan kandidat untuk diperistri oleh Deon.
Sayang, kedua orang tua Deon meninggal sangat cepat. Hingga tidak bisa mengawasi cucu mereka.
Ludwina hanya menciptakan putranya sosok yang indah dipandang. Tapi, wanita itu tidak pernah menggali apa yang putranya bisa lakukan.
Louis terdidik untuk jadi anak yang penurut. Dipaksa untuk belajar semua pendidikan bisnis dari usia dini.
Padahal Louis sangat bagus dalam dunia seni lukis. Lukisan pertamanya saja bisa laku hingga ratusan dolar.
Sayang, Ludwina menolak kebisaan putranya. Wanita itu selalu memarahi Louis jika sudah memegang kuas dan cat.
Tanpa segan, Ludwina membuang dan mematahkan semua bahan lukisan yang disembunyikan oleh putranya itu.
Setiap acara keluarga. Ludwina tak pernah melepaskan Louis. Wanita itu selalu jadi jurubicara sang putra. Hingga orang beranggapan jika Louis bisu.
Pernah ada salah satu kerabat memprotes cara Ludwina memperlakukan Louis seperti itu. Tapi, Ludwina memiliki seribu alasan untuk membela diri.
Deon ingin sedikit ringan menjalankan perusahaannya, namun ia tidak melihat putranya bisa menggantikan dirinya untuk membantunya menjalankan perusahaan.
Hingga satu kejadian besar terjadi. Louis bunuh diri dengan menggantungkan tubuhnya di tiang atap rumah. Satu coretan ia torehkan di dinding.
"I'm tired!"
Deon sangat terpukul sedang Ludwina pingsan berkali-kali.
"Jika Luein tidak meninggalkan kita. Mungkin kita masih bisa berharap anak itu mau membantuku. Jika sudah begini. Aku berharap pada siapa lagi?" Tanya Deon pada Ludwina.
Seminggu sudah kepergian Louis secara tragis, membuat wanita itu hanya banyak diam. Ia tahu jika ini semua kesalahannya. Penyesalan terus menghantuinya.
"Aku akan mencari putriku!" Putus Deon bangkit meninggalkan istrinya yang masih mematung.
Ludwina hanya bisa menangis dalam diam. Selama nyaris empat tahun sejak kepergian Luien dari rumah. Ia tidak pernah bertanya keberadaan sang putri. Bahkan ia juga tidak pernah memberi Luein uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Bukan karena ia tidak bisa memberi uang-uang itu. Tapi, ia abai dan lupa jika ia memiliki seorang anak yang lain.
Bersambung.
Wah ... Bagaimana nasib Luein?
Sosok tubuh kini tengah menaiki motor sport. Deru mesin memekak telinga tanda kesemua peserta lomba balap liar bersedia memacu motor mereka.
"Mulai!" sebuah teriakan mengawali lomba dibarengi oleh melesatnya motor-motor tersebut.
Sosok yang mengenakan hoodie bergambar tokoh Disney Donald bebek, nampak melesat meninggalkan peserta lain.
Hanya butuh waktu nyaris empat menit, sosok mungil itu sudah mencapai garis finish. Sorak sorai penonton mengelu-elukan namanya.
Tiba-tiba.
"Polisi datang! Selamatkan diri kalian!"
Tak ayal membuat semua peserta dan penonton balap liar itu membubarkan diri, termasuk sosok mungil itu. Mulutnya tak berhenti mengumpat.
Sosok mungil membelokkan motornya ke sebuah gang gelap. Melepas helm dengan motif sama dengan hoodie yang dikenakannya.
Seraut wajah cantik dengan iris mata abu-abu begitu eksotik. Netranya nyalang ketika ternyata pemberitahuan polisi itu hanya akal-akalan pihak penyelenggara belaka.
Gadis cantik itu mengendarai motornya kembali ke arena pertandingan. Matanya yang menyorot tajam mencari sosok-sosok yang ia kenali sebagai ketua penyelenggara balap liar ini.
"There he is!" gadis itu menemukan sosok yang ia cari.
Ia mendekati tubuh tinggi yang tengah sibuk menelpon dengan hati-hati. Lalu, secara mendadak gadis itu memacu motornya dan menyambar ponsel yang tengah digunakan pria tersebut.
"Hey give it back!" teriaknya.
Gadis itu memutar motornya, kini berhadapan dengan pria berambut coklat dengan tatapan tajam. Pria yang mengenali gadis yang kini berhadapan dengannya menelan saliva kasar.
"Oh ... C'mon Hon. I need it that money!" seru pria itu sedikit memohon.
"Kau melakukan ini sudah dua kali, Bro!" ujar gadis itu menggeleng. "Sekarang tidak bisa!"
"Oh ... ayolah, Eliz! Bagaimana jika kita bagi saja uang itu!" ujar pria itu kembali memohon.
"No!" tolak gadis itu.
"Aku juga butuh uang ini. Uang kuliahku sudah menunggak begitu juga uang sewa apartemen ku!" Lanjutnya.
Pria bernama Howard itu hanya bisa menghela napas berat. Sungguh, jika ia tetap bersikeras untuk mengambil uang itu. Maka tak ayal sosok gadis mungil di hadapannya akan berubah menjadi monster yang menyeramkan.
"Baiklah! Beri aku sedikit saja, aku sudah tidak membeli barang itu lama sekali!" kali ini kembali ia memohon.
Lueina Elizabeth Philips tiba-tiba menggeber gas motornya hingga terdengar suara bising knalpot memekakan telinga. Asap tampak mengepul di belakang motor gadis itu. Wajah Howard berubah pucat.
"****!" umpat pria itu. Tampaknya ia salah bicara.
"Run Howard!" seru Luein memerintah yang kini berganti panggilan menjadi Eliz.
Mau tak mau pria berambut coklat itu lari tunggang langgang. Eliz memacu motornya, sesekali ia nyaris menabrak tubuh pria itu.
Howard adalah salah satu joki event balap liar yang sering diselanggarakan oleh pihak-pihak perusahaan untuk pencucian uang.
Eliz atau Luein bertemu secara tidak sengaja disebuah cafe, di mana gadis itu bekerja sebagai pelayan.
Sudah nyaris empat tahun ia menggeluti balap liar, uang hasil kemenangannya digunakan untuk keperluan kuliah juga hidup sehari-hari.
Gadis itu seperti anak yang terbuang. Eliz hanya dua kali mendapat kiriman bulanan, selanjutnya, ia harus banting tulang guna mencukupi semua kebutuhannya.
Semenjak ia pergi dari rumah dan memutuskan untuk tinggal di asrama putri. Ia putus komunikasi dengan keluarganya.
Waktu itu ia masih dibiayai hingga lulus. Namun ketika ia masuk kuliah, hanya dua bulan saja uang itu masuk ke rekeningnya.
Eliz atau Luein sama sekali tidak mengetahui jika saudara kembarnya Louis telah mengakhiri hidupnya sendiri.
Eliz mengendarai motor trail ke apartemennya. Usai memarkirkan motornya dengan benar di basemen. Gadis itu menggunakan lift untuk naik ke unitnya.
Setelah mengunci pintu, gadis itu melepas hoodie lalu membaringkan tubuhnya ke ranjang kecil.
Sebuah helaan napas panjang terdengar dari mulut gadis itu. Ia baru saja menyelesaikan hutangnya.
Membayar uang semester dan sewa apartemen hingga tiga bulan mendatang. Sedikit lega karena hadiah uang yang ia menangkan cukup banyak dan ada sisanya.
Eliz melepas rambut hitam kecoklatan yang tadi ia gulung. Tampak rambut itu tergerai indah sepinggang.
Gadis itu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang hanya ada shower saja. Sungguh gadis itu ingin berendam di air hangat. Tapi, jika ia pindah ke apartemen yang menyediakan bathub di toiletnya, pasti harganya mahal. Dan Eliz harus berhemat untuk itu.
Hanya butuh waktu lima belas menit ia sudah merasa segar. Gadis itu keluar dari kamar mandi hanya mengenakan bathrope pink-nya.
Setelah memakai pakaian dalam lengkap. Eliz mengambil lingeri warna hijau pupus. Nampak lekuk tubuhnya yang seksi. Kulit putih tanpa cacat. Sempurna dipadu dengan wajah cantik jelita.
Gadis itu merebahkan badannya yang penat. Seraut wajah tiba-tiba melintas.
"Mama!" Panggilnya dengan suara parau.
Gadis itu merindukan ibunya. Tanpa sadar, Eliz tertidur sambil menangis.
Sedang di tempat lain. Sosok wanita cantik terbangun sambil memanggil nama putrinya.
"Luein!"
Deon ikut terbangun ketika sang istri berteriak.
"Ada apa, Wina? Kau mimpi buruk?" Tanyanya dengan suara mengantuk.
Terdengar napas Ludwina yang terengah-engah. Wanita itu mengelus dadanya.
"Wina!" Panggil Deon mensejajarkan tubuh dengan istrinya.
"Aku tidak apa-apa, Sayang. Kau tidurlah lagi!" ujar Ludwina menenangkan suaminya.
"Sayang?" Wina memandang wajah suaminya.
Sebuah kecupan Ludwina berikan pada bibir suaminya.
"Tidak apa-apa. Tidurlah kembali," ujar Wina usai melepas ciumannya.
Deon mengelus wajah cantik sang istri. Pria itu menatap netra biru yang sama dengannya.
Semenjak Ludwina berlutut dan memohon ampun akibat kesalahannya. Pria itu jatuh cinta.
Unik memang. Tapi, Deon mengingat betapa hatinya hancur ketika mendapati sang istri berlutut meminta maaf.
"Maafkan aku. Aku mohon!" ujar Wina kala itu sambil menangis tersedu.
"Apa yang kau lakukan!" seru Deon sambil ikut berlutut.
Tangan pria itu menahan bahu sang istri yang hendak bersujud padanya. Deon merasa jantungnya berdetak begitu cepat. Bahkan ia terpesona melihat netra basah Ludwina.
Pria itu meyakini jika ia jatuh cinta untuk pertama kalinya. Semenjak kejadian itu, wajah Ludwina tak lepas dari ingatannya.
Bahkan bibir yang tiba-tiba ia kulum waktu itu, kini menjadi candunya.
Deon ******* bibir Wina dengan rakus.
Mereka saling berciuman sangat lama, hingga keduanya berhenti saat kehabisan pasokan udara.
Kening mereka menyatu. Jantung keduanya juga berdetak dengan kencang. Rona wajah Ludwina begitu mempesona Deon.
"Oh ... Sayangku. Jangan khawatir. Kita akan menemukan Luein segera!' ujar Deon mesra.
Ludwina mengangguk. Sudah nyaris dua minggu mereka mencari keberadaan putri mereka.
Namun keberadaan Lueina Elizabeth Philips seperti ditelan bumi. Bahkan asrama tempatnya dulu sekolah tidak mengetahui kemana gadis itu berada.
Hal ini membuat Deon menutut asrama tersebut. Karena sepengetahuannya. Semestinya asrama pendidikan mengurus langsung kemanapun peserta didik mereka mendaftar untuk melanjutkan perkuliahan.
Setelah diselidiki, ternyata ada penggantian kepengurusan selama masa kelulusan Lueina waktu itu. Hingga data para peserta didik tidak terback-up oleh pihak asrama.
Deon mengerahkan semua usaha untuk menemukan putrinya. Hingga menyewa detektif swasta untuk menemukannya.
Bersambung
Ketemu nggak yaa?
"Sayang, apa kau sudah mengirimkan semua uang yang mestinya milik Luein?" tanya Deon kemudian.
Ludwina mengangguk. Bahkan ia melebihi kirimannya. Deon melangkah mendekati sang istri yang tengah menyiapkan bekal untuknya.
"Ken, bilang jika ia sudah mendapatkan putri kita, hanya butuh waktu untuk mengembalikannya ke sini," jelas Deon sambil mencium leher Ludwina.
Ada sedikit sakit di hati wanita berusia setengah abad lebih ini. Rasanya seperti teriris pisau.
"Betapa buruknya aku menjadi seorang ibu. Padahal ia adalah putriku juga," ucapnya penuh penyesalan.
"Sayang ... jangan kau salahkan dirimu. Aku juga ikut andil akan itu," ujar Deon menenangkan hati Ludwina.
Wina, hanya menghela napas. Ia membalikkan tubuhnya, lengannya ia angkat dan bertengger di bahu kanan dan kiri suaminya.
Wajah mereka sangat dekat. Netra pun saling mengunci. Deon menipis jarak dengan memeluk erat pinggang ramping istrinya.
Deon merasa tulang pinggul sang istri. Sebuah kecupan singkat mendarat. Deon menghela napas berat. Ia tahu, jika sang istri begitu terpukul akan kepergian putranya, belum lagi rasa bersalah yang sangat mendalam akibat mengabaikan Lueina, putri mereka.
"Kau belum menggemukkan tubuhmu," ujar Deon, kening mereka menyatu.
"Aku susah gemuk, Sayang. Lagi pula, jika aku gemuk, kau tidak akan menyukainya," jelas Wina mencebik.
Deon terkekeh geli melihat wajah sebal sang istri. Betapa ia beruntung, jatuh cinta pada istrinya sendiri.
"Kau adalah belahan jiwaku. Tidak ada yang bisa menggantikanmu!" jelas Deon tegas.
Ludwina tersenyum dengan rona merah di pipi. Deon menyambar bibir istrinya dalam pagutan mesra.
Sedangkan di tempat lain. Luein terkejut ketika mendapat pemberitahuan rekeningnya telah masuk ribuan dolar.
"Apa mereka baru menyadari keberadaanku?" Lueina sedikit sinis ketika melihat pesan singkat yang masuk.
"Hei ... lihat dia. Si gadis kaya yang miskin mendadak!" sebuah hinaan tiba-tiba terlontar dari salah seorang mahasiswi.
Luein menyipitkan matanya. Dia adalah Gloria Northan Ageele. Putri dari pemilik perusahaan Ageele's Steel.
Dulu sebelum, gadis berwajah menor itu mengetahui Luein jatuh miskin. Gloria membuntuti Luein kemana-mana.
Gloria selalu berhasil membuat Luein menjadi sosok yang seperti dirinya. Suka berfoya-foya. Bahkan nyaris menjadi angkuh.
Gloria adalah teman seasrama Luein. Tidak hanya Gloria, tapi juga Jessy, Anneth dan Brenda. Empat gadis kaya raya. Luein sebenarnya jauh lebih kaya dari mereka. Tapi, ketika mengetahui jika Luein tidak lagi mendapat jatah bulanan. Keempat gadis itu pergi meninggalkan Luein.
Dulu Luein mereka puja. Kini berubah menjadi mereka hina.
"Aku tidak yakin jika dia (Luein) adalah seorang princess. Apa jangan-jangan ...," Gloria menghentikan ucapannya.
"Orang tuanya menyadari jika dia bukan putri sesungguhnya?" lanjutnya sambil tertawa diikuti oleh ketiga koleganya.
Luein sudah terbiasa. Ia seperti tuli mendengar ejekan empat gadis bodoh itu.
"Ya, begitu miskinnya hingga kuliah saja mengandalkan beasiswa!' kini Anneth yang mengatainya.
"Tidak itu saja! Kau tahu, dia kini tinggal di apartemen kumuh yang murah, tempat tinggal binatang pengerat menjijikan, yakni tikus!" lanjutnya sambil menekan kata terakhir.
"Eh ... apa kau mendengar sesuatu?" tiba-tiba sosok mungil menepuk pundak Luein.
Diana Lambert, gadis itu sahabat Luein. Gadis yang dikejutkan oleh sahabatnya itu hanya menolehkan wajah ke arah Diana, lalu mengendikkan bahunya.
"Aku mendengar suara-suara tanpa rupa. Oh, aku takut jika aku berubah menjadi indigo, karena bisa mendengar suara makhluk halus!" ujarnya dengan ekspresi ketakutan.
Mendengar hal itu membuat Gloria dan kawan-kawan kesal. Mereka tidak akan sanggup melawan Diana. Level kepedasan mulut sahabat Luein itu tidak terkalahkan. Mereka pun pergi meninggalkan Luein dan Diana dengan wajah kesal.
Luein tertawa terbahak-bahak melihat keempat sekawan itu.
"Thanks girl!" ujar Luein masih dengan senyum lebar.
"It's okey. Aku lihat kau tengah bingung. Ada apa?" tanya Diana sambil merangkul pundak Luein dan menggiringnya meninggalkan kampus.
Luein tidak menjawab apa-apa. Gadis itu hanya tersenyum.
"Bagaimana jika aku traktir kau hari ini?" ajak Luein.
"Traktir? Boleh. Wah, sepertinya kau baru dapat lotere ya?" tebak Diana asal.
Lueina terkekeh mendengar tebakan asal sahabatnya.
"Sudahlah, kau ikut saja. Aku akan mentraktir mu makanan enak," jelas Luein kemudian.
Di sini lah mereka. Sebuah restoran ternama. Bangunan megah dengan design klasik ini adalah salah satu aset perusahaan milik ayahnya.
"Apa kah, kau tidak salah ke tempat seperti ini?" tanya Diana sedikit gugup.
Luein menggandeng tangan sahabatnya masuk. Seorang pelayan menyambutnya ramah.
"Selamat datang, Nona. Apa anda sudah memesan meja sebelumnya?"
"Ya, atas nama Lueina Elizabeth Philips," jawab Luein sambil tersenyum.
"Oh ... baik, mari ikut saya, Nona Philips!' ujar pelayan itu dengan wajah semringah.
Luein dan Diana mengikuti pelayan tersebut. Sebuah meja khusus terletak di teras belakang menghadap danau yang kini bewarna keperakan.
Hanya orang-orang tertentu yang bisa memesan tempat ini. Diana makin mengeratkan tangannya dalam rangkulan Luein.
"Ap-apa K-kau yakin?" cicitnya pelan dengan nada takut.
"Tenanglah," ujar Luein lembut sambil mengelus lengan sahabatnya itu.
Mereka duduk berhadapan. Pelayan memberinya buku menu. Luein menyebutkan pesanannya. Sedang Diana hanya mematung melihat harga yang tertera.
Salad adalah yang termurah. Walau menurut Diana harga itu masih terbilang mahal. Diana menyebutkan pesanannya.
Luen menggeleng. Ia menyamakan pesanan sahabatnya seperti apa yang ia pesan.
"Hei ... tolonglah, aku sedang diet!" ujarnya beralasan.
"Cis ... apa kau kira aku percaya?!" ujar Luein dengan nada malas.
Sambil menunggu pesanan mereka. Pelayan memberinya makanan pembuka. Baik Luein dan Diana menikmati makanan yang menggoyang lidah mereka itu.
"Hai-hai ... lihat siapa yang duduk di sini?' sebuah suara sinis dan merendahkan tiba-tiba menginterupsi mereka.
Gloria datang, ia tidak sendirian. Gadis itu menggandeng pria tampan. Dia adalah Leo, mantan kekasih Luein.
"Apakah tempat ini mengadakan makan gratis bagi para kaum miskin?' tanya Gloria sinis sambil mengedarkan pandangan.
"Sudah lah, biarkan mereka," ujar Leo tidak enak.
Gloria makin kesal. Gadis itu mengira jika pria yang kini dekat dengannya itu masih memiliki perasaan dengan Luein.
"Apa aku salah?' tanya Gloria dengan mimik tak berdosa.
"Lihat, mereka tidak pernah makan makanan enak. Itu hanya makanan pembuka yang diberi secara gratis. Bahkan aku tidak pernah mau diberi makanan itu," ujar Gloria panjang lebar. "Tapi mereka memakan itu dengan lahapnya."
"Ayo lah ...," Leo berusaha menarik Gloria dari sana.
Gadis itu bergeming. Ia tidak menyadari jika tingkahnya sedang jadi perhatian pengunjung resto.
"Diam kau Leo! Apa kau masih menyukai gadis ini!' sentaknya tidak terima.
"Hei mana manager restoran ini. Aku ingin protes!" lanjut Gloria dengan berapi-api.
Dua orang berseragam nampak datang tergopoh-gopoh.
"Maaf Nona. Jangan buat keributan di sini!' ujar kedua pegawai resto.
"Siapa yang buat keributan. Aku ingin dua pengemis ini keluar dari sini. Mereka menurunkan standar mewah tempat ini!" Lanjutnya sewot.
Para pelayan hotel meminta wanita dengan gaun biru terang untuk memelankan suaranya.
"Aku tidak percaya restoran semewah ini bisa didatangi oleh orang miskin seperti mereka!" Gloria makin keras bersuara.
"Terlebih dia duduk di meja khusus begini!" lanjutnya dengan memasang wajah sinis kepada Luein.
Diana masih diam. Gadis itu melihat sahabatnya yang terus menggeleng. Sebenarnya Diana ingin sekali membalas perkataan Gloria. Ia sudah menyiapkan peluru pedas pada komentarnya.
"Cepat usir mereka. Membuat mataku sakit saja!" titah Gloria menunjuk pada Luein.
"Maaf, Nona. Anda tidak berhak untuk mengusir tamu kami seenaknya!" tiba-tiba suara tegas muncul.
Sosok pria dengan balutan jas formal berwarna abu-abu datang. Pria dengan wajah tampan dan sorot mata tajam. Tubuhnya tinggi, tegap dan kekar. Semua wanita akan langsung terpesona.
Gloria sampai menjatuhkan rahangnya. Mulutnya terbuka lebar. Matanya melotot melihat keindahan ciptaan Tuhan yang berdiri di depannya. Leo tidak ada apa-apanya jika dibandingkan pria yang barusan datang.
"Heidar. Apa Nona ini sudah memesan tempatnya?" tanya pria itu pada salah satu pelayan.
"Maaf, Nona ... apa anda sudah memesan meja?" tanya pelayan pada Gloria.
Gloria tidak menyahut. Gadis itu masih terpaku menatap wajah pria yang ada di hadapannya.
"Ehmm ... eh, mejanya atas nama Leonardo Ramirez," Leo menjawab pertanyaan pelayan itu.
"Oh ... kalau begitu ikut saya, Tuan. Anda terlalu jauh berjalan hingga Tuan bisa ke tempat ini," jelas pelayan itu.
Leo menarik keras Gloria dari sana. Gadis itu terkejut. Ia berjalan terjajar karena mengikuti langkah lebar Leo yang menyeretnya.
Pria yang tadi menegur Gloria langsung meminta maaf atas ketidak nyamanan yang terjadi. Luein hanya mengangguk tersenyum.
Hidangan yang dipesan datang. Dua steak ukuran sedang berikut desertnya. Mereka makan dalam diam.
Selesai makan. Luein meminta bill. Pelayan datang mengatakan bahwa semua makanan telah dibayar oleh Tuan Ken Rafael Guzardy .
"Tapi, saya tidak kenal dengan beliau!'' ujar Luein menolak.
"Oh ... Tuan Guzardy itu, manager yang tadi datang. Pembayaran ini dilakukan atas permohonan maaf, karena ketidak nyamanan yang terjadi barusan," jelas pelayan itu panjang lebar.
Luien hanya mengangguk. Walau ia sedikit tidak percaya. Tapi, gadis itu akhirnya mengendikkan bahu. Lalu pergi setelah mengucap terima kasih.
"Wah ... Aku nggak nyangka makanan enak dan mahal tadi bisa gratis. Tau tadi, aku pesan agak banyak," kelakar Diana sambil tersenyum lebar..
"Apa perlu kita masuk lagi?" tawar Luein sambil menghentikan langkahnya.
"Ih ya nggak mungkin gratis lagi. Yang ada ntar nenek sihir itu ganggu acara makan kita lagi!" tolak Diana kesal.
"Kita? Kamu aja kali. Aku mah malu kalo masuk lagi," ujar Luein kembali melangkahkan kakinya.
Melihat sahabatnya pergi meninggalkannya. Diana menyusul dengan mempercepat langkahnya.
"Ih ... kok gitu sih! Kamu ...."
Maka tak lama terdengarlah suara tawa mereka berdua.
Bersambung.
Iuh ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!