Takdir seperti apa yang akan aku lalui setelah ini?"
Duduk bersandar di kepala ranjang, aku terpaku menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong menatap pintu yang tertutup rapat.
Sepintas pikiranku melayang ke beberapa hari yang lalu. Dimana aku di jual oleh tanteku, untuk menutup hutang-hutangnya. Akan tetapi aku masih di buat bingung sekaligus tak percaya.
Kehidupan yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya, berada jauh dari keluargaku, keluarga yang tak pernah menganggapku, dan selalu bersikap buruk padaku. Apa itu masih bisa disebut keluarga?
Aku lebih memilih hidup sendiri di bandingkan harus memiliki keluarga seperti tante Nancy berserta anak-anaknya.
Aku adalah gadis yatim piatu yang dititipkan ke tanteku setelah mama dan papaku meninggal. Mereka pergi saat usiaku masih 8 tahun karena kecelakaan sebuah pesawat.
Dan sekarang, ucapanku benar-benar terjadi, aku hidup sebatang kara, dan parahnya, aku berada di sebuah negara yang terkenal dengan perjudiannya. Casino terbesar no dua di dunia.
Macau, disinilah aku terdampar saat ini.
*****
Decitan sebuah pintu, tak mampu membuyarkan lamunanku, hingga sebuah gebrakan meja membuat tubuhku berjengit.
"Pakai ini" Wanita dengan pembawaan tegas melempar selembar pakaian, tepat mengenai wajahku "Tuan besar akan mengajakmu makan malam" sambungnya.
"Dan ini, tas serta sepatumu"
Aku terdiam menunduk, tak berani menyahut, apalagi menatapnya.
"Berdandanlah" Bisiknya tepat di salah satu telingaku "Tuan tidak menyukai wanita kusam" lanjutnya membuat bulu kuduku kian meremang.
Saat wanita itu melangkah keluar, dan ketika tepat berada di ambang pintu, ia menghentikan langkah sebelum tangannya menarik handle pintu untuk di tutup "Jangan membuat tuan Pandu menunggu lama"
Mendesah pelan, aku di buat mematung ketika mengenakan pakaian yang begitu minim. Sebuah dress berwarna grey, dengan panjang sedikit di bawah lutut, belahan samping serta tanpa lengan, memperlihatkan bahu dan leher jenjangku.
Pakaian macam apa ini?
Apa aku harus keluar dengan pakaian seperti ini?
Lagi-lagi aku mendesah. Apa tidak ada pakaian yang lebih tertutup? Jujur aku belum pernah memakai pakaian terbuka sebelumnya. Meski tanpa mengenakan penutup kepala, setidaknya aku selalu mengenakan pakaian yang menutupi bagian tubuhku.
Pria yang ku tahu bernama Pandu Mahardani, seorang bos mafia perjudian di sini. Bisa di katakan dia adalah ahlinya ahli dalam bermain judi, atau sang raja judi.
Siapapun yang berhadapan dengannya, jangan harap bisa menang darinya. Begitulah yang sempat ku dengar.
Memejamkan mata sejenak, berharap mampu mengurangi beban yang memberatkanku saat ini. Mencoba meyakinkan diri, bahwa akan ada bahagia di masa mendatang.
Aku Nayla Davika 25 tahun, harus bisa menjalani hari-hari untuk melayani pria itu. Pria yang sudah membeliku dengan harga fantastis.
Itu artinya, pria tersebut adalah majikanku.
Aku berdiri mematut diriku di depan cermin. Dengan baju seperti ini, aku memilih sebuah coach untuk melengkapi pakaian miniku. Ku ikat rambutku agar tak mengganggu penglihatanku mengingat malam ini angin cukup kencang. Seraya menggigit bibir bawah bagian dalam, aku mengecek penampilanku sekali lagi sebelum keluar dari kamar ini.
Nayla, kamu sudah terbiasa menjalani kerasnya kehidupan, Kamu pasti bisa melalui ini. Kamu adalah wanita kuat, wanita mandiri. Siapa yang menyemangatimu kalau bukan dirimu sendiri?
Ku hirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan sebelum berjalan ke arah pintu.
So Nayla, kamu harus ikhlas dengan takdir ini...
Bersambung...
Nayla Davika.
Pertama kali menginjakkan kaki di negara asing (Macau)
Makan Malam
"Kita menikah" ucapnya
Dua kata yang membuatku langsung Mendongak. Ku temukan wajahnya yang menyorotkan raut penuh dilema. Ajakan yang sama sekali tak pernah ku duga sebelumnya.
Mengisi paru-paru dengan oksigen sedikit lebih banyak, isi kepalaku seolah menuntut untuk menyelami netranya yang kelam. Berusaha mencari alasan atas ucapan pria yang mangajakku makan malam.
"Kenapa kamu ingin menikahiku?" Padahal kita baru saja bertemu"
"Aku hanya tidak mau menyakitimu, itu saja" ujarnya dengan kedua tangan saling meremat di atas meja.
Mungkin pria ini memiliki beban yang begitu berat, namun seolah tetap kuat di hadapan semua orang.
"Ku pikir kamu membeliku hanya untuk di jadikan budak nafsumu"
"Apa aku sebejad itu di matamu?"
"Karena dari awal aku memandangmu sebagai pria seperti itu" sahutku dengan keberanian yang aku paksakan.
"Aku memang pernah melakukannya, dan kesalahan itu, tidak pernah berhenti untuk ku sesali" jawabnya tenang, membuatku sama sekali tak terkejut.
"Kenapa kamu mengajaku menikah? ada banyak wanita di negara ini, kenapa aku?"
"Kamu tahu kan, seburuk-buruknya lelaki, dia akan memilih wanita baik untuk di jadikan pendamping hidup" jawabnya, yang entah seperti apa ekspresi wajahnya, karena aku masih menundukan kepala.
"Kalau kamu takut menyakitiku" ucapku dengan jantung yang kembali berdetak. "kenapa tidak melepaskanku, aku juga tak sebaik yang kamu kira"
Ku lihat dengan ekor mataku dia tersenyum miring.
"Aku sudah keluar uang banyak untuk membelimu, kamu pikir aku tidak akan rugi dengan melepaskanmu begitu saja?" Ujarnya, dengan alis terangkat satu, dan mulutku langsung terkatup saat melihatnya.
"Tapi kamu bisa berbuat yang lain terhadapku"
"Maksudmu? selain menikahimu?"
Ku anggukan kepala sebagai jawaban, membuatnya lagi-lagi menyunggingkan senyum.
"Kamu menerima pernikahan ini, atau aku jadikan taruhan untuk berjudi?"
Mendengar pilihan yang terselipkan sebuah ancaman, wajahku memanas sekaligus cemas.
"Akan ku pastikan hidupmu akan lebih memilukan, jika kamu menolakku"
Belum surut rasa cemasku, aku kembali di balut rasa ketakutan yang kian lebih. Berusaha menelan saliva, dan akhirnya dengan berat hati, aku memilih untuk menerima pinangannya.
"Dengan satu syarat" ucapku tegas, menahan nyeri yang tiba-tiba muncul.
"Apa?"
"Kamu akan menjadikanku wanita satu-satunya yang kamu tiduri"
Mungkin permintaanku terkesan berlebihan, atau bahkan terlalu percaya diri, tapi aku berharap, syarat yang ku ajukan akan menjadi belenggu yang kemudian membuatnya lelah dan akan melepasku.
"Kalau aku melanggarnya?"
"Aku yang akan meninggalkanmu" jawabku berusaha tenang.
"Baiklah" sahutnya pelan, namun tak serta merta membuat jantungku melambat berdetak ketika mendengar kalimat tambahan. "Aku akan membuatmu mencintaiku, hingga kamu tak mampu berpaling dariku.
Mana mungkin aku mencintai pria arogan sepertimu.
Menghirup napas dalam-dalam, berharap mampu mengurangi amarah yang tertahan. Aku mencoba menatap pria di depanku, namun entah kenapa, rasa was-was mendadak menyelimuti. Terdiam, dan tak berani bicara, karena sedari tadi manik hitamnya tak teralihkan dariku.
"Kita pulang sekarang" ucapnya lalu berdiri "Aku akan mengantarmu sampai ke apartemen Clara"
Perlahan aku menghela napas lega sembari mengiyakan.
********
"Satu minggu lagi kita menikah" pungkasnya ketika mengantarku hingga ke depan pintu apartemen.
"Kenapa secepat itu?" ku tautkan kedua tanganku di bawah sana.
"Memangnya apa yang kamu tunggu?"
"Cinta" balasku spontan.
"Cinta itu akan tumbuh secara perlahan" Dia memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya, seolah berusaha menguatkan pendapatnya.
"Tapi tanpa cinta, kita tidak akan mendapatkan kebahagiaan" sergahku "Maaf aku masuk dulu" pamitku dengan membawa pilihan yang sudah ku tentukan.
Baru saja aku hendak berbalik, tiba-tiba dia menahanku dengan mencengkram pergelangan tanganku "Bahagia yang seperti apa yang kamu inginkan?" tanyanya datar "Kamu akan memiliki banyak uang jika menikah denganku, aku rasa itu cukup untuk ukuran kebahagiaan seorang wanita"
Aku benar-benar di buat tercengang atas ucapannya "Tapi ukuran bahagiaku bukan itu?"
"Lalu?"
"Semestinya kamu tahu"
Ku lihat dia mengernyitkan dahi "Apa maksudmu keluarga?" sahutnya dengan gestur santai.
Sepertinya dia adalah seorang pembaca pikiran yang baik, dia langsung bisa menebak apa yang aku inginkan. Aku memang menginginkan sebuah keluarga, dimana aku rindu dengan sebuah perkumpulan yang hangat.
"Apa arti keluarga di matamu?"
Jantungku mendadak bergetar, bukan karena pertanyaannya, tapi karena dia berdiri sangat dekat, bahkan hembusan napasnya terasa hangat menerpa wajahku.
Dengan jarak yang tak terkikis seperti ini, hatiku rasanya ingin menjerit. "Bahkan keluargamu sendiri menjualmu dengan harga yang sangat mahal" lanjutnya dengan senyum meledek.
Aku di buat menahan napas karena hidungnya nyaris menyentuh hidungku. Susah payah aku menelan ludah dan berusaha menormalkan ekspresiku "Dan keluargaku" ucapnya menyentuh leherku "Di hancurkan oleh ayahku sendiri"
Sepasang mata kami saling menatap "Lalu apa yang kamu harapkan dari sebuah keluarga?" tanyanya yang membuatku kian beringsut.
Hening selama beberapa saat, aku di buat tak berkutik.
"Jika keluarga telah menyakiti kita, apa yang kamu harapkan lagi dari keluarga itu Nayla?" ujarnya mengulang dan sedikit meninggikan suara.
"Aku..."
Belum sempat aku menjawab, kalimatku sudah di potong olehnya "Dari pada kamu mencari alasan" katanya santai "Lebih baik persiapkan dirimu untuk menikah denganku minggu depan" dia mengucapkannya sembari memilin anak rambutku.
Selang dua detik,
Hatiku lega ketika Clara membuka pintu apartemen. Wanita seusiaku yang menjadi teman sekaligus sepupunya.
"Masuk" perintahnya.
Akupun menurut dan secepatnya meninggalkan dua orang yang kemungkinan akan membicarakan soal pernikahanku.
Di dalam kamar, dadaku seperti tertimpa benda berton-ton, rasa sesak menjalar hingga ke rongga hidung. Sama sekali tak menyangka aku akan menikah dengan pria yang tidak aku cintai. Pria pendiam, namun tegas dan penuh teka-taki. Aku semakin di buat bingung dengan takdirku sendiri.
Lamunanku buyar ketika mendengar ketukan pintu.
"Ini koper berisi pakaian untukmu" ucap Clara, saat aku membuka pintu "Jika ada lagi yang kamu butuhkan, katakan padaku"
"Terimakasih" balasku yang tak di respon olehnya.
"Tunggu" kataku cepat menahan langkahnya.
Clara berbalik dengan tatapan penuh selidik "Ada apa?"
"Bisa kamu jelaskan tentang keluarga Pandu padaku?"
"Bukan ranahku menceritakan privasinya, jika kamu ingin tahu, tanyakan langsung padanya"
Aku menutup pintu kamarku dengan menelan kekecewaan karena keingintahuanku tak terpenuhi. Mendesah pelan, bergegas aku masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Bersambung
Kita tidak pernah tahu kapan keberuntungan akan menghampiri kita.
Banyak orang yang tidak menyadarinya, hingga melewatkan kesempatan tersebut begitu saja. Tetapi dalam beberapa kasus, terutama di dunia Casino, ada beberapa orang yang mampu menangkap peluang tersebut dan menjadikan mereka seorang miliarder hanya dengan hitungan menit.
Hal inilah yang terjadi pada pria itu. Seluruh kekayaanya berasal dari perjudian yang ia menangkan, itulah spekulasiku terhadap Pandu saat ini.
Mereka belum menyadari bahwa aku berada di dapur dan menguping pembicaraannya.
"Aku tidak menyangka kakak bisa melakukan lemparan selama tiga jam lima puluh menit tanpa henti, dan tanpa menghasilkan angka tujuh"
Dari ucapan Clara, aku bisa menebak kalau Pandu baru saja memenangkan judi.
"Kakak tahu, selain mendapatkan kemenangan dan meraup milyaran rupiah, kakak adalah pelempar pertama yang menciptakan rekor dunia dalam permainan craps"
Entah apa yang dia miliki, sampai bisa menguasai dadu yang ia lempar tak memunculkan angka tujuh sepanjang permaiannya. Dan aku, benar-benar akan menikah dengan pria penjudi seperti dia.
Pria itu hanya tersenyum menanggapi ucapan adik sepupunya.
"Bagaimana persiapan pernikahanku?"
"Semua sudah siap, kita akan melakukannya secara tersembunyi seperti kemauan kakak"
"Bagus" Sahut pria itu.
"Lantas, apa rencana kakak setelah menikah?" tanya Clara, dia menanyakannya sembari menyalakan rokok.
Dia merokok?
Aku tidak pernah menyangka sama sekali akan hidup di kelilingi oleh orang-orang seperti mereka.
Ku tajamkan pendengaranku untuk mendengar jawaban pria itu.
"Aku akan mengajaknya untuk tinggal bersama ibu di Hongkong" jawabnya sambil menjentikan abu rokok di atas bara.
Ibu?, dia punya ibu?
"Apa ayik Risa sudah tahu, kalau kakak akan menikah?"
Pandu menggeleng "Seperti keberadaan ibu yang aku sembunyikan dari para mafia judi, dia juga akan ku sembunyikan statusnya sebagai istriku. Aku belum memberitahu ibu tentang hal ini. Lagi pula" ucapnya menghisap rokok, lalu menghembuskan asapnya "Ibu pasti akan setuju jika aku menikahinya"
Lagi-lagi aku di kejutkan oleh ucapannya. Untuk kesekian kalinya kepalaku menggeleng seakan tidak percaya.
Seyakin itu ibunya akan setuju, jika dia menikahiku. Seperti apa ibunya?
Ku lihat Pandu berdiri lalu berjalan menuju lemari tempat menyimpan wine, ia meraih satu botol minuman beserta gelasnya.
"Mereka wanita yang aku cintai" ujarnya menuang minuman itu ke dalam gelas "Aku tidak bisa membiarkannya di ketahui oleh musuh-musuhku"
Wanita yang dia cintai, padahal kami baru saja bertemu beberapa hari yang lalu.
Dalam hati aku menerka-nerka apa maksud ucapannya. Susah payah aku menelan ludahku sendiri. Secepat itu dia jatuh cinta padaku?, mustahil.
Ku pasang pendengaranku lebih tajam lagi "Kamu urus visa untuknya, aku akan mengunjungi mereka dua kali dalam seminggu"
"Kak Pandu jangan khawatir, semua sudah ku urus" ucap Clara lalu berjalan ke dapur, dimana aku berada saat ini.
"Kamu?"
Panggilan Clara membuatku gugup "Sedang apa kamu di sini?" tanyanya.
"Aku baru selesai memasak, kalian makanlah, sudah ku persiapkan di meja makan"
"Kamu masak?"
Ku anggukan kepalaku "Apa yang kamu masak?" tanyanya penuh selidik.
"Kamu bisa melihatnya sendiri di sana" sahutku seraya mengacungkan jariku ke arah dimana beberapa menu makanan tersaji, lalu meraih mangkok dan juga sumpit.
Tak butuh waktu lama, mereka berdua sudah duduk di kursi tempat makan "Ada apa dengan kalian?" tanyaku saat dua orang itu hanya duduk mematung sambil menatapku, lalu beralih menatap menu makanan yang sudah ku sajikan di atas meja.
"Bagaimana kamu bisa memasak makanan ini?" tanya Clara penuh intimidasi, "Kamu baru pertama kali kesini kan?"
"Makanlah dan jangan banyak bertanya"
"Bagaimana bisa kamu masak chinese food?" tanya Pandu mengulang pertanyaan Clara. Sontak membuatku takut sekaligus gemetar.
"Aku pernah bekerja di sebuah restauran China di Jogja, jadi tidak sulit bagiku memasak makanan sesuai selera kalian" jawabku dengan hati yang kubuat setenang mungkin, padahal jantungku bergetar hebat di dalam sana.
Menghirup napas panjang, lalu menghempaskan perlahan, akhirnya aku meraih mangkok dan mengambilkan nasi untuk mereka ketika mereka hanya diam.
"Makanlah, kalian tidak perlu khawatir, aku bukan pembunuh yang akan membunuh kalian dengan meracuni makanan ini"
Aku harus berani menghadapi orang-orang seperti mereka. "Ayo makanlah!" kataku sambil menyodorkan nasi ke hadapan Pandu, lalu Clara.
Ku lihat mereka saling pandang, lalu perlahan memegang sumpit dan mulai menyumpit lauk dan juga sayur.
"Masakanmu enak juga" Puji Clara, "Aku sudah beberapa tahun tinggal di Macau bahkan tidak bisa masak seenak ini"
*******
Ku tegakkan posisi duduku, lalu memandang wajahnya yang juga tengah memandangku, dan seketika itu, dadaku bertabuh kian kencang.
Pria ini cukup tampan, tapi juga menakutkan.
Sesaat setelah makan siang, Clara mendapat telfon dari seseorang untuk segera pergi ke rumah sakit, dan sekarang, pria inilah yang sedang duduk bersamaku di ruang tamu apartemen milik Clara.
"Ada sesuatu yang kamu butuhkan?"
Ku gelengkan kepalaku untuk merespon ucapannya.
Hening sesaat, ada suara cicak di dinding menyelinap di antara kesunyian yang kami ciptakan.
"Sebelum menikah" katanya datar namun sangat tegas "Apa lagi yang ingin kamu tahu?" lanjutnya masih dengan sorot mata tajam menghunus netraku "Meski bagaimanapun, kamu berhak tahu tentangku"
Ku gigit sudut bibirku, dalam hati aku membenarkan ucapannya, aku memang harus tahu semua tentangnya dan keluarganya, hanya satu yang baru aku ketahui tentang dirinya, dia seorang penjudi yang hebat.
"Ada yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya membuyarkan lamunanku.
"Apa kamu benar-benar akan menikahiku?"
"Hal itu sudah kamu tanyakan, sahutnya tanpa mengalihkan pandangan "Aku tidak suka menjawab pertanyaan ulang"
"Hatiku belum mantap, dan otakku benar-benar menyangkal pernikahan ini, tapi aku bisa apa"
"Jadi?" dia bertanya padaku.
Sedangkan aku hanya bisa diam membisu.
"Nayla" panggilnya. Perlahan aku mengangkat daguku, menatapnya dengan bibir yang masih kelu.
"Aku benar-benar ingin menjadi laki-laki yang halal untukmu" Binar matanya ku lihat menampakan kesungguhan "Aku ingin melindungimu" ucapnya lagi membuat jantungku megap-megap, mulutku tertutup rapat, dan wajahku kian memanas.
Aku benar-benar di buat bingung, laki-laki yang baru mengenalku, dia sungguh-sungguh ingin menikahiku, dan ingin melindungiku.
Jujur aku masih belum percaya mendengar kata-katanya, namun ada perasaan aneh yang tiba-tiba ku rasa, yang jelas aku terpana dan ada sensasi damai menyelinap begitu saja di relung hatiku.
"Aku ingin tahu tentang keluargamu"
"Aku dulu tinggal di Jogja" ucapnya dengan santai "Aku dan ibuku pindah ke sini sesaat setelah ayahku menghianatinya" dia diam sejenak dengan fokus menatap ke atas meja.
"Ibuku hampir gila karena ayahku menikah lagi dengan wanita kaya raya"
Jadi dia dulu tinggal di Jogja, sama sepertiku?
"Karena aku sudah tidak memiliki siapa-siapa di Jogja, jadi aku pergi ke sini untuk tinggal bersama tanteku, mamanya Clara" ucapnya parau.
"Dan kamu bermain judi sampai bisa sukses seperti ini?" tanyaku kemudian.
Anggukannya tak sertamerta memantik kejengahanku.
"Awalnya aku hanya ingin bermain satu kali, tapi setelah aku menang di percobaan pertama, aku jadi ingin selalu melakukan lagi dan lagi"
"Tadi kamu bilang ibumu hampir gila, lalu bagaimana beliau sekarang?" tanyaku dengan sorot mata iba. Aku benar-benar kasihan padanya, meskipun hidupku lebih pilu darinya, tetap saja, aku memiliki hati yang sangat sensitive terhadap hal-hal yang berhubungan dengan perasaan.
"Nanti setelah menikah, kamu akan tahu bagaimana kondisi ibuku" sahutnya yang membuatku kian penasaran.
"Berkaca pada ayahmu, apakah kamu juga berniat meninggalkanku setelah kita punya anak?"
"Aku tahu sekali bagaimana di tinggalkan oleh seorang ayah. Akulah yang menjadi korban, dan ibuku, sampai sekarang, masih memikirkannya. jadi aku tidak akan mengulang kesalahan ayahku"
"Apa ucapanmu bisa ku pegang?" tanyaku ragu.
"Tentu saja"
Ku tatap wajahnya dalam-dalam, ku telusuri netranya dan ku menemukan ada kesungguhan dari sorot matanya "Baiklah, aku bersedia menikah denganmu"
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!