Wanita itu terus berlari tak tentu arah dengan pakaian yang sudah terkoyak di sana-sini. Dia seolah tak peduli akan pandangan pengunjung klub lain mengenai dirinya. Yang dia inginkan sekarang hanyalah untuk segera terbebas dari kejaran dua orang pria yang sesaat lalu hampir menodai dirinya di bilik toilet klub malam itu.
"Akhhhh...." teriak perempuan itu begitu sebuah sepeda motor melaju cepat dan menyerempet dirinya begitu dia hendak menyeberang jalan.
Tubuh sintalnya terpelanting dan mendarat telak di kerasnya aspal. Kepalanya pening, dengan dahi yang mengucurkan darah segar akibat terantuk di trotoar. Sementara, motor yang menabraknya sudah melaju cepat meninggalkan tempat kejadian tanpa sempat dihentikan siapa-siapa.
Di antara rasa pusing serta penglihatan yang mulai mengabur, wanita itu dapat melihat dua orang pria yang mengejarnya tadi mendekat dengan senyum menyeringai. Salah seorang diantaranya semakin mendekat. Menekuk kedua lututnya dan berbisik sesuatu kepada wanita itu sebelum kesadarannya benar-benar hilang.
"Jauhi Erik jika kau masih ingin hidup!"
Wanita itu belum mengerti benar akan maksud ucapan pria itu. Tangannya berusaha menggapai lelaki tersebut namun tidak mampu. Dan, pada akhirnya dia benar-benar pingsan dan tak ingat apa-apa lagi setelahnya.
Sekitar 200 meter dari tempat kecelakaan, seorang pria lain tersenyum miring menyaksikan wanita itu digotong oleh beberapa orang untuk dibawa kerumah sakit. Dia pun bergegas membuang puntung rokoknya dan mengeluarkan ponselnya dari saku jaket untuk menelepon seseorang.
"Langkah pertama, sukses!" ucapnya. Hanya itu. Dia tak berniat menunggu apa reaksi dari lawan bicaranya. Yang dia tahu, seseorang di seberang sana yang sedang mendengarkan ucapannya pasti sudah paham akan apa yang dia maksud.
*****
Disebuah rumah besar, tampak seorang perempuan anggun sedang berdiri sambil menatap bulan purnama dari balkon kamarnya. Sudut bibirnya terangkat begitu dia mendengarkan apa yang dikatakan oleh seseorang yang baru saja meneleponnya.
"Langkah pertama, sukses!"
Varissa Azalea menyeringai puas. Dia senang rencana yang sudah dia persiapkan dengan matang akhirnya dimulai.
Tak berselang lama, sebuah dering ponsel dari atas nakas membuat perhatiannya teralih. Mata elangnya mulai beraksi. Melirik samar-samar sambil menguping pembicaraan Erik dengan seseorang yang sontak membuat wajah suaminya itu menjadi pias.
"Apa? Di rumah sakit mana? Baik. Saya segera ke sana!"
Varissa mendengus. Kedua tangannya bersedekap didepan dada. Tanpa bertanya pun, dia sudah tahu bahwa suaminya pasti sudah mendapatkan kabar bahwa ****** simpanannya mengalami kecelakaan. Namun, Varissa harus tetap bersikap bodoh seperti biasa. Dia harus tetap terlihat lugu dan polos seperti sebelum dia mengetahui segalanya.
"Mau kemana, Mas?" tanya Varissa pura-pura. Dia duduk ditepi ranjang sambil menatap Erik yang sedang berganti pakaian.
"Ehmm.. itu..." Erik menggaruk kepalanya bingung. Tidak mungkin dia berkata jujur bahwa dirinya ingin menjenguk selingkuhannya di rumah sakit.
"Itu apa, Mas? Apa ada masalah? Tadi, aku dengar kamu nyebut-nyebut rumah sakit. Memangnya, ada yang sakit?"
"Pak Beni!" sambar Erik sembarang. "Ya, Pak Beni. Kata istrinya, beliau masuk rumah sakit. Jantungnya kumat."
"Jantung?" Alis Varissa mengernyit. "Sejak kapan Pak Beni punya riwayat penyakit jantung?"
Wajah Erik semakin panik sementara Varissa semakin bersorak dalam hati.
"Mas, mas! Kamu ternyata tidak pandai berbohong, ya? Lantas, kenapa aku baru sadar sekarang? Apa karena selama ini aku sudah dibutakan cinta sama kamu?"
Varissa kemudian berdiri. Berjalan mendekati Erik dan membantu Erik merapikan kerah jaketnya. Wanita itu tersenyum lalu menepuk-nepuk bahu sang suami usai dia menyelesaikan tugasnya.
"Ternyata, udah lama banget ya Mas, aku nggak kerja. Sampai-sampai, perkembangan di kantor aja aku nggak tahu. Padahal, Pak Beni 'kan salah satu orang kepercayaan perusahaan. Kok aku malah nggak tahu kalau dua tahun terakhir beliau kena serangan jantung?"
Wajah Erik yang semula tegang kembali normal. Dia sangat bersyukur bahwa Varissa adalah tipe perempuan yang sangat mudah dibohongi. Selama ini, tak satupun kebohongan Erik yang tidak dia telan mentah-mentah. Perempuan bodoh!
"Kalau gitu, aku berangkat sekarang, ya!" pamit Erik sambil mengecup pipi Varissa seperti biasa.
Varissa mengangguk.
Setelah menyaksikan mobil Erik sudah melaju keluar dari pekarangan rumah, Varissa yang mengawasi lewat balkon kamarnya tertawa sinis. Suaminya benar-benar sampah! Demi seorang pelakor tanpa harga diri, dia rela membelah jalanan ibukota ditengah malam.
Dan apa-apaan alasan Erik tadi? Pak Beni kena serangan jantung? Hah! Varissa mendengus. Jelas-jelas Pak Beni sudah tidak bekerja lagi di kantor semenjak Varissa mengundurkan diri dari perusahaan. Mustahil Erik tahu kabarnya sekarang. Dan, yang lebih parah, bukan hanya Pak Beni yang Erik singkirkan. Seluruh orang lama kepercayaan Varissa dan ayahnya, hampir seluruhnya sudah tidak ada di perusahaan. Semuanya didepak dan digantikan oleh keluarga besar Erik yang sepertinya hendak menguasai perusahaan peninggalan Almarhum Ayah Varissa.
"Nikmati saat-saat terakhirmu menjadi orang kaya, Mas! Karena, setelah aku puas membalas dendamku, kau dan seluruh keluargamu beserta selingkuhanmu itu akan tamat!"
Sepasang netra legam milik Varissa berkilat-kilat. Dendamnya sudah mencapai batas. Kini saatnya dia mengambil kembali segala yang telah Erik dan keluarganya rampas darinya. Tak akan ada lagi Varissa yang penurut mulai sekarang. Sudah saatnya dia menjadi gadis pembangkang yang tentu akan menyulitkan Erik dan keluarganya dimasa depan. Itu sumpahnya.
6 bulan yang lalu...
Wajah Varissa berseri-seri sambil terus menatap kue ulangtahun yang sengaja dia bawa. Malam ini adalah malam peringatan ulangtahun suaminya, Erik Evansyah. Varissa sengaja datang jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung untuk memberi surprise kepada Erik. Meski Erik sudah mengatakan bahwa dia sedang sibuk, namun Varissa tetap nekat datang. Dia tak mengapa meski hanya mencuri waktu barang sejam saja untuk merayakan ulangtahun sang suami yang menurutnya begitu istimewa dan patut dirayakan.
"Mas Erik masih lama nggak, ya?" gumam Varissa sembari melirik jam dipergelangan tangannya. Sudah pukul 12.30 malam dan batang hidung suaminya belum juga tampak.
Varissa pun bergegas masuk kedalam lemari pakaian. Dia akan menunggu Erik di sana dan langsung keluar memberi kejutan begitu Erik datang.
Suara pintu terbuka membuat jantung Varissa terpacu. Samar-samar, dari celah pintu lemari yang sedikit terbuka dia bisa melihat sosok suaminya memasuki kamar dengan cahaya temaram itu. Varissa tersenyum. Dirinya baru hendak keluar ketika seorang perempuan asing tiba-tiba ikut masuk dan langsung mencumbu Erik dengan begitu mesra.
Melihat pemandangan menyakitkan didepan matanya, Varissa tak bisa membendung tangisnya. Sosok suami yang ia percaya begitu setia selama dua tahun ini nyatanya sudah berkhianat. Erik telah menghancurkan kepercayaan dan juga cinta Varissa dalam sekejap sehingga yang tersisa kini hanyalah luka.
"Kamu yang terbaik, Mauren!" ungkap Erik di sela percintaan panasnya dengan perempuan bertubuh semok dengan dada besar itu.
"Enakan mana, servis aku atau servis istri bodoh kamu itu, huh?" tanya wanita yang dipanggil Mauren itu. Tubuhnya terus bergoyang diatas Erik yang tak bisa menyembunyikan ekspresi nikmatnya.
"Je...las kamulah!" jawab Erik tersenyum.
Mendengar itu, hati Varissa semakin hancur. Namun, bukannya ingin keluar melabrak, dia justru memilih untuk tetap berdiam menyaksikan segala pengkhianatan yang dilakukan sang suami. Semua adegan Varissa tonton tanpa terlewat sedikitpun. Dia ingin tahu sejauh mana Erik dan wanita itu mampu mempermainkannya.
"Mas... Kapan sih kamu ceraiin Varissa?" tanya Mauren usai percintaan panas mereka berakhir. Saat ini dia dan Erik saling berpelukan dibawah selimut dengan kondisi belum berpakaian sama sekali.
"Sebentar lagi. Setelah Varissa tanda tangan surat pengalihan aset miliknya atas namaku, aku akan menceraikan dia dan menikahi kamu!" jawab Erik.
"Jadi, itu yang kamu incar selama ini, Mas?" gumam Mauren dengan senyum miris.
"Sebentar melulu!" Bibir Mauren mencebik. Tangannya memukul sok manja dada telanjang Erik. "Dari setahun yang lalu, kamu juga bilang kayak gitu. Apa kamu nggak kasihan sama aku? Aku cuma bisa milikin kamu seutuhnya kalau kita pura-pura punya kerjaan diluar kota kayak gini. Itu pun, paling lama cuma seminggu."
Hati Varissa kian mencelos. Jadi, selama ini Erik sudah berbohong? Alasan dirinya ke luar kota selama ini hanya untuk berduaan dengan perempuan lacurnya dan bukannya bekerja?
"Tega sekali kamu, Mas!" gumam Varissa dalam hati.
Tepat ketika Erik dan Mauren sudah tertidur pulas, akhirnya Varissa bisa keluar diam-diam dari dalam lemari. Tak lupa, kue yang tadi dia siapkan untuk Erik juga di bawanya kembali. Wanita itu berhenti sejenak menatap Erik yang tampak begitu nyenyak tertidur di samping selingkuhannya. Varissa tersenyum miring lalu mengumpati Erik dalam hati.
"Pengkhianatan kamu akan aku balas lebih, Mas! Aku bersumpah!" gumam Varissa sebelum keluar dari dalam kamar apartemen milik ayahnya yang sekarang ditempati Erik berbuat mesum.
Sepanjang perjalanan pulang, Varissa terus menerus menangis. Rasa sakit di khianati membuatnya berpikir untuk menuju ke rumah orangtua Erik. Mungkin, dengan ke sana, Varissa bisa mendapat sedikit keadilan dari Mama Papa Erik. Setidaknya, sepasang orangtua itu bisa memarahi anak mereka dan memberinya pelajaran.
Varissa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia tak sabar untuk segera bertemu Mama dan Papa Erik untuk mengadukan perbuatan Erik. Namun, sekitar dua kilometer lagi dari komplek perumahan orangtua Erik, mobil yang dikemudikan Varissa tiba-tiba oleng saat seseorang tiba-tiba menyeberang jalan di pagi buta. Demi menghindari menabrak orang itu, Varissa membanting kemudi ke arah kanan dan langsung meluncur tak terkendali menabrak beton pembatas jalan hingga terbalik.
Detik itu juga, Varissa merasa hidup sepertinya akan berakhir. Namun, dirinya bersumpah tidak akan pernah rela mati sebelum membalas dendam pada Erik. Dia harus membuat lelaki itu merasakan sakit yang sama sebelum Varissa yang bergerak meninggalkan dia terlebih dulu.
"Aku tidak akan mati semudah ini, Mas! Lihat saja!"
*****
Satu minggu kemudian, Varissa terbangun dari koma. Dokter Imran yang menanganinya terlihat begitu senang karena Varissa akhirnya siuman.
"Akhirnya kamu bangun, Va! Gimana perasaan kamu?" tanya Dokter Imran setelah memeriksa kondisi Varissa secara keseluruhan.
"Apa Mas Erik tahu kalau aku sudah sadar?" tanya Varissa lemah.
Dokter Imran menggeleng. Jujur, karena terlalu senang Varissa sudah siuman, dia lupa memberi kabar kepada siapa pun terkait kondisi Varissa.
"Om Imran jangan beritahu siapapun kalau aku sudah sadar, termasuk Mas Erik."
"Kenapa, Va?" tanya Dokter Imran yang merupakan teman baik mendiang Ayah kandung Varissa. Beliau adalah salah satu kerabat paling dekat yang mengenal Varissa sejak kecil. Dan, ketika mendengar bahwa Varissa kecelakaan, Dokter Imran segera meminta agar Varissa dipindahkan ke rumah sakitnya sekaligus bertindak sebagai dokter yang turun langsung menangani Varissa.
Varissa menggeleng lemah. "Nanti aku ceritain detailnya, Om! Tapi, apa Varissa boleh tanya sesuatu?"
"Tentu saja!"
"Apa Mas Erik dan orangtuanya selalu datang jenguk aku ke sini?"
Dokter Imran mendesah prihatin. Dengan sangat jujur, lelaki paruh baya itu menggeleng.
"Baik Erik maupun orangtuanya, mereka hanya datang dihari kamu kecelakaan. Setelah itu, mereka tidak pernah kemari lagi."
Varissa mengusap air matanya yang tiba-tiba terjatuh. Jadi, dirinya memang dianggap tidak berarti lagi di kehidupan suaminya sendiri?
"Jadi, nggak ada satu pun orang yang datang jengukin aku?" lirih Varissa sedih.
"Ada," jawab Dokter Imran.
"Kamu ingat Dikta?" lanjutnya.
Varissa mengangguk lemah. Tentu saja dia ingat siapa lelaki itu. Dia adalah anak yatim piatu yang dibiayai hingga lulus kuliah oleh ayahnya. Seorang anak lelaki yang dulu selalu membuat Varissa iri karena jauh lebih pintar dan lebih mudah merebut hati ayahnya dibanding dirinya yang notabenenya merupakan anak kandung. Namun, semenjak lulus SMA, Dikta akhirnya memutuskan ke Amsterdam untuk kuliah dan menetap di sana. Setelahnya, Varissa tak pernah bertemu dengan Dikta bahkan ketika ayahnya wafat dua bulan setelah dia dan Erik menikah.
"Dikta pulang ke Indonesia 5 hari yang lalu. Dan, anak itu selalu di samping kamu setiap malam tanpa beranjak sedikitpun sampai pagi menjelang. Sepertinya, Dikta masih menganggap kamu sebagai seorang adik meski kamu selalu berbuat jahat padanya."
"Beneran, Om? Tapi, dia tahu darimana kalau aku kecelakaan?" tanya Varissa tak percaya.
"Om juga nggak tahu!" ujar Dokter Imran seraya mengendikkan bahunya.
Varissa tertegun sejenak. Dalam hati, dia penasaran akan penampakan Dikta kini. Sejauh yang Varissa ingat, Dikta adalah sosok pria yang tampan dengan tampang datar dan jarang tersenyum. Sifatnya yang pendiam dan hanya akan berbicara jika ada perlu, selalu membuat Varissa kesal dimasa lalu. Varissa begitu penasaran. Apa Dikta masih sama atau sudah berubah?
"Apa Varissa boleh minta tolong?" tanya Varissa lagi.
"Katakan saja! Jangan sungkan!"
"Aku mau Om tetap merahasiakan kalau aku sudah sadar kepada Mas Erik dan kedua orangtuanya."
"Loh, kenapa Va?" tanya Dokter Imran semakin heran.
"Varissa akan cerita sama Om begitu Varissa siap. Tapi, Om tetap mau bantu Varissa kan?"
Dokter Imran tampak berpikir sesaat sebelum mengangguk mengiyakan.
"Baik kalau itu mau kamu. Om juga akan bicara sama seluruh perawat supaya mereka ikut merahasiakan."
"Makasih, Om!"
Dokter Imran tersenyum. Dia mengusap puncak kepala Varissa yang masih terbalut perban dengan lembut.
"Sama-sama, Va! Kamu 'kan juga anak Om."
Varissa sudah bersiap memulai pembalasan dendamnya. Langkah pertama yang akan dia ambil untuk saat ini adalah dengan melihat siapa lawan dan siapa kawan selama ini. Dengan berpura-pura tetap koma, Varissa akan menyeleksi siapa saja yang akan lulus untuk dia percayai. Orangtua Erik juga termasuk. Jika keduanya tetap menyayangi Varissa dan perhatian pada Varissa, maka Varissa hanya akan membuat Erik sengsara. Tapi, jika orangtua Erik ternyata mendukung putra mereka, maka Varissa juga akan menyasar mereka tanpa pandang bulu.
"Saatnya permainan yang sesungguhnya dimulai, Mas! Karena, aku tahu kau selingkuh!"
"Bagaimana? Apa Pak Reno sudah menyetujui surat pengalihan aset milik Varissa?" tanya Retno, Ibu Erik. Wanita paruh baya itu sedang asyik memakan buah apel di sofa yang ada didalam ruangan Varissa.
Sudah dua bulan sejak Varissa berpura-pura tetap koma. Beberapa luka yang dimilikinya sudah membaik. Bahkan, bisa dibilang bahwa tubuhnya sudah sehat kembali. Namun, karena tekad balas dendamnya, Varissa harus tetap berpura-pura koma karena sulit sekali untuk membongkar topeng orangtua Erik yang sebenarnya karena jarang sekali datang menjenguk.
Dan, kesabaran Varissa akhirnya berbuah manis hari ini. Hal yang begitu dia nantikan untuk bisa melihat warna asli orangtua Erik akhirnya datang juga. Dengan sabar, Varissa terus menutup mata dan tidak bergerak demi mendengarkan percakapan suami berengseknya dengan sang Ibu.
"Belum, Ma! Pak Reno tetap bersikukuh tidak akan melakukan apa-apa selama Varissa masih hidup."
"Terus gimana?" Retno berdecak kesal. "Masa' kita harus nunggu lagi, sih? Lagian kamu juga ngapain nggak tanda tangan surat persetujuan untuk mencabut seluruh alat bantu hidup Varissa aja? Kan, harapan hidupnya juga udah sangat tipis."
"Nggak bisa gitu dong, Ma! Mama kan tahu siapa Dokter Imran. Apa yang bakal dia katakan mengenai aku kalau sampai hal itu terjadi? Bisa-bisa, dia malah jadi penghalang untuk kita menguasai seluruh aset milik Varissa."
"Cih! Kenapa si Varissa nggak langsung mati aja sih? Bikin repot aja," omel Retno kesal.
Kedua tangan Varissa terkepal. Ingin rasanya dia melompat dan menerjang mertua kurang ajarnya itu. Bikin repot dia bilang? Bukannya yang selama ini merepotkan justru dia dan keluarganya? Berapa banyak materi dan tenaga yang sudah Varissa korbankan selama ini demi menyenangkan mertuanya itu? Sangat banyak hingga tak mampu dihitung dengan jari.
Varissa mendengar pintu ruangannya kembali terbuka. Sebuah suara yang tidak asing menyapa pendengaran Varissa. Itu adalah suara si pelakor. Si wanita gatal penjaja ************ yang murahan. Demi harta yang bahkan bukan milik Erik, dia rela melebarkan kedua pahanya dan membiarkan Erik menikmatinya dengan sukarela. Dia tak tahu saja bahwa Varissa sudah memiliki rencana untuk menarik semua fasilitas yang sudah Erik berikan begitu ia memutuskan untuk menyelesaikan sandiwara komanya.
"Siang, Tante!"
"Eh, Mauren sayang! Kamu datang?" Terdengar langkah kaki Retno yang berjalan mendekati Mauren. Mungkin saja, dua wanita ular itu sedang berpelukan.
"Kok kamu nggak pernah main ke rumah lagi, sih?" tanya Retno.
"Belakangan ini, Mauren sibuk, Tan!" ucap Mauren.
"Sibuk ngapain? Paling juga sibuk bikinin Tante cucu, kan?" tebak Retno yang langsung membuat wajah Mauren memerah.
"Mama apa-apaan sih? Kalau Varissa dengar, gimana?" ujar Erik panik.
Retno menatap ke arah Varissa yang masih menutup matanya dengan rapat. Setelahnya, wanita paruh baya itu tertawa mengejek.
"Nggak bakalan! Orang mati suri kayak gitu, bisa dengar apa?"
"Jadi, selama ini Mama tahu kalau Mas Erik selingkuh?" gumam Varissa dalam hati. Baiklah! Jika itu yang sebenarnya terjadi, kini Varissa tak punya alasan apapun lagi untuk tetap mengasihani keluarga Erik. Mereka semua akan menjadi sasaran balas dendam Varissa.
"Tapi, Ma...," ucap Erik tertahan.
"Mending kalian nikah siri aja deh! Mama nggak mau kamu dan Mauren nantinya malah jadi omongan orang. Gimana kalau Mauren nantinya tiba-tiba hamil?" saran Retno kepada Erik.
Mauren tampak tersenyum malu-malu. "Kalau itu sih, terserah Mas Erik aja, Tan!"
"Cih! Dasar keluarga ular!" umpat Varissa jijik.
Erik tampak berpikir sejenak. Jujur, ada sedikit keraguan didalam hatinya. Dia takut jika sampai kerabat Varissa ada yang tahu kalau Erik menikah siri dengan sekretarisnya sendiri, justru harta warisan Varissa malah akan jatuh ke tangan mereka dan bukan Erik. Namun, di sisi lain dia juga merasa omongan ibunya benar. Bagaimana kalau Mauren benar-benar hamil suatu hari?
"Boleh aku pikirin dulu?" tanya Erik kepada Retno dan Mauren.
"Apanya yang harus dipikirin lagi sih, Mas?" tanya Mauren sambil memeluk lengan Erik mesra.
"Aku cuma khawatir aja kalau sampai ada kerabat Varissa yang tahu. Bisa-bisa, harta milik Varissa malah batal buat kita dan malah diambil sama mereka."
"Iya juga, ya?" angguk Retno mengiyakan. "Kalau gitu, jangan dulu deh!"
Mauren memanyunkan bibirnya kesal. Pada akhirnya, pernikahan antara dia dan Erik kembali hanya sebatas angan-angan saja. Dan, semua itu karena perempuan koma yang menolak mati itu.
*****
Malam harinya, Varissa melihat seorang lelaki yang berjalan masuk ke ruang perawatannya. Varissa sudah sangat hafal pada postur pria itu sejak dua bulan yang lalu. Dia adalah Dikta. Lelaki tampan berkulit putih dengan paras yang luar biasa semakin menawan. Di tangannya, terdapat sebuah novel yang Varissa yakin akan dibaca oleh Dikta dengan nyaring di dekatnya. Ya, begitulah rutinitas Dikta setiap datang. Lelaki itu akan membacakan novel romansa kesukaan Varissa sepanjang malam hingga dirinya mengantuk dan terlelap di sofa didalam ruangan Varissa. Dan, sebelum jam 5 pagi, Dikta akan pamit pulang ke apartemennya. Begitu terus selama dua bulan ini.
"Dikta,"panggil Varissa lirih ketika Dikta sedang mendiktekan isi novel yang ia pegang.
Bacaan Dikta terhenti. Dengan segera ia meletakkan buku itu dan langsung mendekati wajah Varissa untuk memastikan hal yang dia dengar.
"Kamu udah bangun, Va?" tanya Dikta.
"Udah!" jawab Varissa.
Dikta berniat memencet bel di atas kepala Varissa untuk memanggil perawat. Namun, tangan Varissa mencegahnya dan meminta Dikta untuk kembali duduk. Lalu, Varissa pun ikut duduk. Melepas selang oksigen yang selama ini selalu dia pakai jika ada orang yang berkunjung dan tersenyum ke arah Dikta.
"Ka-kamu...," tatap Dikta bingung. Pasalnya, Varissa terlihat jauh lebih sehat untuk ukuran orang yang baru saja bangun dari koma.
"Sebenarnya, aku sudah bangun sejak dua bulan lalu, Ta!" ucap Varissa jujur.
"Apa?" tanya Dikta tak percaya. "Jadi, selama ini kamu pura-pura? Dan, Om Imran?"
"Aku yang minta beliau untuk nggak ngomong ke siapa-siapa termasuk kamu. Jadi, kamu jangan nyalahin Om Imran, ya!"
Dikta menghela napas lega. Meski dia sedikit marah atas kebohongan Varissa, namun perasaan senangnya karena Varissa baik-baik saja jauh lebih besar.
"Apa masih ada yang sakit?" tanya Dikta perhatian.
Varissa menggeleng. Dia menatap tak percaya lelaki tampan dihadapannya ini. Dikta bukannya marah justru malah mencemaskan Varissa. Sesuatu yang sangat diluar prediksi Varissa.
"Kamu apa kabar, Ta?" tanya Varissa.
"Aku baik. Kamu?" ujar Dikta balik bertanya.
Varissa meneteskan air matanya. Dia menggelengkan kepala sebagai jawaban.
"Ada apa? Apa Erik nyakitin kamu? Bilang sama aku!" pinta Dikta lirih. Tangannya bergerak menghapus airmata yang membasahi pipi Varissa.
"Apa kamu bersedia bantu aku seandainya aku meminta tolong?" tanya Varissa lagi.
Dikta mengangguk tanpa ragu. "Kamu adalah anak dari pahlawan yang selama ini udah ngebuat aku sampai seperti ini, Va! Sampai kapanpun, aku akan terus ingat hal yang udah Om Ivan lakuin buat aku selama ini. Jadi, jangan ragu untuk meminta bantuan sama aku. Apapun yang kamu inginkan, aku usahakan semampu aku."
"Termasuk mencelakai seseorang?" Varissa menatap serius Dikta.
"Ya, bahkan lebih dari itu. Aku juga bisa membunuh seseorang kalau itu memang mau kamu," jawab Dikta tanpa ragu.
Entah kenapa, Varissa justru merasakan bulu kuduknya berdiri saat tatapan dingin milik Dikta bertabrakan dengan netranya. Pria ini memiliki aura intimidasi yang kuat. Dan, Varissa merasa telah menemukan pion yang tepat untuk melawan pengkhianatan Erik selama ini terhadapnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!