Hai readers!!!!
Ini adalah karya pertamaku. Berikan kritik dan saran terbaik kalian disini dan jangan lupa dukung author dengan cara like, komen, rate, vote share dan favoritkan novel ini sebagai novel favorit kalian.
Terima kasih.
Happy reading ! 😘😘
🌸🌸🌸
Namaku Embun. Yaa Embun.
Embun Puspa Julie.
Waktu aku bayi aku pasrah saja di beri nama itu. Mau protes juga tidak bisa kan? Hingga umurku sekitar sembilan tahun aku mulai protes pada ayah. Kenapa memberiku nama Embun. Alasan yang pertama adalah aku terlahir ba'da subuh. Dimana embun terasa menyejukkan saat itu. Alasan yang konyol menurut ku.
Namun ayah memberikan alasan kedua. Yaitu embun itu menyegarkan, menyejukkan. Jadi besar harapan ayah kepadaku agar menjadi wanita penyejuk bagi siapapun yang menjadi bagian hidupku.
Bagian kedua namaku adalah Puspa. Yang berarti bunga. Dan kemudian nama belakangku adalah Julie.
Jika di satukan arti namaku menurut ayah adalah penyejuk pada bunga yang terlahir pada bulan Juli.
Beranjak remaja aku semakin risih dengan namaku. Selalu menjadi bahan ejekan. Tapi apa mau dikata. Bukan kah nama adalah anugrah pertama yang diberikan orang tua untuk kita?
Seiring berjalannya waktu aku mulai sadar. Aku berterimakasih pada ayah karena telah memberiku nama Embun.
Karena dengan nama itu aku ditemukan kembali oleh orang-orang yang penting dalam hidupku.
Biarkanku melihatmu dari kejauhan.
Agar aku tak pernah tau rasa apa yang kau balaskan untukku.
.
.
.
.
.
🌸🌸🌸
Sore itu seperti biasa. Aku masih menyelesaikan tugasku membantu ibu. Menyapu rumah, merapikan kamarku dan tugas-tugas kecil lainnya. Aku selalu melakukannya hampir setiap hari. Bukan karna rajin. Tapi aku hanya menjalankan perintah.
Sesekali aku keluar rumah. Menengadah melihat langit. Memastikan sore ini langit cerah. Dan aku bisa pergi ke lapangan tempat aku biasa berolah raga sore atau sekedar melihat teman-teman sekampungku berolah raga.
"Embun.. hayuuu!! " teriakan Listy tepat di depan rumahku.
"Ihh kapan datang lo? Tau tau nongol depan situ."
Listy memang selalu menjemputku untuk pergi ke lapangan. Hampir setiap sore pada sabtu dan minggu kami habiskan disana.
"Udah hayuuu!!"
"Samangat amat lo mau liat Arif," jawabku mengejek. Arif teman sekelas Listy.
"Ihhh apaan sih lo. Bukannya elo ya? " Listy mendorong pundakku.
Aku memang selalu semangat saat sore datang. Semangat olah raga? Bukan. Ada yang selalu aku ingin lihat disana akhir akhir ini.
Lapangan tujuan kami saat itu adalah lapangan milik yayasan pesantren tempat Listy bersekolah. Namun di hari-hari tertentu siapa saja boleh memakainya untuk keperluan positif dan berpakaian sopan tentunya.
Meski sekolah dilingkungan pesantren, Listy sendiri belum menutup auratnya secara menyeluruh. Padahal ia sering kali di tegur ustadz atau ustadzah pembimbingnya.
Aku dan Listy sendiri adalah penduduk asli kampung sebelah pesantren. Aku satu tingkat dengan Listy. Kelas 9. Bedanya, aku sekolah di sekolah Negri.
Lingkungan pesantren selalu membuatku nyaman. Deretan pohon Pinus masih tertata rapi disisi kanan kiri jalanan. Sejuk dan tenang. Jarang sekali terdengar suara suara deruman kendaraan bermotor.
Aku sempat beberapa saat menjadi murid dari santriwati kakak kelas Listy. Aku pernah merasakan asyiknya belajar mengaji dengan mereka. Bahkan aku sempat beberapa kali menerobos masuk ke dalam asrama laki-laki.
Sebenarnya, aku bukanlah gadis remaja yang nakal. Hanya saja, aku sedikit bar bar, ups. Kak Hafizh guru pembimbing kami pernah sampai kewalahan menghadapi aku dan teman-teman saat itu.
Sampai saat aku sekolah tingkat SMP, Aku lulus dari tingkatan mengaji. Dan aku, sudah tidak lagi mengaji di lingkungan pesantren.
Sekitar lima menit aku berjalan dengan Listy. Bertemu beberapa teman yang dengan tujuan sama. Aku mencari posisi nyaman untuk duduk. Bukan berolah raga seperti mereka. Aku tidak begitu suka dengan olah raga. Toh di sekolah aku sudah berolah raga. Selama satu jam dalam seminggu. Itu sudah cukup menurutku. Cukup melelahkan.
Ketika teman-temannya yang lain sudah terlihat sibuk berolah raga sore. Aku masih duduk di pinggir lapangan. Ada yang sedang aku lihat. Sesekali aku tersenyum sendiri. Yang aku lihat saat ini adalah laki laki berseragam putih abu abu. Yang beberapa hari lalu aku lihat berjalan dengan Dani. Teman sekampungku.
"Woyy.. mau ngapain kesini?" tanya Listy penghalangi pemandangan yang sejak tadi aku lihat.
"Awas napa Lis, Gue lagi ngerasain angin," Kataku sambil menepis tubuh Listy yg berdiri tepat dihadapanku. Hingga tubuh Listy bergeser.
Udara terasa sejuk. Mungkin karena sudah mau masuk musim hujan. Sesekali angin datang menerpa wajahku. Matahari tidak begitu menampakan dirinya. Sungguh cuaca yang selalu aku rindu.
Daerahku adalah daerah dataran tinggi di kabupaten Bogor. Namun sebagian anak-anaknya sudah berbahasa Indonesia. Aku misalnya. Karena bahasa Sunda yang di pakai disini cukup kasar. Di tambah ayahku yang orang Betawi.
"Lo liatin siapa sih?" selidik Listy. "Gue perhatiin Lo liatin kesana aja." Listy menunjuk dengan arah pandangnya.
Iya Lis, itu siapa sihhh. Ko gue ga bisa lepas dari kemaren ngeliatin dia.
"Heehhh!!! Malah bengong." Listy mengagetkanku dan hampir jatuh ke samping karna dorongan Listy.
"Ngeliatin Darwin lo nyak? Apa Yahya? Jangan itu mah punya si Nina. Katanya Yahyanya juga suka," cerocos Listy.
Lapangan cukup besar. Disebelah lapangan besar yg kami pakai ada lapangan basket. Disana ada sekumpulan santriwan Alliyah atau setingkat SMA setiap sore berolah raga juga. Mereka biasanya mulai kumpul ba'da ashar.
"Jadi Yahya jadian ama Nina?" tanyaku tiba-tiba.
"Gak lah. Cari mati itu namanya," jawab Listy.
"Oo kirain,"
"Lo liatin siapa sih Embun..?" Listy semakin kepo.
Aku tak menjawab. Kemudian Listy pergi meninggalkanku yang masih duduk. Ia kembali bergabung dengan teman teman yang lain untuk bermain bola voly.
Aku melanjutkan kegiatanku yang sejak datang tadi hanya duduk dengan satu arah pandang. Mataku tak bisa lepas dari satu santriwan yang sempat aku lihat sepulang sekolah.
Tanpa sengaja salah seorang dari sekelompok santriwan menendang bola ke arahku begitu cepat.
Buggggg!!!
Gelap.
.
.
.
.
.
.
Ku buka mataku perlahan.
"Uhuk uhuk!" Dadaku sakit. Aku ambil nafas secepat-cepatnya. Sesak. Listy memberiku minum yg tadi ia bawa dari rumah. Sedikit lega. Kanan dan kiri ku banyak sekali teman-teman berkumpul.
"Sakit Lis, dada gue! Siapa yg tadi nendang bola ke gue?" Aku meringis. Tak ada yg menjawab. Di hadapanku ada sosok merasa bersalah.
"Maaf yaa.. maaf saya benar-benar ga sengaja. Maaf," katanya.
Setelah ku atur napas. "Elo?" Aku menunjuk pada satu santriwan. "Sakit tau!" bentakku.
"Iya maaf. Ga sengaja. Maafin saya." Wajahnya memelas.
Aku hanya bisa bersandar di bawah pohon. Menenangkan sesak napas yang ku rasakan. Sementara itu Listy membawa minyak kayu putih. Mengoleskan ke dada, telinga dan keningku.
"Makasih Lis, udah enakan koq."
"Lo mah sih. Kesini bukan olah raga malahan bengong di belakang gawang. Udah tau ada yg maen bola," cerocos Listy dengan logat sundanya yang unik.
Tak lama kemudian Irgi datang membawa motor.
"Tumben Lo bawa motor?"
"Iya lah. Nyokap Lo panik. Tadi Dani ke rumah ngasih tau lo pingsan," tuturnya.
"Oh. Dani?"
"Iya. Emang Lo ga tau?"
" Ya ngga lah kan gue pingsan."
"Maksud gue ga ada yg ngasih tau Lo tadi?"
"Ga. Buruan balik gue lemes."
*****
Malam minggu.
Listy datang ke rumahku adalah kegiatan rutin untuknya di malam Minggu. Kami bercerita banyak hal. Mulai dari sekolah masing masing, pelajaran, kegiatan sekolah dan... Cowok tentunya.
Sesekali kita pergi ke depan jalan. Untuk sekedar membeli pempek langganan kita. Kemudian makan bareng di depan rumahku. Tapi kali ini kita hanya duduk di pinggir jalan tepat depan rumahku. Tanpa cemilan apapun.
Ditengah obrolan aku dan Listy. Tak ku sangka Dani berjalan melewati rumahku bergandengan tangan dengan Indah, persis orang yang mau menyebrang jalan.
"Lis, itu si Dani pacaran ama si Indah?" celetukku pada Listy.
"Iya, udah lama. Lo baru tau?"
"Ga di marahin ama ustadz Mahfud?" tanyaku menyelidik. Ustadz Mahfud adalah ustadz pondok yang rumahnya di kampung yang sama dengan tempat ku tinggal.
"Si ustadz ga tahu kali," jawab Listy.
"Lah, udah terang terangan gitu masa iya ga tau Lis?" tanyaku lagi.
"Kan si Dani bukan santri asli. Dia mah gadungan kaya gue. Ga mondok, Jadi kalo diluar pondok bukan tanggung jawab pondok lagi. Tapi tanggung jawab ORANG TUANYA. Gitu kata ustadzah gue mah. Ngelarang mah udah pasti, kan emang haram hukumnya. Apalagi dua-duaan di tempat gelap. Nanti yang ketiganya setan," terang Listy.
Aku mengangguk paham.
"Emang kenapa sih nanya nanya soal si Dani pacaran? Lo mau pacaran juga ya ama temen si Dani?" tanya Listy menyelidik.
"Iya lis, eehhhh ngga, kan gak boleh!" jawabku pelan.
"Sama yang mana si, kali aja gue tau namanya." Listy makin menyelidik. "Mau di salamin ga?" lanjutnya sambil tersenyum jahil.
"Listy..... engga ihhh becanda tau!" Kilahku.
Aku terdiam.
"Ciyeeee mikir.. mikir naon si?" Listy terus menyalidik.
"Lis, emang di pondok aturannya ketat banget ya?"
"Iya. Tapi ada aja yang bandel. Lo tau ngga kaka kelas gue Farhan?"
"Yang botak?"
"Iya, dia tuh botak hukuman. Tuh dia sering ketauan pacaran ama anak kampung sebelah. Makanya dia botak mulu. Hukuman itu. Belum lagi hukuman lain. Bersihin kamar mandi lah, lari keliling lapangan upacara lah. Loba nu laenna," tutur Listy.
"Ah si Farhan mah emang seneng di botakin. Itung itung cukur gratis," jawabku.
"Ya ga tau juga. Dia sering banget gue liat lari keliling lapangan pas tengah hari," lanjut Listy lagi.
"Olah raga kali dia. Biar sehat," kelakarku sambil bergaya popeye.
"Gila lo! panas-panas, ihh," balasnya. "jadi, siapa Embun?"
"Gak tahu Lis, kemaren gue papasan dijalan. Gue balik sekola. Dia ama Dani sama dua temennya. Ga tau gue namanya satu satu." Akhirnya aku memulai cerita. "Dia ngeliatin gue beda dari yang laen. Gue ga tau sejak hari itu gue kaya orang gila. Yang gue liat pas buka ataupun nutup mata gue ya cuma muka dia." lanjut ku.
"Ciri cirinya?"
"Lo inget ga? Yang waktu itu dilapangan di lempar bola sama si Dani?" Aku melihat Listy yang kali ini benar benar menjadi pendengar setia.
"Khafa? Itu mah Khafa. Yang bersih kulitnya? Putih. Gak putih putih amat sih. putihan kamu,"
Aku mengangguk.
"Tinggi?"
Aku mengangguk lagi.
"Stereuk? Aahhh naon si.. berisi gitu badannya. Sispek gitu kata orang kota mah," tebak Listy.
Aku mengernyitkan dahi.
"Alisnya tebel? "
"Iya iya."
"Ahh iya itu mah Khafa. Tingginya sama ama Darwin deh. Lo tau kan Darwin?"
Aku mengangguk.
"Iya itu mah Khafa, MUHAMMAD KHAFA HAMIZAN yang waktu itu ngasih napas buatan ke lo." Listy terdiam. "Ya Allah Embun?! Lo suka ama Khafa?" Listy menatap ku tajam.
Jadi namanya Khafa. Nama orang yang punya mata sejuk itu. Dia ngasih napas buatan ke aku?
"Yang bener Lis? Dia ngasih napas buatan ke gue?"
"Iyaaa. koq bisa sih?"
Aku membalas tatapan Listy.
"Ssstttt... Jangan Ge eR dulu, dia terpaksa ngelakuin itu. Napas lo ga ada tadi pas kena bola. Orang pada panik. Cuma dia anu cepet ambil tindakan. Alhamdulillah lo ketolong. Kalau gak ada Khafa gak tahu kamu gimana sekarang," jelas Listy.
"Yah Listy bibir gue udah ga perawan dong?" Saat itu yang terbayang olehku adalah ketika bibirnya menyentuh bibirku. Dengan perasaan yang sulit ku jelaskan, Aku menatap nanar bayanganku di mata Listy.
"Embun. Dia ngasih napas buatan. Bukan nyium lo. KeGe-eRan kamu mah." cerca Listy.
"Eh jadi lo suka sama kak Khafa? Ihhh pas banget," ejeknya.
"Pas apanya?"
"Pas tadi dia ngasih napas buatan. Bukan kak Abi yang nendang bola ke arah Lo."
"Iya. Kenapa ya?"
"Jodoh lo embun.. hhahaha" Listy mengejek.
"Ih Lis, apaan sih."
"Anak sholeh dia mah. Kesayangan para ustazd. Siap siap patah hati!" Listy menepuk-nepuk punggungku.
"Kok ngomongnya gitu? Gue emang kenapa? Urakan? Aaahhh iya sih, bar bar." Aku menertawakan diri sendiri.
"Dia tuh santri baik-baik. Ga pernah langgar aturan. Prestasinya bagus. Hapalannya bagus. Dan satu!" Listy tiba-tiba berhenti.
"Kenapa??"
"Dia ga kenal PACARAN!!" Suara Listy lebih keras dan mendekatkan mulutnya ke telingaku.
Aku menghela napas.
"Sekalipun kak Khafa suka sama lo, lo ga bakalan bisa deh kaya Dani sama indah," lanjut Listy.
"Apaan sih Listy.. lo kira gue mau kaya gitu apahh?" kataku sebal.
"Ya mungkin," jawab Listy.
Malam menunjukan pukul 21.00. WIB. Aku sudah di peringatkan ibu agar segera masuk rumah.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu pada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat di sampaikan awan pada hujan yang menjadikannya tiada
Phia
Ur secret admire
"Buset dah Embun kenapa jd melow gini sih?" kata fitri dibelakang telingaku.
"Bukannya tugas lu kerjain malah ngetik ngetik puisi ga jelas kaya gitu," lanjutnya sambil tersenyum miring.
"Kan udah gue kasih bahannya. Tinggal lo ketik di PC sebelah. Gue udah ngerjain sendiri semaleman loh, Ngapain lo malah kepoin gue? Tugas gue kan udah selesai," protesku membela diri sendiri.
Kita sedang dalam warnet dekat sekolah. Mengerjakan tugas kelompok. Guru bahasa Indonesia menugaskan kami membuat percakapan drama. Memikirkan dan menuliskan cerita dengan tema kebersihan. Jadi kini tugas Fitri dan dua orang temanku lainnya mengetik di warnet. Bergantian.
"Bang, PC 4 di print yah," kataku ke abang penjaga warnet.
"Ihh di print segala.. buat apaan si? Ko namanya Phia?" Tanya fitri lagi.
Aku tak memperdulikannya.
"Ciye ciyeeee... mau lo kasih siapa ciyeeee.... pake lo namain segala. Padahalkan tuh puisi dapet nyontek."
"Iya ini puisinya gue suka banget. Karya eyang Sapardi Djoko Damono," jawabku.
"Iya itu dia, baru gue mau kasih tau," lanjut Fitri.
"Yah gaya lo ngasih tau gue. Yang ada juga lo tau dari gue," timpalku. Lalu aku beranjak ke Abang penjaga warnet. Mengambil hasil print out. Ku baca berulang-ulang. Sampai aku hapal betul kata demi katanya.
"Fit, tugas udah semua diketik?"
"Udah tuh, udah lagi di print juga."
"Yaudah gue balik duluan yah. Laper gue. Kangen masakan nyokap gue."
"Halah lo bilang aja keabisan duit buat beli."
"Lo, kalo ngomong suka bener," balasku.
"Iya gue juga balik ahh," kata Badrus dan Feri teman sekelompokku. Lalu mereka pulang.
"Makan di rumah gue yuk!" ajak fitri.
"Hah apah?"
"Yuk, gratiiissss!" Ia menarik badanku.
"Kalo nolak rezeki dosa kan yah? Itu Feri ga diajak juga fit?" tanyaku basa basi.
"Udah balik." jawabnya.
Mataku menyapu seluruh ruangan sesampainya di kamar Fitri. Tidak ada yang aneh dan penting menurutku. Fitri remaja yang polos. Sepertinya ia tak punya hobi ataupun idola. Flat, seperti sendal jepit.
Selang kemudian Fitri masuk dengan nampan ditangannya. Semangkok sayur asem, dua potong paha ayam goreng, dan semangkok kecil sambel pete.
"Kita makan dikamar aja ya. Diluar lagi rame." Katanya sambil menaruh nampan di atas meja kecil dalam kamarnya.
"Kita langsung aja nih?" tanyaku. Melihat ke arah makanan yang fitri bawa. Fitri mengangguk. "Ah jadi enak."
"Gue ambil nasi ama minum dulu deh."
"Ok."
Setelah makan siang, aku dan Fitri bercerita panjang lebar. Tak terasa suara adzan ashar dari masjid dekat rumah Fitri berkumandang. Aku bergegas sholat dan pamit pulang.
*****
Selepas magrib aku duduk-duduk di teras rumah. Sambil membaca buku yang aku pinjam beberapa hari yang lalu dari perpustakaan sekolah. Baru saja dua halaman aku baca aku melihat Listy berjalan melewati rumahku.
"Listy!" kataku memanggil Listy dengan suara agak keras. "Mau kemana?" Tanyaku.
Listy berhenti dan mendekati pagar rumahku.
"Mau kedepan, nyokap gue minta cariin nasi goreng. Lo lagi apa? Nanti gue balik lagi kesini ya. Lo jangan masuk dulu," pinta Listy dan melanjutkan langkahnya.
"Hati hati Lis..!!" teriakku.
Saat-saat remajaku. Banyak ku habiskan waktu hanya di kamar atau hanya di teras rumah. Mendengarkan musik, membaca buku, menulis. Aku tidak begitu suka kumpul-kumpul dengan banyak teman. Tepatnya aku tidak begitu suka dengan keramaian. Kadang aku hanya suka menghabiskan waktu hanya di kamar terlentang di atas kasur dan menatap bintang-bintang yang ku buat sendiri. Rasanya damai.
Kulanjutkan kegiatanku membaca buku. Tidak kembali kubaca. Karna Aku terhenti pada lipatan kertas yang ku selipkan di dalam halaman buku. Kertas berisikan puisi yang aku ketik tadi siang. Kubaca ulang lagi dan lagi. Menyelami makna dari puisi tersebut.
Muhammad Khafa Hamizan. Nama itu terus berputar dikepalaku. Nama pemilik mata teduh itu. Rasa keingintahuanku tentang dirinya mengalahkan kesadaranku untuk menyembunyikan perasaan yang seharusnya tak ada orang yang tahu. Tanpa kusadari beberapa hari ini aku terus menanyakan kabarnya pada Listy.
Sebuah coretan ku buat.
Hai kamu, sekarang aku tahu namamu
Nama yang begitu mudah aku ingat
Aku tidak menyangka pertemuan yang kebetulan itu
Membuatku susah lupa
Beberapa kali aku melihatmu disana pada senja sore hari
Rasa itu semakin membiru
Semakin tak bisa ku pendam
Semakin membuatku ingin tahu
Siapa dirimu
Kau tak perlu tau aku
Aku tak berani
Aku tak pantas untukmu
Biarlah aku disini
Mengagumimu dari kejauhan
"Baca bukunya modus lu mah!" Tiba tiba Listy muncul kembali di depan pagar rumahku. Tentu saja aku kaget. "Biar dikata orang pinter. Padahal tu buku dipegang doang. Lo nya ngelamun," lanjutnya lagi. Dia memang selalu benar.
"Udah dapet nasi gorengnya?" tanyaku.
"Udah. Udah gue kasihin ke nyokap," jawab Listy.
"Yaudah sini masuk!"
Listy menurut, lalu Ia masuk dan duduk bersamaku.
"Tadi gue ketemu Khafa," tutur Listy. Seolah ia tahu isi kepalaku.
"Ngapain dia?" tanyaku dengan antusias.
"Huuuuu... mau tau banget," ejeknya.
Aku mengerucutkan bibir.
"Gantiin ustadz yang izin."
"Koq bisa? kan dia siswa." Aku mengernyitkan dahi.
"Cuma nyampein catetan Fiqih aja sih. Gak sampe sepuluh menit dia keluar. Temen-temen gue pada berisik kalo dia masuk. Maklum, idola pondok yang diliat."
"Gue mau jadi lo Lis," kataku.
Listy menatapku bingung.
"Mau bisa liat dia terus. Haaaaaaa!" lanjutku sambil berteriak.
"Embun berisikkk!" omel Listy sambil membulatkan matanya.
"Lis nginep yuk di rumah gue," ajakku.
"Gue bilang dulu ke nyokap. Lo kaya ga tau nyokap gue."
Aku mengangguk. Lantas Listy pergi. Meminta izin kepada ibunya. Ibu tiri. Listy sudah lama dititipkan oleh ibu kandungnya sendiri. Dititipkan pada ibu tirinya. Istri muda ayahnya yang seorang sesepuh disini. Seperti pada cerita cerita ibu tiri lainnya. Ibu tiri Listy tak kalah mengerikan. Ia tak segan menyiksa Listy dengan kejam ketika Listy tak sengaja berbuat salah. Ia sudah biasa menerima pukulan, cubitan bahkan dijambak sekalipun.
Tapi Listy tumbuh menjadi pribadi yang kuat. Tak mudah menangis. Tidak seperti aku. Yang kehilangan sebotol tip ex di kelas saja bisa meneteskan air mata.
Ihh! lebaynya..
Aku berjalan mendekati pagar. Melihat kanan kiri jalanan yang mulai sepi. Kulihat ada Dani seorang diri berjalan melewati halaman rumahku.
"Dani!" Aku memberanikan diri.
"Eh Embun," jawab dani dengan sopan.
Aku memang sedikit berbeda dengan yang lain. Aku jarang bergaul. Temanku hanya Listy. Jadi dani terlihat sangat canggung ketika aku memanggilnya.
"Biasa aja Dan, gue juga kaya kalian kok. Makan nasi."
Dani tersenyum.
"Ngapain lo disitu?" Tanyaku menyelidik.
"Gu-gu-gueee.. nunggu Indah...i-iya Indah," jawab Dani terbata.
Aku membulatkan bibirku menyerupai huruf O.
"Yaudah, gue masuk dulu," kataku sambil membalikkan badan hendak masuk ke rumah. Ku lihat Listy juga belum kembali. Mungkin ia tak mendapat izin fikirku.
"Embun!" Dani tiba tiba memanggilku. Aku refleks menoleh. Tiba tiba ia ada tepat di depan pagar rumahku. "Ada salam," kata Dani.
"Daaaarrriii?" Tanyaku ragu.
"Dari...." dani menggaruk lehernya yang sepertinya tidak gatal. Wajahnya berubah aneh. "Dari temen... temen.. iya temen," lanjut Dani sekenanya.
"Dari temen temen? Temen temen siapa?" tanyaku semakin bingung dan sedikit tertawa. Lucu melihat ekspresi Dani.
Dani semakin aneh. Ia tak menggubris pertanyaanku. "Eh tu indah. Gue kesana dulu ya," pamit Dani, lalu pergi.
Aku menggelengkan kepala bingung dengan sikap Dani yang aneh.
Aku kembali berbalik berjalan masuk ke rumahku.
"Embun!"
Aku menoleh lagi dan kali ini ada Listy disana. Senyum bahagia.
"Boleh?" tanyaku.
"Boleeehh.." jawab Listy bahagia.
Karna hari sudah semakin malam aku dan Listy langsung masuk kamarku. Kamar yang hanya berukuran 3x4. Kamar tempat teristimewa bagiku. Disini semuanya aku tuangkan. Sedih, senang, bingung dan semua yang kurasakan. Didinding kiri aku tempel poto-poto bersama teman-temanku di sekolah. Dibagian atas kamarku aku tempel bintang-bintang kecil yang aku buat sendiri dari kertas origami. Jadi, jika tengah malam aku ingin melihat bintang aku tidak perlu pergi keluar.
Bukannya tidur aku malah ngobrol panjang lagi bersama Listy.
Tapi aku banyak menjadi pendengar setia Listy. Mendengarkan unek-unek Listy. Tentang keluarganya. Tentang dirinya. Juga tentang sekolahnya.
Sebenarnya ada yang selalu ku tunggu dari setiap cerita Listy di sekolah. Khafa. Ya klo bukan dia siapa lagi. Tapi sayang, Listy tak banyak tahu tentangnya. Karena mereka beda tingkatan. Beda gedung kelas. Beda juga ustadz atau ustadzah pembimbingnya.
"Lis, tadi ada si Dani," kataku memulai. Aku masih terlentang memandang langit langit kamarku.
"Terus?" Listy membalikan badannya ke arahku.
"Terus dia bilang ada salam dari temennya. Tapi kaya ragu ngomongnya," jawabku masih diposisi yang sama menatap Listy.
Ia hanya senyum-senyum mencurigakan. "Kenapa sih lo malah senyum senyum gtu?" selidikku.
"Ngga. Terus terus? Temennya yang mana? Lo nanya gak?" tanya Listy.
Aku menggeleng.
"Ga jelas gitu si dani. Mabok si Indah kali," pungkasku. "Udah lah tidur yuk.!" Aku mengambil guling kesayanganku lalu memejamkan mata.
"Eh gue liat liat buku lo ya.. belum ngantuk nih."
"Hemmmn," jawabku tanpa membuka mata lagi.
Listy bangun dan duduk di depan meja belajarku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!