Plak...!!!
Tamparan keras itu menggema di ruang makan. Pak Tama nampak sangat murka, Inggit menentang perjodohan yang sudah ia tetapkan, tentu saja tanpa alasan. Keluarga Pak Wiratama dan Huditomo Rasdan sudah berkawan semenjak lama dan mereka sepakat menjodohkan anak-anak mereka.
“Mas, kamu keterlaluan! Kenapa menampar Inggit, Mas!” Bu Tami nampak keberatan dengan tindakan suaminya.
Sementara Inggit hanya diam dengan muka yang merah padam, kesal, sakit dan panas. Gadis itu menyentuh pipi kanannya yang terasa memanas.
“Terus aja Bu, bela terus. Aku nggak mau tahu, pokoknya Inggit harus mau menikah dengan Biru!” tegas Pak Tama tak mau dibantah.
“Tapi Romo, aku tidak mencintainya, kita masih sama-sama terlalu muda, kenapa harus terburu-buru menikah,” protes gadis itu masih tidak terima.
“Mau sekarang, besok, atau lusa, tidak pernah ada bedanya, toh pada akhirnya kamu akan tetap menikah dengan Biru, jadi terima sajalah, Biru juga sudah setuju.”
Inggit sedikit kaget mendengar penuturan Romonya. Terakhir mereka bertemu, Inggit dan Biru sama-sama menolak perjodohan itu. Sudah sangat jelas alasan keduanya, tidak ada cinta di hati mereka pastinya, dan lagi, usia Inggit yang baru saja 20 tahun serta usia Biru yang baru 21 tahun, keduanya masih ingin menikmati masa lajangnya. Bagi Inggit, masih terlalu muda untuk menikah, sedang bagi Biru, menikah sama sekali tidak ada dalam daftar cita-citanya saat ini. Ia tidak suka terikat komitmen, hidup bebas dan bersenang-senang.
Inggit meninggalkan ruangan dengan hati bergemuruh. Teramat dongkol dengan keadannya saat ini. Menit itu juga, Inggit benci Romo yang pemaksa, gadis itu hanya bisa menangis dalam kamarnya.
Bu Tami menyusul putrinya yang terlihat begitu kesal dan marah. Wanita setengah abad itu ikut merasakan sakit hatinya mendengar pertengkaran suami dan anaknya.
“Sayang ... maafkan Romo, Nak. Romo nggak ada maksud nyakitin kamu, dia sangat sayang makanya memilih jodoh yang terbaik buat kamu.”
“Terbaik apa, Buk, terbaik menurut Romo dan Ibu?” Inggit menyusut air matanya yang membasahi pipi.
“Tolong tinggalkan Inggit, Bu. Inggit lagi pingin sendiri,” pintanya dengan nada sendu.
Bu Tami keluar dari kamar, mendekati suaminya yang masih setia duduk di meja makan.
“Nggak bisa dibujuk juga?” tanyanya menelisik istrinya.
“Sabar dong Mas, kamu itu terlalu keras. Coba jangan kaku gitu, Inggit itu sudah dewasa, Ibu yakin dia mampu berpikir untuk kebaikan dirinya sendiri.”
“Aku tidak mau tahu, mau ditaruh di mana muka Romo kalau sampai perjodohan ini dibatalkan. Persahabatan aku dan Rasdan bisa-bisa hancur berantakan, dan lagi kita banyak berhutang budi pada keluarga Rasdan. Ibu tahu sendiri betapa baiknya keluarga Rasdan, modal usaha restoran kita tetap berjalan karena Rasdan. Membiayai operasi Bapak waktu sakit juga Rasdan, kita sudah sepatutnya membalas kebaikannya, Buk."
“Aku ngerti Mas, sangat paham, cuma cara kamu ini nantinya malah akan membuat Inggit tertekan dan semakin membencimu.”
“Tidak ada cara lagi Buk, kamu tahu sendiri kita sudah dengan cara yang halus pun tak mempan, pokoknya keputusan aku sudah final, Inggit setuju nggak setuju harus mau menikah dengan Biru.”
Kalau sudah begini, Bu Tami percumah ngomong panjang lebar. Suaminya yang keras kepala itu tidak bisa dibantah. Perempuan itu malah semakin khawatir dengan kesehatan suaminya kalau banyak marah dan stress, mengingat beliau punya tekanan darah tinggi juga.
Pagi harinya Inggit terbangun dengan mata sembab, semalaman gadis itu menangis. Mungkin kalau yang di jodohkan itu bukan Biru, pria lain yang baik, tentu Inggit tidak merasa keberatan, tapi ini Biru, jelas gadis itu menolak. Bukan tanpa alasan, Inggit tahu persis sepak terjang kehidupan Biru, pria itu adalah kekasih dari sahabatnya sendiri, Hilda. Inggit dan Hilda berteman semenjak di bangku SMA. Setahu Inggit, mereka saling mencintai walaupun tidak pernah saling setia.
Baik Biru dan juga Hilda menjalin hubungan tanpa komitmen. Hilda yang royal dan butuh uang, serta Biru yang suka gonta ganti pasangan. Inggit tahu itu semua dari Hilda, tapi anehnya perempuan itu tetap bertahan karena alasan cinta. Ia rela menjadi selir, dan kekasih dari Biru Rasdan. Itulah mengapa Inggit sangat membencinya, karena menurut Inggit, Biru bukanlah pria yang tepat untuk di cintai, tapi hari ini mendadak Romonya, menginginkan dirinya menikah dengan pria itu, Inggit benci keadaan ini.
“Sayang ini susu coklatnya, sarapan yang banyak.” Bu Tami seperti biasa, menyiapkan sarapan untuk keluarganya.
“Gimana ndok? Apa sudah mendapatkan jawaban yang tepat untuk Romo?” tanya Pak Tama meminta kepastian putrinya.
Inggit mengangguk lemah, tidak ada daya dan upaya untuk menolak, sekeras apapun dia memberontak, Inggit hanya dapat kesal dan lelah, pada akhirnya tetap harus nurut sama Romonya.
“Berangkat dulu Buk, Romo?” Inggit menyalami kedua orang tuanya dan berlalu. Menuju halaman rumahnya, scoopy coklat ia stater sebagai teman dalam perjalanan menuju kampusnya.
Baik Inggit dan Biru masih sama-sama kuliah semester enam. Mereka sudah sama tahu tapi tidak saling dekat. Inggit tahu pria itu karena laki-laki itu pacar sahabatnya. Walau begitu, Inggit tidak pernah suka sejak lama jika Hilda berpacaran dengan Biru, makanya mereka akan selalu bersitegang bila bertemu. Biar begitu, ia baru tahu kalau dirinya di jodohkan dengan Biru yang terkenal playboy.
Biru terancam dikeluarkan dari KK dan dicoret dari daftar warisan apabila menentang perjodohan yang telah disepakati orang tuanya.
Ini adalah alasan mengapa pria itu setuju untuk menikah dengan Inggit. Sudah jelas bukan cinta, tapi kebebasan yang diinginkan oleh Biru dan kedudukan hak warisnya. Ia tidak ingin ada sebuah ikatan yang mengikatnya. Apalagi yang di jodohkan dengannya adalah Inggit sahabat dari Hilda yang Biru benci, karena menurutnya gadis itu sama sekali bukan tipenya.
Inggit masuk seperti biasa, gadis itu duduk dengan tenang memasuki kelasnya. Jarum jam terus berjalan, Inggit fokus mengikuti makul hingga kelas usai.
Inggit masih duduk anteng di dalam kelas ketika seseorang mengejutkannya. Dosen baru saja ke luar dan di dalam ruangan masih ada beberapa anak yang memergoki mereka.
“Ikut gw!” titah Biru menarik tangan inggit yang sedang bermain dengan bolpointnya.
“Apaan sih, nggak mau!” tolaknya tegas.
“Lo mau semua orang di sini tahu, ikut sekarang!” tegasnya maksa.
Gadis itu pun menurut, mengekori pria di depannya yang tengah menarik tangannya. Biru membawa Inggit ke gedung belakang kampus.
“Maksud kamu apa? Berani menolak perjodohan ini?!” sarkasnya marah. “Jangan coba-coba bertingkah, pakai sok mau bilang ke Papa segala, kamu bosan hidup tenang?!” tandanya murka.
“Gila lo ya, awas aja kalau berani. Gue nggak bakalan bikin hidup lo tenang!” sambungnya masih dengan nada kesal.
“Lo yang GILA! Jelas-jelas elo tuh pacarnya Hilda, kenapa nikahnya harus sama gue? Lo mau membuat hubungan persahabatan gue hancur?”
“Diam!! Nggak usah banyak drama, lo tahu 'kan, gue tidak suka di bantah!” tegasnya marah.
“Jangan ngomong apa-apa tentang Hilda, apalagi sampe papa tahu, tamat riwayat lo!” ancamnya marah
"Permainan macam apa ini? Lo pikir gue mau menikah dengan lo, dasar sinting!" omel Inggit sendiri setelah Biru berlalu.
Gadis itu kembali ke dalam kelas dan menyambar tasnya yang tertinggal. Melesat ke luar dengan muka kesal. Masih ada satu lagi makul yang harus ia ikuti, namun karena moodnya yang cukup buruk membuat ia tidak minat untuk mengikuti.
Perlahan ia ayunkan langkahnya menuju parkiran, mendekat ke arah motor yang terparkir miliknya. Hatinya bertambah dongkol menemui fakta kenaasan dirinya.
"****!! siapa yang ngelakuin ini sih?" Inggit menendang ban motornya yang mendadak kempes padahal baru kemarin sore gadis itu ganti ban motor.
"Awas aja sampe gue tahu siapa pelakunya, habis lo sama gue," ancamnya sengit, sarat akan dendam yang menyala.
"Nggit, kenapa lo? Bannya kempes?" Hilda menghampiri dengan muka prihatin.
"Iya nih, kayaknya ada yang sengaja ngelakuin ini ke gue deh," curhatnya gusar.
"Sabar ya Nggit, gue bantu dorong ke bengkel depan yok?" tawarnya penuh dengan persahabatan. Inggit mengangguk setuju.
Dengan semangat Inggit mendorong motor kesayangannya.
"Da, ngapain?" Tiba-tiba Biru muncul dengan gaya congkaknya. Motor gede yang ia bawa sengaja ia gas kenceng-kenceng menimbulkan suara yang tidak ramah lingkungan.
"Hai, beb. Ini lho, kempes," curhatnya menunjuk prihatin. Spontan Inggit dan Hilda berhenti sejenak karena Biru yang menghalangi jalan.
"Ayo cabut, kamu lupa kita punya janji?" ajaknya pada Hilda, sekilas melirik Inggit acuh penuh dengan permusuhan.
"Tapi beb, gue mau nganter Inggit dulu, kasihan."
"Nggak pa-pa Da, tinggal aja, udah deket kok," jawabnya kalem. Membalas lirikan Biru tak kalah sengit.
"Sorry ya Nggit, gue tinggal," sesal Hilda dengan tatapan memelas.
Inggit menatap kepergian mereka dengan biasa saja, entah itu sebuah karma atau apa? Tapi kalau sampe Inggit menikah dengan Biru, ia menikah dengan orang yang sama sekali tidak ada dalam list kriterianya.
Mampus lo
Batin Biru berteriak, menatap puas atas ulahnya sendiri. Meninggalkan Inggit tak berperasaan.
Inggit meneruskan kegiatannya, ia menganggap hari ini mungkin sedang tidak seberuntung hari kemarin. Antrian panjang di bengkel membuat gadis itu tertahan.
"Mas masih lama ya? Ngantri berapa?"
"Lumayan, lima mbak."
"Oalah ... lama juga ya, kalau saya tinggal dulu gimana Mas, saya masih ada kelas soalnya," tukasnya lugas.
"Oh, bisa mbak."
Sepertinya bolos memang tidak cocok untuk passion Inggit, terbukti ingin mangkir dari kelas pun, Tuhan sudah tidak meridhoi. Terbukti dengan kejadian ini, dari pada Inggit menunggu terlalu lama, sudah barang tentu lebih bermanfaat ia ikuti kuliah selanjutnya.
Hampir sesorean gadis itu sampe di depan pekarangan rumahnya. Sayup-sayup terdengar tawa pecah orang mengobrol, Inggit yang masuk rumah tak lupa memberi salam.
"Ini nih yang di tunggu-tunggu pulang juga," seloroh Tante Diana.
Inggit tersenyum simpul, menyalami kedua orang tuanya dan orang tua Biru dengan takzim.
"Sayang ... kamu makin cantik aja," pujinya jujur.
"Makasih Tante," jawab Inggit sopan, karena lelah dan juga penat, Inggit memutuskan untuk pamit ke belakang.
Inggit mengenal baik-baik kedua orang tua Biru, mereka sering berkunjung ke rumahnya sedari Inggit tidak tahu mau di jodohkan dengan anaknya. Gadis itu sempat mengemukakan rasa sungkannya atas perjodohan ini, hingga membuat Romo dan juga Biru murka.
"Bagaimana kalau tunangan dulu aja jeng?" Itu suara Tante Diana.
"Saya sih terserah baiknya gimana, sepertinya anak kita juga sudah kenal walaupun belum dekat."
"Langsung menikah saja Ma, Biru sudah setuju kok," usul Pak Rasdan yang langsung diangguki Pak Tama.
Inggit yang menangkap obrolan mereka dari ruang tengah mendengar dengan gusar, apa jadinya kalau sampai pernikahan itu nyata, bukankah sudah pasti Inggit tak akan menjalani dengan mudah.
Hari berikutnya pertemuan kedua keluarga pun dilakukan. Ini adalah lamaran yang di nanti-nantikan keluarga Pak Tama dan Pak Rasdan, karena sebentar lagi mereka akan menjadi besan.
Inggit duduk diantara segerombol orang yang tak lain adalah keluarganya. Gadis itu menatap lurus ke depan, segaris dengan Biru yang duduk di pojokan. Mata mereka bertabrakan, sudah jelas menatap dalam mode permusuhan.
Tante Diana baru saja menyematkan cincin ke jari manis Inggit sebagai tanda bahwa gadis itu telah terikat pertunangan dengan Biru. Acara berlangsung cukup hikmad, hanya keluarga inti dan kerabat dekat saja.
Yang membuat Inggit syok, pernikahan mereka bahkan akan dilangsungkan dua minggu dari sekarang. Tak bisa protes, apalagi menentang kesepakatan yang telah dibuat, baik Biru dan Inggit sama-sama terdiam dan mengikuti dengan tenang.
Suasana keakraban masih terasa di antara kedua keluarga tersebut. Biru menghampiri Inggit yang tengah duduk menyamping, sedikit menepi dari segerombolan orang yang tengah berbahagia versi mereka.
"Ehem," Biru berdehem duduk di sampingnya dengan muka datar.
"Gimana perasaan lo, Nggi, seharusnya lo bangga 'kan? Karena sebentar lagi bakalan jadi nyonya Rasdan," bisiknya dengan nada mengejek.
"Ngapain lo, sana pergi nggak usah sok care," jawabnya ketus.
"Well, nikmati saja alurmu yang tenang," ucapnya sarkas dengan nada penuh penekanan.
"Gue mau bilang ke Hilda," ucap Inggit menghentikan gerakan Biru yang hendak beranjak. Pria itu kembali duduk dan menatap tajam ke arah Inggit.
"Gue nggak sanggup bohongin dia, dia sahabat gue sedari dulu, dan lo tiba-tiba datang mengacaukan semuanya," adunya dramatis.
"Sebaiknya tak usah repot-repot girl, karena pernikahan kita hanya sementara dan sebagai formalitas saja, gue pastikan akan bercerai setelah apa yang gue mau dapat," jawabnya lugas, meluncur tanpa beban.
Oh ya ampun ... ayolah nggit, berfikir dari sekarang, masih ada harapan untuk menggagalkan pernikahan konyol ini.
Inggit bergeming, menatap punggung Biru yang berjalan menjauh. Entah apa yang salah dalam dirinya, kenapa harus menjalani ikatan yang menyedihkan begini.
Ia menatap sendu cincin yang melingkar di jari manisnya. Gadis itu sudah kembali ke kamarnya dengan pikiran yang menerawang, lengkap dengan background kegalauan yang teramat nyata. Dirinya bahkan tak diberikan kesempatan untuk berkelit sejenak saja, atau setidaknya sama-sama menjelaskan ke Hilda, yang notabene sebagai kekasih dari calon suaminya dan juga sahabat akrabnya.
Inggit menatap sendu, akan sebenci apa Hilda padanya kalau sampe ia tahu atas kebohongan semua ini. Walaupun percintaan mereka terkesan cuek dan bebas, tapi mereka saling terikat kuat tanpa enggan terpisah.
Biru sendiri bahkan sudah tidak pernah bermain dengan banyak wanita semenjak mengenal Hilda. Hubungan mereka yang terlampau jauh, kontras membuat Inggit semakin ingin keluar dari ikatan yang seakan menjeratnya.
Pokoknya gue harus bisa membatalkan pernikahan ini. tekad Inggit yakin.
Gadis itu mengirim pesan singkat pada sahabatnya dan mengajak ketemuan bersama.
Hilda menatap heran pesan beruntun yang dikirim Inggit padanya. Gadis itu bahkan sampi membaca ulang karena belum begitu mudeng dengan arti pertemuan mereka, yang mana Inggit ingin bertemu di suatu tempat dan perempuan itu harus membawa kekasihnya Biru.
"Kenapa Da? Ngajak keluar sepagi ini? Kamu nggak ada kuliah?"
"Kosong, tapi ada yang lebih penting, ini tiba-tiba Inggit ngajakin kita ketemuan, katanya penting," jawabnya penasaran.
"Sepenting apa, coba aku lihat?" Biru menyambar ponsel kekasihnya dari tangannya.
Sial, baru gue peringatin, berani berulah lagi?
"Owh ... biarin aja beb, mendingan kita nonton. Atau kita main ke hotel, lama nih nggak ngecas," ujarnya mengerling.
"Nggak bisa gitu dong beb, ini pasti Inggit penting nih, nggak mungkin banget kalau nggak urgent, dia udah pasti ngomong di telfon tanpa harus ketemu banget gitu, tapi yang aku heran kenapa aku harus ngajak kamu?" tanyanya mulai ada yang ganjil.
Biru berkilah, ia sebisa mungkin mencoba untuk tidak menampakan muka curiga yang sejatinya ia khawatirkan. Biar bagaimanapun Hilda adalah satu-satunya yang tengah mengisi jiwanya saat ini, walaupun ia sejatinya seorang player tetapi dengan kehadiran wanita ini mampu membuat ia teralihkan dengan dunia bebasnya yang sudah mendarah daging.
Biru akui, ia sering bermain dengan banyak wanita, bahkan hubungannya dengan Hilda sudah terlampau jauh, namun ia belum berniat untuk menikahinya sekarang, karena menikah memang nomor sekian untuknya. Selain dirinya yang masih begitu muda, ia juga masih ingin puas untuk melajang.
Biru selalu bermain tanpa jejak, pria dingin itu hanya ingin kepuasan dengan memberikan materi tanpa mau adanya ikatan cinta, hanya dengan Hilda lelaki itu menjalin asmara, itu pun Hilda rela memuaskan pria itu supaya tidak berkeliyaran menjamah wanita lain di club.
Track rekord pria itu memang sudah tidak bisa diragukan lagi, jangan pandang usianya, kelakuannya jauh lebih matang dari semenjak pria itu SMA. Paras yang dimiliki bak arjuna mampu membuat semua wanita bertekuk lutut padanya, di tambah anak semata wayang dari seorang pengusaha kaya raya, sempurna membuat sebagian wanita tunduk akan materinya.
"Lebih penting mana, aku atau sahabat kamu itu, hmm," Biru mengendus wajah kekasihnya.
"Oke, aku cancel pertemuan dengan Inggit, kita main ya?" jawabnya antusias.
Mereka menuju kost Hilda yang tidak begitu jauh dari kampus. Perempuan itu tinggal di sebuah kost elit, yang tak lain dibiayai Biru. Laki-laki itu memang sangat royal, orang tuanya yang begitu memanjakan tak urung menjadi bomerang dalam dirinya.
"Kamu masih rutin pake KB, 'kan?" tanyanya memastikan. Laki-laki itu selalu bermain di luar, hanya dengan Hilda yang berani tembak di dalam itu pun tetap tak mau rugi dengan menyuruh perempuan itu rutin mengkonsumsi kontrasepsi tersebut.
"Masih," jawabnya sendu.
Ada sisi senang karena masih merasa di pake oleh kekasihnya, tapi ada sisi sendu itu artinya Biru masih enggan untuk serius dan bertanggung jawab.
"Aku suka posisi ini, one on top, kamu paling bisa memuaskan aku," ujar pria itu tersenyum puas.
"Aku pasti akan selalu membuatmu puas beb, asal jangan jajan di luar," ucapnya tersenyum nakal.
Mereka berdua menghabiskan siang mereka dengan kenikmatan dunia yang semu. Walaupun Biru tidak pernah mendapatkan keperawanan Hilda, tetapi ia cukup puas dengan permainan yang disuguhkan kekasihnya itu.
Biru memang sebrengsek itu, ia tidak munafik, kebebasan saat ini adalah prioritas utama. Baginya itu adalah sebuah hiburan anak muda, di tengah padatnya rutinitas sebagai mahasiswa, dan banyaknya aturan yang diberikan dari orang tuanya.
Biru baru saja mandi, sedang Hilda masih bersantai di bawah gelungan selimut dengan tubuh polosnya.
"Aku cabut dulu ya? Kamu istirahat saja, capek 'kan?" ujarnya tersenyum, melangkah ke luar dan segera menuju tempat tujuan.
Diam-diam tanpa sepengetahuan Hilda, Biru menemui Inggit.
"Wah ... sepenting ini sampe rela nungguin gue dan juga Hilda ke sini," ujar pria itu tiba-tiba sudah berada di sekitar Inggit.
Inggit menanti berjam-jam, dan yang datang ternyata Biru, padahal Inggit tidak memberi tahu Biru, ia hanya memberitahu Hilda dan ingin menjelaskannya.
"Mana Hilda?" tukasnya tak sabaran.
"Dia tidak akan datang, dan lo benar-benar memuakan!" bentaknya marah.
"Lo mengacaukan segalanya? Mari kita batalkan pernikahan kita sama-sama, gue bakalan bantuin bilang ke Tante Diana kalau lo sudah punya pasangan," ucapnya yakin.
"Percuma, nggak bakalan didengerin, sampe mulut lo berbusa juga sia-sia belaka, karena lo pilihan orang tua gue. Tapi, jangan harap gue mau ngejalanin rumah tangga ini semulus orang tua kita, nggak akan."
"Kalau lo mengiyakan, itu sama saja lo mengkhianati Hilda, Biru, lo cinta 'kan sama Hilda?" tanyanya memperjelas.
Inggit prihatin dengan hubungan mereka kalau tidak sampe berakhir di pernikahan. Dirinya bahkan orang yang pertama menentang, karena Inggit berharap Hilda mendapat pria yang jauh lebih baik, tapi kalau pada akhirnya Biru itu memilih menikahi dirinya itu Inggit lebih menentang lagi.
Biru terdiam sejenak, "Cinta lah, gue nggak akan pernah khianatin, kita tetap akan menikah, dan lo tenang aja karena gue nggak akan sudi menganggap lo sebagai istri gue, jadi ... kita tidak harus bersikap layaknya suami istri. Pernikahan ini hanya akan dilakuin secara diam-diam, dan mari kita lakuin sandiwara ini," jelasnya panjang lebar.
"Anggap saja lo bantuin gue buat mendapatkan segalanya, dan lo bantuin keluarga lo buat nurut padanya."
"Berapa lama, dan kapan kita bercerai?"
Biru tertawa mendengar pertanyaan Inggit, belum juga menikah sudah membahas cerai, tapi memang ini yang dinginkan Biru, jadi, laki-laki itu tidak perlu khawatir dengan kesepakatan yang telah dibuat.
Cukup menarik
"Secepatnya, setelah Papa mengesahkan semua harta warisan hanya untuk aku seorang," jawabnya yakin.
"Apakah ada jaminan bisa lebih cepat, gue tidak mau dirugikan dalam bentuk apapun!" camnya tegas.
"Lo hanya akan menyandang status janda Tuan Albiru Rasdan tanpa tersentuh."
Inggit sedikit lebih lega mendengar hal itu. Walaupun yang dilakukan padanya sebuah perjanjian konyol, tapi bagi Inggit akan lebih baik, sebab ia akan sangat dirugikan dengan perjodohan tanpa cinta ini.
Kesepakatan diperoleh keduanya, Inggit berharap semua berakhir cepat tanpa banyak drama. Persahabatan tetap terjaga tanpa ada yang tersakiti di antara keduanya.
"Oke, deal. Apa yang gue dapat jika lo melanggar dengan membocorkan semuanya?"
"Maksud lo?"
"Kalau sampe rencana gue berantakan, gue mau imbalan yang setimpal," tukasnya tegas dengan senyum smirk yang membuat Inggit menatap muak.
Inggit bergeming, apa maksud dari semua perkataannya, apakah kehancuran keluarganya. Mengingat keluarga pria itu punya kuasa.
"Kita, akan menikah besok," ucapnya yakin.
Inggit membelalakkan matanya kaget, gadis itu benar-benar tidak menyangka akan lebih cepat dari perkiraan yang ada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!