NovelToon NovelToon

Berbagi Cinta: Meminang Tanpa Cinta

Rencana Perjodohan

"Khaira, Ayah dan Bunda sudah memutuskan untuk menjodohkan kamu dengan anak dari teman Ayah." ucap Ayah Ammar kepada Khaira, putri satu-satunya yang kini tengah asyik menyantap sarapannya di meja makan.

Khaira yang mendengar perkataan Ayahnya sontak nyaris tersedak, hingga ia terbatuk-batuk mendengar perihal perjodohan tiba-tiba ini. Perkataan Ayahnya seperti petir yang datang di siang hari yang terik. Hidupnya yang tenang, tiba-tiba terjadi badai lantaran keinginan Ayahnya untuk menjodohkannya dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal.

"Maaf Ayah, tetapi tidak bisakah Khaira memilih jodoh untuk Khaira sendiri? Khaira mana mungkin hidup bersama dengan pria asing yang tidak pernah Khaira kenal. Itu mustahil, Yah"

Khaira mengatakan apa yang menjadi isi hatinya kepada Ayahnya dengan setenang mungkin, bagaimana pun ini barulah sebuah rencana. Masih bisa berubah, lagipula ia ingin mengatakan alasan yang logis bahwa menikah dengan orang asing tentu tantangan yang besar, orang akan menikah didasarkan pada cinta, bukan lagi perjodohan seperti dirinya sekarang ini.

"Dengar Khaira, janji ini sudah Ayah buat sejak kalian masih kecil. Bahkan perjanjian itu ada hitam di atas putihnya, jadi memiliki landasan hukum yang kuat. Dulu saat usaha Ayah mengalami goyangan hingga nyaris bangkrut, teman Ayah inilah yang menolong Ayah hingga usaha Ayah masih bisa berdiri sampai sekarang. Teman Ayah tidak meminta Ayah untuk mengembalikan uang yang dipinjamkan kepada Ayah, dia hanya ingin menjadi keluarga kita dengan cara menjodohkan anak-anak kami ketika mereka telah dewasa nanti." Ayah Ammar mengingat kembali bagaimana temannya dulu menolongnya dan awal mula perjodohan anak-anaknya dimulai.

"Tapi ini sudah zaman digital, semua terkoneksi dengan internet Ayah. Bukan lagi zaman Siti Nurbaya di mana jodoh perjodohan masih berlaku. Kita sudah hidup di abad digital, tetapi justru kembali ke zaman Siti Nurbaya sih Ayah."

Bagaimana pun Khaira ingin berjuang untuk kebebasannya mendapatkan jodoh yang benar-benar didasarkan pada rasa cinta, saling mengenal satu sama lain, dan saling berjuang untuk sama-sama mempertahankan rumah tangga.

"Ayah tahu perasaanmu, Nak. Tetapi perjanjian perjodohan ini tidak bisa dibatalkan. Ayah benar-benar minta maaf bukan maksud Ayah menjual anak Ayah. Bukan sama sekali, tapi Ayah yakin anak teman Ayah itu adalah pria yang baik.

Anak itu bernama Raditya, usianya 27 tahun. Dia bekerja sebagai auditor di salah satu bank swasta di Batam. Teman Ayah, Om Wibisono memintanya untuk melanjutkan bisnisnya tetapi anak itu tidak mau. Raditya anak yang baik, pria yang tidak neko-neko, juga pandai. Ayah hanya memiliki keyakinan bahwa Raditya akan membahagiakan putri Ayah satu-satunya." Penjelasan Ayah Ammar semakin membuat Khaira pusing, bagaimana pun seumur hidup akan ia habiskan dengan pria yang tidak dikenalnya.

"Iya Nak, dengarkan Bunda ya. Bunda juga tahu, Raditya anak yang baik dan memiliki sopan santun. Bunda juga yakin, ia akan menjadi imam yang baik untukmu. Membimbing kamu, menghargai, dan mencintai kamu." Giliran Bunda Dyah berusaha meluluhkan hati putrinya.

"Akan tetapi, Khaira masih kuliah Ayah, Bunda ..., lagipula semester depan Khaira akan pengajuan skripsi, tidak bisakah Khaira menyelesaikan pendidikan Khaira dulu? Sebenarnya, Khaira masih ingin lanjut mengejar mimpi Khaira menjadi Dosen, Yah... Tapi, kenapa tiba-tiba Ayah dan Bunda justru membahas rencana perjodohan yang selama ini tidak pernah Khaira dengar."

"Raditya akan berada di Jakarta selama 6 bulan, Khai ... dia akan bekerja di Bank Swasta di pusat ibukota selama 6 bulan ini, jadi kamu tidak perlu khawatir dengan kuliahmu. Kamu bisa selesaikan kuliahmu sampai kamu lulus, dan setelah lulus baru kalian akan pindah ke Batam, mengikuti suamimu. Ayah dan Bunda percaya Raditya akan mendukung cita-citamu, dia seorang pria yang pandai dan berwawasan luas, pastilah ia akan senang dengan cita-cita istrinya yang mulia untuk turut mencerdaskan kehidupan bangsa." ucap Ayah Ammar sambil mengelus puncak kepala Khaira.

Lagi, Khaira bertanya kepada ayahnya, "Emang pria itu mau Ayah? Apakah pria itu tidak memiliki pacar sebelumnya? Khaira masih ragu, Ayah."

Ayah menangkap berbagai kecemasan di wajah anaknya itu. "Kabar dari orang tuanya, Radit pernah berpacaran dua tahun yang lalu. Sekarang dia sudah tidak memiliki pacar. Kenapa kamu masih cemas?" Ayah Ammar bertanya kepada Khaira.

"Sudah pasti cemas, Ayah. Kami tidak saling mengenal sebelumnya. Kenapa Ayah dan Bunda menjodohkan Khaira sih. Khaira masih terlalu muda untuk menjalani sebuah pernikahan."

Lesu.

Wajah cantik gadis itu seketika berubah lesu. Banyak sekali pikiran yang melintas di otaknya. Menjalani pernikahan lantaran perjodohan adalah hal tidak mudah. Terlebih saat dia sama sekali tidak mengenal calon suaminya. Menyatukan dua kepala, dua kepribadian, dua latar belakang dalam satu biduk rumah tangga adalah hal yang sukar. Terkadang mereka yang memiliki waktu pacaran dan mengenal lama pun, tidak menjamin pernikahan mereka akan bahagia. Bagaimana dengan Khaira yang tidak tahu-menahu tentang pria yang sebentar lagi akan menjadi pasangannya itu.

"Minggu depan, pernikahanmu dengan Raditya akan dilangsungkan, Nak." Kali ini giliran Bunda Dyah memberitahukan rencana pernikahan anaknya yang sangat mendadak dan tiba-tiba itu.

"Apa Bunda?? Minggu depan??? Mengapa secepat itu Bunda? Kami bahkan belum pernah bertemu sama sekali. Kami belum kenal Bunda, bagaimana kalau ternyata Raditya itu tidak sayang dan tidak mau hidup menjalani rumah tangga bersama Khaira."

"Keluarga Om Wibisono dan Raditya sudah setuju, Nak. Bahkan mereka yang sudah menentukan tanggal dan harinya. Kita tinggal menyiapkan diri saja, Nak. Lagipula hanya Ijab Qobul dan acara sederhana saja di rumah kita, kami setuju menikahkan kalian berdua secara sederhana saja. Sebenarnya, kamu pernah bertemu dengan Radit, saat kalian masih kecil. Tetapi, mungkin ingatan itu sudah hilang karena waktu sudah berlalu sangat lama. Akan tetapi, sebelum kamu menikah apakah saat ini kamu memiliki pacar atau cowok yang dekat sama kamu, Khai?" tanya Bunda Dyah untuk memastikan bahwa putrinya saat ini sedang tidak berhubungan dengan pria mana pun.

"Tidak Bunda ... Khaira tidak dekat dengan cowok mana pun, lagipula Bunda kan tahu Khaira gak ingin pacaran sebelum lulus kuliah. Hem, sekarang justru Khaira gak memiliki kesempatan untuk pacaran karena Ayah dan Bunda sudah menjodohkan Khaira."

Wajah Khaira menjadi sendu, sekalipun ia belum pernah mengenal cinta, tetapi masa pacaran yang katanya indah itu juga tak bisa ia cicipi manisnya, karena ia harus segera menikah dengan pria pilihan orang tuanya.

"Pacarannya setelah menikah, Khai ... Malahan pacaran halal, tidak membuat dosa karena sudah dalam satu ikatan yang sah." sahut Ayah Ammar sembari memberikan senyuman kepada anak gadis satu-satunya itu.

"Ayah, Bunda ... Kalau ternyata, nanti anak temen Ayah itu jahat dan kejam ke Khaira gimana?"

"Kalau suami kamu nanti jahat, Ayah dan Bunda tidak akan membiarkannya, Nak. Bagaimana pun kamu adalah anak Ayah dan Bunda. Kami akan memastikan kamu aman dan bahagia. Jangan takut, Khai... Sekalipun kamu sudah menikah, Ayah dan Bunda tetap sayang padamu. Kamu tetap anak kami yang berharga. Maafkan Ayah dan Bunda karena membuatmu menjalani semua ini, tetapi Ayah yakin kamu akan bahagia bersama Raditya."

"Amin..." Bunda Dyah turut mengaminkan perkataan sekaligus doa yang diucapkan oleh Ayah Ammar.

Khaira kembali ke kamarnya setelah berbincang-bincang cukup lama dengan Ayah dan Bunda perihal perjodohan yang tiba-tiba ini. Gadis berusia 22 tahun itu duduk tertunduk lesu memikirkan nasibnya ke depan.

"Masih banyak yang ingin ku raih dalam hidup ini. Aku ingin menjadi Dosen, ingin kuliah hingga S2, tetapi minggu depan aku justru harus menikah dengan pria asing. Usiaku belum genap 24 tahun, terlalu dini bagiku untuk berumah tangga. Bila Ayah dan Bunda begitu yakin, maka aku akan berusaha menerima dan menjalani takdirku. Tetapi, bila nyatanya pria itu bertindak kejam padaku, maka aku akan kembali ke rumah Ayah dan Bundaku." Gumam Khaira dalam hati sembari membolak-balik diktat mata kuliahnya yang hanya sekadar dibuka tanpa dibaca.

Hari Pernikahan

Tidak terasa satu minggu berlalu, dan kini Rumah keluarga Ayah Ammar telah didekorasi sedemikian rupa dengan bunga mawar putih yang merupakan bunga kesukaan Khaira, dipadukan dengan tulip putih, dedaunan segar, yang lampu-lampu indah, membuat dekorasi ala Rustic di rumah keluarga Ayah Ammar terlihat sangat indah.

Di dalam kamar Khaira, gadis itu tengah di-make up dengan tata rias ala pengantin putri jawa, dengan paes (lekukan pada dahi hingga anak rambut pengantin wanita yang dibuat dari pidih atau sejenis lilin berwarna hitam) dan rangkaian bunga melati menjuntai indah di sisi kepalanya. Dengan make up sedikit bold menyulap Khaira layaknya seorang putri keraton yang ayu. Kebaya putih yang menempel indah di badannya dan jarik yang membungkus indah pinggang hingga kakinya, sungguh-sungguh membuat Khaira tampil sempurna.

Sementara di halaman rumah yang sudah didekorasi dengan sedemikian rupa itu pengantin pria telah tiba dengan menggunakan beskap (baju pengantin pria khas Jawa) berwarna putih dan kain jarik, tak lupa sebuah blangkon bertengger indah di atas kepala pria berwajah tampan, berkulit putih, hidungnya yang mancung, dan perawakannya yang tinggi dengan bahu yang bidang. Membuat beberapa tamu undangan memuji-muji Sang Pengantin Pria yang rupawan itu.

Sang pengantin pria telah duduk di hadapan penghulu, dan siap untuk melaksanakan Ijab Qobul pernikahan, sementara pengantin wanita masih berada di dalam kamar, mengikuti jalannya Ijab Qobul dari siaran televisi yang terkoneksi dengan televisi di kamarnya.

Penghulu dan Ayah Ammar telah duduk di hadapan pria yang akrab dipanggil Radit itu. Dan kini, prosesi Ijab akan dimulai.

Ayah Ammar menjabat tangan Radit serta memulai prosesi Ijab Qobul.

"Aku nikahkan engkau, aku kawinkan engkau dengan pinanganmu Putriku Khaira Amaira binti Ammar Sasongko dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar 200 juta rupiah dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Khaira Amaira binti Ammar Sasongko dengan mas kawin tersebut tunai." Radit mengucapkan Ijab Qobul nya dalam satu tarikan nafas, hingga penghulu dan saksi pernikahan berkata.

"Sah!"

Di dalam kamarnya Khaira meneteskan air mata, ia sungguh tak mengira akan secepat ini melepas masa lajangnya. Sahabat Khaira di kuliah Metta juga turut hair dan menemaninya, menyaksikan momen bahagia sekaligus haru sahabatnya tersebut.

"Selamat ya Khai, kamu sudah menjadi istri sekarang. Semoga SaMaWa selalu ya Khai..." Ucap Metta dengan ketulusan di wajahnya. Gadis yang bersahabat dengan Khaira sejak masa ospek mahasiswa baru ini pun turut meneteskan air mata, tak menyangka sahabatnya akan menikah secepat ini.

"Amin, terima kasih doanya ya Ta..." Balas Khaira, dan ia pun diminta berdiri untuk menemui suaminya di depan.

Selepas Ijab Qobul, pengantin wanita diiring keluar dari kamarnya dan akan dipertemukan dengan pengantin pria. Pembawa acara membacakan setiap susunan acara sembari alunan musik gamelan bersenandung mengiringi perjalanan Khaira menuju pelaminan di mana Radit sudah berdiri di sana.

Kedua pengantin yang sebelumnya tak saling mengenal ini pun dipertemukan, tidak ada binar kebahagiaan di raut wajah keduanya. Radit menatap Khaira dengan tatapan matanya yang tajam, sementara Khaira hanya menundukkan mata dan kepalanya, sorot matanya enggan untuk menatap suaminya yang tampan dan rupawan itu.

Setelah kedua mempelai telah berada di pelaminan, acara dilanjutkan dengan penyematan cincin nikah di jari tangan pengantin. Radit mengambil cincin bertahta berlian dan memasangkannya di jari manis Khaira. Setelah itu, giliran Khaira memasangkan cincin di jari manis Radit, ia pun mencium tangan suaminya itu sebagai tanda bahwa seorang istri akan tunduk kepada suaminya, sebagaimana perintah Tuhan bahwa seorang istri hendaknya tunduk kepada suaminya dikarenakan besarnya hak suami kepada istri. Sementara itu, Radit pun mencium kening Khaira sebagai tanda kasih sayang dari suami kepada istri.

Khaira merasa gugup, ketika bibir Radit perlahan mendarat dengan indah di keningnya. Sebagai gadis yang belum pernah berhubungan dengan pria mana pun, tentu sekarang harus merasakan ciuman walaupun hanya di kening membuat Khaira merasa gugup. Telapak tangannya tiba-tiba dingin, karena gugup sekaligus grogi yang ia rasakan. Apalagi Radit mencium kening istrinya dalam durasi yang cukup lama, sekaligus kameraman mengabadikan momen manis pernikahan keduanya dalam jepretan lensa kamera. Tanpa terasa, air mata jatuh di sudut mata Khaira. Entah perasaan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi air mata itu menetes dengan sendirinya.

Usai prosesi tukar cincin, kedua mempelai melanjutkan sungkeman kepada kedua orang tua sebagai tanda bakti dan hormat yang diberikan pengantin kepada orang tua sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih karena telah memberikan bimbingan dan kasih sayang dari lahir hingga akhirnya anak-anaknya telah menikah. Khaira mengambil posisi sujud dan memohon doa restu dari Ayah Ammar dan Bunda Dyah.

"Ayah... Ibu... Terima kasih untuk semuanya. Doakan rumah tangga Khaira, semoga selalu sakinah, mawadah, dan wa rahmah." Ucap Khaira dengan penuh ketulusan hingga akhirnya ia menangis dalam sujudnya kepada Ayah Ammar dan Bunda Dyah.

"Amin. Anak Ayah dan Bunda... Kami doakan Khaira menjadi istri yang baik, menjaga nama baik suami, pernikahan kalian sakinah, mawadah, dan wa rahmah till janah ya Sayang."

Kedua orang tua Khaira pun menangis haru memberikan doa restu sembari memeluk Khaira, anak yang mereka besarkan kini telah menjadi istri orang lain, perasaan sedih sekaligus bahagia mengharu jadi satu.

Setelah itu, giliran Radit meminta doa restu kepada Ayah Ammar dan Bunda Dyah.

"Ayah dan Bunda, mohon doa restu untuk pernikahan kami berdua."

Ayah Ammar pun langsung menyambut menantunya itu dalam pelukannya.

"Ayah dan Bunda pasti dan akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian berdua. Ayah titipkan anak Ayah satu-satunya, bila Khaira masih kurang berkenan dalam bersikap tolong dibimbing, sayangi dia sebagaimana kami orang tuanya menyayanginya, bila Khaira melakukan kesalahan tolong dimaafkan dan dituntun sebaik mungkin." Ucap Ayah Ammar sembari memeluk erat menantunya.

"Iya Ayah... Bunda..."

Usai sungkeman dengan Ayah Amar dan Bunda Dyah, giliran kedua pengantin melakukan sungkeman kepada kedua orang tua Radit, Ayah Wibisono dan Bunda Ranti.

Khaira bersujud mencium tangan kedua mertuanya itu. "Ayah... Bunda..." Baru ia menyebutkan nama panggilan itu, kedua orang tua Radit telah memeluk Khaira dengan pelukan hangat.

"Khaira, kami juga orang tuamu, Nak. Jangan anggap kami sebagai orang lain, kami sama seperti Ayah Ammar dan Bunda Dyah. Kami juga menyayangi kamu seperti kami menyayangi Radit." Ucap Ayah Wibi dan Bunda Ranti dengan kata-kata yang lembut hingga membuat Khaira menangis, hatinya dapat merasakan bagaimana kasih sayang dari Ayah Wibi dan Bunda Ranti.

"Jangan menangis, Sayang. Kami ada untuk kamu. Selamat bergabung dalam keluarga Wibisono." Ucap Ayah Wibi sembari mencium kening anak menantunya tersebut. Khaira pun menganggukkan kepalanya sembari masih meneteskan air matanya.

Kini giliran Radit yang meminta doa restu dari kedua orang tuanya, "Ayah... Bunda... Mohon doa restu untuk kami berdua." Ucapnya singkat sembari mencium tangan Ayah dan Bundanya.

"Iya Nak, doa Ayah dan Bunda selalu untuk kalian berdua. Belajar menjadi suami yang baik ya, Nak. Belajar menerima dan mencintai istrimu, jangan sakiti hatinya."

Suasana mengharu biru dalam prosesi sungkeman telah usai, acara dilanjutkan dengan foto bersama keluarga dan tamu undangan yang hadir.

Di dalam hatinya Khaira hanya memohon pernikahannya dengan pria asing ini akan berjalan dengan baik, dalam ridho Allah, dan ia akan belajar menjalani takdir yang telah Allah berikan untuknya.

Malam Pertama Menyayat Hati

Pesta pernikahan yang hanya dihadiri keluarga besar dan beberapa rekan kenalan kedua belah pihak pun digelar dengan tanpa gangguan. Di pelaminan dengan dekorasi bunga mawar putih itu, berdiri sepasang pengantin dalam busana jawa berwarna putih yang memberikan kesan suci, tulus, dan romantis.

Sepasang pengantin yang belum mengenal satu sama lain, nyatanya dapat bekerja sama dengan apik, memberikan senyuman mereka kepada setiap tamu undangan yang hadir. Senyuman indah seolah-olah tak pernah luntur dari wajah keduanya. Bukan senyum settingan, tetapi mendengar doa tulus dan ucapan bahagia dari para tamu undangan membuat Khaira bahagia, dia pun berharap bisa menjalani pernikahan yang bahagia, sakinah, mawadah, wa rahmah till jannah bersama suaminya tersebut.

Bagi Khaira tidak masalah apabila keduanya saling mengenal terlebih dahulu, menunggu hingga bunga-bunga kasih sayang bersemi di hati keduanya. Lagipula, waktu yang mereka miliki untuk saling mengenal satu sama lain adalah waktu yang panjang.

Usai semua prosesi pernikahan selesai, Khaira langsung diboyong ke rumah pribadi Radit yang dibelikan kedua orang tuanya sebagai hadiah pernikahannya. Khaira yang telah melepas kebaya, hiasan rambut, hingga membersihkan make up nya harus bersiap meninggalkan rumahnya, meninggalkan kamar sebagai tempat ternyamannya, meninggalkan Ayah Ammar dan Bunda Dyah, dan harus mengikuti suaminya, Radit.

"Ayah... Bunda... Khaira pamit, tapi khaira akan tetap sesekali mengunjungi Ayah dan Bunda." Gadis itu menangis sesegukkan di pelukan kedua orang tuanya.

"Iya Khai... Rumah ini selalu terbuka untukmu. Belajar menjadi istri yang baik ya Nak..." Pesan Ayah dan Bunda kepada anak satu-satunya itu.

"Iya Ayah... Bunda..."

Radit pun berpamitan kepada Ayah Ammar dan Bunda Dyah. Tidak lupa Ayah menitipkan putri kesayangannya itu dan memberikan doa untuk Radit dan Khaira.

"Sekarang kita sudah menjadi keluarga, Mar... Tujuanku menjadi keluarga denganmu sudah tercapai dengan menikahkan Radit dan Khaira. Jangan khawatir, sekarang kami juga orang tua Khaira, kami juga akan menyayangi Khaira sama seperti kami menyayangi Radit. Khaira bukan menantu kami, tetapi putri kami." Ucap Ayah Wibi sembari memeluk Ayah Ammar, mereka yang bersahabat sejak muda kini bisa menjadi keluarga dengan pernikahan kedua anak mereka.

"Titip Khaira ya, Bi... Bimbing anakku satu-satunya. Sayangi anakku itu, bila anakku berbuat salah, tegurlah dia." Sahut Ayah Ammar menepuk punggung sahabatnya itu, sembari menahan matanya yang berkaca-kaca.

"Ya udah, kami pamit ya Besan. Khaira aman bersama Radit, kami juga akan sering-sering mengunjungi mereka."

Akhirnya mobil Ayah Wibi dan mobil pengantin pun berjalan beriringan. Ayah Ammar dan Bunda Dyah berdiri di depan pintu gerbang melambaikan tangannya melepas kepergian anak satu-satunya mengikuti suaminya.

Sementara di dalam mobil, Khaira menangis terisak-isak, walaupun ini hanya perpisahan sementara, tetapi ia begitu sedih. Rumah yang ia tempati sejak kecil, orang tua yang merawatnya setiap hari kini tak ada lagi, statusnya sebagai istri yang harus membuatnya meninggalkan ayah dan ibunya, lalu bersatu dengan suaminya.

Radit yang melihat Khaira menangis terisak-isak, justru menunjukkan raut wajah jengah dengan kelakuan istrinya yang seperti anak kecil.

"Udah gak usah nangis, cengeng banget sih kayak anak kecil." Perkataan itu meluncur begitu saja dari mulut Radit dengan nada yang ketus. Pria itu tidak tahu bila satu kalimat yang ia ucapkan justru menggores hati istrinya itu.

Khaira sama sekali tak membalas perkataan Radit. Dia membuang mukanya dan lebih memilih melihat pemandangan dari balik kaca mobilnya. Kalimat pertama yang suaminya ucapkan justru kalimat ejekan dengan mengatainya 'cengeng'. Padahal anak mana pun tentu akan menangis ketika berpisah dengan kedua orang tuanya, dan mengikuti suaminya. Itu adalah perasaan naluriah yang muncul karena besar kasih sayang anak dan orang tuanya. Bukan berarti cengeng, siapa pun juga menangis ketika harus meninggalkan orang tuanya dan memulai hidup baru bersama suaminya.

Mobil yang ditumpangi Radit dan Khaira membelah jalanan ibukota yang masih ramai, hingga akhirnya mobil itu memasuki area perumahan dengan sistem one gate yang menjaga keamanan seluruh penghuni kawasan perumahan tersebut. Mobil itu terhenti di satu perumahan minimalis dua lantai, dengan cat perpaduan abu-abu dan hitam, dan gerbang teralis bercat hitam yang menjadikan rumah tersebut nampak indah. Keduanya turun dari mobil, dan masuk ke dalam rumah yang nampak baru itu.

"Kamarnya di atas, langsung naik aja." Ucap Radit sembari melangkah duluan menaiki anak tangga. Sementara Khaira pun turut mengikuti langkah kaki suaminya tersebut.

Khaira turut memasuki kamar yang dengan jendela menghadap langsung ke jalan depan rumahnya itu. Ia menyapu pandangannya ke sekeliling, mengamati kamar itu. Terdapat satu tempat tidur berukuran king size, televisi, sofa sedang, meja belajar, serta kamar mandi dalam.

"Ini kamar kamu... Kamu bisa tinggal di sini, aku keluar dulu."

"Makasih, Mas Radit mau ke mana?" Tanya Khaira yang memanggil nama suaminya dengan sebutan "Mas". Sebab, bagaimana pun menurut tradisi Jawa yang sering diceritakan oleh Bunda Dyah, memanggil suami dengan sebutan "Mas" adalah tanda seorang istri menghormati dan menghargai suami.

"Bukan urusan kamu, karena aku tidak akan tidur di sini bersama kamu. Atau jangan-jangan kamu menginginkan malam pertama seperti pasangan pengantin baru pada umumnya?" Sahut Radit dengan menyunggingkan senyuman ketus di sudut bibirnya.

"Tidak..." Sahut Khaira dengan nada lirih.

"Jangan harap untuk mendapatkan nafkah batin dariku, karena aku tidak mencintai kamu. Aku meminangmu tanpa cinta. Aku meminangmu untuk memenuhi perjodohan yang dibuat oleh Ayahku. Dan, aku sudah memiliki wanita lain yang aku cintai. Aku akan menikahinya dengan segera. Wanita yang aku cintailah yang layak untuk menjadi permaisuri hatiku dan mendapatkan nafkah batin dariku, bukan anak kecil yang cengeng kayak kamu."

Usai mengucapkan kata-kata menyakitkan itu, Radit meninggalkan istrinya seorang diri. Sementara Khaira merasakan sayatan di dalam hatinya. Luka tak berdarah! Perkataan suaminya yang panjang lebar nyatanya hanya memberikan duka dan lara.

"Aku juga menerima pinanganmu tanpa cinta, Mas. Tetapi mengapa kamu menjadi suami yang begitu kejam." Ucapan itu terucap begitu saja dari mulut Khaira dan ia menangis tersedu-sedan di tempat tidurnya.

"Jika pinangan harus didasari dengan cinta, memang ini bukanlah pinangan dengan cinta, tapi ini takdir Allah..." Hatinya merasa sembilu dengan setiap perkataan yang diucapkan suaminya di malam pertama mereka. Malam pertama yang seharusnya diarungi kedua mempelai dalam samudra cinta justru berakhir pilu bagi Khaira, di malam pertamanya Suaminya meninggalkannya dan mengatakan akan meminang gadis yang dicintainya.

"Kejam... Kau suami yang kejam, Mas." Khaira merutuki takdirnya lantaran harus membina rumah tangga tanpa cinta. Sekaligus suaminya pun nampak tak menginginkannya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!