NovelToon NovelToon

Terpincut Abang Tukang Bakso Tampan

Tak Sengaja

Siang begitu terik. Sinar matahari seolah mampu membakar permukaan kulit. Angin nampak enggan berwara-wiri, membuat tubuh dikuasai rasa gerah tak terelakan. 

Seorang wanita sedang mengendarai mobil sport keluaran terbaru, hasil produksi dari negara Jerman. 

"Sialan tuh, si Bram! Jadi bener selama ini cuma memperalat gua! Dasar kadal buntung!" Terdengar makian dari bibir sexy wanita itu.  Kacamata hitam yang bertengger di atas hidung bangirnya sesekali menimbulkan rasa tak nyaman. Dia selalu membenarkan letak kacamatanya. 

Suara cacing di perut mulai terdengar seperti bunyi alarm. Wanita mengenakan kemeja navi dengan balutan blezer tengah melirik sisi jalan guna mencari restoran atau cafe yang bisa disinggahi.

Tuling … tuling … 

Deringan ponsel mengalihkan perhatian wanita itu untuk segera mengetahui siapa si penelepon. Tertera nama Sarah —bawahannya— dia menepikan mobil ke sisi jalan dan segera menjawab telepon. "Ada apa, Sar?" 

"Nona belum kembali? Pak Dodi mencari Anda. Setelah makan siang, ada meting dadakan." Sarah menjelaskan dari sambungan telepon. 

"Duh, aku belum nyari makan siang," ucap wanita itu lirih tapi bukan untuk menjawab Sarah. 

Wanita itu menggaruk pelipis,terlihat bingung dan banyak pikiran. Kali ini baru menjawab kalimat Sarah tadi. "Em … bilang pada Dodi 30 menit lagi aku kembali.

Bening Agistasari, perempuan cantik berwajah oval. Memiliki alis tebal, hidung bangir, dengan bibir tipis namun terkesan sexy. Bening, begitu sapaanya dari kecil hingga kini berumur 27 tahun. 

Gadis yang sering disebut perawan tua itu menjabat sebagai CEO di perusahaan Permana Grup. Perusahaan peninggalan dari sang ayah.

Bening hanya tinggal bersama ibunya, sedangkan sang ayah telah meninggal sejak lama karena peristiwa kecelakaan laka lantas. 

Sri Hameng Hastuti, nama ibunda Bening. Wanita paruh baya itu berumur 52 tahun. meski begitu, Mama Has masih terlihat awet muda juga sisa kecantikannya masih sedap untuk dipandang. 

Mama Has asli dari kota Solo, Jawa Tengah. Namun sejak menikah dengan Almarhum Abi Permana, Mama Has ikut pindah ke Ibu Kota. 

Setelah sambungan telepon terputus, Bening menyalakan mesin mobil dan kembali mengendarai mobilnya menyusuri jalanan yang tak pernah lengang. Dia menambah kecepatan mobil guna mempercepat waktu. 

Cacing-cacing di perut begitu memecah konsentrasi, wanita itu sampai tak sadar terlalu memakan bahu jalan. Dan ….

Brak ….!!! 

Pyaaaaaar ….

"Au' …," rintih Bening ketika dahi putih mulusnya harus terbentung setir mobil. Padahal sabuk pengaman selalu digunakan untuk melindungi tubuh. Nyatanya bagian dahi lolos terkena benturan.  

Benjolan sebesar biji salak dengan warna biru kehitaman telah tercetak di dahi Bening. Di atas kepala seolah banyak burung dan bintang berterbangan. Alias merasa pusing nyut-nyutan. 

Pusing yang dirasakan seolah menghilang saat melihat pemandangan di depan mobilnya. Terlihat sesosok pria tergeletak di samping gerobak kayu. Pentol bakso menggelinding hingga ke tengah jalan dan sebagian terlindas ban mobil lain yang melintasi jalan itu. 

Mata Bening melotot hampir keluar. Tidak!!! Dia telah menabrak seseorang. Astaga ….

Bening yang hanya terluka di dahi segera turun dan menghampiri pria yang tergeletak di atas aspal. 

"Hei … kamu gak apa?" tanya Bening. Dia belum tahu wajah pria itu karena membelakangi posisinya. 

"Mbak bisa liat sendiri keadaan saya dan juga barang dagangan saya!" jawab pria itu dengan setengah mendesis. Terlihat ada darah yang menetes dari bagian siku sebelah kiri. 

Bening terbelalak. "Hah, parah gitu?" kagetnya. 

"Emang Mbak gak ngerasa naik mobil ugal-ugalan! Saya udah di jalur pinggir, situ masih nabrak gerobak saya. Masih belajar bawa mobil harusnya jangan nyetir dijalan raya, muter-muter aja dulu di lapangan!" 

Bening yang tadinya kasihan mendadak terserang rasa kesal. "Ditanyain baik-baik malah nyolot," balas Bening juga sedikit menyolot. 

Darah makin banyak menetes, Bening merasa ngeri melihat cairan berwarna merah pekat itu. Bagaimanapun, sudah jelas aturan lalu lintas, pengendara mobil tetap yang disalahkan. Jadi, dia harus bertanggung jawab untuk membawa korban ke rumah sakit. 

Berapa pejalan kaki yang dari tadi hanya sebagai penonton dimintai bantuan untuk membantu si korban masuk ke dalam mobil Bening. 

Sedangkan gerobak bakso beserta pentol bakso yang bercecer di jalanan mulai dibersihkan oleh jasa tukang sapu jalanan yang kebetulan ada di sana. 

Di dalam mobil Bening hanya ada dia dan pria yang tadi menjadi korban. Bening menahan pusing tetap mengendarai mobil dengan konsentrasi penuh supaya kejadian tadi tidak terulang kembali. 

Si korban mendesis-desis merasakan sakit di bagian siku. Sesekali Bening menoleh pria yang duduk di sampingnya. "Sabar, bentar lagi nyampek," ujar Bening. 

"Mbak fokus aja liat jalanan, jangan sampek teledor lagi." 

Bening mengangkat sebelah bibirnya karena kesal mendengar jawaban pria itu. Baginya menyebalkan. 

Rasa lapar yang melanda telah hilang, kini berganti rasa pusing yang teramat dia rasakan. Hari ini begitu sial bagi seorang Bening Agistasari, setelah tadi batal bertemu dengan kekasih hati. Kini justru mendapat masalah baru. 

Setelah sampai di rumah sakit, mereka berdua segera masuk. Luka yang tidak terlalu parah hingga keduanya bisa berjalan normal. 

Perawat menyambut di depan lobi, Bening dan si korban segera mendapat penanganan. 

Jadwal meting penting harus ditunda sebab terjadi halangan secara mendadak. 

Sarah dan Dodi kini sedang menuju rumah sakit. 

Bening hanya mendapat penanganan dengan waktu singkat, sedangkan pria tadi sedikit lama di ruang ICU karena lukanya harus dijahit. 

"Nona, pasien yang datang bersama Anda tadi bernama siapa? Kami butuh identitasnya untuk pengisian formulir." Satu perawat menghampiri Bening. 

"Saya gak tau namanya. Suster tanya langsung aja sama orangnya." 

Perawat yang berdiri di depan Bening mengerutkan kedua alis, tampak tidak suka dengan jawaban Bening yang kurang sopan. 

"Baik, saya akan tanyakan langsung pada orangnya. Tapi mohon Nona tanda tangan di sini sebagai penanggung jawab pasien." 

Bening menandatangani surat yang disodorkan di depannya. Setelah itu perawat mulai menjauh.

Pria tadi sudah kembali dengan siku yang dipasang gips. 

"Udah selesai?" tanya Bening. Pria tadi mengangguk. Nampak keringat sebesar biji kacang polong menetes-netes dari dahinya. Pria itu menatap Bening.

Mata Bening hampir tak berkedip melihat pria yang tadi ditabraknya ternyata memiliki wajah yang lumayan. Terlalu tampan untuk profesi penjual bakso. 

"Malah bengong!" ujar pria tadi. 

"Mas Arga Bima Langit, ini resep obatnya ketinggalan. Anda bisa tebus di bagian farmasi." Perawat mendatangi Bening juga pria tadi yang ternyata bernama Arga Bima langit. 

"Baik, Sus. Terima kasih," ucap Langit dengan memasang senyum di bibirnya. 

"Sama-sama, Mas." 

Sesudah perawat itu pergi, Langit kembali melihat ke arah Bening. "Semua biaya, Mbak yang tanggung 'kan?" 

"Iya, semua saya yang tanggung. Padahal gak seratus persen kesalahan saya. Tapi aturan laka lantas selalu saja pengendara mobil yang disalahkan." 

Gang Rumah Langit

"Maaf. Tapi emang Mbak yang salah. Saya udah di jalur paling kiri, mepet sama pembatas trotoar. Apa Mbak gak liat ada gerobak bakso segitu gedenya di sisi jalan, masih juga ditabrak?" 

"Huh, oke-oke gak usah dibahas siapa yang salah. Mau kek manapun tetep saya yang bayar. Malah nambahin pusing aja," kesal Bening. 

"Bukan cuma biaya rumah sakit, Mbak harus ganti rugi dagangan saya. Termasuk benerin gerobak bakso biar saya bisa jualan lagi." 

"Whaaat? Itu juga harus saya yang tanggung jawab? Kamu mau meras saya!!" Bening geram melihat Langit. 

"Mbak yang udah nabrak saya sampek gerobak saya hancur, belum lagi modal dagangan saya gak bisa kembali. Tangan saya cedera berat, bisa sembuh tapi dalam jangka panjang. Saya gak bisa jualan, saya beli makan pakek uang apa? Mbak pikir, saya harus minta ganti rugi ke siapa kalo bukan ke Embak? Apa saya harus minta ganti rugi ke Pak Presiden? Bisa-bisa Mbak malah kena pidana. Urusannya makin ribet." Dialog panjang dari Langit. 

"Saya gak mau ribet. Saya ganti rugi semuanya sepuluh juta, tapi deal kita gak ada urusan lagi. Gak ada pasal pidana. Gimana?" 

"Dua puluh juta," kata Langit. 

"Buset, banyak banget. Gerobak bakso sama motor beut baru kok mahalan benerin gerobak bakso. Kira-kira aja. Dua puluh juta itu kebanyakan!" 

Keduanya terlibat tawar menawar tentang uang ganti rugi. Bagi Bening bisa saja dia mencairkan uang segitu dalam menit itu juga. Namun, Bening yang selalu perhitungan dengan semua pengeluaran begitu enggan mengeluarkan uang dua puluh juta untuk Langit. Karena baginya uang itu terlalu banyak. 

Jangan sampai pria di depannya mencari kesempatan untuk memerasnya.

"Adek …." Suara sangat familiar bagi Bening mengejutkannya. 

Adek adalah panggilan kesayangan Mama Has pada puteri semata wayangnya. 

Mama Has memang memiliki jadwal cek-up kesehatan. Namun yang Bening tahu jadwal itu dilakukan pagi tadi, tapi kenapa justru siang ini harus bertemu dengan sang mama. Pasti urusannya tambah runyam. 

"Mama …."

"Adek, jidatmu kena apa? Kenapa diperban gitu? Jangan-jangan kamu abis …." Kalimat Mama Has tak berlanjut. 

Wanita paruh baya itu melirik pada pria yang ada di samping Bening. Pria dengan gips bagian tangan kirinya. Mama Has menyorot dengan kekhawatiran saat menebak apa yang terjadi. 

"Iya Ma. Bening gak sengaja nabrak orang ini. Dan jidat Bening kebentur setir mobil, makanya diperban," jelas Bening sedikit takut. 

Bening tahu jika mamanya sangat parno mendengar kata tabrak-menabrak atau kata kecelakaan. Mama Has memiliki cerita kurang enak tentang kata itu. Akan mengingatkan pada peristiwa duka yang dialami sang suami hingga nyawanya melayang. 

Mama Has meraih dinding untuk sanggahan, lalu duduk di kursi tunggu yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Tangan kanan memegangi dada yang langsung berdebar. Lutut mendadak lemas. Begitu memang reaksinya ketika mendengar kata itu. 

Bening segera ikut duduk di samping mamanya. "Ma, gak apa. Bening dan pria itu gak kenapa-napa. Cuma luka ringan aja. Mama bisa liat, tubuh Bening baik-baik saja. Juga pria itu. Cuma luka di bagian tangannya." Bening menjelaskan dengan menunjuk Langit. 

"Mbak bilang gak kenapa-napa? Ini parah lho, Mbak. Kemungkinan dua bulan tangan saya baru bisa sembuh. Saya gak bisa cari nafkah. Saya gak bisa penuhin celengan ayam saya buat biaya kawinan," sahut Langit. Pemuda itu bergeser dan menatap penuh pada perempuan dengan wajah memerah karena menahan geram. 

"Tangan saya ini patah, Mbak. Bagaimana saya akan berjualan untuk mencari nafkah?" sambung Langit. 

"Mas bisa diem dulu, gak? Saya bakal tanggung jawab. Kondisi Mama saya sedang kurang baik, Mas jangan banyak bicara." 

"Tangan kamu patah?" sela Mama Has terlihat ngeri.

"Iya Tante. Dan karna anak tante, saya gak bisa jualan lagi. Gerobak saya hancur, dagangan saya habis tercecer di jalan. Belum lagi saya butuh 2 bulanan supaya bisa beraktivitas lagi." 

"Rumah kamu dimana, Nak? Nanti biar Tante yang ikut tanggung jawab. Maklum anak tante sibuk, biar Tante yang gantiin ngurus semuanya."

"Ma …." Bening menatap Mama Has dengan kernyitan di dahi. Sangat tidak setuju dengan perkataan Mamanya. 

Lebih baik dia memberi uang dua puluh juta pada Langit daripada masih berurusan panjang.

"Adek, kamu gak kasihan kalo dia gak bisa nyari nafkah lagi. Mama gak tau siapa yang salah, tapi liat lukanya sangat parah, Mama gak tega. Kita kudu tanggung jawab sampek dia sembuh. Termasuk itikad baik kita untuk memenuhi kebutuhan pokoknya." 

"Gak separah itu lho Ma," sahut Bening. 

"Adek …!" Nada bicara Mama Has berubah, pertanda Bening tidak bisa membantah lagi. 

Apalagi yang Bening lakukan selain mengembus napas kasar. 

Lorong terdengar suara gesekan sepatu, ternyata Dodi dan Sarah baru datang. 

"Nyonya, Nona" sapa Dodi. 

"Nona baik-baik saja?" Berganti Sarah menanyai atasannya dengan meneliti perban di dahi Bening. 

Bening mengangguk. "Aku baik saja. Urus biaya rumah sakit. Aku akan pulang untuk istirahat. Batalkan semua jadwal sampai besok."

"Baik, Nona," jawab Sarah. 

Langit memperhatikan orang-orang berpakaian rapi itu dengan menebak orang-orang itu bukan dari kalangan biasa. Meski begitu dia tidak gentar menuntut pertanggung jawaban yang benar.

"Adek pulang bareng Mama, mobilnya biar dibawa sama anak buahmu. Sekalian kita anterin dia pulang," usul Mama Has. 

"Ma, Bening pusing banget. Kita langsung pulang aja, yang luka itu tangannya. Dia bisa pulang naik angkot," elak Bening. Meski pria yang ditabrak tadi berwajah tampan, namun Bening sudah kesal lebih dulu dengan sikap Langit. 

Tak bisa dibantah. Lagi-lagi seperti itu, hingga saat ini Bening duduk anteng di samping kemudi. Mobil itu disetir oleh supir pribadi Mama Has. 

Di kursi belakang ada Mama Has juga Langit yang terlibat percakapan ringan. 

Bening memegang bagian pelipis. Rasa pusing belum juga reda. Pandangan matanya melihat ke luar jendela. Mobil yang ditumpangi kembali melewati jalan terlibat kecelakaan tadi. Pentol bakso sudah tidak ada. Jalanan itu sudah bersih. 

Ternyata rumah Langit tidak begitu jauh dari lokasi kejadian. Berjarak lima kilometer telah sampai pada rumah sederhana dengan cat biru langit dan halaman yang terlihat sejuk karena ada dua pohon besar di sisi sebelah kanan-kiri. 

"Ini rumah saya, Tante. Mari, mampir," kata Langit menawarkan Mama Has untuk singgah ke rumahnya. 

Mama Has menurunkan kaca mobil dan melihat rumah Langit. "Sejuk banget, ya. Nanti kapan-kapan Tante jenguk kamu lagi. Maaf Tante gak bisa mampir sekarang, anak tante harus istirahat," tolak Mama Has. 

Keduanya sudah akrab hanya dengan berbincang singkat di dalam mobil. 

Di kursi depan Bening tak berniat ikut bersuara. Wanita itu justru acuh. 

Memesan Bakso

Dua hari setelah kejadian itu, hari ini Bening telah bersiap kembali masuk ke kantor. 

Memilih kemeja putih dipadupadankan dengan blezer cream. Rok pendek ketat menjadi salah satu style kesukaannya. 

"Pagi, Ma," sapa Bening ketika duduk di meja makan. Ada Mama Has lebih dulu di sana. 

"Pagi, Dek." 

"Ma, umur Bening udah 27 tahun masih aja dipanggil Adek! Malu tau, Ma," protes Bening. 

Mama Has menanggapi dengan senyum lucu. "Kenapa malu? Bagi Mama kamu tetep pantes dipanggil Adek. Itu panggilan kesayangan Mama." Wanita paruh baya  penuh kelembutan itu mengambilkan roti bakar untuk Bening juga segelas susu yang kini disodorkan di depan puterinya. 

"Dan, itu tadi kamu inget kalo umurmu udah 27 tahun. Kapan mau akhiri status lajangmu?" tanya Mama Has. 

Bening menunduk. Jengah. Ratusan kali telinganya terasa panas mendengar pertanyaan yang hampir sama. Bukan cuma Mama Has yang bertanya demikian, tetapi saudara, rekan bisnis, teman kantor juga teman masa kuliah sering menanyakan hal itu sewaktu mereka bertemu. Sangat membosankan. 

Bahkan dari mereka ada yang menganggap statusnya sebagai guyonan  tidak penting. Yang mana membuat Bening muak. 

Tak mendengar jawaban dari anaknya. Mama Has mengalihkan topik pembicaraan. "Nanti Mama jenguk Langit, ya." 

Bening mendongak lalu mengernyit. "Ngapain Ma? Kan Bening udah bayar uang ganti rugi yang dia minta. Gak usah kesana lagi, kita udah gak ada urusan." 

"Jangan gitu, kasihan kamu tabrak dia sampai tangannya patah. Dia gak bisa jualan lagi, Dek. Mama cuma pengen tau perkembangannya aja." 

"Terserah Mama kalo gitu. Yang penting Bening udah tanggung jawab. Dan gak ada urusan lagi ama tabrakan yang kemarin." 

"Ma, Bening harus berangkat sekarang. Ada meting pagi buat gantiin meting yang cancel kemarin." Bening berpamitan. Dia memilih menyudahi sarapan paginya walau belum kenyang. Satu hari mengambil cuti, kerjaan di kantor telah menumpuk meminta untuk diperiksa. 

"Hati-hati ya, Dek. Berangkat bareng Mang Juri. Jangan nyetir sendiri!" pesan Mama Has yang tidak bisa dibantah. 

"Iya-iya, Ma. Da … Mama …." Bening menghampiri Mamanya lalu mencium pipi kanan dan kiri wanita yang telah melahirkannya itu. Setelah itu berlalu menuju pintu depan. 

Mama Has mengikuti puterinya, mengantar dan menunggu di depan pintu. Setelah mobil melaju ke jalan raya, Mama Has baru masuk kembali ke dalam rumah. 

"Gimana keadaanmu, Nak Langit?" tanya Mama Has saat sudah singgah di ruang tamu rumah Langit. 

"Alhamdulillah, baik, Tante. Cuma untuk tangan kiri masih belum pulih." 

Saat mobil yang mengantar Mama Has sampai dihalaman rumah Langit, pria bertubuh jakung itu baru pulang dari pasar. Tangan sebelah kiri memang masih dibebat gips, namun tak lantas membuat pria itu bisa diam di rumah. 

Dia tetap berusaha belanja kebutuhan dapur. 

Langit menempati petak rumah itu bersama wanita renta yang dipanggilnya Mamak. 

Setiap hari Langit-lah yang bepergian kesana kesini karena Mamak tidak bisa pergi jauh, Beliau menderita linu di persendian kakinya. Jika berjalan jauh, maka penyakit linu di kaki Mamak akan kambuh. 

"Tangan kamu masih sakit, kenapa kamu udah pergi belanja?" 

"Kalo saya gak pergi belanja, saya dan Mamak gak bisa makan, Tan. Mamak udah tua, gak bisa pergi jauh. Jadi Langit yang harus pergi-pergi." 

Terbesit rasa kagum pada pria muda di hadapannya. Baru dua kali bertemu, Mama Has telah menyukai kepribadian Langit. 

Mamak muncul membawa nampan berisi minuman. Meletakan di atas meja dan menyuguhkan di depan tamunya. "Silahkan diminum, Bu." Mamak mempersilahkan. 

"Makasih, Nek. Malah merepotkan gini," ucap Mama Has agak sungkan. 

"Gak apa, cuma bisa suguhin minuman saja," kata Mamak. 

"Tidak apa, Nek. Ini juga sudah cukup." 

"Ada perlu penting ya, Ibu datang lagi kemari?" 

"Tidak Nek, saya cuma mau jenguk kondisi Langit. Apa sudah membaik atau perlu pengobatan lagi." 

"Alhamdulillah kondisinya sudah membaik, Bu. Berkat uang ganti rugi dari anak ibu, Langit bisa berobat ke dokter juga pergi ke ahli tulang untuk menyambung tulang tangan yang patah. Mungkin dua Minggu lagi Langit bisa jualan bakso lagi," cerita Mamak.

Obrolan mereka tetap berlanjut. Membicarakan topik apapun yang bisa dibahas. Mamak maupun Langit nampak ramah menanggapi Mama Has, hingga wanita paruh baya itu langsung akrab dengan mereka. 

4 minggu kemudian. 

Langit mendorong gerobak bakso yang sudah diperbaiki menjadi lebih bagus. Seperti biasa, Langit memiliki tempat sewa mangkal di jalan Lobak Kemangi. 

Pria itu memasang tenda orange, bahkan belum usai dengan kegiatannya berapa orang telah mendekat. 

"Bang, kemana aja? Lama banget gak dagang?" 

"Abis kecelakaan, Neng. Ketabrak mobil sampek tangan saya sebelah kiri patah. Makanya libur dagang," jawab Langit ramah. 

Setiap pembeli berjenis kelamin perempuan dan juga masih muda akan dipanggil dengan sebutan 'Neng'. 

"Kok bisa, Bang? Tapi Abang udah gak kenapa-napa 'kan?" 

"Alhamdulillah, sekarang udah sembuh, Neng. Ini mau pesen bakso yang gimana?" 

"Bakso pentol uhui gak pakek mie ya, Bang. Dah lama gak makan bakso Abang, sampek kangen. Bukan kangen baksonya aja, tapi kangen sama orangnya juga," canda wanita itu dengan kikikan geli. 

Langit hanya menanggapi dengan senyuman manisnya. Senyum yang mampu memikat para kaum hawa, muda, tua bahkan nenek-nenek juga ada yang terpincut. Pesona yang dimiliki Langit tak dapat terelakan. 

Bening menggerutu saat mematikan sambungan telepon. Bagaimana wanita itu tidak kesal saat Mama Has menyuruhnya mampir ke tenda bakso Langit. Dia sebenarnya sudah enggan mengingat pria pemeras itu. Dua puluh juta diberikan untuk ganti rugi, bukankah itu merugikannya? 

"Mang Juri, nanti berhenti di Jalan Lobak Kemangi. Beli pesenan Mama." 

"Siap, Nona." 

Turun dari mobil Bening dibuat terbelalak melihat antrian pembeli bakso. Menguar begitu panjang seperti antrian penerima bantuan.

Dia melangkah melewati antrian, baginya tak ada waktu mengantri seperti orang-orang itu. 

"Pesen dua mangkok bakso. Yang satu banyakin bihunnya tapi gak pakek daun kemangi, gak pakek saus tapi banyakin kecapnya. Kalo satunya, pakek semua tapi kecapnya yang sedikit. Juga banyakin daun kemanginya. Kuahnya juga dibanyakin tapi jangan dikasih gajihnya."

Langit yang sibuk meracik pesanan bakso dibuat keheranan dengan satu pembeli yang begitu rumit hanya memesan dua mangkok bakso saja. 

Apalagi pembeli kali ini mengatakan tidak memakai daun kemangi. Tentu saja pria itu keheranan. 

'Sejak kapan bakso memakai daun kemangi? Ini lapak bakso, bukan warung ayam bakar. Ada-ada saja.' Batinnya. 

"Nanti saya buatkan, ya, Mbak. Tapi Mbak harus antri dulu seperti yang lain. Kasihan mereka udah nunggu lama, mereka belum saya layani. Mbak harap sabar," ujar Langit tanpa balik badan. 

"Saya gak punya banyak waktu buat ngantri. Bikinin sekarang juga!"

"Tapi Mbak …." Langit akan bersuara lagi, tapi ketika membalikkan badan dibuat terkejut dengan wanita di depannya.  

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!