Angin malam menderu memecah kesunyian, pelan tapi pasti, menciptakan nada sendu yang menenangkan jiwa.
Terlihat pantulan seorang gadis di dalam air. Dia melihat dirinya sendiri yang sedang berurai air mata.
Apakah kehidupan memang berlaku kejam terhadapnya? dia sudah melakukan yang terbaik, tapi tidak ada yang benar-benar memahaminya.
Baru saja dia kehilangan sahabat satu-satunya.
Selama ini dia tinggal sendirian, ia juga tidak mengingat tentang masa kecilnya. Yang dia ingat sejak usia 12 tahun, dia sudah berada di rumah kecilnya sampai saat ini.
Meski begitu, setiap bulan dia selalu menerima uang yang terbilang banyak. Tidak tahu siapa yang mengirimnya. Namun karena benar-benar membutuhkannya, dia terpaksa menerima uang itu.
Untunglah sampai saat ini dia baik-baik saja. Mungkin uang itu dari salah satu keluarganya, tapi sudahlah dia tidak terlalu menghiraukannya.
Seringkali dia menjadi gunjingan orang-orang di sekitarnya, karena keberadaannya yang entah dari mana dan tiba-tiba tinggal di sana.
Atreya Shaquellia, mahasiswi fakultas kedokteran yang berumur 20 tahun. Gadis cantik yang pendiam dan dingin, dia tidak dekat dengan siapapun. Sifatnya yang dingin membuat semua orang pun acuh padanya.
Hanya Meylina Sandra, gadis keturunan China yang mau mendekatinya. Dia selalu ceria dan penuh semangat.
Dua orang dengan karakter yang bertolak belakang menjadi sahabat yang saling menyayangi, mungkin bagi sebagian orang terlihat mustahil. Tapi tidak bagi mereka.
Mungkin di depan semua orang, Atrea selalu menampakkan sikapnya yang dingin dan pendiam, tapi tidak di depan Mey.
Setidaknya di dalam kehidupannya masih ada orang yang peduli padanya.
Sayangnya hal itu tidak bertahan lama.
flash back on
Pagi itu semua berjalan seperti biasanya....
"Reya!! ", seorang gadis berlari ke arahnya, mendengar suara itu dia pun menoleh.
"Ya ampun Mey, pelan dikit dong", keluhnya masih mempertahankan wajah datarnya.
"Dasar! sekali-kali ilangin tuh muka keramik!", sahut Meylina yang dibalas pelototan tajam dari Atrea.
"Aku mana ada bawa keramik, rumah aja cuman diplester??", jawab Atrea yang masih belum mengerti ucapan sahabatnya. Sementara Meylina hanya menepuk jidatnya.
"Ya elah Rey, muka kamu tuh muka keramik, dingin!",
"Biarin, kan banyak yang suka dan poin pentingnya banyak dibutuhkan",
"Sejak kapan kamu merasa disukai banyak orang?",
"Bukan aku, tapi keramiknya hehe!",
"Ampun deh ngomong sama kamu",
"Hmmm???", Atreya tak lagi menanggapinya.
Meylina segera berjalan mendahului Atrea. Namun dia kembali lagi menghampirinya.
"Apa lagi?", ucap Reya ketus.
"Hmm... sahabatku ini cantik, pintar lagi. Tapi nggak ada pacar, sayang banget nggak sih?", Mey menyunggingkan senyum misteriusnya.
"Meylina!!, aku sedang fokus dengan kuliah jangan ngomong yang macem-macem ah!!'',
"Rey, kamu nyadar nggak sih kalau mulai dari sekarang kamu harus mulai mencari sosok pendamping.",
"Nggak ah, baru juga 20 tahun",
" Usia 20 tahun itu sudah cukup, atau aku yang akan memperkenalkanmu pada seseorang?", Mey terus memaksanya.
"Nggak usah, nanti juga datang sendiri",
"Gimana mau datang kamunya aja kayak gitu terus??",
"Bodo amat!!", ucapnya sembari menjauh menghindari Mey.
"Eh, Rey... kok aku malah ditinggalin sih", Mey segera menghampiri sahabatnya.
Seperti biasa, mereka akan bercanda tawa bersama.
bahkan tak jarang mengucapkan sesuatu yang bahkan mereka sendiri pun tidak tahu maksudnya.
Jam kuliah berlangsung, Atreya dan Mey tidak berada dalam satu ruangan karena mereka mengambil jurusan yang berbeda. Atreya mengambil jurusan kedokteran, sementara Meylina mengambil hukum.
Karena Ayahnya adalah seorang pengacara, dan Meylina ingin mengikuti jejak Ayahnya.
Disaat semua orang sedang fokus mengikuti pelajaran yang berlangsung, tiba-tiba terdengar gemuruh petir yang memekakkan telinga. Diiringi awan hitam yang menjalar menutupi langit yang cerah.
'Perasaan apa ini?' Atreya merasa cemas dan ketakutan, perasaan ini seperti pernah dialaminya.
Tapi kapan?di mana?sekilas muncul sosok bayangan di dalam kepalanya, dan lehernya terasa sakit. Dia meraba lehernya yang sakit, tapi tak ada apapun.
'Mungkin hanya kecapean, kemarin aku mengerjakan tugas sampai malam hingga tertidur di meja belajar', akhirnya dia hanya membiarkan rasa sakit itu terus berdenyut di lehernya.
Berfikir bahwa itu karena ulahnya sendiri. Tapi tak sesederhana itu, dari kejauhan nampak pria paruh baya yang mengendarai mobil porse hitam mendekat menuju kampusnya.
"Kita akan segera sampai, Tuan", sahut seseorang yang menyetir mobil itu.
"Hmm... ", orang yang diajak bicara hanya menjawabnya singkat. Dia duduk di belakang sambil mengamati jalanan yang mereka lalui, tapi pikirannya menerawang jauh seakan akan ada hal besar yang terjadi.
"Tunggu saja, aku akan segera menjemputmu!", laki-laki itu beralih menatap kampus tempat Atreya berada, wajahnya nampak suram, "Ini sudah saatnya, kau akan mengetahui siapa dirimu sebenarnya",
Di lain tempat semua orang bersiap untuk pulang karena pelajaran telah usai. Seperti biasa Reya akan pulang bersama sahabatnya.
"Hmm... apa menurutmu akan ada badai besar?", Mey terus memperhatikan awan hitam yang semakin pekat.
"Mungkin", Reya hanya menjawab singkat, dia masih memikirkan sosok yang muncul di kepalanya. Lagi pula sosok itu tidak begitu jelas dan dia juga tidak mengingat apapun.
"Bukankah musim kemarau belum berakhir? kenapa rasanya sangat mengerikan", Mey bergidik ngeri, benar! gemuruh dan awan itu memberikan kesan yang menakutkan.
Mereka berdua berjalan menuju gerbang sekolah.
Tiba-tiba ada dua mobil besar yang berhenti di depan mereka. Lalu turun beberapa laki-laki yang mengenakan pakaian hitam bertudung. Seketika kepala Atreya sakit, seperti ada yang mau keluar. Dia terus memegangi kepalanya. Mereka menghampiri Atreya, tapi dihadang oleh Mey.
"Siapa kalian?" Mey terus menghadang mereka, dia tidak akan membiarkan orang-orang itu mendekati sahabatnya, apalagi sepertinya kondisi Atreya tidak terlalu baik.
Entah mengapa tempat itu menjadi sangat sepi, hanya ada mereka berdua dan beberapa orang bertudung yang kira-kira berjumlah delapan orang.
Dua orang diantaranya mencoba mendekati Atreya, tapi Mey mencoba menahannya dengan mengeluarkan jurus takewondonya.
Dia berhasil menghalangi mereka, tapi...
"Mey!!!", Atreya berteriak histeris, salah seorang diantara mereka menggigit lehernya hingga ia tak sadarkan diri. Atreya mendekatinya, tapi sia-sia dia sudah kehilangan nyawanya.
"Mey... bangunlah, apa yang terjadi padamu?", Atreya mendekapnya, tampak darah segar masih mengalir dari lehernya. Luka itu terlihat sangat dalam.
Kemudian dia beralih menatap orang-orang bertudung itu. "Siapa kalian? kenapa kalian melakukan semua ini? ", dia mulai gemetaran, kepalanya masih terasa sakit tapi dia juga gemetar ketakutan mengetahui bahwa yang di depannya saat ini bukanlah manusia. Dari posisinya saat ini dia dapat melihat mata mereka yang semerah darah, juga taring tajam yang mereka miliki.
"Huh... itu tidak penting, sekarang kau harus ikut dengan kami", ucap salah satu diantara mereka.
"Tidak! jangan mendekat!", Atreya sangat ketakutan dia masih mendekap sahabatnya, dia juga sedih karena satu-satunya sahabat yang dia punya telah pergi meninggalkannya.
Saat kedua tangannya ditarik paksa, tiba-tiba terdengar suara tembakan dan mereka semua hancur menjadi debu . Dia tercengang, otaknya berusaha menangkap semua kejadian di depannya.
"Kau tidak apa-apa?", seorang laki-laki membuyarkan lamunannya, dia tersenyum ramah sambil mengulurkan tangannya.
Setelah itu dia dibawa oleh mobil laki-laki yang menolongnya, sementara Mey...
Jasadnya dipulangkan ke rumah orang tuanya. Entahlah, bagaimana nasib kedua orang tua Mey setelah mengetahui putrinya meninggal secara tidak wajar.
Apakah mereka akan menyalahkannya? lalu apa yang akan dia katakan di hadapan mereka? putrinya meninggal karena dihisap vampir?Huh..tidak akan ada yang percara padanya.
flash back off
Kini dia hanya bisa membagi kesedihannya bersama rembulan dan bintang-bintang yang bersinar menghiasi langit malam.
"Jangan khawatir, mereka tidak akan mencurigaimu." dia buru-buru menyeka air matanya, lalu berbalik menatap pemilik suara itu.
"Apa maksudmu?", saat ini pikirannya sedang kacau, begitu juga dengan hatinya.
Pria itu tersenyum, lalu mengambil tempat di sampingnya, "Tidak akan ada yang tahu tentang kejadian itu, semua orang hanya tahu kalau temanmu meninggal dalam kecelakaan mobil,"
Atreya terkejut, "Tidak mungkin! meskipun hanya aku yang menyaksikan kejadian itu, tapi luka di lehernya terlihat jelas dan itu bukan hal yang wajar, bukankah kau juga melihatnya?,"
'Apa maksud pria ini, jelas-jelas ada makhluk seperti itu. Tapi dia bisa bersikap seolah tidak terjadi apapun.
Apa mungkin dia juga... '
Dia bergeming, raut wajahnya perlahan berubah datar.
"Sebaiknya kau tidak membahas kejadian itu lagi, lagipula semua sudah berlalu," ucapnya dingin.
Atreya semakin tidak mengerti, kenapa pria itu tiba-tiba menyuruhnya melupakan kejadian tadi. Bukankah tadi dia yang menolongnya? lalu kenapa?
"Kenapa? aku tidak boleh...," suaraku tercekat, rasanya sulit sekali untuk mengeluarkannya. 'Kenapa aku malah terisak dan air mataku keluar tanpa aba-aba'.
Pria itu menatapnya dengan tatapan yang tidak dimengerti, sedang Atreya masih berusaha untuk meneruskan kalimatnya.
"Sejak dulu aku hidup sendiri, tidak tahu di mana keluargaku, tidak mengenal siapapun."
"Tapi kemudian Mey datang, dia menjadi satu-satunya orang yang menjadi temanku, kami selalu bersama, sekarang dia sudah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya dan kau menyuruhku untuk melupakan kejadian itu?"
"Ini bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan, kau akan lebih aman jika tidak mengungkitnya lagi.
Lupakan kejadian itu, pulanglah! anggap saja kau tak pernah melihatnya," ucapnya datar, tapi tatapannya saat ini sangat mengerikan bahkan lebih mengerikan dari orang-orang yang tadi. 'Tunggu! apakah dia juga salah satu dari mereka?'
Dia mulai berjalan menjauh, tapi kemudian berhenti, "Tidak ada gunanya, sebentar lagi kau akan melihat sendiri, kenyataan di depan matamu!" dia berbicara tanpa menoleh sedikitpun pada gadis itu, setelah mengucapkannya dia berlalu pergi.
"Apa maksudnya? aku akan aman? tapi kenapa? "
......................
"Tuan muda," seru seorang pria paruh baya yang kini berada di hadapannya.
"Kau menemukan sesuatu?" pria itu menyerahkan beberapa lembar kertas, seperti berisi informasi tentang seseorang.
"Kupikir dia hanyalah gadis biasa, tuan!" pria itu menimpali.
Benar saja, di kertas itu hanya bertuliskan data diri lengkap tanpa informasi mengenai salah satu keluarganya.
"Jadi benar apa yang dikatakannya, dia memang hidup sendirian, tapi kenapa mereka mengincarnya?" Dia masih bertanya-tanya siapa sebenarnya gadis itu.
"Apa hanya ini yang kau dapatkan, Parvis?"
"Benar tuan, apakah ada sesuatu yang mengganggu anda? "
"Entahlah, jika dia benar-benar gadis biasa kenapa mereka mengincarnya?" dia masih menimang-nimang kemungkinan yang ada.
"Maksud tuan dengan mereka?"
"Pemburu bayangan, aku bertemu dengan mereka saat menolong gadis itu," Parvis terkejut, meski dia belum melihat langsung gadis itu tapi kini dia memiliki pemikiran yang sama dengan tuannya.
......................
Atreya masih berdiri memandangi kolam di belakang villa, kemudian datanglah seorang pelayan perempuan, sepertinya dia seumuran dengan Atreya. "Nona, silahkan ikut saya!," ucap perempuan itu.
"Baiklah," Atreya mengangguk lalu mengikuti pelayan itu.
'Apakah pria itu menyuruhku pulang sekarang? tapi ini sudah larut malam, lagipula aku tidak tahu tempat apa ini' batin Atreya. Dia berpikir orang yang menolongnya akan menyuruhnya pulang.
Tapi pelayan itu mengantarnya masuk ke villa. Villa itu sangat indah. Jalan menuju pintu masuk berlantaikan batu alam berwarna merah bata, di samping kanan kiri jalan ditanami mawar putih. Halaman depan dipenuhi rumput hijau yang dipangkas rapi, Atreya terkagum-kagum melihatnya.
Tapi di sisi lain ia merasa familiar dengan pemandangan ini, tapi di mana. Seingatnya dia belum pernah pergi ke tempat seperti itu. Penjaga pintu membukakan pintu untuk mereka,setelah pintu terbuka Atreya makin membelalakkan matanya.
Sebenarnya dia sudah melewati tempat itu, tapi karena terlalu sedih dengan kepergian sahabatnya dia tidak begitu memperhatikan seisi ruangan. Dia langsung menuju belakang villa di mana terdapat kolam ikan besar denga air mancur kecil di keempat sisinya.
Diluar dugaan, pelayan itu mengantarnya menuju sebuah ruangan dan kini mereka berada di depan pintu. "Silahkan Nona beristirahat terlebih dulu, kunci kamar ada di dalam,"
"Eh.. bukannya aku disuruh pulang ya?"
Pelayan itu tersenyum ramah, "Tidak nona tuan Reza menyuruh kami menyiapkan kamar untuk nona, sekarang nona bisa beristirahat terlebih dulu,"
"O.. oh baiklah, terima kasih," ucap Atreya gugup, dia merasa tidak enak telah berprasangka buruk terhadap orang yang telah menyelamatkannya. Pelayan itu membungkuk kemudian pergi.
Atreya memasuki kamar itu, "Wow... kamar ini lebih besar dari rumahku," kamar itu bernuansa putih dengan tempat tidur king size di ujung kiri, di sebelahnya terdapat meja dengan cermin oval yang disatukan dengan meja, juga tempat pakaian di sebelah kiri dengan sofa yang berada tak jauh dari meja. Terdapat pintu yang terbuat dari kaca yang menghubungkan dengan balkon.
"Hah... aku tidak mengerti pikiran orang kaya, mereka menghamburkan begitu banyak uang untuk membuat sebuah rumah," Atreya merebahkan dirinya di kasur itu 'sangat nyaman' kata-kata itu yang terbesit di pikirannya, lalu dia berpindah menuju alam mimpi.
Di sisi lain, nampak seorang pria paruh baya yang disekap di sebuah gudang dihajar habis-habisan oleh sekelompok laki-laki bertubuh kekar. Dia hanya diam.
"Berhenti!" kemudian datang orang berjas hitam, wajahnya menampakkan ketegasan, salah satu pelayannya mengambilkan kursi lalu dia duduk di depan pria paruh baya itu.
"Katakan! di mana dia? kau masih punya waktu sebelum matahari terbit," kata-katanya menunjukkan penekanan yang menakutkan, meski begitu pria itu tetap bungkam.
"Jadi kau tetap memilih diam, huh... James kau memang anjing setianya," laki-laki itu menyunggingkan senyum, memandangnya remeh. Pria itu menyeringai,
"Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti nona, sampai kapanpun kau tidak akan bisa menemukannya!" dia tetap bersikukuh. 'Sekarang aku bisa tenang meski malam ini adalah malam terakhirku, setidaknya nona telah bertemu dengan tuan muda. Kuharap tuan muda tahu kalau gadis itu adalah adiknya. Parvis.. kuserahkan semuanya padamu'.
"Cih... dasar tidak berguna, sudahlah biarkan saja dia di sini, dia tidak akan beetahan lama!" laki-laki itu beranjak dari kursinya,
"Kenapa kau melakukan semua ini, Jo? bukankah tuan besar sangat mempercayaimu."
"Dia sudah menganggapmu saudaranya, dan kau malah menghabisi tuan dan nyonya," dia berteriak lantang, lalu laki-laki yang bernama Jonathan itu berhenti.
"Kau tidak tahu apapun, meski kau mengerti semua yang terjadi tidak akan berubah dan aku akan tetap pada pendirianku," ucapnya tanpa menoleh, meski begitu James tahu persis bahwa dia menyimpan amarah juga kesedihan yang mendalam.
Setelah laki-laki itu pergi, orang-orang yang tadi menghajarnya pun ikut pergi. Kini dia terikat sendirian di dalam gudang.
"Huh... apa maksudnya berkata begitu, aku tidak percaya kau melakukannya Jo."
"Tapi kenapa harus kau yang ada di sana waktu itu dan kau malah melarikan diri, sebenarnya apa yang terjadi,"
Dia menerawang lewat jendela yang mengarah langsung pada bulan. Tapi untunglah ia selamat malam ini.
Nampak sepasang suami istri berdiri di hadapannya, mereka tersenyum penuh kasih sayang. Entah mengapa dia merasakan rindu yang mendalam, hatinya begitu sakit. "Ayah... ibu...," dia mengucapkan kata-kata itu begitu saja.
Dia mencoba meraih mereka, tapi kedua orang itu semakin menjauh, "Tinggallah bersama kakakmu, kau akan aman," detik berikutnya mereka sudah tidak terlihat lagi.
"Tidakkk," dia langsung terduduk, lalu melihat sekelilingnya. Dia masih berada di kamar itu, berarti yang tadi hanya mimpi. Dia memijit pelipisnya, mencoba mengingat kembali mimpinya barusan.
'Ayah, ibu?' di dalam mimpinya dia memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu begitu saja. Padahal dia belum pernah bertemu dengan mereka.
"Mimpi yang aneh!" dia menyibak selimutnya lalu berjalan membuka tirai. Matahari masih bersemu oranye lalu dia melihat ke arah belakang, begitu banyak macam bunga di dunia ini tapi kenapa pria itu memilih warna hitam? padahal di luar ditumbuhi mawar putih?
Seorang pelayan memasuki kamar itu, dengan membawa beberapa helai pakaian.
"Silahkan nona bersiap-siap, tuan muda menunggu anda di bawah," pelayan itu meletakkan pakaian itu di sofa, sementara dia mematung denga berbagai pikiran yang masuk di kepalanya.
"Anda bisa menggunakan kamar mandi di sini," ujar pelayan itu kemudian. Pria itu bahkan menyiapkan pakaian untuknya, dan sekarang dia menunggunya di bawah.
Pelayan itu masih berdiri di sana seolah meminta persetujuannya, "Ba.. baiklah,"
Pelayan itu mengangguk lalu keluar. Sementara itu Atreya bergegas mandi sebelum pria itu marah karena terlalu lama menunggunya, pikirnya.
Alfareza Sanders, pengusaha muda yang menjalankan bisnis minyak dan batu bara. Dia masih berusia 26 tahun, tapi sudah memegang kendali proyek bahan bakar di berbagai negara.
Namun siapa sangka, identitasnya sebagai pengusaha hanya pengalihan atas jati dirinya yang sebenarnya.
Makhluk haus darah yang juga mendiami dunia ini.
"Kau sudah memeriksanya?"
"Ya tuan Reza, dia akan segera turun,"
"Kau boleh pergi,"
Sang pelayan memberi hormat kemudian pergi.
'Jika dia benar kau, aku tidak akan membiarkan mereka mendekatimu', Atreya pun turun dan Reza memperhatikan gerak-geriknya. Atreya yang merasa diawasi pun membuka suranya.
"Apakah ada masalah, tuan?" dia segera mengambil tempat duduk yang berjarak dua kursi dari Reza.
"Tidak ada, makanlah, setelah itu kau ikut denganku!"
"Apakah kita akan pergi ke suatu tempat?" Atreya bertanya dengan polosnya.
"Tidak, aku hanya ingin menunjukkan sesuatu padamu," ucapnya santai tanpa persetujuan Atreya atau lebih tepatnya dia tidak ingin gadis itu menolak, lalu menyantap makanannya.
Atreya hanya mengangguk setuju lalu ikut menyantap makanannya.
Selesai makan Atreya mengikuti Reza, pria itu membawanya menuju taman belakang tempat di mana kolam ikan yang ia singgahi kemarin berada.
"Untuk apa kita kemari, tuan?" dia berhenti, sementara Reza mendekati kolam itu.
"Kau akan segera mengetahuinya setelah kita sampai,"
Di tempat itu hanya ada mereka berdua dan juga Parvis, pengawal setia Reza. Sebelumnya Parviz menyuruh semua pelayan untuk mengerjakan tugas di depan agar taman belakang sepi. Reza memutar salah satu kepala ikan yang dijadikan sebagai air mancur, kemudian kolam bergeser membuka ruangan yang menampakkan anak tangga yang menuju ke bawah.
Atreya terkejut sekaligus takjub melihatnya. Sama seperti yang terjadi di film ada tempat rahasia yang tersimpan dan dia menjadi salah satu orang yang mengetahuinya.
Mereka bertiga masuk ke dalam lalu secara otomatis kolam itu bergeser ke tempatnya semula meninggalkan jalan untuk ruang rahasia itu. Di dalam sana terdapat lorong yang cukup lebar dengan lampu yang agak tedup menempel di sisi kanan kiri.
Tidak butuh waktu lama dan mereka sampai di sebuah ruangan. Ruangan itu cukup besar dengan buku-buku tua yang ditata rapi di rak buku yang menemel pada tembok, dan meja kayu yang cukup panjang serta beberapa buah kursi kayu diletakkan di berbagai sisi.
Reza mengambil sesuatu di salah satu laci di bawah rak buku, bentuknya seperti bola kristal berwarna biru cerah dan bercahaya lalu meletakkannya di atas meja. Belum selesai dengan kekagumannya, Atreya terkejur, tangannya seperti ditarik oleh cahaya dari kristal yang tadi diambil Reza.
Atreya mendekat tangannya menyentuh bola itu, kemudian bola itu mengeluarkan asap yang membentuk suatu kejadian di masa lalu. Yang tidak lain adalah ketika Atreya dilahirkan dan bagaimana dia menghilang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!