NovelToon NovelToon

Not To Be Regrettable

1. Bule Jawa

...♡♡♡♡♡♡...

Calistha Vallery memandang ke arah sekitar dengan tatapan malas. Dentuman musik keras yang mengisi ruangan club tak mampu membuatnya bergoyang. Kedua matanya menatap ke arah dance floor, di mana kedua teman-temannya sedang asik bergoyang kesana-kemari.

Sebenarnya Vallery bukan tipekal gadis yang tidak suka ke tempat-tempat seperti ini. Menari bersama pria asing justru merupakan salah satu hobinya untuk menghilangkan stres. Tapi tidak kali ini, meski saat ini ia cukup stress dengan tingkah polah sang Papa yang katanya ingin menikahi sekertaris pribadinya itu.

Ck. Bukannya Vallery tidak ingin Ayahnya menikah kembali, ia justru senang jika sang Papa akan menikah lagi. Toh, Ayahnya ini masih muda. Baru berumur 46 tahun, wajar kan kalau Ayahnya itu ingin menikah kembali. Tapi yang menjadi masalahnya sekarang adalah, wanita yang ingin dinikahi sang Ayah itu terlalu muda. Hanya terpaut enam tahun dengannya. Gadis mana yang akan rela jika Ayahnya menikah dengan perempuan yang lebih cocok menjadi Kakaknya ketimbang Ibunya. Jelas ia tidak akan rela tentu saja.

"Hi, are you alone?"

Vallery langsung menoleh ke samping saat, mendengar suara yang seperti sedang bertanya padanya. Lalu ia menemukan seorang pria bule sedang tersenyum kepadanya. Dahinya mengerut tanpa bisa dicegah, kedua matanya secara spontan langsung mensensor penampilan pria bule tersebut. Dari atas hingga bawah. Tubuh tinggi tegap, rahang tegas, brewok-brewok samar, berkumis tipis, hidung mancung, bibir tipis, mata coklat.

Fix. Bule tulen nih. Batin Vallery setelah puas menilai penampilan pria itu. Ia tidak terlalu memperdulikannya, karena ia sudah biasa diajak kenalan di klub malam seperti ini. Dan ia tidak tertarik untuk itu, apalagimeski sebenarnya pria ini boleh juga.

"Boleh duduk di sini?" tanya pria bule itu menggunakan bahasa Indonesia dengan aksen yang sangat baik.

Sesaat Vallery merasa takjub. Ia tidak menyangka bisa bertemu dengan pria asing yang bisa menggunakan bahasa Indonesia sebaik ini. Ayahnya yang setengah Amerika dan setengah Indonesia saja bahasa Indonesiannya kadang belepotan.

"Silahkan!" ucap Vallery sambil canggung. Ia kemudian pura-pura menyibukkan diri dengan ponselnya, meski sesekali ia melirik pria bule itu.

"Menunggu teman?" tanya bule itu setelah duduk di samping Vallery.

"Ya," jawab Vallery pendek.

Bukan bersikap sombong atau pun sedang jual mahal, hanya saja ia tidak tahu harus bersikap bagaimana.

Bule itu tertawa kecil, hal ini membuat kening Vallery bertaut heran dan menoleh ke arahnya.

"Apa saya mengganggu waktu sendiri kamu?"

Vallery menggeleng. "Tidak juga."

"Kamu belum terbiasa dengan tempat seperti ini?" tebak Lingga ragu-ragu.

Vallery tertawa. "Saya bahkan yang mengajak kedua sahabat saya untuk kemari."

"Lalu kenapa kamu tidak ikut bergabung dengan mereka?" tanya bule itu terlihat penasaran.

"Sedang tidak berminat," jawab Vallery seadanya, ia kemudian melirik Lingga, "kamu sendiri? Kenapa tidak menari?"

"Saya tidak suka menari."

"Lalu kenapa datang ke tempat seperti ini?"

"Minum."

Vallery ber'oh'ria sambil mengangguk paham.

"Sebenarnya saya tidak biasa ke tempat seperti ini. Tapi karena sekertaris saya yang mengajak, akhirnya saya ikut. Toh, saya hanya butuh minum." Lingga terkekeh sambil menegak minumannya, "tapi ternyata saya salah, di sini bising sekali."

Vallery tertawa. "Harusnya kamu bisa menebak lebih awal saat tahu diajak kemari," komentarnya.

Lingga mengangguk setuju. "Harunya," gumannya, kembali menegak minumannya hingga tandas. Ia kemudian mengulurkan tangannya tiba-tiba, "Lingga, Lingga Maheswara," ucapnya memperkenalkan diri.

Lingga masih berusaha untuk tetap tersenyum cerah, meski Vallery belum menjabat tangannya. Gadis itu tampak terkejut mendengar nama si bule itu. Namun buru-buru ia menepis rasa keingintahuan berlebihnya. Ia kemudian menjabat tangan Lingga sambil tersenyum canggung.

"Calista Vallery. Panggil aja Vallery."

"Nama yang cantik," komentar Lingga sambil memainkan gelasnya.

"Terima kasih. Ngomong-ngomong nama kamu seriusan Lingga?" Vallery bertanya dengan nada tidak percaya sekaligus penasaran.

Tanpa ragu Lingga langsung mengangguk. "Ya. Apa terdengar aneh?"

Vallery mengangguk. "Ya. Untuk tampilan bule tulenmu itu, aku rasa nama Lingga tidak terlalu cocok. Bukankah Lingga itu nama Jawa?" tanya Vallery tak begitu yakin. Tapi ia pernah mendengar jika nama Lingga itu memang berasal dari bahasa Jawa, kalau tidak salah.

Sekali lagi Lingga mengangguk. "Ya. Maheswara pun berasal dari bahasa Jawa, karena aku memang orang Jawa."

Vallery kembali berseru dengan takjub, benar-benar tidak menyangka kalau pria yang terlihat seperti warga asing ini orang Jawa.

"Kamu orang Jawa?" tanya Vallery tak yakin, "serius orang Jawa? Bukan istri kamu yang orang Jawa?" Kedua matanya kembali mensensor penampilan Lingga yang menggambarkan perawakan bule tulen, tidak terlihat sama sekali kalau Lingga memiliki darah Indonesia apalagi Jawa.

Lingga mendadak tertawa, merasa lucu sekaligus tersinggung. "Apa aku terlihat seperti seorang pria yang sudah menikah?"

Aku? Batin Vallery keheranan. Kenapa pria itu tiba-tiba menanggalkan bahasa formalnya?

"Sepertinya. Pria mapan dan tampan sekarang biasanya sudah pada sold out."

Lingga tersenyum malu-malu. "Terima kasih atas pujiannya."

"Itu bukan pujian," elak Vallery.

"Saya benar-benar lahir dan besar di Solo dan saya belum menikah, kalau kamu mau tahu." Lingga tiba-tiba merogoh kantong celananya dan mengeluarkan dompetnya secara tiba-tiba. Tak lama setelahnya ia mengambil KTP-nya dan menunjukkan pada Vallery tanpa ragu, "buat bukti biar kamu percaya kalau saya tidak berbohong."

Mulut Vallery langsung menganga tanpa bisa dijegah. Ekspresinya menggambarkan raut wajah penuh keterkejutan yang luar biasa. Membuat Lingga tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa.

"Wah, saya merasa cukup tersinggung dengan ekspresi yang kamu buat sekarang ini," ucap Lingga memasang wajah terlukanya.

Vallery menggeleng tegas. Mendadak ia merasa tidak enak. "Sorry, saya tidak bermaksud. Maksud saya begini, muka kamu sama sekali tidak--"

"Terlihat seperti orang Indonesia?" sambung Lingga cepat.

Vallery menggangguk. "Wajah kamu terlalu terlihat seperti warga asing," imbuhnya kemudian.

Lingga mengangguk setuju. "Kamu benar, memang banyak yang bilang begitu. Tapi Ayahku memang asli Solo, hanya saja beliau sekarang menetap di Jakarta karena harus mengurusi pekerjaannya di sini."

"Ibu kamu?" tanya Vallery penasaran. Ini pertama kalinya ia penasaran dengan orang asing yang baru ditemuinya belum lebih dari lima belas menit.

"Rusia. Ibuku asli Rusia."

Vallery langsung berdecak saat mendengar jawaban Lingga. Dalam hatinya langsung berseru 'pantesan modelannya bule tulen begini. Emaknya yang bule ternyata'.

"Lalu kamu sendiri?"

"Aku?" Vallery menunjuk wajahnya sendiri, "kenapa sama aku?"

"Aku-kamu kedengerannya bagus juga," ucap Lingga sambil tersenyum manis.

Vallery hanya terkekeh saat mendengarnya. Ia kemudian melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Waktunya pulang ternyata.

"Sorry, sepertinya saya harus pulang duluan," ucap Vallery langsung berdiri.

"Pulang?" Lingga melirik arlojinya, "masih jam segini loh." Ia kemudian menunjukkan arlojinya pada Vallery, "masa mau pulang?"

"Kalau aku nggak pulang sekarang, aku bisa dibunuh Papaku." Vallery menatap Lingga sengit.

"Keberatan kalau saya antar?" tawar Lingga. Ia kemudian ikut berdiri.

"Tidak perlu, karena aku bawa mobil," ucap Vallery sembari menggoyangkan kunci mobilnya, yang baru saja ia dirogoh dari dalam tas.

Lingga mengerang tertahan, lalu menahan lengan Vallery yang sudah bersiap meninggalkannya.

"Kalau gitu kita perlu tukar kontak."

"Untuk apa?" Vallery bertanya seolah tidak paham.

Lingga menggaruk rambutnya dengan gerakan gugup. "Yang jelas tidak untuk niat buruk kok."

Vallery tersenyum senang lalu mengangguk. Membuat wajah Lingga berubah cerah. Dengan gerakan cepat ia merogoh saku jaketnya, namun dengan tiba-tiba ditahan Vallery.

"Kita tukerannya di lain kesempatan, ya. Tunggu sampai takdir mempertemukan kita lagi." Dengan wajah tanpa dosanya Vallery kembali tersenyum lalu berbisik di telinga Lingga. "Senang bertemu dengan kamu Om bule Jawa," kedip Vallery dengan genit.

Sedangkan Lingga hanya terpaku menatap punggung Vallery yang hilang di antara kerumunan.

Tbc,

2. Barbie Hidup

^^^&^^^

Tok Tok Tok

"Masuk!" sahut Lingga tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas-berkas yang ada di hadapannya.

Tak lama setelahnya, Will masuk. Lingga menyadari kehadiran sekertarisnya itu, tapi ia masih terlalu fokus memeriksa berkas-berkas yang perlu ditandatangani olehnya.

"Ada perlu apa, Will? Bukannya kamu tadi izin pulang lebih awal? Kenapa masih di sini?"

"Anu, Bos..."

"Ngomong aja!"

"Bos belum mau pulang?" tanya Will ragu-ragu.

Lingga terkekeh. "Kenapa? Kamu nggak enak pulang lebih awal?"

Pria bernama lengkap Willdan Cahyono ini meringis.

"Tidak perlu sungkan! Kamu bisa pulang duluan. Habis ngecek berkas, saya langsung pulang. Kamu tidak perlu khawatir," ucap Lingga serius.

"Tapi nanti Bos bakal dateng kan?"

"Ke mana?" Lingga mengalihkan pandangannya, menatap sekertarisnya itu dengan tatapan bingung.

"Bos lupa?"

Lingga berpikir sejenak sambil mengusap dagunya kemudian melirik Will. "Sepertinya," ucapnya ragu. CEO muda dari perusahaan game online itu menatap sekertarisnya penuh tanya tanya.

"Ya Tuhan! Bos, saya bisa-bisa dipecat Ibu kalau Bos begini terus," keluh Will frustasi.

Berbanding balik dengan Will yang terlihat frustasi, Lingga justru terkekeh santai. "Kenapa kamu takut dipecat Ibu saya, kalau kenyataannya kamu kerja untuk saya. Ibu saya tidak punya hak memecat kamu, Will. Kamu tidak perlu khawatir."

"Tapi Bos..."

"Kenapa? Ibu saya ngancem kamu?" Lingga kembali menghentikan kegiatannya lalu menatap Will.

Will terlihat tidak percaya. "Bos beneran lupa atau pura-pura lupa sih?"

Lingga hanya membalas pertanyaan Will dengan mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. "Yang jelas saya tidak ingat."

Will kemudian berdecak kesal. "Hari ini Bos harus bertemu dengan Willona," ucapnya kemudian.

"Siapa Willona?" tanya Lingga dengan ekspresi bingungnya. Ia tidak merasa mengenal nama belakang artis ibukota yang katanya sudah berstatus sebagai mantan pacar Farrel Bramanstya itu.

Will mendesah tidak percaya. "Jadi Bos beneran lupa?"

Lingga kembali sibuk dengan berkas di hadapannya. "Hmm."

"Bos!"

"Katakan saja dia siapa!"

"Willona itu perempuan yang Ibu pilih untuk jadi calon istri Bos."

Lingga menggaruk pelipisnya sambil mengangguk paham. "Iya, sekarang saya inget. Kamu bisa pergi sekarang."

"Begitu saja?" protes Will kurang suka dengan respon sang atasan.

Lingga mendengus. "Memangnya kamu mau saya merespon bagaimana?" Ia kemudian melirik Will, "pulang sana!" usirnya kemudian.

"Tapi Bos nanti akan datang kan?"

"Lihat nanti, Will," jawab Lingga seadanya.

"Bos!!"

Lingga menatap Will tajam sambil berdecak. "Saya bos kamu, Will. Jangan berteriak kepada saya!"

"Bos," rengek Will frustasi. Pasalnya ia sudah berjanji kepada Lidiya--ibu Lingga--kalau ia akan memastikan bosnya ini datang ke acara yang sudah Lidiya siapkan.

Lingga mencoba untuk tidak peduli dengan rengekan Will. Ia mencoba memfokuskan diri dengan berkas-berkasnya. Tapi sepertinya hal itu sia-sia, karena Will terus merengek hingga akhirnya Lingga menyerah kalah dan menyetujui untuk datang.

"Kamu sekarang puas, Will?" sindir Lingga dengan nada sebal.

"Sangat."

"Silahkan pergi!" usir Lingga sekali lagi.

Will kemudian memberikan hormat sambil mengucapkan terima kasih, setelahnya ia pergi dari ruangan begitu saja.

^*^*^*^*^

Barbie hidup. Itulah kesan pertama yang dapat mendeskripsikan sesosok perempuan yang bernama Willona-willona itu. Berwajah manis, kulit putih mulus, tinggi semampai, hidung mancung, bibir yang tidak terlalu tebal, rambut panjang, dan anggun. Willona mengenakan dress merah marron selutut, rambut panjangnya dijepit setengah lalu sisanya ia biarkan tergerai, menambah kesan anggun dan manisnya.

Tidak terlalu buruk. Batin Lingga setelah selesai menilai penampilan Willona. Dengan gerakan spontan, Lingga berdiri menyambut Willona dan menarik salah satu kursi untuk diduduki wanita itu. Sederhana. Namun cukup membuat Willona tersanjung.

"Terima kasih," ucap Willona sambil tersenyum.

Lingga balas tersenyum sambil mengangguk, baru kemudian kembali duduk di kursinya.

"Kita pesan makan sekarang?" tanya Lingga, setelah duduk nyaman di kursinya.

Willona menjawab dengan anggukan kepala tanda setuju.

Tanpa membuang waktu, Lingga langsung mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan. Setelah selesai memesan mereka mengobrol sembari menunggu pesanan mereka.

"Bagaimana menurutmu tentang perjodohan ini?" tanya Lingga, memulai percakapan mereka.

"Aku tidak masalah. Kamu cukup tampan dan juga mapan. Aku perempuan normal yang tidak akan menolak pria seperti kamu," jawab Willona jujur.

Jawaban yang di luar dugaan. Batin Lingga sambil mangguk-mangguk. Realistis dan jujur. Lingga suka dengan sikap Willona. Terlihat dewasa dan juga anggun. Tidak terlalu buruk. Tapi tetap saja ia tidak tertarik untuk hubungan lebih.

"Kamu sendiri? Apa kamu keberatan?"

"Sebenarnya tidak terlalu."

"Tapi?"

Lingga harus menahan jawabannya karena pelayan datang mengantarkan pesanan mereka. Suasana hening setelahnya, karena Lingga memilih untuk menikmati Steak Medium Rare-nya lebih dulu, ketimbang langsung menjawab rasa penasaran Willona.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku tadi, Lingga."

"Aku tahu. Lebih baik kita makan dulu," ucap Lingga mengintruksi Willona untuk segera menyantap Tenderloin Steak-nya.

Namun, bukannya menurut Willona justru mendengkus lalu menyandarkan punggungnya di kursi.

"Kamu menolakku?" tebak Willona terlihat sakit hati.

"Kenapa kamu berpikir begitu?" Lingga ikut menyandarkan punggungnya di kursi.

"Kalau kamu menerima perjodohan ini, kamu pasti akan bilang kalau kamu tidak keberatan. Tapi yang kamu lakukan sekarang tidak demikian. Apalagi kalau bukan karena kamu memang menolakku."

Lingga tersenyum sambil mengangguk takjub. Perempuan ini ternyata cukup peka juga.

"Kamu cukup cerdas," puji Lingga tanpa perasaan bersalah dan kembali menyantap steaknya.

"Maksudnya?!" seru Willona tidak paham sepenuhnya.

"Ya, sesuai dengan asumsi kamu barusan."

Harga diri Willona seolah diinjak-injak. Kurang ajar sekali pria ini.

"Brengsek," umpat Willona geram, "kurang ajar!" imbuhnya lalu meninggalkan meja begitu saja.

Lingga menghela napas pendek, pandangannya lalu beralih pada Tenderloin Steak milik Willona yang bahkan belum disentuh wanita itu sama sekali. Ia kemudian meraih ponselnya yang memang sengaja diletakkan di samping piringnya. Mengutak-atik sebentar dan kembali meletakkan ponsel itu ke tempat semula. Baru kemudian menyantap Steak Medium Rare miliknya.

Setelah steaknya habis, Will datang dengan nafas yang sedikit ngos-ngosan.

"Ada masalah apa, Bos?" tanya Will saat menemukan bosnya ini duduk sendirian.

Lingga menyesap red wine-nya dengan penuh penghayatan, lalu mengangkat dagunya. Mengintruksi sekertarisnya itu untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Dengan ekspresi sedikit bingung, Will tetap mendudukkan bokongnya di kursi itu.

"Ini maksudnya gimana sih, Bos?" tanya Will tidak paham.

"Saya traktir kamu makan malam hari ini. Meski bukan selera kamu, tapi Tenderloin Steak cukup bisa dinikmati semua orang. Jadi, ya makan aja."

Lingga mengelap ujung bibirnya dengan serbet, lalu beranjak berdiri.

"Orang bisa berpikir jika kita pasangan gay kalau saya masih tetap duduk di sini. Jadi, saya tunggu di mobil saja. Kamu nikmati makan malam kamu, lalu setelahnya kamu bisa pulang."

Setelah mengatakan itu, Lingga langsung meninggalkan Will yang sedang terbengong.

"Astagfirullah! Gue bahkan nggak tahu ini rejeki atau musibah," gerutu Will sebelum meraih garpu dan pisaunya. Dia jauh-jauh meninggalkan kencan butanya hanya demi Tenderloin Steak yang bahkan mulai dingin. Astaga, yang benar saja.

Tbc,

3. Tunangan Papa

...^^^^^^^^^^^^...

Vallery mempercepat langkah kakinya saat memasuki rumah, ekspresi wajahnya tampak bahagia. Bagaimana tidak bahagia, Papanya yang super sibuk dan nyaris tak pernah meluangkan waktu makan malam bersama dengannya semenjak dirinya masuk SMP. Tiba-tiba memberitahu kalau malam ini, beliau ingin mengajaknya makan malam bersama. Jadi, begitu selesai mengerjakan tugas kelompok di rumah Tari, salah satu teman kampusnya. Ia langsung mengemudikan Honda Jazz miliknya menuju rumah, ia pun sampai harus repot-repot menolak ajakan teman-teman yang lain untuk nonton film di bioskop.

"Kenapa lari-lari sih, Non?" sambut Bik Jum, pembantu sekaligus pengasuhnya sejak Mamanya meninggal.

"Papa udah pulang, Bik?" tanya Vallery, memilih mengabaikan pertanyaan Bik Jum. Kedua matanya celingukan mencari keberadaan sang Papa.

"Sudah, Non, sekarang Bapak masih di ruang tamu. Tapi mending Non Vallery mandi dulu, terus dandan yang cantik, baru turun ke ruang makan. Bik Jum masak sambal goreng ati kesukaan Non Vallery loh," ujar Bik Jum sembari menggiring tubuh Vallery agar segera naik ke lantai atas.

Meski awalnya ingin memprotes, namun akhirnya Vallery mengangguk setuju dan langsung bergegas naik ke kamarnya. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia segera turun ke lantai bawah dan langsung menuju ruang makan. Langkah kakinya mendadak berat saat menemukan seorang wanita bertubuh ramping dengan balutan dress selutut bergaris, sedang sibuk menata makanan di meja makan. Pandangannya lalu beralih pada sang Papa yang terlihat begitu bahagia menatap wanita itu.

Mendadak ia ingin marah.

Pemandangan macam itu? Batin gadis itu sambil mengepalkan telapak tangannya geram. Ia benci situasi ini. Serius, wanita muda itu ingin dijadikan istri oleh Papanya? Jadi anak sulung Papanya atau Kakak untuknya saja wanita itu masih cocok loh, bagaimana Papanya ingin menjadikan wanita itu untuk jadi istrinya dan menjadi Ibu sambung untuknya.

Dalam lamunannya, Vallery menggeleng. Membayangkan memiliki ibu semuda itu bagaikan mimpi buruk baginya. Lantas bagaimana jadinya jika semua itu menjadi kenyataan? Astaga, Vallery tidak mau.

"Vallery? Kenapa kamu hanya berdiri di situ? Ayo, kemarilah!"

Vallery berdecih muak. Ia tidak suka dengan sikap sok ramah sekertaris Papanya itu. Ia ingin marah. Marah dengan Papanya dan juga situasi ini. Tapi, Vallery sadar betul ia tidak bisa marah, setidaknya untuk sekarang ia harus menjaga sikap.

"Sayang, kemarilah! Kita makan sama-sama."

Kalau saja ia benar-benar tidak punya sopan santun atau pun tata krama, ia pasti akan langsung memutar kedua bola matanya sekarang juga. Tapi sayang, ia masih memiliki keduanya, sehingga dengan langkah berat ia mendekat ke meja. Menyapa wanita itu seadanya, lalu duduk di sisi kiri Gerald setelahnya.

"Biar saya ambilkan," ucap Riana saat melihat Gerald hendak menyentuh entong nasi. Ia kemudian meraih piring Gerald dan mengisinya dengan seentong nasi penuh, "segini cukup?" tanyanya sambil menoleh ke arah Gerald.

Sambil tersenyum Gerald mengangguk.

"Mau pake lauk apa?"

"Sayur sop sama tahu aja. Sambalnya jangan lupa, Riana."

Riana mengangguk patuh, lalu mengambil sayur sop dan tahu kuning goreng dan sesendok sambal tomat.

"Ayam gorengnya tidak?" tawar Riana berniat menggoda.

Gerald mendengkus dengan ekspresi cemberut dibuat-buat. "Kamu kan tahu kalau kolesterol saya naik beberapa hari yang lalu, Haris sudah mewanti-wanti saya untuk tidak makan gorengan tapi kamu malah menawarkan ayam goreng. Sengaja sekali," gerutunya kemudian.

Melihat ekspresi cemberut yang ditunjukkan Gerald, Riana tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Wanita itu terlihat bahagia saat menggoda sang kekasih. Ia seakan lupa keberadaan Vallery yang tadi sempat membuatnya gugup setengah mati, yang saat ini sedang menatapnya makin tak suka. Ya, wajar saja jika Vallery tidak suka dengannya. Jarak umurnya dengan Gerald terlalu jauh, sehingga wajar jika Vallery beranggapan jika dirinya hanya menginginkan harta milik Gerald. Jangankan Vallery, beberapa rekan kantornya pun kebanyakan berpikir demikian. Tersinggung, sudah jelas dirasakan Riana. Tapi ia sadar betul jika semua itu adalah resiko yang harus diterimanya, suka atau tidak.

"Vallery, siniin piring kamu, biar saya ambilkan," ucap Riana sembari menatap Vallery lembut.

Tangannya terulur untuk mengambil piring yang ada di hadapan Vallery. Tapi gadis itu hanya menatapnya sekilas lalu menggeleng sebagai tanda jawaban. Meski kecewa, Riana mencoba untuk tersenyum sambil mengangguk maklum.

"Tidak perlu. Saya terbiasa melakukannya sendiri."

"Vallery butuh waktu," bisik Gerald, menyemangati Riana. Tangannya kemudian meremas tangan Riana yang tergeletak di atas meja. "Sekarang kita makan dulu, oke. Percaya dengan saya kalau semua akan baik-baik saja," imbuhnya kemudian.

Riana mengangguk, lalu mulai mengambil nasi dan lauk untuknya sendiri. Suasana makan malam kali ini terasa sepi, tidak ada suara selain dentingan sendok dan garpu membentur piring. Semua fokus dengan kegiatannya masing-masing, atau mungkin meraka hanya pura-pura fokus agar makan malam ini tidak berakhir kacau.

Setelah berhasil menghabiskan sepiring nasi beserta sambal goreng ati kesukaannya, Vallery langsung berdiri.

"Aku sudah selesai. Dan aku akan--"

"Duduk dulu," sela Gerald sambil meletakkan gelasnya kembali di atas meja, ia sedikit mendongak ke arah putrinya, menatap Vallery agar menuruti perintahnya.

Sambil berdecak samar, Vallery akhirnya kembali meletakkan bokongnya di kursi.

"Papa mau ngomong," ucap Gerald hati-hati.

Vallery diam. Ia sudah bisa menebak apa yang ingin diucapkan Papanya, tapi entah kenapa Vallery tidak ingin mendengarnya secara langsung. Dilirik Riana dengan tatapan tidak suka, membuat wanita itu menunduk dan makin gugup.

"Papa sudah melamar Riana secara pribadi."

Rahang Vallery mengetat, menahan amarah. Jadi papanya ini benar-benar akan menikahi wanita ini? Tanpa mempertimbangkan perasaannya. Kenapa Papanya begitu terhadapnya, apa wanita itu jauh lebih penting ketimbang perasaannya.

"Lalu?" Vallery bertanya dengan bibir bergetar menahan tangis.

"Riana akhirnya menerima, setelah Papa ditolak beberapa kali. Lamaran resmi akan diadakan bulan depan, tanggal pastinya akan diadakan sesuai jadwal kosong kamu. Tangg--"

"Papa bahkan nggak meminta persetujuan Valle?" potong Vallery penuh kekecewaan.

"Papa sudah pernah meminta izin sama kamu, Valle. Apa kamu lupa? Lagian Papa nggak butuh persetujuan kamu, yang Papa butuhin itu hanya meyakinkan kamu agar kamu setuju," tegas Gerald tak ingin dibantah. Membuat kedua perempuan beda usia itu melotot kaget.

"Apa?!" desis Vallery tak percaya.

"Mas, kenapa kamu ngomong begitu. Itu akan membuat Vallery semakin membenciku," protes Riana menatap Gerald tidak suka. Baginya kalimat kekasihnya itu benar-benar akan membuat keadaan semakin kacau.

"Tanpa kalimat itu pun saya sudah membenci anda," ketus Vallery langsung berdiri dan meninggalkan meja makan begitu saja. Mengabaikan teriakan Gerald yang memanggil-

manggil namanya dan memerintahnya untuk tetap di sini. Namun, gadis itu memilih untuk menulikan kedua telinganya dan terus mempercepat langkah kakinya menaiki anak tangga.

Riana mendesah lelah. "Kenapa kamu malah memperkeruh keadaan, Mas. Perbedaan umur kita terlalu sulit untuk Vallery terima dan kamu malah bilang kalau kamu tidak butuh persetujuan putri kamu. Kamu memang tidak niat untuk menikahi aku?" Kedua matanya menatap Gerald tajam.

"Kenapa kamu bicara seperti itu, kamu pikir umur saya cocok untuk bermain-main dengan suatu hubungan? Saya bahkan sudah membeli cincin untuk kamu, dan kamu masih berpikir saya tidak serius?"

Riana mendesah sekali lagi, diurut pelipisnya yang terasa berdenyut kencang.

"Kalau kamu serius, kamu harusnya nggak ngomong kalau kamu nggak butuh persetujuannya, Mas. Padahal persetujuan yang paling kamu butuhin itu dari Vallery, putri kandungmu sendiri."

"Maaf, saya tadi emosi," sesal Gerald. Gurat-gurat penyesalan terlihat jelas di wajah tampannya. Meski sudah berumur 46tahun, ketampanannya seolah tidak memudar. Dan mungkin ini yang membuat Riana jatuh hati padanya.

"Kamu tidak perlu meminta maaf padaku karena yang lebih pantas mendapatkan maaf dari kamu itu Vallery."

"Tapi saya membuat kamu kecewa."

"Vallery lebih kecewa daripada aku, Mas."

"Lalu saya harus bagaimana?"

"Minta maaf dengannya, tapi jangan terlalu memaksakan. Ajak ngobrol baik-baik. Jangan langsung memintanya untuk merestui hubungan kita. Semua butuh proses, sayang," bisik Riana sambil meremas telapak tangan Gerald. Kedua mata menatap sang kekasih dengan penuh kelembutan, membuat pria yang sangat cocok dijuluki hot duda ini tersenyum bahagia.

"Saya senang karena jatuh cinta dengan orang tepat," balas Gerald ikut berbisik.

"Dan semoga pilihan kita untuk menjalin hubungan ini adalah pilihan yang tepat." Batin Riana sambil memaksakan senyumnya.

Tbc,

Mohon dukungannya gaessss🙏🙏🙏

Like dan komennya ditunggu

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!