NovelToon NovelToon

MANTAN: Kisah Yang Tak Sampai

Bab.1 (Kisah yang tak sampai)

Pernikahan adalah impian semua insan yang merajut kisah cinta bersama. Begitu juga untuk Luna dan Adrian, beberapa bulan yang lalu sepasang kekasih itu, memutuskan untuk menikah di usia muda. Cinta yang menggebu-gebu dengan pikiran yang masih labil membuat pondasi cinta mereka belum cukup untuk membangun sebuah rumah tangga.

Kedua belah pihak keluarga yang sejak awal hanya terpaksa menerima keputusan anak-anak mereka menikah di usia 19 tahun, menjadi pemicu munculnya konflik di awal pernikahan, hingga berakhir pada perceraian. Tepat seratus hari pernikahan itu berlangsung, cinta itu berakhir sebagaimana mestinya.

...****...

Hari ini tepat satu bulan setelah perpisahan mereka. Namun luka itu masih sama, terpuruk? tentu saja, apalagi di usia yang masih sangat belia.

Luna menangis di pangkuan ibu, untuk kesekian kalinya. Hatinya hancur saat mimpi yang terajut indah sejak awal pernikahan harus berakhir. Menikah muda memang tak seindah bayangannya, pikiran yang masih belum matang membuat mimpi itu berubah menjadi rasa penyesalan.

"Bapak sudah bilang sama kamu, jangan menikah dulu! Lihatlah sekarang, kuliah tidak tapi kamu malah menjadi janda di usia muda," tutur bapak dengan emosi yang meluap-luap.

"Pak! Sudahlah ... tidak kasihan apa sama anak sendiri," ucap Ibu seraya terus menenangkan Luna yang berbaring di pangkuannya.

"Jangan membelanya Bu, sejak awal keluarga sombong itu memang sudah tidak menyambut Luna dengan baik, lihat sekarang ... bagaimana dengan nasib anak kita," ujar bapak sambil menggebrak meja beberapa kali.

Luna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Menangis tanpa suara. Ya, dia memang salah karena tidak mendengarkan ucapan kedua orangtuanya, sekarang yang tertinggal hanyalah rasa yang tak bisa di ungkapkan. Rasa cinta yang masih tersisa sudah tiada guna.

Bug.

Ditengah suasana yang menegangkan bapak tiba-tiba saja terjatuh kelantai seraya memegangi dadanya. Luna dan Ibu langsung mengahampiri Bapak. Wajah mereka semakin panik saat bapak mulai kehilangan kesadarannya.

"Pak..pak! sadar pak!" pekik Luna seraya menggoyangkan bahu bapaknya.

"Kita harus segera membawa bapak kamu kerumah sakit lun," ucap Ibu yang tak kalah paniknya.

~

Di tempat yang berbeda. Adrian baru saja masuk kedalam mobil bersama kedua orangtuanya untuk pergi menuju Bandara. Setelah ia dan Luna resmi berpisah, ia memilih terbang ke negara asing untuk melanjutkan mimpi yang sempat tertunda karena keputusan menikah di usia muda yang pada akhirnya malah menjadi berantakan.

"Mulai sekarang, lupakan dan anggap apa yang telah kamu lalui dengan wanita bodoh itu tidak pernah terjadi," ucap Mama Adrian yang duduk di sampingnya.

"Ma, apa aku tidak boleh menemuinya sebentar saja, untuk pamit," pinta Adrian.

"Tidak! Jangan pernah menemuinya lagi, dia sudah menyia-nyiakan waktu mu selama ini, sekarang kamu harus fokus meraih pendidikan kamu," hardik Papa yang duduk di samping supir.

Adrian hanya bisa tertunduk saat keinginannya untuk melihat sang mantan untuk terakhir kali harus pupus karena tak ada dukungan dari kedua orangtuanya. Sejak awal ia hanyalah pria yang belum mengerti cara menjadi kepala keluarga yang baik untuk Luna. Ia sudah gagal untuk mimpi kecil yang ingin ia rajut bersama Luna.

Takdir membuat mereka harus berpisah, baik itu hati, jarak dan waktu. Tidak ada yang tahu kapan mereka akan kembali bertemu. Jika memang kisah itu cukup sampai disini? Mereka bisa apa saat takdir adalah penentu segalanya.

...***...

Luna dan Ibu sekarang berada di ruang ICU di sebuah rumah sakit. Ia menggenggam tangan bapaknya dengan erat. Luna menyesali apa yang terjadi kepada bapak adalah karena dirinya. Setelah beberapa saat Bapak mengerjapkan matanya pelahan, melihat luna dengan mata yang terlihat sayup.

"Lu-luna," ucap bapak yang terdengar samar-samar.

"Iya pak, Luna disini," jawabnya dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti.

"Ka-kamu, harus berjanji sama bapak ... kamu harus melanjutkan kuliah kamu, jadilah orang sukses agar tidak di rendahkan orang-orang," ucap bapak dengan susah payah karena nafas yang mulai terputus-putus.

"Iya pak, Luna janji tapi bapak harus sembuh dulu," ucap Luna yang mulai terlihat tidak bisa mengontrol dirinya.

Bapak mengalihkan pandangannya kepada sang istri yang berada di sisi kirinya. Ibu terlihat lebih tenang meski buliran air mata itu membuat matanya membengkak. Ia sudah mempunyai firasat jika suaminya akan segera meninggalkannya dan Luna, meski berat tapi Ibu berusaha untuk kuat.

"Bu," panggil bapak.

"Iya pak," jawabnya.

"Jaga Luna baik-baik, dampingi dia sampai mencapai cita-citanya," ujar bapak yang terdengar semakin lemah.

"Iya pak, Ibu janji." Ibu mencium pucuk kepala bapak dengan lembut. Dan bertepatan dengan itu, Bapak mulai kehilangan kesadarannya. Suara monitor di sisi kanan ranjang rumah sakit terdengar nyaring dengan garis lurus yang membentang disana.

"Pak jangan tinggalin Luna pak," teriak Luna histeris.

Seorang dokter dan beberapa orang perawat masuk kedalam ruangan. Membuat Ibu dan Luna harus mundur secara perlahan, membiarkan sang ahli medis mengambil alih tempat mereka. Luna hanya bisa diam tanpa bisa berbuat apapun saat melihat Bapak di hujani dengan berbagai alat medis dan juga alat kejut jantung.

Dokter dan perawat itu terlihat sedang berusaha untuk membuat garis lurus di layar monitor itu kembali bergelombang, tapi sayang semua usaha yang telah dilakukan, tak membuat harapan Luna dan ibu menjadi kenyataan. Tepat pukul satu siang, Bapak telah berpulang ke pangkuan sang pencipta.

Luna mulai mengerti situasi saat sang dokter menghentikan aktivitasnya, dokter itu berbalik menatap wajah Luna dan ibu secara bergantian, lalu menggeleng perlahan. Saat itu juga Luna berhambur memeluk bapak yang sudah tak bernyawa.

"Pak! Jangan tinggalin Luna pak!" ucapnya seraya memeluk bapak. Hati yang sudah hancur berkeping-keping karena kisah yang tak sampai, kini kepingan hati itu seolah menjadi abu saat seseorang yang paling di hormati pergi untuk selamanya.

Ibu hanya bisa menangis tanpa suara seraya memcoba menenangkan putrinya. Hari itu adalah hari paling buruk yang tidak akan pernah di lupakan oleh Luna. Saat dua status, mau tidak mau harus ia sandang di bulan yang sama, yaitu menjadi seorang anak yatim dan juga seorang janda di usia muda.

...***...

Waktu keberangkatan telah tiba, Adrian memeluk kedua orangtuanya secara bersamaan. Tinggal satu langkah lagi dan dia akan benar-benar pergi dari kota yang menjadi saksi awal mula kisah cinta dan sekaligus menjadi saksi perpisahannya dan Luna. Setelah hari ini, ia akan memulai hidup yang baru untuk fokus meraih impiannya.

"Ma, pa aku pergi dulu," ucap Adrian sebelum pergi.

"Iya nak jaga diri baik-baik ya."

"Jangan lupa kabari papa dan Mama jika kamu sudah sampai disana."

"Iya Ma, Pa."

Adrian berbalik, melangkah seraya menahan sejuta sesak di dada. Karena bahkan untuk terakhir kalinya, ia tidak bisa melihat wajah cantik wanita yang hingga saat ini masih mendominasi hati dan pikirannya. Kisah itu benar-benar terputus, untuk sepasang anak manusia yang pernah mencicipi surga dunia di usia muda.

Bersambung 💓

Jangan lupa like+komen+vote ya readers 🙏😊

Bab.2 (Setelah apa yang telah terlewati)

Pukul sembilan malam, seorang wanita memakai jas berwarna putih berlari menuju pintu keluar bersama beberapa orang perawat. Bertepatan dengan itu sebuah mobil ambulans berhenti di depan pintu utama UGD rumah sakit. Pintu bagian belakang ambulans mulai terbuka, dua orang petugas ambulans membawa turun brankar yang di atasnya tengah terbaring seorang pasien yang baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas.

"Dokter Luna, pasien mengalami perdarahan di bagian kepala, ia baru saja kehilangan kesadarannya," ucap salah seorang petugas ambulans.

"Bisa jadi pendarahan sudah menjalar di bagian otak, kita harus segera mengoperasinya," ucap luna, lalu beralih menatap seorang perawat di sampingnya, "Kamu cepat siapkan ruang operasi pemuda ini harus segera di ditangani," pinta Luna saat memeriksa denyut nadi dan juga bagian pupil mata pasien.

"Tapi dok, kita harus menunggu persetujuan keluarga," ucap perawat itu.

"Apa kau mau dia kehilangan nyawa? Cepat siapkan ruang operasi sekarang!" hardik Luna yang terlihat begitu panik.

Perawat itu begegas pergi sementara Luna dan orang tersisa disana membawa pemuda itu masuk kedalam UGD untuk mendapatkan pertolongan pertama.

...🍂...

Sembilan tahun telah berlalu. Luna, gadis polos yang dulu pernah terjatuh ke jurang terdalam kehidupan. Kini telah bangkit, membangun kembali kepingan hati yang sempat menjadi abu. Ia melanjutkan kuliah di bidang kedokteran spesialis bedah saraf. Dan setelah sembilan tahun, ia sudah mencapai mimpinya yang dulu sempat tertunda, demi apa? Demi mewujudkan keinginan terakhir Bapak.

Dulu sekali ia hanyalah wanita biasa yang selalu di pandang sebelah mata. Kini ia berdiri di depan pasien yang tengah bertaruh nyawa, dengan segala macam peralatan operasi yang sudah menjadi makanan sehari-harinya. Luna senang karena bisa menyelamatkan hidup seseorang, tapi yang hingga saat ini yang masih ia sesali adalah, ia tidak bisa menyelamatkan bapak. Masa itu ia hanya bisa memandangi bapak yang sedang di tangani Dokter tanpa bisa melakukan apa-apa.

Mati atau hidupnya seseorang sudah di gariskan oleh takdir. Tapi setidaknya, masa itu Luna ingin sedikit saja berguna untuk orang tuanya. Meski pada kenyataan ia malah memperburuk keadaan. Luna dengan status janda yang di sandangnya tidak mempengaruhi prestasi yang ia dapatkan. Di usia dua puluh sembilan tahun, ia sudah menjadi dokter spesialis bedah saraf terbaik di kota itu.

...***...

Dua jam berlalu. Luna baru saja selesai menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Ia beranjak pergi, membiarkan salah seorang asistennya menyelesaikan tahap akhir yaitu menjahit bagian kepala yang sudah selesai di operasi. Sarung tangan medis yang menyelimuti tangannya berlumuran darah, tapi ia tidak apa. Seorang dokter sepertinya bahkan pernah bermandikan darah saat pasien mengalami pendarahan, ini bahkan belum seberapa.

Setelah selesai membersihkan diri. Luna keluar dari ruangan itu masih lengkap dengan pakaian berwarna hijau tua yang menjadi ciri khasnya saat bertugas di ruangan operasi. Ia tersenyum saat melihat keluarga pasien sudah menunggu di luar ruang operasi. Wajah para keluarga yang terlihat sangat sedih juga sudah biasa ia lihat. Sikap yang harus ia tunjukkan adalah berusaha tetap tenang tanpa mendramatisir keadaan.

"Bagaimana keadaan anak saya Dok?" tanya seorang wanita paru baya dengan mata yang membengkak karena tak hentinya menangis.

"Operasi bejalan dengan lancar dan kondisinya juga baik, Ibu yang tenang ya, sebentar lagi putra ibu akan di bawa ke ruang perawatan," ucap Luna seraya mengusap lembut punggung Ibu itu.

"Terimakasih Dok, kami tidak tau apa yang akan terjadi kalau adik saya telat di tangani," ucap seorang wanita yang ada di samping Ibu itu.

"Iya sama-sama ... kalau begitu saya permisi dulu," ucap Luna lalu beranjak pergi.

Malam kian larut. Sudah waktunya untuk pulang ke bagian ternyaman di dunia yaitu kamarnya. Meskipun tak jarang, ia baru saja sampai di rumah, dan pihak rumah sakit menelpon karena ada pasien yang harus ia tangani. Pekerjaan yang begitu berat namun ia menikmatinya. Di dalam ruangannya, Luna beranjak ke ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian sebelum pulang.

Setelah selesai, ia melenggang meninggalkan ruangan yang di penuhi beberapa bingkai foto ia dan kedua orangtuanya dan juga ada beberapa penghargaan sebagai lulusan terbaik, dokter muda berprestasi dan berbagai penghargaan lainnya. Sepanjang perjalanan keluar dari rumah sakit besar itu, ia terlihat tersenyum bahagia karena untuk kesekian kalinya berhasil menyelamatkan hidup seseorang.

Di basement rumah sakit, sebuah mobil mewah hasil kerja kerasnya terparkir di sana. Bukan cuma mobil, tapi ia sudah bisa membeli sebuah apartement di kawasan yang tidak jauh dari rumah sakit dan juga ia sudah bisa membangun sebuah rumah yang cukup besar untuk Ibunya di tanah kelahirannya. Ya, Luna tinggal terpisah dengan Ibu karena tugasnya sebagai seorang dokter yang mengharuskan ia menahan rindu untuk tidak bertemu ibu hingga berbulan-bulan.

~

Mobil yang di kendarai Luna melaju dengan kecepatan sedang. Menembus jalanan kota yang terlihat tetap ramai meski sudah larut malam. Mata Luna fokus ke jalanan, tapi pikirannya terbagi kemana-mana. Sudah lima bulan ia tidak bertemu Ibu, ia rindu dan ingin melampiaskan keluh kesahnya karena aktivitas yang melelahkan, meski hanya lewat pesan suara. Namun lagi-lagi ia harus menahan diri karena kalau ia mengeluh, Ibu akan menjadi tidak tenang.

~

Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai ke unit apartemen miliknya, hanya sekitar dua puluh menit saja. Ia melangkah masuk seraya meregangkan tubuh yang terasa remuk. Susana yang tergambar di tempat itu adalah sepi. Tinggal sendiri di kota orang membuat Luna kadang ingin menyerah tapi saat pikiran itu muncul, kata-kata terakhir bapak kembali terngiang-giang.

"Huh, sepi sekali," ucap Luna seraya memandangi ruangan yang hanya di terangi cahaya remang-remang.

Luna melangkah menuju kamarnya. Sesampainya di dalam ia langsung membaringkan tubuhnya, memejamkan mata yang terasa begitu berat. Menyibukkan diri seperti ini membuat Luna cukup tenang. Karena ia tidak perlu melewati kesunyian hingga membawa diri dalam kenangan. Saat ia lelah ia hanya perlu tidur dan esok hari kembali beraktivitas.

Apa kabar dia sekarang, apa dia juga melewati kesunyian seperti yang aku alami sekarang? Atau mungkin dia sudah bahagia dengan orang lain ... kenapa juga aku masih saja memikirkannya. Karena itulah aku tidak suka sendiri seperti ini, batin Luna.

Begitulah putaran hidup Luna, selama kurang lebih sembilan tahun Luna membangun kembali mimpinya keluar dari bayangan seorang pria yang sempat menguasai hati dan pikirannya. Apa ia sudah melupakan sang mantan? Ya mungkin tapi kenangan buruk yang menyebabkan perpisahan tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya.

Malam kian larut. Akhirnya tubuh tinggi semampai itu sudah memasuki alam mimpi, meski hanya sendirian, tanpa seseorang yang bisa menjadi sandaran ketika lelah dengan kenyataan. Dalam hati ia selalu berharap semoga kelak ada seseorang yang bisa mengisi kekosongan hati, meski pada kenyataannya, setelah sembilan tahun ia belum pernah membuka hati untuk pria lain.

Bersambung 💓

Jangan lupa like+komen+vote ya readers 🙏😊😍

Bab.3 (Apa kamu baik-baik saja?)

[Apa kamu baik-baik saja disana?]

Terdengar samar-samar suara wanita paru baya dari balik telepon. Saat ini seorang pria tinggi, berambut hitam dan wajah blasteran yang sangat mempesona, sedang berdiri di depan jendela besar sebuah unit apartment. Cahaya matahari pagi yang menembus kaca jendela tak membuat mata coklat itu menyipit.

"Aku baik-baik saja, Ma."

[Jika kontrak kerja kamu sudah selesai, pulanglah Mama dan Papa menunggu.]

"Aku baru saja dua hari di kota ini dan Mama sudah menelpon ku hampir setiap waktu."

[Ya, Mama dan Papa tahu, kamu menerima proyek di luar kota karena kamu menghindari perjodohan yang kami atur, iya kan?]

Pria itu diam, tertegun sesaat menatap keluar jendela yang di hiasi pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Di usia yang hampir menginjak kepala tiga, kedua orangtua Adrian seperti di buru waktu untuk mencarikannya calon pendamping, lagi.

"Ma, aku harus segera ke lokasi sekarang, akan ku hubungi Mama nanti." Pria itu mematikan panggilan telepon lalu memasukkan ponsel ke saku celananya. Ia menghela nafas yang cukup panjang. Menghindar, begitulah caranya untuk bertahan sejauh ini. Bertahan dengan kesendirian selama sekian tahun.

"Kenapa kamu betah sekali berdiri di sana, kemarilah," sahut seseorang dari arah belakang.

Mendengar suara itu, ia berbalik dari posisinya. Melangkah menuju meja makan minimalis yang tersedia di bagian Pantry. Cukup untuk dua pria single yang sedang tinggal sementara di kota asing. Ia menyunggingkan senyumnya saat melihat sang sahabat sekaligus sang asisten makan sangat lahap dengan penampilan acak-acakan khas bangun tidur.

"Apa yang menelpon Mama kamu?" tanyanya dengan mulut penuh makanan

"Jon, sepertinya aku ketahuan sedang menghindar," ucapnya lalu meneguk segelas air putih yang ada di hadapannya.

"Ck, felling orang tua memang sangat kuat, sampai kapan kamu akan menghindar ... Adrian, lebih baik kamu menikah sesuai permintaan kedua orang tua mu," jelasnya.

Adrian hanya terdiam tanpa menimpali. Selama kurun waktu sembilan tahun, tak banyak yang berubah dari dalam dirinya. Kata 'siap' belum pernah terucap dari dalam hati untuk memulai satu komitmen dengan seseorang, meski hanya untuk singgah mengisi kekosongan ia juga masih enggan, hati seolah tertutup dan terkunci rapat. Apa sosok itu belum juga terlupakan?

Entahlah.

Kadang Adrian mengumpat dirinya sendiri saat hati dan pikiran kembali menggila karena seseorang dari masalalunya yang terus saja datang menghampiri. Masa remaja, menjadi seorang pemimpin rumah tangga, adalah kesalahan terbesarnya. Ia menyesal karena menghacurkan hidupnya sendiri dan hidup seorang gadis yang saat ini tidak lagi ia tahu keberadaannya.

"Rian!" seru Joni seraya menggebrak meja. Membuat lamunan Adrian buyar seketika.

"Kau ini mengagetkan saja!" sahutnya kesal.

"Kamu selalu saja melamun saat aku membicarakan hal ini ... apa kamu belum bisa melupakan wanita itu?" tanya Joni seraya memicingkan matanya.

"Apa maksudmu?"

"Wanita itu ... wanita yang kamu ceritakan saat kita kuliah dulu," ucap Joni lalu memajukan tubuhnya kedepan, "Sang Mantan."

"Kau gila, untuk apa aku mengingatnya lagi," ucap Adrian dengan wajah datarnya.

Joni kembali ke posisinya, melahap makanan yang tersisa kemudian kembali melihat Adrian, "Aku harap kamu benar-benar sudah melupakannya, aku yakin saat ini wanita itu sudah menjadi ibu rumah tangga dengan tiga orang anak, badannya pasti sudah melar dan tidak secantik dulu."

Adrian menyilang kan tangannya ke depan dada, "Kamu lebih cocok menjadi Ibu-ibu tukang gosip, ketimbang menjadi asisten seorang arsitek terkenal ... aku tidak butuh menikah karena aku sudah mempunyai seorang istri."

Joni menghentikan aktivitasnya dan kembali menatap sang sahabat dengan serius, "Apa maksud mu, kau menikah diam-diam, katakan siapa istrimu?"

Adrian terkekeh-kekeh melihat ekspresi wajah Joni yang terlihat begitu tegang. Ia menyondong kan tubuhnya kedepan, "Istriku adalah ... kamu," ucap Adrian lalu beranjak dari tempat duduknya, melangkah menuju pintu keluar apartement.

"Dasar b*ensek, aku masih normal!" seru Joni yang terlihat kesal karena candaan sang sahabat. Mereka selalu melakukan hal bersama, hingga tak jarang muncul gosip jika mereka adalah pasangan sesama jenis.

"Mandilah, aku tunggu kamu di bawah," ucap Adrian tanpa menghentikan langkahnya, ia meraih handel pintu lalu melangkah keluar.

~

Dari dalam unit apartment yang berbeda. Seorang wanita yang di hormati sebagai seorang Dokter bedah ternama di rumah sakit terbesar di pusat kota. Wanita yang selalu tampil sempurna di hadapan semua orang, nyatanya bisa tampil acak-acakan di saat ia hanya sendiri.

"Aku akan berangkat sebentar lagi, ini belum waktu untuk konsultasi kenapa Ibu itu malah datang sepagi ini," ucap Luna seraya melangkah masuk kedalam toilet, ia berdiri di depan wastafel dengan ponsel yang masih menempel di telinga.

[Aku juga tidak tahu, Ibu itu mengamuk ingin bertemu kamu, pokoknya cepatlah datang."

Panggilan telepon itu akhirnya terputus. Luna meletakkan ponsel di samping wastafel. Ia menatap wajahnya dari pantulan cermin. Wajah kurang tidur begitu jelas terlihat. Malam tadi ia pulang dari rumah sakit sekitar pukul dua dini hari karena menangani pasien gawat darurat.

"Lihatlah kantung mata ini ... sepertinya aku harus melakukan operasi kantung mataku sendiri," gumam Luna lalu terkekeh sendiri.

Tak ingin semakin menggila karena bicara dengan pantulan wajah sendiri. Luna segera meraih sikat giginya. Setelah selesai ia melepaskan pakaian tidur dan melangkah cepat menuju shower.

Begitulah perputaran Hidup Luna selama kurang lebih sembilan tahun belakangan, seperti robot yang bekerja tanpa henti. Saat ia merasa lelah dengan dunia, hanya dengan melihat foto kedua orangtuanya, ia bisa kembali bersemangat.

~

Hari ini Luna sampai melewatkan sarapan pagi, karena harus segera pergi ke rumah sakit. Ia tak henti-hentinya menatap angka yang ada di atas tombol lift. Rasanya ia ingin segera sampai di lantai dasar. Salahnya sendiri, kenapa memilih lantai tiga puluh sebagai tempat hunian.

3...2...1

Ting!

Pintu lift itu akhirnya terbuka, dengan langkah cepat Luna berjalan menuju pintu keluar. Tak lupa ia mengeluarkan kunci mobilnya dari dalam tas. Sesampainya di depan, ia tersenyum saat melihat seorang petugas keamanan yang membungkuk hormat kepadanya.

"Selamat pagi Dokter," sapa petugas keamanan itu.

"Selamat pagi pak, maaf saya buru-buru," ucap Luna lalu kembali melangkah menuju basement apartement.

Tak jauh dari sana. Seorang pria sedang berdiri, memandangi Luna yang melangkah memunggunginya, bergerak semakin menjauh dengan langkah terburu-buru. Ya, orang itu adalah Adrian. Ia sedang menunggu Joni untuk turun, namun indra pendengarannya tiba-tiba saja mendengar suara yang begitu tidak asing.

Saat ia berbalik, ia tidak sempat melihat wajah wanita itu. Ia hanya bisa melihat rambut panjang yang terurai ke belakang, postur tubuh tegap, begitu proposional sebagai seorang wanita. Namun bukan itu yang membuatnya terpana, tapi suara sang wanita yang mengingatkannya kepada seseorang.

Adrian berusaha menyingkirkan rasa penasaran dan kembali ke posisi sebelumnya. Adrian pikir ia hanya berhalusinasi karena tadi Joni membahas tentang sang mantan. Dengan kedua tangan yang masuk ke saku celana, ia menatap nanar ke arah depan. Lagi-lagi hati dan pikirannya menggila.

Selama sembilan tahun dan aku masih ingin bertanya, apa kamu baik-baik saja? Ya aku pasti sudah gila, batin Adrian.

Bersambung 💓

Jangan lupa tinggalkan like dan komen di setiap babnya ya readers. Silahkan tinggalkan hadiah dan vote agar author semakin semangat🙏😊

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!