Visual Para Tokoh :
1.) Bara Dirgantara
2.) Aurora Wijaya
3.) Sora Dirgantara
4.) Nana Wijaya
Sinopsis :
Kematian Nana Wijaya, istri dari Jenderal tinggi Indonesia membuat Bara Dirgantara menjadi Hot duda yang banyak di gilai oleh para wanita. Selain wajah yang tampan kekayaan yang di miliki oleh keluarga Dirgantara membuat banyak orang ingin menjadi istri sah Bara Dirgantara. Sayangnya, di mata Ibu Bara tak ada yang tulus pada putranya. Jika ingin menikah dengan Bara. Maka harus tulus pada cucunya.
Hingga Aurora Wijaya. Adik kandung dari Nana Wijaya di jodohkan dengan Bara. Melanjutkan perjuangan sang Kakak. Aurora yang memang bar-bar, membuat Bara merasa gerah. sungguh gerah. Namun kisah tetap berlanjut.
MOHON VOTE SEBELUM BACA YA ALL..
.
.
.
Hujan deras mengguyur Ibu kota Jakarta, Indonesia. Tubuh kuyup dengan mata membengkak di perparah tanpa alas kaki membuat gadis remaja sembilan belas tahun itu terlihat menyedihkan. Rumah duka terlibat begitu ramai. Karangan bunga berjajar penuh dari luar sampai ke dalam rumah. Puluhan pasang mata menatap dengan wajah aneh ke arah gadis remaja itu.
Kala sepasang tangan mengehentikan langkah rapuh yang bisa kapan saja tumbang. Mata bulat itu menatap tajam pada dua orang berpakaian duka yang tak di ketahui olehnya siapa.
"Maaf Nona, anda tidak bisa masuk," larang lelaki yang berdiri di samping lelaki yang menghadangnya.
"Siapa bilang? Siapa yang bilang aku tidak boleh masuk, brengsek!!!" maki Aurora delapan oktaf melengking.
Orang-orang berbisik lirih. Manik mata Aurora menatap tajam, baju merah kuyup yang melekat di tubuh nya menjatuhkan hujan kecil membasahi lantai. Belum sempat mereka menjawab. Satu seruan membuat ke dua lelaki itu beranjak.
"Biarkan dia masuk. Dia adalah adik almarhumah," seru tuan Dirgantara dengan menggelegar.
Sontak saja ke duanya mundur dengan cepat. Sedangkan Tuan Dirgantara menghampiri Aurora. Gadis remaja itu terlihat kacau. Suara Isak tangis di dalam rumah dapat di dengar samar-samar.
"Gantilah bajumu dulu, sebelum masuk ke dalam. Kau akan membuat Kakakmu merasa sedih," tutur Yahya Dirgantara dengan pelan penuh wibawa.
Aurora menatap sekilas Ayah mertua sang Kakak. Tidak menyahut, terkesan kurang sopan dan kurang ajar memang. Namun inilah dia, Aurora Wijaya. Putri ke dua dari tuan Rian Wijaya dan Ani Amira. Gadis remaja yang keras hati dan keras kepala. Telapak kaki pucat dengan ujung jari mengkerut bergesekan dengan lantai marmer nan begitu dingin. Tak menghalanginya, langkah Aurora semakin pasti masuk ke dalam rumah ke diaman keluarga Dirgantara.
Yahya mendesah letih. Manik mata tajam itu masih menatap punggung rapuh Aurora. Gadis cantik itu masuk ke dalam rumah semakin ke dalam. Semuanya terlihat jelas, mulai dari orang-orang yang berada di sana. Sampai bingkai foto besar yang menghadap pintu masuk. Terletak di atas peti, gambar sang kakak yang begitu cantik dan anggun. Bunga Krisan putih berjajar, dupa yang menyala.
Tuan Wijaya membulatkan ke dua mata tua yang bengkak, kala tubuh putrinya masuk mendapatkan perhatian dari orang-orang di dalam. Ibu tiri, adik dan kakak tiri Aurora menatap sinis Aurora. Tangan Aurora terkepal di ke dua sisi tubuhnya. Bukan lantaran dingin menusuk tulang. Namun lantaran rasa panas yang mendidih di dalam hatinya.
Satu-satunya orang yang mencintai dan menyayangi nya dengan tulus telah tiada. Saat baru berumur empat belas tahun, Aurora di buang ke Amerika. Satu tahun Kematian sang Ibu, ia di asing kan. Sifatnya yang pemberontak dan berterus terang membuat Rian Wijaya gerah. Berbeda dengan Nana Wijaya yang tua enam tahun darinya.
Kakaknya begitu dewasa dan anggun. Mencoba mengerti dan memahami banyak pihak. Hingga lebih di sayang oleh sang Ayah. Aurora remaja merasakan pahit, manis dan getirnya kehidupan di luar sana. Nana tak pernah lepas tangan pada Aurora. Kakaknya selalu memperhatikan nya. Mencurahkan perhatian, seperti layaknya seorang Ibu.
Tanpa sadar, kini Aurora telah sampai di depan foto besar Nana. Ia tak punya apa-apa untuk di letakan di atas papan peti. Air mata yang mengering kembali mengenang di pelupuk mata. Turun dengan deras, menghalangi penglihatan Aurora.
"Dia adiknya?"
"Aku dengar adiknya Dokter Nana adalah orang yang nakal dan bar-bar hingga di kirim ke luar negeri."
"Dia terlihat begitu menyedihkan!"
"Sssttt! Pelan kan suaramu. Dia memiliki temperamen yang buruk!"
Bisik-bisik lirih samar-samar terdengar. Bara Dirgantara, menatap punggung belakang adik Iparnya dengan pandangan dingin. Tidak ada niatan menyapa adik Iparnya. Tangan dingin Aurora menghapus kasar air mata yang menggenangi ke dua pipi chubby nya.
"A---aku, tidak punya apa-apa untuk ku berikan padamu, Kak!" tutur Aurora parau,"Namun aku berjanji akan menjaga Sora kita dan menemukan pembunuhmu," lanjut Aurora semakin sulit mengeluarkan suara.
Aurora maju semakin mendekati bingkai foto Nana. Orang-orang terpekik keras dan terbelalak melihat apa yang di lakukan oleh Aurora. Tangan kanan gadis remaja itu menggenggam dupa yang masih menyala. Dan menarik keras hingga menyebabkan luka bakar dan goresan di telapak tangan Aurora.
Mata bengkak itu menatap wajah Nana di depan nya. Darah mengalir tak membawa rasa sakit.
Telapak tangan Aurora bersentuhan dengan kaca foto. Cairan amis menempel di foto Nana. Tuan Wijaya mengerang pelan melihat kegilaan Aurora. Langkah kaki pria paruh baya itu urung kala melihat mantan menantunya menarik tangan Aurora membuat gadis remaja itu mudur beberapa langkah kebelakang.
Orang-orang masih menyaksikan nya. Menatap penuh penasaran apa yang akan di lakukan oleh Jendral besar Dirgantara itu. Ani dan Yahya tak melakukan apa-apa. Ke duanya hanya diam. Menyaksikan apa yang terjadi.
Sapu tangan bersih mengusap kaca bingkai foto menghilangkan noda yang menempel. Sebelum sang pemilik tubuh membalik tubuh nya dan melangkah mendekati sang adik Ipar. Bara tau dengan sangat jelas, bagaimana kasih sayang Sang istri pada gadis remaja di depan nya ini.
"Istirahat lah, tukar bajumu dengan pakaian yang lebih layak. Jangan mempermalukan Istriku dan membuat nya sedih," tutur Bara dengan nada dingin.
Aurora menatap Bara dengan senyum sinis. Lelaki dingin, yang begitu ia benci. Aurora mengepal kan ke dua tangannya. Sebelum mengambil langkah cepat.
BUG!!!
Tinju keras melayang membuat gaduh. Tubuh Kokoh terlatih itu bahkan mudur satu langkah kala kepalan tangan melayang menyentuh rahangnya. Bunyi kerasa hantaman Aurora mampu mematahkan pergelangan tangan Aurora. Orang-orang terpekik tak percaya melihat seorang gadis remaja dengan kekuatan penuh meninju wajah seorang Jenderal. Teman-teman bahkan bawahan Bara terkanga. Melihat bagaimana atasan mereka di pukul. Oleh seorang gadis remaja.
Langkah kaki terdengar keras. Bara linglung dengan apa yang terjadi secara tiba-tiba. Ia bahkan tak bisa membaca gerak cepat gadis remaja. Biasanya ia begitu awas bahkan dengan mudah membaca gerakan setiap orang. Namun kali ini hanya saat ini ia gagal membaca. Hingga tak dapat menangkis ataupun menahan tangan Aurora. Entahlah karena hatinya yang terluka hingga ia lengah. Atau memang gerakan Aurora tak mudah terbaca.
PLAK !!
BRUK !
Bukan! Itu bukan ulah Bara. Lelaki itu masih diam di posisi nya. Ia tak akan menampar seorang wanita. Main tangan pada seorang wanita adalah pantangan terbesar bagi Bara. Napas lelaki tua di depan nya terlihat jelas. Bahu lelaki itu naik turun penuh amarah.
Sedangkan gadis remaja yang di tampar terperosok ke lantai terlihat tenang. Ia berdiri dengan wajah memerah di pipi kirinya. Tamparan sang Ayah membekas di wajahnya.
Aurora tersenyum sinis. Tangan sebelah kanan nya mungkin saja patah atau tulang nya bergeser karena kerasnya rahang Bara. Di tambah denyutan di pipi kirinya tak membuat Aurora patah. Ia malah berdiri lurus.
"Kau gila!" maki Rian keras.
Aurora mencabik membuat darah Rian Wijaya semakin mendidih saja.
"Kau yang gila tuan Wijaya yang terhormat!" balas Aurora sinis,"Harusnya kau berkaca pada masa lalu! Kau yang membuat Ibuku terbunuh. Karena kau seorang Jenderal tinggi. Lalu kau masih mau menikahkan putrimu dengan seorang Jendral. Berharap Kakakku mendapatkan kematian yang sama seperti Ibuku, huh!" teriak Aurora melengking.
"Kau!" Teriakan Rian tak kalah keras menunjuk ke arah wajah sang putri dengan amarah.
"Apa!!!! Aku apa?! Bukankah sudah aku katakan. Jangan pernah melukai Kakakku. Jangan menikah kan dia dengan lelaki yang sama seperti mu! Kau brengsek! Sialan! Pangkat mu membunuh Ibu dan sekarang pangkat yang sama merenggut Kakakku! Kau dan dia adalah pembunuh!" Teriak Aurora menggila menunjuk Rian dan Bara berganti-gantian.
Ricuh. Rumah duka ricuh seketika. Bara tak membantah, bukankah itu benar? Karena benci padanya. Istri nya menjadi sasaran.
Aurora di seret keluar dari rumah duka oleh Rian dan beberapa orang di panggil oleh Rian. Bara membatu dengan pandangan dingin kosong. Tidak ada teriak dari Aurora terdengar. Ibu tiri Aurora menggeleng pelan. Menutup wajahnya malu karena kegilaan anak tirinya.
****
1 Tahun Kemudian
Musik menghentak keras. Aurora menari sesuai irama. Teriakan riuh dari para pengunjung membuat Aurora semakin menggila di atas tiang. Beberapa lelaki berambut pirang menatap lapar. Gadis berdarah Asia memang mengiurkan.
Peluh membasahi tubuh nya. Menambah kesan seksi dan hot. Rebecca memberi kode agar teman satu kampusnya itu turun. Gadis cantik itu turun mendapatkan erangan tak rela dari pada lelaki mata keranjang. Rebecca menarik Aurora turun. Membawa gadis cantik itu keluar menuju mobil nya. Aurora hanya menurut saja.
Ke duanya masuk ke dalam mobil. Laju mobil tak pernah di bawah rata-rata. Selalu berada di atas rata-rata. Aurora berteriak keras kegirangan kala mobil melesat, membelah dan menyalip pengendara lain nya. Hanya memakan waktu lima belas menit ke duanya sampai di apartemen.
Rebecca mendesah kasar melihat sahabatnya. Gadis berdarah Canada itu tau bagaimana beratnya hidup Aurora. Apalagi setalah kematian kakaknya. Gadis di depannya ini bertambah menggila.
"Kenapa kau menatap aku seperti itu, hem?" tanya Aurora dengan wajah nakal.
Rebecca hanya menggeleng pelan. Ia melangkah mendekati sofa. Rebah di atas sofa empuk. Jari jemari tangannya menari indah di depan layar. Sebelum menunjukkan nya pada Aurora.
"Aku mendapat Informasi dari Lucas, jika Kakak tirimu ingin menjebak Mantan kakak Iparmu untuk menikah dengan nya. Jika dia berhasil maka, keponakan mu akan dalam ketidak bahagia Aurora," ujar Rebecca.
Aurora melangkah cepat menuju sofa. Merebut Ponsel Rebecca. Membaca informasi yang di kirim oleh mata-mata nya.
"Oh! Shittttt!!!!" Maki Aurora keras menggeram. Buku tangannya bahkan memucat karena kepala tangan yang keras.
"Kau harus segera menghentikan nya," nasehat Rebecca.
"Rebecca! Pesankan tiket pesawatnya sekarang!" Titah Aurora melempar ponsel gadis berambut pirang itu kembali ke atas pangkuan sang pemilik. Sedangkan dia masuk ke dalam kamar.
TBC
Jangan lupa dukung nya kak, dengan cara Vote, like dan komentar
SEBELUM BACA TOLONG VOTE TERLEBIH Dahulu
.
.
"Bibi!" teriakan nyaring di ambang pintu membuat garis senyum hadir begitu saja.
Aurora berlari menghampiri sang keponakan tercinta. Beberapa penjaga yang sempat menghalanginya hanya bisa pasrah. Aurora mengendong tubuh anak perempuan berusia enam tahun itu sebelum memutarnya hingga terdengar tawa lepas dari Sora. Tawa lepas membawa senyum di bibir beberapa orang yang menonton.
Sudah beberapa minggu sang nona kecil Dirgantara itu tak pernah tersenyum. Selalu menangis dalam diam. Wajahnya yang di tekuk terus menerus. Membuat orang-orang khawatir. Namun melihat tawa itu kembali hadir.
Tangan mungil melingkar di leher jenjang sang Bibi. Bibir basah mencium seluruh wajah cantik Sora. Membuat anak perempuan itu menghindari dengan tawa.
"Hh—hentikan Bi!" Teriak Sora menghentikan ciuman Aurora.
Aurora tersenyum. Sebelum mengecup dahi Sora dengan lembut. Ia mengendong Sora masuk ke dalam rumah besar Bara Dirgantara. Dari belakang beberapa Baby sister mengikuti ke duanya. Sedangkan kepala pembantu menyeret koper besar yang di tinggalkan begitu saja oleh Aurora di depan gerbang.
"Di mana Daddy mu?" Tanya Aurora menyapu seisi ruangan.
Tidak dia temukan tanda-tanda keberadaan Bara. Wajah Sora terlihat cemberut. Aurora melangkah memasuki kamar tamu.
"Kalian tinggal kan saja kami di sini," seru Aurora pada ke dua Baby Sister yang mengikutinya dari tadi.
"Kopernya saya letakan di sudut ruangan ya Nona," seru Bibi Ana.
"Hem," dehem Aurora pelan.
Orang-orang keluar dari kamar tamu. Sedangkan Aurora menurunkan tubuh Sora di atas tempat tidur. Ia duduk di samping Sora.
"Bi!" panggil Sora pelan.
Aurora menoleh."Ada apa sayang?" tanya Aurora lembut.
"Apakah Bibi akan tinggal di sini? Tidak akan kembali lagi ke Amerika kan?" tanya Sora penuh harap.
Aurora diam. Bisakah? Sulit baginya untuk tetap tinggal di Indonesia tanpa alasan. Di tambah hubungan nya begitu buruk dengan sang Ayah.
"Sora! Tidak ingin Bibi pergi lagi. Mom tidak di sini lagi. Mom meninggalkan Sora. Lalu Bibi juga akan meninggalkan Sora di sini sendiri. Apakah semuanya akan meninggalkan Sora?" tutur Sora dengan nada lirih.
Hati Aurora terasa tercubit. Ia diam menatap lekat wajah Sora. Rasanya sungguh sakit mendengar perkataan Sora. Tangan Aurora menarik tubuh Sora masuk ke dalam pelukannya. Dagu runcing Aurora bertengger indah di puncak kepala sang keponakan.
"Bibi tidak akan meninggalkan Sora sendiri. Bibi akan selalu berada di sisi Sora. Apapun yang terjadi," janji Aurora dengan nada bergetar,"Jadi Sora mulai saat ini jangan takut. Bibi bersama Sora selalu," lanjut nya.
Anak perempuan cantik tersenyum lebar. Ia memejamkan ke dua matanya. Menghirup aroma strawberry dari tubuh Aurora. Aroma yang sama seperti aroma sang Ibu. Ia merasakan pelukan hangat, pelukan Ibu.
Orang-orang berkata jika anak-anak sangat peka dengan hati orang dewasa. Mereka bisa merasakan siapa yang tulus dan siapa yang modus.
***
Denting besi yang saling beradu menghadirkan bunyi yang khas di jam dinding. Langkah kaki berat dengan wajah lelah terlihat samar-samar. Rumah besar mewah dengan lampu temaram terasa begitu dingin bagi lelaki berkepala tiga ini. Dulu, ruangan tengah tak pernah temaram apalagi gelap. Wanita cantik akan menunggu di atas sofa. Duduk dengan membaca majalah atau buku bacaan otonomi tubuh manusia. Di temani secangkir kopi susu.
Tak jarang Bara menemukan sang Istri tertidur di sofa dengan tangan memegang buku. Namun kini tak pernah lagi melihat pandangan menyejukkan itu. Hempasan napas kasar dari mulut tak membawa uap keluar. Udara yang hangat di dalam hati yang dingin. Dingin karena kehilangan kehangatan.
Derap langkah kaki di jam dua pagi memang mampu membuat siapa saja merasa merinding. Gadis cantik berambut sepinggang itu menuangkan perlahan air hangat ke dalam gelas. Meneguk perlahan, membasahi kerongkongan yang terasa begitu kering.
Hampir saja Aurora menjerit keras. Sepasang tangan kekar melingkar di pinggang ramping nya. Aroma Wine bercampur dengan bau permen karet menyeruak masuk ke dalam penciuman Aurora. Basah! Tengkuk Aurora meremang kala kecupan basah di lehernya.
"Hei!" Seru Aurora membalikkan tubuhnya mendorong keras tubuh kokoh yang menempel begitu intim dengan punggung belakang nya.
Sayang sekali. Tubuh sang pemeluk tidak beranjak sama sekali dari dirinya. Mata tajam begitu sayu menatap wajah cantik Aurora.
"Nana!" panggil Bara sangat berat.
Mata Aurora membulat sempurna kala tau siapa yang kurang ajar padanya. Meski di bawah pengaruh alkohol yang kuat. Bukan berarti, Bara Dirgantara se'enak nya menyentuhnya.
"Lepaskan aku! Aku bukan Kakak Nana!" Tutur Aurora kembali mencoba mendorong dada bidang Bara.
"Sayang!" ujar Bara membuat kulit hidung Aurora mengerut. Bau alkohol benar-benar menusuk keluar dari napas Bara yang berat.
"Sialan! Lelaki gila ini tidak waras!" Ujar Bara kesal mendorong tubuh lelaki itu kembali.
Tangan kanan Bara merengkuh tubuh Aurora membawa gadis itu masuk dalam pelukan nya. Pelukan nan erat membuat Aurora meronta-ronta. Berharap kegilaan Bara tak berlanjut.
BUG !
BRUK !
Telapak kaki Aurora menginjak keras kaki Bara. Sebelum mendorong keras tubuh Bara. Hingga lelaki mabuk itu kehilangan kesadaran nya. Menghantam kerasnya lantai dapur.
Napas Aurora memburu karena kemarahan. Kaki kanan Aurora melayang di atas perut Bara dengan gerakan akan menendang. Namun tak di laksakan.
"Oh! Untung kau Ayah nya Sora dan suami kakakku. Jika tidak sudah pasti kau akan mati di tanganku. Dan aku kebiri kau!" Kesal Aurora dengan jari telunjuk mendakwa tubuh yang tergolek lemah.
Tangan Aurora menyungar rambut nya dengan kasar. Ia frustasi, karena kemarahan tak dapat di lampiaskan. Sial sekali dirinya. Turun hanya untuk minum hampir di lecehkan oleh Suami Almarhum kakaknya. Beruntung, Aurora adalah gadis kasar yang bar-bar. Hingga melumpuhkan Bara bukan lah perkara sulit. Bara masih beruntung karena Bara tak menghajar babak belur wajah tampannya.
"Lelaki brengsek!" Seru Aurora dengan menyimpan empat jari menampilkan jari tengah nya ke arah Bara. Sebelum meninggalkan tubuh sang tuan rumah di dapur.
***
Gadis cantik itu berdiri di depan Aurora. Menatap garang wajah cantik Aurora. Namun yang di tatap malah memasang wajah tak peduli. Kaki jenjang putih mulus itu di silang dengan angkuh. Darah Keyla mendidih melihat bagaimana adik tirinya itu bersikap. Mengetahui Aurora pulang ke Indonesia saja sudah sangat menyebalkan bagi Keyla dan Ibunya. Apa lagi informasi yang ia dapatkan adalah adik tirinya ini tinggal di rumah calon suaminya.
"Duduklah, nona Keyla!" seru Aurora dengan santai.
"Mari kita bicara ke tempat lain," tutur Keyla dengan nada rendah menahan geraman.
Senyum sinis tercetak jelas di wajah cantik gadis itu. Meski Keyla telah di angkat secara sah menjadi putri keluarga Wijaya. Namun bagi Aurora gadis di depannya ini tidak berhak menyandang nama Wijaya. Yang berhak menyandang nama besar Wijaya hanyalah dirinya dan sang kakak.
"Mama meminta kau pulang ke Rumah. Untuk Papa, Mama akan membujuk beliau agar tidak marah padamu," lanjut Keyla berharap Aurora akan mau pulang ke rumahnya.
Meski sebenarnya. Bagi Keyla tidak ada nya Aurora akan membuat ia dan sang adik menjadi pewaris kemewahan keluarga Wijaya. Karena Nana sudah tidak ada lagi di dunia ini. Yang menjadi penghalang nya adalah Aurora. Meski mereka merasa menyingkirkan Aurora dari ahli waris keluarga Wijaya adalah perkara yang sangat mudah. Aurora sangat tidak sopan hingga bisa menyinggung banyak pihak. Dengan begitu ia akan membujuk Ayah tirinya untuk mengtiadakan Aurora dari ahli waris.
"Kembali ke rumah? Membujuk Papa?" ulang Aurora dengan nada meremehkan.
Gadis ini bukanlah gadis lugu yang bodoh. Tidak tau apa maksud dari ke datangan Keyla ke rumah Bara. Membujuknya agar ia tidak memiliki penghalang untuk bisa bersama lelaki Dirgantara itu. Namun sayang sekali, Aurora tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Akan ia lakukan apapun agar Keyla mau pun Jenni tidak menyentuh apa yang menjadi milik kakaknya.
"Sayangnya aku tidak tertarik," lajut Aurora membuat kepala Keyla mendidih.
"Kau tak malu tinggal di rumah mantan Kakak Iparmu?" kesal Keyla.
"Memang kenapa?"
"Kau bisa mengundang gosip tak sedap untuk Jenderal!
"Gosip seperti apa?" tanya Aurora berpura-pura bodoh.
"Gosip kau menggoda mantan kakak Iparmu yang akan menikah dengan ku!" tutur Keyla mendapatkan tawa meledak dari Aurora.
"Tidak. Itu bukan akan menjadi gosip!" Ucap Aurora berdiri dari posisi duduknya. Melangkah mendekati sang Kakak tiri. Mendekatkan bibirnya ke daun telinga Keyla."Tapi itu akan menjadi kenyataan. Aku akan membawa Jendral itu ke atas tempat tidur ku!" Bisik Aurora dengan senyum menyeringai.
TBC
Vote+comen!!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!