NovelToon NovelToon

Love After Marriage And Divorce

(LAM) Kamu lagi, kamu lagi

Riana adalah gadis muda periang serta pekerja keras. Ia bekerja di sebuah mall besar milik keluarga Adhyaksa. Ya, karena mall itu dekat dengan rumahnya tentunya.

Meski hanya sebagai karyawan toko, Riana begitu bangga dengan pekerjaannya. Tidak pernah ia merasa malu ataupun minder pada temannya.

Pagi ini, seperti rutinitas biasanya Riana berangkat tepat pukul sembilan pagi. Tokonya akan buka di jam 10. Sengaja Riana berangkat lebih awal dari biasanya.

Tiba di sana, waktu masih menunjukkan pukul sepuluh kurang lima belas menit. Riana memang sengaja berjalan santai untuk menikmati pemandangan sekitar. Sekedar menyapa beberapa karyawan toko lain. Ya, Riana terkenal ramah di sana.

Di depan toko, ada seorang pria yang sudah mulai membuka gembok tokonya. Riana mempercepat lajunya.

"Loh, kok ko Edy yang buka? Emang mas Pri kemana?" tanyanya.

"Dia off hari ini," jawabnya.

Pria berketurunan Tionghoa ini adalah orang pertama yang ramah pada Riana. Dia juga sering membantu Riana.

Toko terbuka. Riana dan karyawan lainnya mulai mengangkat barang yang menghalangi jalan keluar. Maklum saja, toko mereka kecil. Namun, barang yang dijual cukup banyak.

Ko Edy yang masih berada di sana, mengambil kardus berisi stok headset serta casing dari tangan Riana. Riana membiarkannya.

"Ini berat Ri. Biar gua saja," ucap pria itu.

"Oke," jawab Riana singkat.

Setelah itu, ko Edy kembali ke tokonya. Mereka memang bekerja di mall yang sama. Meski satu bos, mereka berbeda toko.

"Ko, thank you ya," teriak Riana.

Ko Edy hanya mengacungkan jempolnya. Setelahnya, Riana mengambil tas user dari temannya Yani.

"Kayaknya, ko Edy suka sama Lo Ri," ujar Yani.

Riana yang malas menanggapi hanya mengendikkan bahu nya. Setelah itu, mereka fokus pada pekerjaan masing-masing.

💦💦💦💦💦

Telepon berdering, saat Riana tengah berada di meja kasir. Ia mengambil gagang telepon dan meletakkannya diantara bahu dan telinga.

"Halo," ucapnya.

"Ri, ada charger mobil gak?" tanya suara di seberang sana.

Mendengar suaranya, Riana mengetahui siapa yang tengah menghubunginya. "Ada ko. Berapa?" ujarnya.

"Tiga ada?"

"Tipe?"

"Colok gede."

"Oke. Ambil aja," setelah itu, sambungan terputus.

Riana menyiapkan permintaan Edy dan meletakkannya di meja serta memberitahu Yani dan yang lainnya perihal charger itu. Kemudian, ia pamit pada Yani sahabatnya untuk ke toilet.

Keluar dari toilet, Riana tak memperhatikan seseorang yang keluar dengan langkah terburu-buru. Hingga akhirnya, tubuhnya yang kecil hampir terjatuh jika pria itu tak menangkapnya.

"..." teriaknya.

Ia terkejut saat tubuhnya tak mendarat di lantai. Ia menoleh dan mendapati pria tampan bak oppa Korea tengah memegangnya. Jujur saja, ia sangat terpesona.

"Mau sampai kapan kamu seperti ini. Bisa berdiri tidak?" suaranya memang tidak keras. Namun, aura intimidasi itu sangat kental di rasa oleh Riana.

"Ma-maaf," ucap Riana seraya berdiri dengan benar.

"Terimakasih sudah menolong saya," Riana sedikit menunduk hormat.

Detik berikutnya, pria itu memasukkan tangannya ke dalam saku celana bahannya dan berlalu tanpa memandang Riana.

"Sombong banget. Senyum kek, bilang sama-sama gitu," gerutunya seraya kembali ke tokonya.

Tepat saat itu, Edy baru saja keluar dari sana. Mereka saling melemparkan senyuman. Kemudian, Riana kembali bekerja.

💦💦💦💦💦

Waktu berlalu dengan cepat. Kini, Riana dan karyawan lainnya tengah bersiap menutup toko. Sama seperti pagi tadi, Riana dan yang lainnya kembali mengangkat dan menyusun kardus itu ke dalam.

Setelah beres, Edy kembali menarik railing door dan menggemboknya lagi. Mereka pun mulai meninggalkan toko, karena pihak mall, sudah mulai mematikan lampu di area itu. Terkecuali, di area tengah dan lainnya.

Yani menggamit lengan Riana. Mereka berjalan seraya berbagi cerita. Sementara Edy, mengikuti dari belakang.

Riana dan Yani memilih masuk ke dalam supermarket yang ada di lantai bawah. Ia ingin mencari sesuatu.

"Loh, Koko mau ke sini juga?" tanya Yani.

"Iya. Ada yang gua cari," mereka hanya menganggukkan kepala mengerti.

Setelah mendapatkan apa yang mereka butuhkan, Riana dan Yani menuju kasir. Selesai membayar, mereka keluar.

Tiba-tiba saja, Edy menyodorkan minuman kaleng pada Riana. Riana menatap kaleng itu, kemudian menatap Edy.

"Buat, Lo," ucapnya mengartikan tatapan mata Riana.

Riana tersenyum dan mengambilnya. "Thank you," ucapnya seraya tersenyum.

Di lift, Riana kembali bertemu dengan pria yang menolongnya siang tadi. Yani menatapnya penuh kekaguman. Namun, Riana terlihat biasa saja. Mungkin, karena kejadian yang menimpanya siang tadi.

"Lo, mau langsung pulang, Ri?" tanya Edy.

"Iya, Ko. Capek aku," jawabnya.

Edy hanya mengangguk. Dari depan, pria itu melihat bayangan tangan Edy yang ingin merangkul atau mungkin mengelus rambut Riana. Namun, urung dilakukannya.

Riana sendiri sibuk membuka ponselnya dan bercerita dengan Yani. Ia tak memperhatikan sekitarnya.

Tak lama kemudian, mereka tiba di lobby. Di luar mall, mereka berpisah. Tanpa Riana sadari, Edy mengikutinya dari kejauhan.

💦💦💦💦💦

Keesokkan harinya, Riana bangun terlambat. Dengan terburu-buru ia bersiap. Kemudian, setengah berlari menuju mall tempatnya bekerja.

"Tunggu," pekiknya saat lift akan menutup.

Pria di dalam sana mengangkat sebelah alisnya. Entah takdir atau kesengajaan, pria itu tidak senang bertemu lagi dengan Riana. Pintu lift terbuka tepat di lantai Riana bekerja. Ia segera melangkah keluar.

Pria itu hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah Riana.

Riana menghembuskan nafas lega saat gembok tokonya baru mulai dibuka oleh supervisor nya. Setelah meletakkan tasnya, Riana kembali dengan rutinitasnya.

Hari ini, Edy tidak ke tokonya lebih dulu, karena Pri, atasan Riana sudah kembali dari liburannya.

Hari ini, Riana merasa sedikit tidak bersemangat. Ia memesan capuccino pada pelayan food court yang berlalu lalang di dekat tokonya.

"Soleh, gua pesan cappucino dong. Ada kan?" tanyanya.

"Nih," Soleh memberikan pesanan Riana.

"Punya siapa ini?" tanya Riana.

"Punya, Lo. Ada yang pesankan untuk Lo," jawab Soleh.

"Siapa?" tanya Riana penasaran.

"Rahasia," Soleh pun berlalu.

"Pake rahasia-rahasia an," pekiknya.

Riana berbalik dan menabrak dada bidang seseorang. Hingga cappucino miliknya mengotori jas pria itu.

"Ahhh," jeritnya.

"Astaga, maaf-maaf," ucapnya.

Riana terkejut mendapati pria yang kemarin kembali terlibat masalah dengannya. Riana meneguk salivanya dengan sulit saat mendapati tatapan tajam dan menusuk dari pria itu.

Mati gua, gumamnya dalam hati.

"Kamu lagi, kamu lagi," pria itu segera melangkah cepat meninggalkan Riana di sana.

Riana bernafas lega saat pria itu mulai menjauh. "Ketus, banget jadi cowok. Entar gak laku aja, baru tahu rasa," gumamnya.

Riana semakin tidak bersemangat saat ini. Ah, sudahlah. Kenapa gua ketemu dia terus ya? tanyanya dalam hati.

Sepanjang hari itu, Riana benar-benar tak bisa fokus dalam satu pekerjaan. Moodnya terjun bebas setelah bertemu pria tadi.

(LAM) Dijodohkan???

Arkan tiba di ruangannya dengan wajah yang ditekuk. Rasa kesal sangat kentara diwajahnya. Takdir macam apa yang membuat dirinya bertemu lagi dan lagi dengan gadis ceroboh itu.

Pria itu memijat pangkal hidungnya. Ia kembali teringat dengan kemejanya yang tersiram kopi hangat milik gadis itu. Segera, ia mengambil ponselnya dan menghubungi asistennya.

"Di, tolong bawakan kemeja untuk saya," ucapnya setelah panggilan itu terjawab.

Tanpa menunggu jawaban sang asisten, Arkan memutuskan panggilannya. Ia merasa, moodnya sangat buruk. Ia bahkan tak berniat mengerjakan tumpukan dokumen yang tersusun rapih bak menara Eiffel di mejanya.

Tak butuh waktu lama, asisten Arkan memasuki ruangannya dan menyerahkan sebuah paper bag pada atasannya.

"Ini, Bos," ia mengulurkan paper bag tersebut.

Arkan mengulurkan tangannya mengambil benda itu. Dengan segera, ia membuka kemejanya dan memasukkannya kedalam paper bag. Setelah itu, ia menyuruh asistennya membuang kemeja itu.

"Ini. Buang saja," ucapnya.

Asistennya melotot tak percaya dengan pendengarannya. Tak yakin dengan yang di dengarnya, membuat ia kembali bertanya.

"Dibuang, Bos?"

"Iya. Anggap saja buang sial," ketusnya.

Sayang banget, kalo boleh mending buat aku saja, batin asistennya saat itu.

Ia memilih keluar dari ruangan bosnya itu. Baru saja pria itu menarik gagang pintu, terdengar peringatan dari Arkan.

"Jangan coba-coba kamu simpan ya! Saya gak mau ketiban sial lagi," ucapnya.

"Iya, Bos," jawabnya pasrah.

Asisten Arkan menggaruk kepalanya yang tak gatal. Darimana, Bos, tahu sih mau ku ambil? Kadang-kadang dia seperti seorang cenayang deh, pikirnya.

Arkan kembali duduk di mejanya setelah asistennya keluar. Ia mencoba memfokuskan pikirannya pada pekerjaan.

Baru saja fokusnya kembali, ia dikejutkan dengan kehadiran ayahnya. Tanpa disuruh oleh Arkan pun, sang ayah menuju sofa yang ada di ruangan itu dan duduk di sana.

"Papi, tumben ke sini?" tanyanya seraya melangkahkan kakinya menuju sang papi.

"Papi, hanya ingin mengingatkanmu tentang perjodohan yang sudah disiapkan kakek mu. Orang-orang, Papi, sudah menemukan keluarga mereka," ucapnya.

Arkan menghembuskan nafasnya lelah. Tidak bisakah sehari saja telinganya tak mendengar masalah perjodohan ini? Pasalnya, sejak sang kakek berpulang satu bulan yang lalu, Papinya terus saja membicarakan hal ini.

Bahkan, sang Papi, sengaja menyuruh seorang detektif mencari tahu keberadaan keluarga itu. Arkan memijat pelipisnya yang terasa semakin berdenyut.

"Papi, bisa gak sih kita membicarakan hal ini di rumah saja?" Papinya mengangkat sebelah alisnya.

"Kalau di tunda, kamu akan seenaknya mencari calon istri dengan para wanita tidak benar di luar sana. Papi, gak sudi menerima mereka," ucap papinya dengan penuh penekanan.

"Bagaimana jika wanita itu juga tidak benar seperti mereka?" Arkan tidak ingin mengalah pada keputusan sepihak dari sang kakek, tanpa memikirkan perasaannya.

"Jaga bicara mu, Arkan!" hardik papinya.

Arkan membuang pandangannya. Ia tak mengerti dengan jalan pikiran orang tuanya. Ini bukan zaman Siti Nurbaya, yang menerima perjodohan meski enggan melakukannya. Bukankah dirinya punya hak dengan masa depannya?

"Arkan tidak suka dijodohkan," ucapnya.

Ada emosi yang mengalir dari setiap kata-katanya. Tak ingin berdebat, Papinya memilih keluar.

💦💦💦💦💦

Malam hari, Riana sedang membawa beberapa kardus untuk disusun di dalam. Tokonya akan segera tutup. Edy, baru saja tiba di sana setelah menyelesaikan tugasnya di toko yang lain.

Dengan cepat, Edy menyambar kardus yang berada di tangan Riana. Riana yang tak menyadarinya hampir saja berteriak, saat merasakan kardus yang dipegangnya terlepas.

"Ih, ko Edy, nih ngagetin aja sih," ia menepuk lengan pria itu.

Edy tersenyum mendapatkan hadiah kecil itu dari Riana. Sedikit berlebihan bagi Edy. Namun, nyatanya cinta menjadikannya seperti itu.

Selesai dengan tugasnya, Yani menggandeng lengan Riana. Sementara Riana masih saja terlihat diam.

"Mbak Riana, besok off ya?" tanya salah seorang rekan kerjanya.

"Iya. Kenapa?" tanyanya lagi.

"Boleh tukar? Aku, ada perlu besok."

"Boleh sih, aku juga gak ngapa-ngapain di rumah!" ucapnya.

"Jadi, boleh ya, Mbak?" tanyanya memastikan.

Riana mengangguk. Dalam hati, Edy merasa senang karena Riana tidak jadi libur. Masih bisa lihat dan dekat dengannya.

"Lo masih BT ya?" tanya Yani saat melihat wajah Riana.

Riana mengangguk lemah. Edy pun bertanya, "kenapa?"

"Itu, Ko, yang tadi ku ceritakan?" Yani yang menjawabnya.

Tatapan Edy tak beralih dari wajah manis milik Riana. "Lo, cerita apa, Yan ke ko Edy?" tanya Riana.

Yani memukul pelan mulutnya. Ia mengumpat dirinya sendiri, akibat ulah mulutnya yang tak bisa direm.

"Yani, gak cerita apa-apa sama gua," kali ini, Edy sendiri yang menjawab.

Tak ingin menjawab, Riana memilih mempercepat langkahnya. Edy, paham jika Riana tak ingin menjawab saat ini. Pasti masalahnya bikin mood dia hancur.

💦💦💦💦💦

Keesokan harinya, Riana baru saja mengenakan pakaiannya untuk pergi bekerja. Namun, ibunya memanggil dirinya.

"Ri, ayo keluar dulu," ajak ibunya.

"Ada apa sih, Ma?" tanyanya.

Ibunya tak menjawab pertanyaan Riana. Ia pun mengikuti langkah sang ibu menuju ke ruang tamu.

"Nah, ini Pak, anak Saya," ucap ibunya.

Riana mengernyitkan dahinya bingung. Ada apa ini?

"Halo, kenalkan, Saya Danu," pria itu mengulurkan tangannya hendak menjabat Riana.

Riana menyambutnya dan tersenyum ramah. "Halo," ucapnya.

"Bisa duduk dulu kan?" Riana mengangguk.

Ia duduk dengan diapit oleh ayah dan ibunya. Adiknya, sudah berangkat sekolah sejak pagi tadi.

"Maksud kedatangan, Saya, adalah untuk mengatakan pada kalian tentang perjodohan antara, Nak Riana, dengan anak saya, Arkan."

Riana membulatkan matanya. Benarkah ini? Begitupula dengan kedua orang tuanya.

"Maaf, Pak, Saya ingin bertanya," ucap ibu dari Riana.

"Silahkan," ucapnya mempersilahkan.

"Kami tidak pernah menjodohkan anak kami dengan siapapun, Pak! Kenapa bisa tiba-tiba ada perjodohan?" tanya ibunya penasaran.

Riana memilih diam. Terlihat pria itu terkekeh dan membuka tas yang ada di samping kirinya.

"Ini buktinya," ia menaruh sebuah kertas di atas meja.

Kertas itu tertempel materai dan di tanda tangani oleh dua orang. Melihat tanda tangan yang terlihat sangat familiar, membuat ibunya menutup mulut tak percaya.

"Itu, tanda tangan, Bapak!" ucapnya.

"Ya, meraka sepakat untuk menjodohkan cucu mereka saat itu. Karena, baik aku, maupun putrinya, sudah memilih pasangan masing-masing. Kerena itu, mereka mengubah haluan dengan menjodohkan cucu mereka," tutur pria bernama Danu tersebut.

"Jadi?" tanya Riana.

Bukan Riana tak mengerti maksud pria itu. Namun, ia tak bisa menerima perjodohan ini. Apalagi, pria itu tidak ia kenal.

Tidak, rasanya itu akan menjadi mimpi terburuk bagi Riana.

"Kalian akan menikah. Tidak usah terburu-buru, bertemu saja dulu," ucap pria itu menjawab pertanyaan Riana.

Oh my God. Riana menepuk dahinya dan menghembuskan nafas kasar. Sepertinya, Mimpi buruknya baru saja di mulai.

🌺🌺🌺🌺🌺

hai genks, apa kabar kalian. ketemu lagi di new story' ku. jangan lupa tinggalkan vote dan hadiah kalian ya. komen juga. apalagi kalau kalian suka ceritanya. wajib kasih aku semangat dengan vote dan hadiah ya.

Jangan lupa mampir di karyaku yang lain juga. Oh iya, buat kalian yang ingin tahu info seputar visualisasi dan ingin berbincang santai dengan ku, wajib follow akun Ig ku.

Jika ingin tahu karya terbaruku, wajib follow akun Noveltoon ku Ruth89. klik tulisan +ikuti berwarna biru ya genks.

thank you genks. lope you banyak-banyak buat kalian. sampai jumpa lagi.

(LAM) Jadi, Dia Orangnya?

Setelah merasa cukup dengan pembicaraan tersebut, Riana memilih pergi bekerja. Mungkin saja dengan bekerja ia bisa melupakan masalahnya sejenak.

"Ma, Pa, Om, saya berangkat dulu ya. Takut terlambat," pamit Riana.

Saat Riana akan mencium punggung tangan pria paruh baya yang baru ditemuinya itu, pria itu memberikan senyum hangat dan tulus. Bahkan, ia menawarkan diri untuk mengantar Riana.

"Biar Om, antar," ucapnya seraya bangkit berdiri.

"Eh, tidak usah, Om. Riana bisa sendiri kok. Gak apa apa." Tolak Riana yang bergegas pergi setelah mengucap salam.

Riana tak menunggu reaksi orang itu lagi. Mendengar dirinya dijodohkan saja, ia sudah bergidik ngeri. Bagaimana jika mereka satu mobil dan pria itu mulai meracau bahkan memintanya untuk menikahi putra beliau secepatnya?

"Aku kan masih muda, masih ingin bermain-main. Masa iya aku disuruh menikah. Yang ada aku gak bebas dong." Riana bersungut-sungut seraya melangkahkan kakinya dengan cepat. Ia tak ingin pria tadi kembali menawarkan bantuan.

💦💦💦💦💦

Riana baru saja menginjakkan kakinya di depan mall tempatnya bekerja, ketika pria yang beberapa hari ini selalu bertemu dengannya.

Riana memilih melalui pintu lobby bagian lain daripada bertemu dengan pria itu. Sungguh, dirinya tidak ingin lagi berurusan dengannya.

Sialnya, Edy melihat dirinya dan memanggilnya.

"Ri," teriak Edy.

Riana berpura-pura tak mendengar panggilan Edy. Ia berusaha terus melangkah menjauhi lobby utama. Edy yang melihatnya pun mengejar dirinya.

"Hei!" Edy menepuk pundak Riana.

"Koko, bisa gak sih pelan? Sakit tahu!" sungut Riana.

Edy terkekeh melihat reaksi Riana. "Sakit ya, sini aku usap-usap," Edy mengusap pundak Riana lembut.

"Gak usah, Ko. Ayo, kita ke atas!" Riana menarik lengan Edy menuju lift.

Sepanjang perjalanan, mereka selalu melemparkan candaan.

💦💦💦💦💦

Hari yang di tunggu Riana pun tiba. Ya, setelah bertukar off dengan karyawan lain. kini Riana akan merencanakan tidur dan bermain dengan kucing kesayangan miliknya.

Baru saja Riana kembali merebahkan tubuhnya, terdengar suara pintunya yang digedor cukup kencang.

"Kak..."

Riana mengusap wajahnya kesal. Pada akhirnya, Riana membukakan pintu. Melihat wajah adiknya, membuat Riana memutar bola mata malas.

"Bisa gak sih, Lo kalau manggil itu yang sopan? Kasihan pintu kamar gua. Bisa rusak nanti kalau Lo gedornya kencang-kencang," ucap Riana dengan nada meninggi.

"Astaga, kakak gua lagi belajar gila kayaknya. Itu, mama panggil kakak!" seru sang adik seraya berjalan menjauh dari kamar sang kakak.

Riana menghembuskan nafas lelah kala mendengar, jika sang ibulah yang memanggilnya.

Setelah menutup pintu kamarnya, ia melangkah menuju ruang tamu. Saat dirinya, tak melihat keberadaan sang ibu, ia berbalik arah ke dapur. Rupanya sang ibu tengah menyiapkan berbagai hidangan yang membuat air liur Riana menetes.

"Tumben, Ma masak banyak?" tanya Riana.

"Makanya, kamu bantuin mama dong. Mentang-mentang libur, keluar kamar untuk makan sama minum aja. Selebihnya, kamu diam saja di kamar," protes ibunya.

Riana tersenyum lebar mendengar ucapan ibunya. Ia mendekap ibunya dari belakang.

"Lepas, Kak. Sudah besar kok masih manja?"

Bukannya melepaskan, Riana justru mempererat pelukannya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang ibu.

"Mama, kapan kelarnya kalau kamu begini kak?" kembali protes sang ibu terdengar.

Riana mengecup pipi sang ibu dan melepasnya. "Ya sudah sini, Kakak bantuin."

Riana segera mengambil alih pisau dari tangan sang ibu dan meneruskan pekerjaan itu.

Hampir dua jam dirinya dan sang ibu berkutat di dapur. Riana memperhatikan setiap gerakan ibunya yang luwes dalam mengolah setiap bahan menjadi makanan yang sangat sayang bila di lewatkan.

Setelah selesai menata semuanya, Riana mulai penasaran. "Ma, mau ada tamu ya?" tanya Riana.

"Iya. Sudah, mandi sana. Siap-siap." ucap sang ibu seraya mendorong Riana ke kamarnya.

"Tamu, Mama kan? Kakak, gak perlu ikutan berarti," tolak Riana.

"Bukan, tamu kakak!"

Riana menghentikan langkahnya dan memandang ibunya dengan dahi berkerut. Rasanya, tidak ada yang menghubunginya beberapa hari ini. Jika pun ada, hanya sekedar bertukar kabar.

"Siapa?" akhirnya, pertanyaan itu terlontar setelah Riana tak menemukan jawaban.

"Nanti juga, Kakak tahu," ibunya tersenyum manis.

Mau tidak mau, Riana hanya menuruti keinginan ibunya. Tak butuh waktu lama bagi Riana untuk menyelesaikan ritual mandinya. Kini, ia sudah terlihat lebih segar.

Entah mengapa, dirinya merasa ada sesuatu yang akan terjadi. Namun, ia menepis pikiran itu. Riana mengambil ponselnya dan memutuskan berselancar di dunia Maya.

Baru Lima menit ia berselancar, Riana kembali menutup aplikasi itu. Merasa bosan melihat media sosial yang tadi di bukanya. Kembali Riana meletakkan ponsel itu di atas nakas. Ia beralih menggendong kucing gembul miliknya.

"Ciko, ckckck," panggil Riana pada kucing tersebut.

Merasa tuannya memanggil, Ciko pun mendekat. Ia membelai bulu kucing itu. Tak berapa lama, pintunya kembali di ketuk.

"Ri, Mama tunggu di depan ya," ucap sang ibu.

"Iya, ma," sahut Riana.

"Ayo, Ciko," Riana menggendong Ciko dan membawanya keluar.

Masih asyik dengan kegiatan mengusap sang kucing, Riana tak memperhatikan dua orang pria berbeda generasi yang memperhatikannya.

Tatapan mereka jelas berbeda. Jika pria paruh baya itu melihatnya dengan kasih sayang, lain halnya dengan pria muda di sampingnya.

Jadi, dia orangnya? Oke. Akan ku buat dia menolak pernikahan ini. Gadis ini hanya membuatku sial setiap harinya. batin pria itu.

"Ri," panggil sang ibu seraya berbisik.

"Apa, Ma?" tanya Riana yang masih terfokus dengan kegiatannya.

Ibu Riana tersenyum canggung pada tamunya. Riana mendudukkan diri di samping sang adik.

"Geser dong!" pintanya.

Adiknya justru menatap kesal pada Riana. Dengan gerakan mata, sang adik mencoba memberi isyarat pada Riana.

"Lo, kenapa? Sakit?" tanya Riana.

Ekor matanya menangkap pandangan janggal dihadapannya. Riana menoleh dan membelalakkan mata terkejut.

Sedetik kemudian, ia tersenyum kaku. Mati, gua. Kenapa dia ke sini? Sama-sama om yang kemarin lagi?

"Siang, Om," Riana bangkit berdiri dan menyalami pria itu.

"Ini adalah calon suami kamu." ucap pria itu seraya menepuk pundak pria itu.

Riana meneguk salivanya kasar. Riana mendekati dan menyalaminya juga. Meski dengan alasan tidak enak pada pria paruh baya itu.

Setelahnya, Riana kembali duduk di samping sang adik. Oh my God! Jadi, dia orangnya? Mimpi apa aku semalam? batin nya.

"Tidak perlu terburu-buru, kalian bisa saling mengenalkan diri lebih dulu," ucap pria paruh baya itu.

"Sudah mau kawin, Kak. Kurangin dikit gila, Lo." Riana mendelik mendengar bisikan adiknya itu.

"Arkan, kamu tidak bisa menolak perjodohan ini. Dan akan Papi pastikan, kau akan menikahinya," ucap sang Papi tegas.

"Iya, Pi, Arkan tahu," lirihnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!