NovelToon NovelToon

Singa.Co

Prelude

Waktu menunjukkan pukul 03:12 dini hari, ketika aku mengendap-endap di pekarangan belakang rumahku sendiri seperti seorang pencuri.

Kalian pasti bisa mengerti apa artinya kan?

Aku anak nakal seperti kalian.

Iya, kalian...

Para pembaca!

Aku sama saja seperti kalian yang tidak pernah tahan berada di dalam rumah, di bawah pengawasan orangtua yang tak paham arti masa muda.

Aku juga tidak bisa dipaksa tidur sore-sore, kecuali saat terserang flu.

Tapi aku selalu berusaha patuh jika orangtuaku memberikan sedikit kebebasan dan mengizinkanku keluar rumah dengan syarat: "Jangan pulang malam-malam!"

Aku pasti pulang pagi!

TRAK!

Rantai dompetku membentur tiang besi penyangga balkon ketika aku berusaha memanjatnya untuk mencapai kamarku di lantai dua.

Tidak terlalu keras, tapi meninggalkan suara yang melengking dalam keadaan sepi.

Aku mulai khawatir suara itu membangunkan seseorang dalam rumahku. Lalu aku berhenti sesaat dengan posisi tubuh masih menggelantung di bawah balkon. Hanya untuk memastikan tidak ada orang dalam rumahku yang terbangun akibat ulahku tadi.

Dalam hati aku menyesal mengenakan rantai dompet model Metalhead saat keluar rumah. Tapi rantai dompet ini salah satu rantai favoritku. Rantai itu membuat penampilanku terasa keren.

Lalu dengan sekali hentak aku menghela tubuhku dengan melompati railing yang lagi-lagi terbuat dari logam.

Dan...

TRAK!

Sekali lagi rantai keparat itu membentur logam.

Aku mendarat tepat di depan jendela kamar Keyla yang bertetangga dengan kamarku.

Keyla Jullianson adalah sepupu perempuanku, tapi dia punya wajah yang sangat mirip denganku sampai semua orang mengira kami saudara kembar.

Tepat ketika kakiku mendarat di dekat kaca jendela kamarnya, tirai jendela kamar Keyla tersingkap dari dalam dan seraut wajah pucat memelototiku dalam balutan kain putih. Dan yang paling buruk, wajah itu sama persis dengan wajahku.

"Kyaaaaaaaaaaaaaaaaaa....!" Aku menjerit sekuat tenaga hingga terdengar seperti bukan hanya aku sendiri yang menjerit tapi berdua.

BRAKKK!!!

Jendela kamar Keyla serentak terbanting membuka.

"Kaka!" Suara itu menggelegar dari kamar Keyla, hingga membuat tubuhku terdorong ke belakang dan membentur railing saking terkejut.

Kaka adalah nama panggilanku di rumah---nama panggilanku sehari-hari. Nama yang disematkan Daddy untukku kepada semua orang. Setiap orang di rumah ini, atau siapa pun yang mengenalku di sekitar sini, akan memanggilku begitu meski mereka jauh lebih tua atau bahkan orang tua sekalipun. Karena sejatinya nama panggilan itu memang tidak dimaksudkan untuk menuakan aku sebagai kakak. Tapi banyak orang sering salah menafsirkan karena pengucapan kakak dengan Kaka tidak ada bedanya.

"D--Dad!" Pekikku terbata-bata. "Kaka liat hantu di kamar Kak Key!"

"Hantu apa?" Ayahku bertanya masih dalam mode menghardik.

Aku menelan ludah dan mendadak tercekat begitu Keyla menjulurkan kepalanya dari belakang bahu ayahku. Ia mengenakan telekung yang sepintas terlihat seperti pocong.

Terang saja hal itu membuatku langsung merasa konyol. Aku memutar-mutar bola mataku seraya menggembungkan kedua pipiku dengan tampang sebal. "Kaka cuma nge-prank kok, Dad!" Jelasku sekenanya.

Ayahku menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bersiap memarahiku.

"April Mop!" Aku mengacungkan jari tengah dan telunjukku seraya tersenyum lebar.

"April Mop, April Mop!" Suara ayahku kembali meninggi. "Kaka ngapain di luar malem-malem?"

GLEK!

Sekali lagi, aku menelan ludah dengan susah payah. "Kaka cuma cari angin," jawabku asal.

"Cari angin?" Ayahku mengerutkan dahinya. "Apa cari masalah?"

Pertanyaan pamungkas ayahku akhirnya sukses membuat bulu kudukku meremang.

Sorot mata ayahku yang tak kalah tajam dari mata elang, menelisik dari ujung rambut hingga ujung kakiku.

Pada saat itu, aku mengenakan celana cargo yang dipadu T-shirt ketat lengan panjang lengkap dengan aksesoris dan jaket kulit juga sepatu lars model army.

Betul-betul style yang sempurna untuk mencari masalah!

Satu

Kaka---Aku mengumumkan namaku di depan kelas baruku dengan hanya menulisnya di papan tulis tanpa mengatakan apa-apa.

Seisi kelas terdiam menatapku tanpa bereaksi. Entah terpukau, entah ketakutan. Bisa jadi mereka sedang menungguku mengatakan sesuatu---jangan harap!

Mohon tidak salah persepsi---meski namaku Kaka, aku bukan laki-laki. Aku adalah perempuan.

Kaka hanyalah nama panggilan!

Sebagai siswi pindahan, memang sudah seharusnya aku memperkenalkan diri secara resmi di depan kelas, setidaknya dengan pidato singkat. Tapi aku hanya menuliskan nama panggilan. 

Bagiku itu saja sudah terlalu banyak!

Aku benci nama lengkapku.

Aku memutar sedikit tubuhku untuk melihat wajah teman-teman baruku melalui sudut mataku, kemudian menurunkan tanganku dari papan tulis dan menghadap ke arah mereka dengan rahang sedikit mendongak.

Seorang anak perempuan mengamatiku dari ujung rambut hingga ujung kakiku seraya berbisik-bisik dengan teman sebangkunya.

Pada saat itu aku mengenakan seragam putih abu-abu model baru bergaya: "Senyamannya Kaka" menurut ayahku, yang kemudian kurancang sendiri dengan syarat: "Harus Tetap Rok"

Jadi kubuat penampilanku sedikit "Rock".

Rok berlipit setinggi lutut yang dipadu dengan kemeja putih yang kubuat sedikit ketat dengan lengan model Jangkis dan bet nama tanpa nama lengkap---hanya Kaka, arloji digital bertali lebar, sepatu Jenggel, dan rambut pendek model Emo.

Ayahku sebenarnya sempat memprotes penampilanku... 

"Kaka yakin mau ke sekolah dengan penampilan begini?"

Tapi aku menjawab, "Daddy bilang senyamannya Kaka, yang penting tetep Rock!"

Ayahku memutar bola matanya dengan tampang sebal dan mendesah pendek. Tapi ia tak punya pilihan selain menyetujuinya, asal aku kembali ke sekolah dengan mengenakan rok. Itu adalah syarat yang diajukan ayahku.

Guru-guru di sekolahku yang baru itu juga sempat terkejut melihat penampilanku. Tapi dilihat bagaimana pun, tidak ada yang salah dengan seragamku. 

Aku mengenakan seragam putih abu-abu selayaknya seragam SMU. Dan aku juga mengenakan rok dan bukan celana panjang seperti di STM. 

Ditambah pengaruh ayahku, pada akhirnya tidak satu pun dari mereka berani memprotesku.

Dan…

Resmilah aku menjadi siswi baru dengan seragam SMU bergaya Emo.

.

.

.

.

.

Tadi pagi...

"Kamu yakin mau pindahin Kaka sekolah di sini?" Pagi-pagi sekali, ibuku sudah sibuk kasak-kusuk di dalam kamarnya. Entah baru bangun tidur atau mungkin tidak tidur sama sekali karena terlalu sibuk memikirkan masalah ini.

Aku sebenarnya tidak berniat menguping pembicaraan mereka. Tapi saat itu kebetulan saja aku sedang berdiri di sisi meja makan yang letaknya tak jauh dari kamar orangtuaku. Dan pintu kamar mereka juga sedikit terbuka. Jadi bukan salahku kalau pada akhirnya aku mendengar pembicaraan mereka.

Jadi, inilah sarapan pagiku.

Jangan tanya bagaimana perasaanku saat mendengar orangtuaku sendiri mempergunjingkanku!

Sudah cukup buruk mengetahui bahwa di dalam segala hal aku selalu dibeda-bedakan. Sekarang aku harus mendengar kenyataan bahwa aku juga tidak diinginkan.

Aku berusaha mengabaikan perasaanku dan memfokuskan perhatianku hanya pada secangkir kopi yang sedang kubuat untuk diriku sendiri.

Tapi perkataan ayahku kemudian mengusik pikiranku. 

"Tentu saja aku yakin, Kaka adalah putri kita!" Tukas ayahku setengah menghardik.

Benar sekali! 

Aku adalah putri mereka dan aku baru saja tiba seminggu yang lalu di rumah ini, setelah bertahun-tahun hidup terpisah dari keluargaku---dan aku sudah membuat mereka bertengkar.

Betul-betul hebat!

"Kaka dikeluarkan dari sekolah lamanya pasti karena ia punya masalah serius," protes ibuku meninggikan suaranya.

Mau tahu kenapa aku dikeluarkan dari sekolah lamaku?

Karena aku tidak mau memakai rok!

Jadi, aku mengenakan seragam anak laki-laki ke sekolah dan mereka mengeluarkanku. Mereka bilang ini bukan STM.

Tapi kelihatannya ibuku berpikir terlalu banyak.

Mau tahu kenapa?

Karena tidak seorang pun menginginkan aku!

Aku terkenal sebagai troublemaker di mana-mana.

.

.

.

.

.

Boleh percaya, boleh tidak!

Waktu kecil... 

Aku sebetulnya gadis penurut yang gemar merajut---tidak suka ribut---dan asal tahu saja, aku bukan bersajak!

Aku seratus persen anak yang manis.

Rambutku panjang sepinggang, ikal mayang seperti gelombang.

Tubuhku tinggi dan ramping, sementara kulitku cokelat eksotis.

Wajahku... tak perlu diceritakan lagi---pokoknya manis!

Begitu manis, hingga setiap ibu yang melihatku mendambakan putri mereka seperti aku.

"Kaka manis ya," komentar Bibi Mae, seorang ibu muda yang juga memiliki anak perempuan seusiaku. "Cewek banget---sesuai sama namanya."

Namaku adalah Srikandi. Tapi aku benci nama lengkapku. Aku lebih suka dipanggil Kaka.

Nama lengkapku Srikandi Mahaputri. Sementara yang lain, Benjamin Jullianson, Ezra Jullianson, Ernest Jullianson, Rogens Jullianson, Jonathan Jullianson dan Danielle Jullianson.

Ayahku bernama Alan Jullianson dan ibuku Elana Jullianson.

Nama keluargaku adalah Jullianson.

Jadi kenapa nama belakangku bukan Jullianson?

Semua orang menjuluki keluargaku sebagai Kerajaan Bisnis bermerk JF--Jullianson Family sebagai merk induk atas tiga merk dagang paling terkenal di kota asalku. Jullianson Finance, Jullianson Food dan Jullianson Fashion.

Dan hampir semua orang dalam keluargaku mendapat julukan Jullianson Famous---JF, atau Jullianson Friendly---JF.

Dan aku… 

Aku juga JF---Jullianson F.U.C.K.E.R!

Bibi Mae memang tidak berlebihan mengenai aku yang matching dengan namaku. 

Tapi bukan itu yang membuatku benci nama lengkapku.

Dulu... 

Aku pernah feminin.

"Gak kayak Vera," kata Bibi Mae setengah mengeluh. "Vera kayak anak cowok!"

Vera adalah nama putrinya---teman mainku. Selain itu kami juga saudara sepupu. 

Namanya Vera Julia.

Persis seperti yang dikatakan ibunya, Vera memang mirip sekali dengan anak laki-laki. Rambutnya dipangkas pendek di atas lehernya. Tubuhnya atletis dan gaya bicaranya kasar. 

Vera senang menjahili anak-anak cengeng dan menakut-nakutinya, tapi suka melindungi saat aku dijahili. Dia juga mengajariku beberapa trik supaya aku terhindar dari tipuan dan aksi penggencetan.

Tapi tetap tak berpengaruh.

Aku selalu menjadi sasaran empuk penggencetan anak-anak jahil dan mudah diintimidasi. Bahkan di dalam keluargaku.

Berbeda dengan ibunya---Vera paling benci kalau aku merajut!

"Lu lagi bikin apa sih?" Vera bertanya seraya bersedekap, kemudian mencondongkan tubuhnya ke arahku, memperhatikan aku yang sedang merajut.

"Buat sweater untuk hadiah ultah," jawabku sambil cengengesan.

"Bikin sweater terlalu sulit buat lu," komentarnya. "Lu kan baru belajar, kenapa gak coba bikin rompi aja dulu!" Ia mengusulkan.

"Iya, ya!" Aku serentak berubah pikiran. "Bikin rompi aja deh!"

Beberapa saat kemudian, Vera kembali mencondongkan tubuhnya seraya berdecak. "Kalo kerja lu selambat itu, bikin rompi juga susah!"

Dan aku dengan lemahnya begitu mudah dipengaruhi.

"Bikin sarung tangan aja deh," usul Vera tak sabar. "Itu lebih simpel buat hadiah ultah!"

Lalu dengan patuhnya aku juga mengikuti sarannya lagi.

Alhasil, bentuk rajutanku menjadi abstrak.

"Sama sekali gak mirip sarung tangan," gumamku kecewa.

"Kalo gitu bikin syal aja!" Vera mengusulkan lagi, kali ini terdengar pesimis. "Itu udah yang paling gampang," jelasnya.

Dan akhirnya, "Selesai!" Aku berlanting senang dan bertepuk tangan.

"Ya," komentar Vera tanpa minat. "Lumayan untuk karya pertama!"

"Beneran jadi syal," ungkapku gembira. "Eh, headband juga bisa!"

"Iya, tutup telinga juga bisa!" Vera menimpali, berusaha membesarkan hatiku.

Aku tahu hasilnya semakin abstrak. Tapi...

Begitulah!

Aku mudah dibuat senang dan cepat merasa puas.

.

.

.

.

.

Hingga suatu hari…

Dua

"Kaka ikut Nana dulu ya, main-main sama Bibi. Mommy sama Daddy sedang ada pekerjaan!" Ayahku berkata lembut dan membujuk seraya tersenyum, bersikap seolah-olah semuanya bukan hal yang serius.

Sementara ibuku terus-menerus menyumbat hidungnya dengan tisu seraya tersengak-sengak di samping ayahku. 

Tak lama kemudian, keduanya mengecup pipiku, sebelum akhirnya mereka menjauh dalam penglihatanku. Melambaikan tangan mereka dengan kedua bahu menggantung lemas.

Aku juga melihat Vera di belakang mereka, menatapku sambil bersedekap dengan raut wajah murung.

Aku tidak pernah tahu apa yang terjadi. Aku juga tidak mengerti tentang pekerjaan yang dimaksud ayahku. Tapi aku bisa melihat semua orang memasang wajah sedih hari itu.

Langkahku semakin menjauh dibimbing tangan hangat nenekku yang gemetaran. 

Sepanjang perjalanan dalam kereta yang melaju kencang selama delapan jam, nenekku tidak henti-hentinya mengawasiku melalui sudut matanya.

Tapi aku hanya membeku. Tidak menangis maupun bertanya. Hanya tercenung dengan raut wajah bingung. Berdiam diri di salah satu bangku dengan punggung menegak seraya mendekap boneka---boneka Srikandi kata ayahku, semua orang bilang boneka itu mirip denganku. Satu-satunya mainan yang sempat kubawa ketika aku meninggalkan rumah. 

Aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan pergi begitu lama.

Hanya main dengan bibi, pikirku.

.

.

.

.

.

Tujuh tahun kemudian…

Orang tuaku tidak pernah muncul.

Usiaku sudah tiga belas, dan mereka tidak pernah menjemputku.

Dan aku tidak pernah tahu apa sebabnya!

"Orang tua lu tuh, gak peduli sama lu!" Bibi Maris memberitahuku dengan mulut penuh bakmi---makanan pemberian pacarnya di sekolah, tidak seorang pun diizinkan menyentuh makanan itu kecuali jika ia sudah kenyang---katanya. Biasanya aku akan kenyang hanya dengan menontonnya. Kenyang nelen ludah!

"Makanya kudu tau diri," Bibi Ila menimpali. "Elu tuh di sini cuma numpang. Harus patuh sama kita-kita. Biaya idup lu, bukan bapak moyang lu yang nanggung!"

Kupikir juga orang tuaku memang tidak peduli. Tapi bicara biaya hidup, mereka---bibi-bibiku juga masih menumpang pada ibunya---nenekku.

Bibi Maris baru berusia tujuh belas tahun, masih kelas dua di bangku sekolah menengah atas, tapi hobinya jalan-jalan di mall. Berbelanja makanan dan barang-barang impor, berpakaian modis dan ber-make up mahal. 

Bibi Maris dua puluh lima tahun. Tidak punya suami tapi sudah punya satu anak. Dia juga tidak bekerja tapi hobinya tidak jauh berbeda. Bahkan jauh lebih glamor. Bibi Ila hobi pergi ke klub malam.

Sementara Nana---nenekku, dari pagi hingga petang bekerja di ladang setiap hari. Seminggu sekali, Nana pergi ke kota untuk menjual sayur dan buah-buahan---hasil panen dari ladangnya. Dan itu memberi kedua bibiku cukup waktu untuk mengintimidasiku.

Mereka takkan berani macam-macam di depan Nana. Hanya saat Nana tidak di rumah, keduanya mulai bertingkah.

Suatu kali, aku pernah dipukuli seperti anak anjing hanya karena aku menjatuhkan uang koin seribu rupiah yang ditinggalkan Bibi Ila untuk membeli bubur bayi.

Saat itu, Bibi Ila menitipkan anaknya padaku sepulang sekolah karena ia harus bekerja---menemani tamu di tempat karaoke. Itu adalah pekerjaan Bibi Ila di samping jadi nyonya menggantikan Nana.

Sebelum pergi ia meninggalkan sekeping uang koin pecahan seribu rupiah dan berpesan supaya aku membeli bubur sachet dan menyuapi bayinya. 

Sialnya, ketika aku pergi ke warung sembari menggendong bayinya, uang itu malah jatuh tanpa kusadari---entah jatuh di mana dan aku tidak bisa menemukannya. Akhirnya bayi malang itu tidak dapat makan dan terus menangis hingga malam hari.

Bibi Ila paling tak sabar menghadapi bayinya yang rewel. Ia selalu meledak-ledak setiap kali bayinya tidak mudah ditenangkan, dan sebagai pelampiasan akulah biasanya yang menjadi sasaran empuknya untuk melemparkan semua kesalahan. Katanya aku tak becus mengurus bayinya, mungkin cara menggendongku salah hingga anaknya terkilir dan akhirnya demam.

Jadi begitu tahu anaknya tidak diberi makan, ia menuduhku menggunakan uangnya untuk kepentingan pribadiku.

Dan saat itu juga, aku dipukuli dengan tongkat bambu yang biasa digunakan Nana sebagai pengait jemuran.

"Gua rawat dari kecil, lu! Udah gede mau matiin anak gua!" jeritnya murka, kemudian mengusirku. "Kalo berani balik, gua bunuh lu!" Ia mengancamku.

Aku melarikan diri ke dalam hutan malam itu dan tidak berani pulang. Tidur meringkuk di sebuah gubuk kecil tempat petani biasa berjaga di pematang sawah. Menggigil dalam balutan seragam yang belum sempat kuganti sepulang sekolah. Seragam itu sekarang basah dipenuhi noda darah yang terus mengucur dari hidung dan juga lukaku. Sekujur tubuhku serasa remuk dan seperti terbakar. Serata kulitku bernoda biru lebam dan berlumuran darah.

Sakit!

Rasanya benar-benar sakit!

Aku bersumpah tidak akan pernah menerima sepeser pun uang atau menyentuh apa pun dari milik mereka mulai sekarang.

Aku tak ingin merasakan sakit yang seperti ini lagi!

Menjelang tengah malam, seseorang mengguncang bahuku. Seorang pria berambut cokelat sebahu mengenakan gamis putih berjubah sewarna lengkap dengan turban putih yang melilit di seputar bahunya. 

Aku tidak tahu dari mana pria itu muncul. Seluruh tempat di sekelilingku gelap gulita sebelum ia datang.

Pria itu menatang sebatang menorah---kandil emas dengan tujuh kaki dian berisi tujuh buah lilin berlainan warna. "Kamu tidak seharusnya berada di sini," katanya lembut namun penuh penekanan. Suaranya terdengar seperti desir angin di antara gemerisik dedaunan yang bergesekan.

Aku mengerjapkan mataku dan mengamatinya.

Cahaya yang terpancar dari pelita di tangannya terlalu terang hingga aku tak bisa melihat wajahnya. Tapi aku tahu pria itu bukan seorang petani. Petani tidak mungkin punya kaki dian dari emas dua puluh empat karat. Mungkin salah satu dari tuan tanah. Dan aku mungkin berada di areanya.

"Maaf," ungkapku seraya mengernyit, kemudian menarik duduk tubuhku. Kepalaku berdenyut-denyut. Sekujur tubuhku masih menggigil dan terasa ngilu ketika aku berusaha duduk dan beringsut. Sepertinya aku mulai demam akibat luka memar di sekujur tubuhku.

Pria itu tersenyum simpul. "Bukan," katanya. "Maksudku, pulanglah! Singakerti mungkin mencarimu!"

Aku mengerutkan dahiku. Singakerti adalah nenekku. "Paman kenal nenekku?"

"Aku bukan pamanmu, Srikandi!" Pria itu menghardikku. "Namaku Maulana Ibrahim!" Katanya.

Aku menelan ludah dan tergagap. Sekarang aku bisa melihat wajahnya---aku tidak mengenalnya. 

Dari mana dia tahu namaku?

"Jangan berpikir terlalu banyak!" Pria itu menegurku, seolah bisa membaca isi pikiranku. "Pulanglah! Aku akan mengantarmu!"

Aku mengerang seraya memutar-mutar bola mataku dengan tampang sebal. Sekujur tubuhku serasa remuk juga gemetaran. Bagaimana mungkin aku berani pulang, sementara Bibi Ila mungkin akan membunuhku?

"Aku bersumpah akan menjagamu, Srikandi!" Pria itu berusaha meyakinkanku.

Aku tidak pernah tahu kenapa dia mengatakannya. Dan aku tidak bisa membayangkan tindakan yang dimaksud dengan 'menjagamu' akan seperti apa. 

Yang aku tahu, begitu sampai di rumah yang entah bagaimana caranya aku bisa sampai di sana karena sepanjang perjalanan pulang kepalaku terus merayang dan kesadaranku timbul-tenggelam, aku baru menyadari Nana belum pulang dan Bibi Ila langsung menyambutku dengan cambukan yang sama seperti sebelum aku melarikan diri. 

Aku baru saja sampai di pekarangan belakang ketika ia menghadangku. Dan sekali lagi Bibi Ila memukuliku seperti anak anjing.

Pria berjubah putih itu memenuhi janjinya, dia benar-benar menjagaku, membentengi aku dari terjangan Bibi Ila dan menepiskan setiap cambukan yang dilontarkannya hingga Bibi Ila akhirnya menjerit histeris karena frustrasi, kemudian menghambur ke dalam rumah seraya masih menjerit-jerit.

Seketika seluruh tempat di sekitarku berubah gaduh. Semua orang menghambur dari rumahnya, menghampiri Bibi Ila dan bertanya-tanya.

Bibi Ila masih menjerit-jerit ketika ia mengatakan sesuatu pada mereka.

Tak lama kemudian, orang banyak itu menatapku dengan wajah ngeri.

Pada saat itulah aku baru mengerti, pria itu tidak terlihat. 

Pria itu tidak nyata!

Segala sesuatu yang dilakukan pria itu selama ia melindungiku ternyata dilakukan oleh tanganku sendiri.

Ya!

Aku...

D.I.D!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!