Musim penghujan di bulan desember. Empat kalender sudah terlewati, empat kali pula bulan Desember dengan hawa dingin menusuk ini telah ia lewati.
Rasa dingin dari hembusan angin di bulan Desember begitu terasa hingga ke tulang-tulangnya. Sama seperti halnya bahtera rumah tangga yang ia lalui, sikap acuh dan dingin sang suami semakin lama semakin terasa menusuk hingga ke relung hatinya.
Kata orang, kita hanya perlu bertahan dan terus melaluinya. Namun semakin hari luka yang mengendap di hatinya semakin menganga perih, saat melihat tatapan dingin Zidan padanya selama empat tahun ini.
Di awal-awal pernikahan, dia mencoba untuk memaklumi sikap dingin itu. Namun, semakin hari rasanya semakin menyesakkan dada kala tatapan dingin terkesan tajam masih terus tertuju padanya, sedangkan untuk Nadia laki-laki itu selalu menatap hangat penuh cinta.
Apakah dia pantas untuk merasa terluka ? Ah sungguh bodoh dirinya, berharap jika laki-laki yang dulu sempat memandangnya penuh cinta masih akan sama jika ia masuk ke dalam kehidupan dan menjadi wanita ke dua di dalam pernikahan laki-laki itu.
Farah menarik nafasnya dalam, lalu kembali menghembuskan nya perlahan. Berharap rasa sesak di dada ini akan sedikit berkurang, meskipun ia tahu itu sangatlah tidak mudah.
Rintik hujan menetes membasahi pohon di luar jendela kamar mewahnya. Angin yang berhembus membuat daun-daun yang sudah menguning mulai berjatuhan di atas rerumputan hijau yang terawat.
Tatapannya masih begitu menikmati setiap rintik hujan yang mampir di kaca jendela kamarnya karena terbawa oleh angin.
Minggu sore yang indah, namun tidak dengan hatinya yang mulai gamang. Entahlah, tatapan dingin Zidan sejak di awal pernikahan mereka mulai mengganggunya. Sikap acuh tak acuh laki-laki yang masih bertahta di hatinya, mulai membuatnya meragu dengan keputusannya empat yang tahun lalu.
Apakah semua ini memang benar ?
Sekuat apapun dia berfikir, tetap saja ia merasa ini sangat tidak benar. Terlepas dirinya yang hanyalah istri ke dua, bukankah ia pun memiliki hak yang sama untuk di perlakukan dengan adil oleh suaminya sendiri.
Kata seandainya kini mulai menghantui pikirannya. seandainya dulu dia tidak menerima lamaran Nadia, apakah ia akan merasakan sakit ini.
menyesal ? Sepertinya bukan, meskipun ini terasa sakit, ia tidak menyesal Karena sudah memilih untuk menjadi bagian dari hidup Zidan dan melahirkan anak untuk laki-laki yang masih sangat ia cintai itu.
Namun sepertinya rasa ingin menuntut hak dari seorang istri mulai mengganggunya. Bukankah dia memang berhak mendapatkan cinta dan kasih sayang dari laki-laki yang sudah berlabel sebagai suami, sama seperti yang laki-laki itu berikan pada istri pertamanya ?
Entahlah, rasa sakit yang ingin sekali ia tepis, beberapa tahun terakhir ini, kian terasa perih. Luka yang selalu dia usahakan untuk sembuh selama lebih dari empat tahun pernikahannya, kian menganga sakit.
Apakah kini dia cemburu pada Nadia ?
Empat tahun dia mencoba untuk terbiasa dengan perasaan ini, rasa sakit saat melihat Zidan begitu menyayangi Nadia namun tidak dengan dirinya. Berusaha untuk memaklumi cinta Zidan yang mungkin tidak bisa laki-laki itu bagi untuknya.
Namun semakin hari rasa cemburu karena perlakuan tidak adil Zidan, mulai menggerogoti hatinya. Kata orang bisa karena terbiasa, namun kini yang dia rasa justru semakin hari rasanya semakin sakit.
Semakin ia ingin membiasakan diri dan berdamai dengan keadaannya, semakin ingin ia menutut hak nya yang ingin di perlakukan dengan adil oleh suaminya sendiri.
Mungkin pergi adalah pilihan paling tepat, namun membayangkan kembali tatapan kecewa dan memohon dari Nadia membuatnya enggan untuk mengutarakan.
Ingin rasanya mengutarakan untuk pergi, namun dia tidak tahu harus memulai kehidupannya dari mana setelah berpisah dari Zidan.
Bagaimana dengan putranya ? Apakah dia bisa pergi tanpa bocah laki-laki yang dia lahir kan setelah satu tahun pernikahan mereka ? Tidak ! Bahkan hanya membayangkannya saja sudah terasa sakit. Membayangkan tidak bisa lagi memeluk dan mencium Al membuatnya sakit.
Apakah dia rela menyerahkan darah dagingnya pada Nadia, sungguh hanya sekedar membayangkannya saja sudah begitu menyesakkan dada.
Alfaras, putra pertamanya, darah dagingnya juga buah hatinya. Mengapa bukan buah cinta nya dengan Zidan ? Oh itu sangat terdengar menggelikan. Zidan tidak mencintainya, mungkin saja laki-laki itu melakukan malam pertama dengan indah beberapa tahun silam hanya karena ingin mengambil hak yang memang seharusnya laki-laki itu ambil.
"Hei lagi mikirin apa sih ? Mbak panggil-panggil ngga nyahut."
Suara lembut menangkan milik Nadia, menyadarkan Farah dari lamunan.
Farah menoleh, menatap wajah cantik milik Nadia dengan lekat. Wanita baik bak malaikat ini di tatapnya dengan lembut.
"Ada apa ?" Tanya Nadia heran karena adik madunya ini menatapnya lama. Tidak seperti biasanya, Farah akan cepat berpaling saat tatapan mereka bertemu.
Farah mengalihkan tatapannya dari wajah cantik yang semakin memucat itu, lalu menggeleng.
Ingin rasanya kembali mengutarakan niatnya yang ingin pergi dari rumah tangga Nadia dan Zidan, namun kalimat yang ingin keluar dari dalam hatinya tercekat di tenggorokan.
Pernah suatu hari ia mengungkapan keinginannya untuk pergi, namun tatapan kecewa penuh permohonan dari Nadia kembali membuatnya bertahan dalam rumah tangga yang begitu menyesakkan dada ini.
"Keluar yuk, Al ada di ruang TV." Ajak Nadia. Bukan Al putra mereka yang menjadi tujuan Nadia, namun beberapa saat yang lalu Zidan mengabarinya jika laki-laki itu sedang dalam perjalanan pulang ke rumah mereka. Namun jika dia mengatakan yang sebenarnya, Farah pasti tidak akan mau di ajak keluar dari kamarnya untuk menyambut kepulangan suami mereka dengan berbagai alasan.
Mendengar nama putranya di sebut, Farah mengangguk patuh, lalu beranjak dari sofa tempat ia duduk, kemudian mengikuti langkah kaki Nadia keluar dari dalam kamar menuju ruang kelurga.
"Mamah, Bunda..." Teriak Al.
Nadia terkekeh lucu melihat tingkah putra mereka yang segera melepaskan mainan yang ada di tangannya dan memilih berlari menghambur memeluknya.
Farah menatap pemandangan di hadapannya dengan hati yang semakin menggila. Tidak hanya Zidan yang mencintai Nadia, tapi putra yang ia lahir kan tiga tahun yang lalu pun begitu menyayangi Nadia.
"Hai Bunda.." Tangan mungil itu melambai ke arahnya. Farah membalas lambaian tangan itu disertai senyum manis dari bibirnya.
Al, putranya memang lebih dekat dengan Nadia. Anak lelakinya itu bahkan lebih sering tidur di kamar Nadia dari pada di kamarnya.
Farah bersyukur, karena Al mendapat cinta dan kasih sayang yang berlimpah dari Nadia, meskipun bukanlah dara daging dari wanita itu.
"Kita jemput Papa ya, itu papa sudah tiba." Ucap Nadia.
Farah terdiam mematung di tempatnya, langkah kakinya memaku di lantai marmer rumah. Netra nya hanya bisa menatap nanar pemandangan yang begitu indah namun membuat dadanya sesak di ujung sana.
Zidan merangkul Nadia dan juga Alfaras ke dalam dekapan hangat, sedangkan dirinya hanya di biarkan mematung di tempatnya.
"Assalamualaikum Al." Suara Zidan terdengar dengan jelas di telinga Farah.
Ah sungguh bodoh dirimu Farah, bahkan dadamu akan berdebar walau hanya mendengar suaranya.
Sekian menit berlalu, Farah masih berdiri mematung di tempat ia berdiri. Berharap, masih terus berharap setidaknya senyum atau lambaian tangan dari laki-laki yang begitu dia cintai akan dia dapati, namun harapan tinggallah sebuah harapan.
Beberapa menit telah berlalu, dia menanti namun tidak kunjung mendapat sapaan hangat seperti yang dia harapkan. hanya pemandangan yang semakin menyakiti hatinya yang terus dia nikmati di dalam ruangan itu.
Senyum Zidan saat mengecup pipi gembul Al dengan gemasnya. Juga tatapan hangat penuh cinta saat laki-laki yang berstatus sebagai suaminya mencium puncak kepala Nadia istri pertamanya.
Tes..
Satu tetes air mata menetes di pipinya, saat tubuhnya berbalik menuju dapur. Dapur adalah ruang paling belakang yang paling aman untuk menyuarakan isi hatinya.
Dengan langkah gontai di sertai isakan yang nayaris tidak terdengar, Farah memaksakan kakinya untuk melangkah meninggalkan ruang tamu yang begitu menyesakkan dada.
Pelukan hangat Zidan di tubuh Nadia semakin membuat hatinya menjerit sakit. Seharusnya dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar saja, dan tidak perlu menuruti ajakan Nadia untuk menyambut kepulangan suami mereka.
Jika saja dia tahu, jika ajakan Nadia sore ini hanya untuk menyambut kepulangan suami mereka itu, sudah di pastikan dia tidak akan mau melakukannya.Karena memang sejak dulu Zidan tidak pernah memerlukan kehadirannya. Yang laki-laki itu inginkan hanyalah istri pertamanya, Nadia juga bocah laki-laki yang dia lahirkan tiga tahun yang lalu.
Ah memang siapa dirinya ? Apa pantas untuk meminta lebih ? Berulang Kali untuk meyakinkan diri agar jangan terluka, namun tetap saja dengan kurang ajarnya hati yang terluka entah sejak kapan semakin terasa perih saat lagi-lagi mendapati tatapan hangat penuh cinta Zidan pada Nadia yang tidak pernah ia rasakan selama empat tahun pernikahan mereka.
"Eh Non Farah, ada yang bisa saya bantu Non ?" Suara asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan makan malam menyadarkan Farah dari lamunan luka laranya.
"Ngga Bi, saya hanya ingin ke toilet." Jawab Farah sambil mengusap air matanya yang menggenang.
Asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja dengan Nadia, hanya bisa mengangguk lemah. Dia tahu apa yang sedang terjadi, tidak hanya kali ini dia melihat air mata di pipi istri kedua majikannya ini, namun dia sadar dengan posisinya untuk tidak bertanya apa yang menjadi penyebabnya.
Farah menangis pilu di dalam kamar mandi, kepalan tangannya terus menghentak bagian dada yang terasa sesak.
"Aku ingin pergi, Ibu bagaimana ini ?" Lirihnya menyayat hati. "Bu jemput aku." Ucapnya lagi.
Entah berapa lama ia menangis, dan setelah puas menangisi nasibnya, puas meratapi keputusannya, kini Farah menatap pantulan wajahnya dari kaca yang ada di dalam kamar mandi dapur.
Sebuah senyum miris terlihat di bibirnya. Hijab yang tadi sudah berantakan, ia rapikan kembali. Wajahnya yang sembab di basuh nya dengan air. Berharap air yang dia usapkan di wajah cantiknya bisa menutupi segala luka yang semakin menganga perih.
Beberapa kali ia mencoba untuk merilekskan wajahnya di depan cermin. Berusaha untuk menampilkan kembali senyum terbaiknya, untuk menutupi kesedihan di wajahnya.
Tidak ingin menambah masalah lagi dalam hidupnya. Karena dia yakin sebentar lagi wanita yang memiliki hati seluas samudra itu akan datang mencarinya.
Dan benar saja, ketukan pintu kamar mandi terdengar jelas dan jangan di tebak lagi siapa yang berada di balik pintu itu yang jelas bukanlah Zidan.
"Mbak cari kemana-kemana, kamu tuh suka banget menghilang." Decak Nadia saat pintu kamar mandi terbuka lebar.
"Kebelet tadi." Ucap Farah bohong.
"Ayo ke depan." Ajak Nadia.
Farah masih diam di tempatnya, sungguh dia tidak ingin menambah lagi goresan luka di hatinya karena tatapan tajam Zidan yang selalu tertuju padanya.
"Mbak, aku mau istirahat. Sepertinya kurang enak badan."
Nadia berdiri sambil menatap sendu pada gadis yang dia paksa masuk dalam rumah tangganya.
Bukan karena dia tidak tahu apa yang terjadi, namun dia ingin tetap melanjutkan ini. Karena hanya Farah yang bisa membuat ia tenang pergi jauh jika waktunya tiba nanti.
"Ra."
"Mbak aku mohon." Sela Farah cepat.
Dia tidak ingin berdebat, moodnya buruk. Sungguh dia tidak ingin melukai perasaan wanita sebaik Nadia hanya karena rasa sakit hatinya pada Zidan.
Nadia akhirnya membiarkan Farah berlalu dari sana.
****
Satu persatu anak tangga mulai Farah tapaki, untuk menuju kamar tidurnya. Namun di pertengahan tangga, kakinya terdiam kaku saat melihat sosok tampan yang sudah terlihat segar dengan kaos putih andalannya.
Zidan sibuk melihat layar ponselnya, tanpa dia sadari kini tubuhnya sudah berada di hadapan Farah.
Farah menunduk dalam, kakinya berhenti melangkah. Tangannya menggenggam erat pegangan tangga, berusaha sekuat tenaga untuk meredam degupan jantungnya yang semakin menggila. Wangi tubuh Zidan tercium jelas di indra penciumannya.
Langkah Zidan terhenti, tatapannya tertuju pada istri keduanya yang terlihat menunduk dalam. Lalu dengan acuh laki-laki itu kembali melanjutkan langkahnya menuju ruang keluarga di mana putranya berada, tanpa menghiraukan Farah yang berdiri mematung di tempatnya.
Farah semakin mencengkram erat pegangan tangga yang terbuat dari besi itu. Dadanya semakin sesak, karena lagi-lagi mendapati sikap acuh Zidan padanya. Jangankan memeluk atau mengecup kepalanya, bahkan hanya sekedar menyapa pun laki-laki itu begitu enggan melakukannya.
Dengan hati yang semakin perih, Farah kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar tidur. Mungkin di ruang gelap akan sedikit membantu untuk menenangkan dirinya.
Baginya sepi salah sahabat paling mengerti, karena sunyi adalah hal bagian yang paling memahami.
****
Ketukan pintu kamar membuat Farah terjaga. Kamarnya begitu gelap, dia ingat saat dia masuk ke dalam kamar cahaya masih terlihat menembus tirai tipis yang menutupi jendela kamarnya, dan kini ternyata sudah malam.
"Non Farah, Nyonya meminta Non turun untuk makna malam." Suara asisten rumah kembali menyadarkan Farah dari lamunan.
"Iya Mbok, bilangin Mabk Nadia sebentar lagi saya turun. Mereka duluan saja makan malamnya." Ucap Farah dari dalam kamarnya yang masih tertutup rapat.
Tidak lagi ingin menunggu lama, dan membuat wanita baik itu justru meninggalkan meja makan dan datang menyeretnya keluar, Farah bergegas turun dari ranjangnya menuju kamar mandi.
Baju rumahan dengan jilbab instan sudah terbalut rapi di tubuhnya, lalu dengan langkah cepat ia mulai menuruni satu per satu anak tangga menuju ruang makan.
Dan benar saja, bahkan Zidan pun belum memulai makan malamnya.
Farah kembali berusaha setenang mungkin, meskipun dadanya akan berdebar tidak karuan, padahal Zidan bahkan tidak meliriknya sama sekali.
"Maaf aku ketiduran Mbak." Ucap Farah saat memasuki ruang makan.
"Ngga apa-apa kok, Mbak juga masih nyuapin Al. Ayo sini." Ajak Nadia.
Farah mengangguk lalu ikut duduk di kursi yang bisa ia duduki.
"Ra, besok kamu pulang jam berapa ?" Tanya Nadia.
"Seperti biasa Mbak." Jawab Farah masih sambil menunduk dan fokus dengan makanan nya agar cepat selesai.
"Mbak mau banget kita makan malam seperti ini selain di hari minggu." Ucap Nadia pelan.
"Maaf Mbak, tapi pekerjaan di kantor ngga bisa aku tinggal." Jawab Farah bohong.
Zidan menoleh, menatap sejenak istri keduanya yang terus fokus dengan makannya. Selama empat tahun ini dia selalu memantau apa saja yang di lakukan Farah, dan gadis yang pernah membuatnya jatuh cinta ini selalu makan malam sendirian di apartemen lalu kembali ke rumah mereka saat Nadia sudah terlelap.
"Aku duluan Mbak, Al sepertinya sudah ngantuk juga." Izin Farah saat tidak sengaja menangkap Zidan sedang memperhatikannya.
Zidan mengalihkan tatapannya saat Farah sudah mengangkat wajahnya.
Nadia mengangguk, lalu Farah segera beranjak dari tempat duduknya,menuju kursi khusus tempat putranya duduk.
"Ama antuk." Ucap Al dengan mata yang sayu.
Farah tersenyum gemas, berulang kali ia mengecup pipi gembul putranya, kemudian meninggalkan ruang makan itu bersama Al dalam gendongan.
Hanya di hari Minggu seperti ini, Farah memiliki kesempatan untuk mengurus putranya. Di hari-hari biasanya, Al lebih banyak menghabiskan waktu bersama Nadia.
Setelah kepergian Farah, Nadia menatap lekat ke arah suaminya yang kembali menyibukkan diri dengan makanan yang ada di hadapannya.
Nafas berat berhembus dari mulut Nadia, entah apa yang membuat laki-laki di hadapannya ini enggan untuk menunjukkan perasaan yang sesungguhnya.
Dia tahu Zidan masih mencintai Farah, laki-laki baik yang dengan ikhlas menerima segala kekurangannya selama hampir sepuluh tahun ini, selalu dia dapati diam-diam memperhatikan Farah.
"Zi."
Zidan yang masih ingin melanjutkan makan malamnya, sejenak menoleh. Menatap wajah istri pertamanya yang semakin hari semakin memucat.
"Besok bisa jemput Farah di tempat kerjanya kan ?" Tanya Nadia.
Zidan menghela nafas nya yang terasa berat, kemudian menggeleng.
"Aku banyak pekerjaan di kantor, dan Farah pun sama." Jawab Zidan.
Nadia hanya bisa menunduk pasrah, sudah empat tahun ini dia mengusahakan agar Zidan bisa dekat dengan Farah, namun semua usahanya sia-sia.
Bukan hanya Zidan yang enggan untuk mendekatkan diri, tapi Farah pun seakan membangun benteng tinggi agar tidak ada orang yang bisa mendekat termasuk dirinya.
"Mau sampai kapan Zi ?" Tanya Nadia.
Zidan menggeleng.
"Aku sudah mengabulkan permintaanmu, tolong jangan lagi meminta lebih. Ini saja sudah terasa sulit bagiku." Jawab Zidan sambil meletakkan sendok dan garpu di atas piring.
***** makannya sudah menghilang, hatinya seakan di remas-remas saat menatap wajah sendu Farah ketika dia mengabaikan istri keduanya itu.
Keadaan ini begitu menyiksa, cinta yang ingin sekali dia bunuh kini semakin tumbuh rimbun saat melihat wajah Farah, dan membuatnya bimbang.
Dan melihat Farah seakan menciptakan jarak di antara mereka, merupakan satu keberuntungan baginya, jadi ia pun tidak ingin mendekatkan diri dan melukai hati Nadia.
Peringatan sang Ayah agar jangan terlalu mendekatkan diri dengan Farah Karena takut menyakiti Nadia, masih saja terngiang di telinganya. Dan kini Nadia lah yang memaksanya untuk terus melangkah menuju Farah.
Langkah yang mati-matian ia tahan agar tidak berlanjut, kini kian sulit. Apalagi setelah sekian hari tidak melihat wajah istri keduanya itu, seakan membuatnya frustasi.
"Aku mencintaimu Nad, apa itu belum cukup juga bagimu ?"
"Aku ingin kamu bahagia setelah aku pergi Zi, dan aku tahu hanya Farah yang bisa memberi itu. Tidak ada wanita yang bisa membuat kamu benar-benar bahagia selain Farah, termasuk aku." Lirih Nadia.
Zidan segera membawa tubuh Nadia yang semakin hari semakin kurus ke dalam dekapannya, mencium puncak kepala wanita yang dengan setia membantunya menata hati sekian tahun lamanya dengan penuh kasih sayang.
"Papa memgizinkan kamu menikahi gadis itu, hanya demi Nadia. Tolong buat Nadia bahagia sebelum dia pergi Zidan."
Kata-kata Papa mertuanya sebelum dia menikahi Farah empat tahun lalu masih di pegang nya dengan erat.
"Kamu sudah cukup buat aku bahagia Nad, aku mencintaimu." Ucap Zidan semakin mengeratkan pelukannya.
Di pintu pembatas menuju ruang makan, Farah kembali membalik tubuhnya menuju kamar. Hatinya mencelos sakit, air mata kembali menetes bersamaan senyum miris di bibirnya. Tangannya menggenggam erat gelas kaca yang ingin di isinya air putih untuk persediaan di dalam kamarnya.
Yah begitu bodoh dirinya, berfikir jika bisa melahirkan anak untuk Zidan, laki-laki itu akan kembali menatapnya dengan penuh cinta. Bodohnya dia berharap, jika Zidan masih mencintainya hanya karena laki-laki itu selalu menyentuh tubuhnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Kamu benar-benar bodoh Farah...
****
Ceklek....
Pintu kamar terbuka perlahan, entah jam berapa sekarang. Ternyata kelelahan karena terlalu banyak menangis, bisa membantu nya cepat terlelap. Farah mengerjap, memastikan jika seseorang yang sedang berdiri di ambang pintu kamarnya, benar-benar suaminya.
Kamar yang begitu temaram, membuat Farah Berani menatap lekat ke arah laki-laki yang masih menguasai seluruh hatinya ini.
Zidan melangkah masuk ke dalam kamar Farah. Sebelum menuju ranjang tempat Farah berada, tangan yang masih berada di handel pintu kembali mendorong pintu itu agar tertutup rapat.
Farah masih membisu, membiarkan Zidan terus melangkah menuju ranjangnya. Dadanya semakin berdebar, tubuhnya menegang saat Zidan semakin memangkas jarak, hingga bibir laki-laki itu mengecup keningnya.
Tanpa suara atau apapun, tangan laki-laki yang ingin sekali di tepisnya mulai membuka satu per satu kancing piyama yang ia kenakan.
Farah merutuki dirinya sendiri yang selalu saja terbuai dengan sentuhan demi sentuhan lembut di tubuhnya. Suaranya seakan kembali tertelan, ketika bibir yang jarang sekali menyapanya, kini memagut bibirnya dengan lembut.
Mata yang bahkan tidak berani menatap Zidan, kini tertutup rapat. Bibir yang baru saja di ***** dengan lembut oleh suaminya, di gigit nya pelan, sekuat tenaga menahan rintihan tidak keluar saat sesuatu menerobos masuk ke inti tubuhnya.
Hingga berpuluh-puluh menit waktu berlalu, peluh dari keduanya bercucuran membasahi bedcover putih yang sudah terlihat acak-acakan, padahal pendingin ruangan menyapa.
Dan kegiatan panas di atas ranjang itu berakhir, saat mulut yang sejak memasuki kamar ini terus membisu, kini melenguh dengan menyebut nama Farah saat puncak yang selalu mereka raih bersama kini melanda.
Masih dengan nafas yang tersengal, Zidan melepaskan diri dari Farah lalu turun dari ranjang besar itu. Dengan terburu-buru ia kembali memunguti piyamanya yang sudah berserakan di lantai kamar, lalu gegas mengenakan nya kembali tanpa membersihkan dirinya terlebih dulu.
Selalu seperti itu, bahkan hanya sekedar menggunakan kamar mandi yang ada di dalam kamar Farah pun, Zidan tidak pernah melakukannya.
Farah masih tergeletak lemas di atas ranjangnya. Menatap nanar laki-laki yang begitu terburu-buru ingin segera keluar dari dalam kamarnya.
Yah kamarnya, bukan kamar mereka. Pasalnya Zidan akan bergegas keluar dari kamar itu setelah selesai memuaskan dahaganya yang tidak lagi bisa di puaskan oleh Nadia.
Sakit rasanya, Zidan tidak pernah sekalipun tinggal dan terlelap di ranjang yang ia tempati selama empat tahun ini, usai menuntaskan hasratnya.
"Ceraikan aku Mas." Lirih Farah di sertai isakan samar juga air mata yang semakin banyak menetes membasahi pipinya.
Langkah kaki yang hendak keluar dari dalam kamar Farah seketika terhenti. Zidan menoleh, menatap Farah yang masih terbungkus selimut putih untuk menutupi tubuh polosnya.
Meskipun samar, dia masih bisa melihat dengan jelas wajah menyedihkan istri keduanya itu. Dadanya bergemuruh saat mendengar isakan samar yang keluar dari bibir Farah.
Tangannya terkepal erat, juga rahang nya terlihat mengeras saat kata cerai terdengar untuk yang pertama kalinya dari mulut Farah. Matanya tertutup untuk meredam rasa yang begitu mengganggu.
"Aku sudah melahirkan anak untuk mu dan Mbak Nadia, tolong buat aku pergi dari sini." Isakan Farah semakin jelas terdengar.
Zidan memilih untuk kembali membalik tubuhnya keluar dari kamar itu, dan meninggalkan wanita yang sudah membuatnya candu, dengan isak tangis menyayat hati.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!