NovelToon NovelToon

Harga Sebuah Kesucian

Pria Hidung Belang

Dante menempelkan daun telinganya pada sebuah pintu yang tertutup rapat, berharap dapat mendengarkan suara yang ditimbulkan di dalam sana. Seketika pemuda berusia 22 tahun itu mendengkus kesal setelah menyadari suatu hal. Mana mungkin ia bisa mendengar apa-apa, sedangkan ruangan di dalam sana kedap suara.

Dante menghela napas panjang sembari memikirkan sebuah cara. Bagaimana pun juga ia harus mengetahui aktivitas yang terjadi di dalam ruangan kamar hotel itu.

Tiba-tiba di ujung lorong ia melihat seorang wanita dengan rambut dicepol rapi muncul dengan membawa troli. Itu adalah pegawai hotel. Terlihat dari seragam yang dikenakannya.

Dante berpura-pura menerima panggilan dari ponselnya agar tidak menimbulkan kecurigaan. Rupanya pegawai hotel tadi berhenti tepat di depan pintu kamar sebelah. Wanita itu mengetuk pintu, lalu tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam.

Tiba-tiba Dante mendapatkan ide dari kejadian itu. Setelah pegawai hotel itu pergi, ia mulai melancarkan aksinya dengan mengetuk pintu dan mengaku jika dirinya adalah pegawai hotel.

Benar saja. Saat pintu terbuka dari dalam, seorang pria paruh baya yang sudah mulai beruban, muncul dari dalam.

"Siapa kamu?"

Tanpa menjawab tanya si pria yang kebingungan itu, Dante mendorongnya tanpa peringatan. Ia menerobos masuk tanpa izin untuk melihat keadaan di dalam.

Darah Dante langsung mendidih melihat pemandangan di depannya. Gadis yang berstatus pacarnya berada di atas ranjang tanpa sehelai benang pun.

Gadis berkulit putih itu gelagapan. Ia refleks menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya hingga sebatas dada, lalu menatap Dante sambil menggelengkan kepalanya.

"Dante. Aku bisa jelaskan semuanya."

"Cukup! Aku tidak ingin mendengar apa pun dari kamu!"

Sementara itu di luar hotel, seorang gadis bersurai panjang tampak berdiri di depan hotel bintang lima setelah turun dari ojek online yang sudah melesat meninggalkannya.

Berdiri terpaku, ia menatap ragu pada gedung pencakar langit itu. Tangannya yang berkeringat dingin tanpa sadar meremas kuat tali tas kecil yang ia selempangkan di bahu kanan.

Batinnya kembali berperang antara masuk atau kembali pulang. Namun, langkahnya sudah begitu jauh membawa tubuh hingga kemari, dan sepertinya semua usahanya akan sia-sia jika memutuskan untuk berubah pikiran.

Sebut saja namanya Alisha. Seorang gadis berumur dua puluh tahun yang hanya memiliki ibu sebagai satu-satunya keluarga. Entah ke mana perginya sang ayah. Selama ini ibunya hanya bisa menangis setiap kali keberadaan pria itu ia pertanyakan.

Alisha yang tengah bimbang itu terlonjak saat ponsel di dalam tasnya mendadak berdering. Gegas, ia merogoh benda pipih itu agar bisa segera menjawab panggilan.

"Halo, Sen," sapanya membuka percakapan.

"Lo udah nyampe mana?" tanya gadis di seberang telepon bernama Sena itu memastikan.

"Gue udah nyampe depan hotel. Tapi Sen, gue gemetaran. Gue belum siap," keluh Alisha bimbang, lantas menggigit bibir bawahnya.

"Belum siap, gimana? Lo butuh duit, kan? Ini satu-satunya kesempatan lo, Al. Kapan lagi ada pria tajir yang mau booking lo dengan harga mahal!"

"Tapi, Sen–"

"Al! Tante Debby udah nungguin lo lama di dalam sana. Buruan masuk! Entar ada orang kepercayaan Tante Debby yang bakal nyambut lo di dalam. Lo pengen cari duit buat berobat nyokap lo, kan?"

Ya, karena alasan itulah Alisha sampai nekat datang ke tempat ini. Ia terdesak hingga memilih jalan pintas untuk bisa mendapatkan uang. Sena telah mengurus semuanya sedemikian rupa hingga ia dipertemukan dengan Tante Debby, seorang mucikari kelas kakap yang akan menjualnya pada pria hidung belang kaya raya.

Tak ada pilihan lain. Alisha segera beranjak meski dengan langkah berat. Terlebih, bayangan wajah sang ibu yang tengah kesakitan itu tak henti berkelindan di pikiran. Ia tak tega. Ia merasa tersiksa. Ia harus mendapatkan uang banyak untuk pengobatan wanita sang pintu surga, entah bagaimanapun caranya.

Benar saja, dua orang berbadan besar telah siap menyambut Alisha di lobi hotel. Gadis itu hanya pasrah saat dua pria berwajah sangar itu membawanya ke suatu tempat. Keluar dari lift dan melewati lorong, mereka berhenti di depan sebuah pintu bertuliskan angka 666. Alisha bisa pastikan itu adalah kamar hotel yang akan menjadi tempatnya melakukan transaksi untuk pertama kali.

Perasaannya mulai berkecamuk tak menentu. Ia sudah terjerembab semakin dalam. Untuk bisa mengurangkan niat dan keluar dari sana, itu sepertinya hanya angan.

Salah satu dari pria itu mengetuk pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka dari dalam. Sosok Tante Debby dengan rambut blondenya muncul dengan senyuman terkembang.

"Alisha." Debby menyebut nama gadis di depannya dengan tatapan penuh kekaguman. Ia memperhatikan penampilan Alisha dengan seksama. Wajah cantik khas Indonesia dengan bibir mungil yang ranum menggoda. Kulitnya putih, mulus tanpa goresan. Bagian yang membuatnya sangat suka, gadis terlihat lugu dan yang penting masih perawan. Mata Debby berbinar senang melihat tambang uang di depannya.

Debby hanya tersenyum saat berkali-kali Alisha berusaha menutupi dadanya dengan tangan. Rok jeans di atas lutut yang berpadu atasan tanpa lengan, membuat gadis itu merasa tak nyaman.

Terang saja ia tak nyaman. Alisha memang tak terbiasa mengenakan pakaian terbuka. Pakaian itu adalah milik Sena yang memang dipinjamkan untuk menunjang penampilannya. Make-up natural yang mempercantik wajah Alisha merupakan kreasi gadis itu juga.

Jangankan untuk bergaya seperti Sena, untuk kebutuhan sehari-hari saja Alisha harus banting tulang membantu ibunya.

Sudah bertahun-tahun lamanya Wanda menghidupi Alisha seorang diri dengan berjualan kue ala rumahan. Namun, hasilnya hanya cukup untuk makan. Maklum, hanya usaha kecil-kecilan yang hasilnya juga bergantung pada pesanan pelanggan.

Alisha yang sudah beranjak remaja merasa kasihan pada ibunya. Ia lantas berusaha mencari pekerjaan paruh waktu agar bisa menabung untuk kuliah nantinya. Meski terlahir dari keluarga yang tak berada, Alisha masih memiliki cita-cita untuk masa depannya.

"Masuk," titah Debby pada Alisha.

Ekspresi gadis itu mendadak panik. Namun, ia tak berdaya saat dua pria anak buah Debby itu mendorongnya memasuki kamar. Gadis itu terhuyung hingga nyaris limbung. Beruntung, kakinya masih bisa mengimbangi tubuhnya hingga tak terjatuh.

"Sebentar lagi Tuan Rendra akan datang menemuimu. Kau harus bersikap ramah dan layani dia dengan baik."

Pintu ditutup dari luar setelah Debby berujar dengan tegas. Bahkan tanpa menunggu Alisha menjawabnya.

Tinggal seorang diri, Alisha mengedarkan pandangannya pada kamar mewah itu. Ditatapnya pula ranjang king size yang berbalut sprei warna putih yang ada di sana. Sekelebat bayangan ngeri langsung menyapa kepala. Hari ini, keperawanannya akan terenggut di sini. Mahkota berharga yang dijaganya selama dua puluh tahun itu akan ia berikan pada orang yang tidak dikenal.

Alisha tersenyum getir.

Untuk kebaikan ibu, apa pun akan kulakukan meski harus mengorbankan keperawanan. Toh bukanlah sebuah dosa sebab aku mempertaruhkannya demi ibu yang telah mengorbankan segalanya hanya untukku. Jelas, aku berbeda dengan mereka yang melepaskan keperawanan demi pembuktian rasa sayang terhadap kekasih yang tak bertanggung jawab. Atau mereka yang melepas keperawanan demi segepok uang hanya untuk bergaya ala sosialita. Jelas, aku tak seperti mereka.

Alisha merapalkan kata-kata itu layaknya mantra penyejuk jiwa. Itu adalah jurus ampuh untuk membohongi diri dari rasa berdosa yang terlanjur melingkup dalam dada.

Alisha langsung melempar pandangan saat pintu dibuka dari luar. Sosok pria paruh baya dengan balutan stelan jas rapi kemudian muncul dari sana. Gadis itu sontak melangkah mundur seiring langkah kaki si pria yang mendekat.

"Kau Alisha?" tanya pria itu dengan kening mengernyit heran.

"Be–benar," jawab Alisha terbata. Gadis itu menunduk dengan sikap takut-takut.

Di seberang Alisha, si pria paruh baya masih mengawasinya dengan sikap heran. Jujur, dari segi penampilan gadis ini terlihat segar dan menggoda. Layaknya harimau buas, ia melihat daging segar di depan mata dan ingin segera menyantapnya.

Namun, melihat dari bahasa tubuhnya, gadis ini terlihat takut dan kikuk. Dengan tatapan memangsa, si pria langsung membayangkan malam ini akan menjadi malam panjang, penuh tantangan, dan begitu menggairahkan. Sejujurnya ia sudah tidak tahan. Namun, bermain-main sebentar dengan kelinci kecil sepertinya akan terasa menyenangkan.

"Kemarilah," titah si pria ketika ia sudah mendudukkan diri di sofa panjang.

Meski tubuh gemetaran, Alisha tetap bersikap patuh dengan berjalan mendekat. Ia berhenti dan berdiri dengan jarak sekitar lima jengkal. Kepalanya tertunduk dengan jemari tangan saling meremas.

Tanpa gadis itu sangka, sebuah tangan kokoh bergerak meraih pergelangan tangan dan menariknya dengan kuat. Gadis itu memekik kaget, lebih-lebih ketika menyadari tubuhnya kini telah berlabuh pada pangkuan sang pria hidung belang yang tengah menatapnya seperti ingin menerkam.

Pengorbanan

"Bangs*t! Bajing*n! Bank*! Semua wanita memang sama!"

Seorang pemuda berusia 22 tahun tengah mengumpat penuh kemarahan. Ia memukul pintu hotel dengan kuat, lantas menendang vas bunga yang tak bersalah. Pemuda bernama Dante itu baru saja memergoki kekasihnya tengah memadu kasih bersama pria paruh baya di sebuah kamar hotel, dan itu membuat jiwa kelelakiannya benar-benar terguncang.

Sesaat kemudian, pintu terdengar dibuka dari dalam dan sesosok tubuh tambun dengan tatapan garang keluar dari sana.

"Woy! Ngapain lo mukul pintu kamar gue!"

Dante yang saat itu sudah beranjak dua langkah langsung berbalik badan begitu mendengar seruan. Wajahnya masih tampak marah. Namun, begitu melihat pria berbadan besar tengah berkacak pinggang sambil menatapnya penuh ancaman, nyalinya pun menciut seketika. Ia menyadari kesalahannya. Memukul pintu kamar orang tanpa pikir panjang, malah berteriak-teriak seperti orang gila pula. Terang saja, ulahnya itu sudah mengganggu kenyamanan.

"Maaf, Bang, maaf." Dante tersenyum kecut sambil menangkupkan kedua tangannya. "Tadi saya lihat ada nyamuk di pintu Abang, makanya saya tendang."

"Alasan!"

"Swear, Bang. Beneran." Dante mengacungkan dua jarinya.

"Mau baku hantam sama gue? Sini maju!" tantang si pria tambun itu sambil menepuk dadanya yang berbulu lebat dengan kuat. Sontak saja Dante membelalak.

"Kagak Bang! Sumpah! Aye pergi dulu, ya. Udah ditungguin Emak di rumah." Tanpa pikir panjang, Dante langsung berlari tanpa nengok ke belakang lagi. Meski samar-samar, telinganya masih bisa mendengar pria itu berteriak.

"Woy, jangan kabur, Lo!"

"Terserah." Dante menggeram di tengah napasnya yang tersengal. Ia terus berlari menyusuri lorong sepi itu.

Sesaat kemudian ....

Bruk!

"Aoow!"

Dante melihat sendiri seorang gadis tengah memekik kesakitan. Sebelumnya gadis itu terpental dan limbung di lantai usai bertabrakan dengan dia. Kini ia hanya terbengong memperhatikan gadis cantik yang tengah meringis sambil meniup telapak tangannya itu.

"Woy, Bang! Kalau jalan pake mata, dong!" Gadis yang rupanya adalah Alisha itu tiba-tiba membentak dengan suara lantang sambil menatap Dante dengan tajam.

Terang saja Dante membelalak. Gadis cantik yang terlihat imut begitu ternyata punya perangai galak. Dan bentakan si gadis barusan telah sukses memantik kembali api kemarahannya.

"Hey, di mana-mana jalan tuh pake kaki. Bukan pake mata. Mikir!" bentak Dante sambil menunjuk pelipisnya sebelah kiri, sedangkan posisi tubuhnya setengah membungkuk dan condong ke arah si gadis yang masih terduduk itu.

"Orang dianya sendiri yang nggak hati-hati, pake nyalahin orang lain. Vangke, emang!"

"Siapa yang vangke?" sungut Alisha penuh kemarahan setelah mendengar gerutuan Dante.

"Lo! Elo tuh yang vangke!" Telunjuk Dante mengarah pada wajah Alisha. "Apa? Mau marah? Sini baku hantam sama gue!" Dante menirukan gaya pria tambun tadi.

"Dasar banci," celetuk Alisha yang membuat kemarahan Dante kian memuncak.

"Siapa yang banci!"

Alisha mendengkus. "Pikir aja sendiri. Mana ada cowok nantangin cewek baku hantam kalau bukan banci namanya!"

"Lo ngatain gue banci! Sialan." Dante mengumpat.

Alih-alih menanggapi kemarahan Dante, Alisha memilih mengembuskan napas dalam demi menghalau kemarahan. Ia tak berniat membalas atau pun menimpali, sebab ada hal yang lebih penting dari ini. Dari pada menanggapi orang gila, ia memilih memunguti uangnya yang tergeletak di lantai karena insiden jatuhnya tadi.

Secara langsung, mata Dante mengarah pada tangan Alisha yang tengah sibuk memasukkan uang ke dalam sebuah tas. Lobus frontalnya bekerja cepat memikirkan sesuatu hal.

"Dasar. Semua wanita memang sama!" sindirnya dengan maksud tersirat.

Alisha yang tak mengerti maksud Dante apa hanya bisa menatap pemuda itu dengan alis bertaut heran. Setelah selesai dengan kegiatannya, ia segera bangkit dan beranjak terburu-buru dari sana tanpa sepatah kata. Tak ia pedulikan tatapan jijik dari mata pria asing yang baru ditemuinya beberapa saat lalu itu.

***

"Ibu. Kita siap-siap sekarang. Kita ke rumah sakit, ya. Ibu harus dirawat dengan baik di sana."

Alisha yang baru pulang langsung menghampiri ibunya di kamar. Gadis itu segera mengambil sebuah tas, membuka lemari pakaian, lantas memasukkan beberapa lembar baju ke dalamnya.

Di atas ranjang, wanita yang tengah tergolek lemah itu hanya bisa memperhatikan setiap pergerakan putrinya dengan ekspresi kebingungan. Gadis itu baru datang, tapi sudah membuat kegaduhan.

"Alish, ada apa ini, Nak?" tanya Wanda dengan nada lemah. Wanita berwajah pucat itu berusaha bangkit dari baringnya.

Alisha yang tengah berkemas segera menyudahi kegiatannya dan berhambur memeluk sang ibu.

"Bu, kita ke rumah sakit, ya. Ibu harus segera dioperasi seperti saran dokter. Ibu tak perlu pikirkan biaya lagi. Alisha sudah mendapatkan uang untuk operasi Ibu."

Melihat keinginan menggebu-gebu putrinya, secara langsung membuat Wanda curiga. Wanita itu baru menyadari pakaian yang putrinya kenakan. Rok pendek berpadu dengan atasan model terbuka. Dan tadi dia bilang apa? Uang? Operasi? Alisha sudah mendapatkan uang untuk operasi dia yang jumlahnya tidak sedikit itu?

"Ibu, lihat ini." Alisha menunjukkan tasnya yang kini berisi uang banyak.

Wanda sontak membelalak. Menggabungkan kejanggalan yang dilihatnya, secara cepat otak Wanda bekerja dengan nalar. Terang saja ia langsung memikirkan jika Alisha baru saja melakukan hal yang tidak benar. Dengan tatapan sedih dan penuh curiga, ia pun dengan geram bertanya pada putrinya.

"Dari mana kamu mendapatkan uang itu? Alisha! Katakan pada Ibu!" Wanda mendesak Alisha dan mengguncang bahu putrinya. Aura kemarahan langsung menguar. Ia menatap putrinya dengan tajam. Namun, ada kaca-kaca pada kedua netranya yang bisa pecah kapan saja.

"Ibu tak pernah mengajarkan hal buruk padamu, Nak," kata Wanda lagi sebab Alisha hanya bergeming. "Kita memang miskin. Tapi pantang untuk jual diri. Dari pada berobat menggunakan uang haram itu, lebih baik ibu mati!"

"Ibu, dengarkan Alisha dulu." Alisha mengusap pipi Wanda dengan ibu jarinya. "Alisha tak seburuk itu. Alisha selalu mengingat kata-kata ibu," terangnya.

"Lalu ini apa? Ini apa!" ulang Wanda penuh penekanan sambil menunjuk uang dan pakaian yang dikenakan Alisha. "Kau pasti menjual diri. Kau pikir Ibu mau menggunakan uang haram itu!"

Wanda tergugu pilu. Memang salahnya membawa Alisha hidup di lingkungan tidak sehat, yang rata-rata penduduknya berprofesi sebagai PSK. Namun, ia tak pernah berhenti menasehati sang putri agar tak terjerumus seperti mereka, lantas apa yang terjadi sekarang? Alisha telah membuatnya kecewa.

"Ibu, lihat mata Alisha." Alisha menangkub wajah basah sang ibu, memaksa wanita itu untuk melihat kejujuran di matanya.

Wanda yang lemah tak bisa berbuat banyak. Ia akhirnya memandang netra bening putrinya yang kini beriak. Mata yang selalu berkilau dan membuatnya bangga itu kini menunjukkan kesedihan.

"Ibu percaya pada Alisha, kan?" lirih Alisha di sela isaknya.

Wanda mengangguk. Sesungguhnya ia memang percaya, sebab selama ini sang putri tak pernah membuatnya kecewa. Sejujurnya ia hanya bersedih. Sejak dalam kandungan hingga sekarang, Alisha tak pernah mengenyam kebahagiaan.

"Bu, Alisha memang telah menjual sesuatu hal, tapi bukanlah kesucian." Alisha tersenyum. Ia menganggukkan kepala untuk meyakinkan ibu kandungnya.

"Lalu?" tanya Wanda penasaran.

"Pengorbanan. Pria itu membayar mahal pengorbanan Alisha."

Keluarga Narendra

Seorang pria tampak berjalan memasuki rumahnya yang megah usai turun dari sebuah mobil mewah. Pria paruh baya yang masih terlihat muda dan tegap itu langsung berjalan menuju kamar. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Pantas saja jika suasana rumah itu sudah lengang seperti tak berpenghuni.

Membuka sebuah pintu berukuran besar, ia menghela napas dalam melihat istrinya sudah terlelap di atas ranjang. Seperti biasa, wanita itu akan menutup wajahnya dengan masker kecantikan, lantas menutupi area matanya dengan irisan timun untuk menghadirkan sensasi menenangkan.

Alih-alih berpenampilan seksi untuk menyambut kedatangan sang suami, tak jarang belasan rol rambut juga memenuhi kepalanya yang terang saja membuat pria mana pun langsung kehilangan gairah meski nafsu sudah membuncah.

Wanita itu terlalu sibuk menjaga penampilan hingga melupakan kewajiban. Beruntung, ia memiliki dada yang lapang hingga masih bisa bersabar sampai sekarang.

Rendra hanya bisa mendesah kasar sambil berlalu menuju kamar mandi. Sedikit pun ia tak berniat mengganggu istrinya yang terlihat begitu nyaman dengan keadaannya sekarang ini. Ia sudah hapal betul bagaimana tabiat sang istri. Wanita itu tak segan marah-marah jika ia meminta jatah. Lebih-lebih jika sudah siap dengan serangkaian amunisi untuk kecantikan wajahnya.

Itulah yang membuat Rendra lantas memilih wanita ****** sebagai pelarian untuk menyalurkan segala hasratnya. Apa lagi yang membuat dia merasa berat? Uangnya banyak. Perusahaan di mana-mana. Tinggal tunjuk dan keluarkan beberapa nominal uang, maka wanita cantik dan muda akan dengan senang hati membuka pahanya.

Rendra memang merasa beruntung untuk segi finansial. Namun, tidak demikian dengan kehidupan rumah tangganya. Mungkin orang di luaran sana berpikir ia sangat bahagia. Bergelimang harta, memiliki istri cantik berwibawa dan mempunyai putri yang jelita. Akan tetapi, satu pun dari mereka tak ada yang tahu bagaimana kehidupannya di atas ranjang. Tak ada yang tahu bagaimana seringnya ia menelan kecewa dan memendam hasrat tak tersalurkan.

Rendra bukanlah tipe pria suka selingkuh. Lebih-lebih lagi berpoligami. Ia perlu menjaga citra diri dan nama baik keluarga. Dengan alasan itu, ia cenderung menyukai pelayanan se*s komersial tanpa sebuah ikatan. Ia hanya perlu membayar jasa, dan setelah transaksi usai maka selesai pula ikatan kerja sama di antara mereka.

Tak jarang, para mucikari yang ia hubungi itu menawarkan gadis virgin dengan harga yang fantastis. Memang para gadis itu rata-rata masih lugu dan sama sekali belum berpengalaman. Namun, dengan uang banyak sebagai iming-iming, mereka akan terpacu untuk memberikan yang terbaik dan terang saja itu bisa memuaskan libidonya.

Kucuran air hangat dari shower rupanya cukup menyegarkan tubuh Narendra. Dengan hanya mengenakan piyama mandi, ia melangkah keluar kamar dan mendatangi sebuah ruangan di dalam rumahnya yang diatur sedemikian rupa hingga menyerupai sebuah mini bar.

Diambilnya sebuah botol vodka dari lemari kaca sebelum kemudian menuangkan isinya ke dalam gelas kristal. Minuman mengandung alkohol yang konon berasal dari Rusia itulah yang kerap kali jadi pelampiasan segala kekacauan di otaknya. Rendra berpikir, mungkin dengan dirinya mabuk, ia bisa melupakan semua kepahitannya barang sejenak saja. Nyatanya, hingga menghabiskan beberapa cawan, pikirannya masih saja jernih seperti sebelumnya.

Ah, gara-gara mengingat peristiwa yang dialaminya tadi, tanpa sadar sebuah senyuman terkembang di bibir seorang Narendra Hartawan. Sosok gadis bernama Alisha kembali menari di pelupuk mata. Gadis itu hanya seumuran putrinya. Namun, ia bahkan memiliki tingkat kedewasaan melebihi istrinya.

Masih larut dalam kelana angan, perhatian Rendra yang tengah menimang-nimang gelas berisi vodka itu ditarik paksa oleh sebuah suara. Dan ia hapal betul dari bibir siapakah suara racauan itu berasal.

Rendra segera bangkit dari posisinya, melangkah cepat menuju ruang tamu yang ternyata menyuguhkan sebuah pemandangan yang benar-benar membuatnya naik pitam.

Anak gadisnya tengah berjalan sempoyongan. Ia meracau tidak jelas sambil tertawa tak karuan. Sudah lebih dari pukul dua dini hari dan dia baru saja pulang dalam keadaan seperti ini. Ia masih gadis remaja, tetapi cara berpakaiannya sudah seperti wanita dewasa. Pakaian dengan model terbuka, lebih-lebih lagi bau alkohol menguar dari mulutnya. Sebagai putri tunggal, apa yang akan Narendra harapkan untuk kelangsungan bisnisnya kelak jika sang putri selalu seperti ini?

"Lara! Apa saja yang kau lakukan hingga pulang selarut ini!" Suara bentakan Narendra menggema di kesunyian malam. Ia meraih lengan putrinya, lantas mencengkeram dengan kuat.

"Papa?" Lara mengerjapkan matanya, seolah-olah tengah memastikan dengan jelas siapakah yang ada di depannya. "Ini Papa? Beneran Papa? Pa, sejak kapan Papa mempunyai saudara kembar? Hahaha, lucu sekali. Papa sekarang jadi dua! Yeyyy, aku punya papa dua!" serunya kegirangan di sela tawa. Namun, sesaat kemudian, gadis cantik bersurai coklat itu memekik kala sebuah tamparan menyapa tepat di pipi kirinya.

Tak terdengar suara mengaduh atau rintihan. Lebih-lebih protes akan tindakan Narendra yang begitu kasar. Lara hanya diam selagi memegangi pipinya yang mendadak lebam dan kemerahan. Nyeri di sana tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Gadis itu masih membeku dengan kepala memaling ke arah kanan.

"Siapa yang mengizinkanmu mabuk-mabukan seperti ini, Lara! Kenapa kau merusak dirimu sendiri seperti ini!" Suara lantang Narendra kembali menggema. Sorot matanya terarah begitu menusuk pada sosok kacau sang putri yang seketika refleks memejamkan mata sambil menutup telinganya dengan sebelah tangan.

Alih-alih menjawab tanya sang papa, Lara justru mengempaskan tangan Narendra lalu berucap dengan nada menyepelekan.

"Papa ini berisik! Aku hanya sedang merayakan sesuatu hal, Papa. Biarkan aku bersenang-senang sebentar!" Mengabaikan wajah marah sang papa, Lara berlalu dengan langkah sempoyongan.

"Dasar anak tidak tau adab. Papa belum selesai bicara, Lara!"

Rendra yang kadung terbakar emosi pun tak mau tinggal diam. Ia meraih pergelangan tangan putrinya, lantas menyeret gadis itu sampai ke dalam kamar. Mengabaikan Lara yang berupaya meronta, Rendra membawa masuk putrinya pada bilik kamar mandi berdinding kaca. Tangan kokohnya dengan cekatan meraih gagang shower yang tergantung. Ia lantas tanpa segan mengarahkan semburan air dingin ke tubuh putrinya hingga membasahi sekujur badan.

"Papa hentikan! Papa apa-apanya, sih!"

Lara gelagapan. Sembari berteriak, tangan gadis itu menggapai-gapai hendak merebut shower dari tangan Narendra meski itu sia-sia. Merasa geram dan marah oleh tindakan papanya, memaksa Lara berbicara keras dan itu sukses membuat jantung Narendra seperti diremas.

"Bunuh, Pa! Bunuh saja Lara sekalian! Percuma saja Lara hidup di dunia jika semua yang Lara lakukan tidak ada benarnya di mata Papa!"

Plak!

Satu tamparan lagi mendarat di pipi Lara akibat Narendra hilang kendali. Namun, seketika pria itu menyesali tindakannya sebab melihat kepala putrinya membentur tepian bath up sebelum kemudian tersungkur ke lantai dengan dahi yang berdarah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!