NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Wanita Malam

Veronika dan Denzo

Disebuah tempat yang dikenal dengan surga malam. Seorang wanita cantik bernama Veronika atau biasa di panggil Veren. Wanita cantik yang berprofesi sebagai wanita penghibur itu adalah seorang yatim piatu. Tubuh tinggi langsing dan kesempurnaan tubuhnya memang tak bisa diragukan lagi. Banyak pria hidung belang yang mencoba untuk membeli waktunya atau menjadikannya simpanan, bahkan beberapa kali dia telah di lamar oleh pengusaha kaya. Tapi sayang, jiwa bebas wanita itu tidak bisa di beli hanya dengan uang. Pasti begitu banyak orang yang merasa bingung. Kenapa banyak sekali pria yang antri ingin mendapatkannya. Iya, dia adalah wanita malam yang tidak mudah untuk di dapatkan. Transaksi dengan wanita cantik itu sungguh sangat tertutup. Bahkan sudah banyak sekali pria yang mencari tahu tentang masa lalunya hanya untuk mendapatkan simpati dari Veren. Tapi lagi-lagi, Veren adalah wanita bebas yang tidak akan bisa di kekang atau pun di di ancam.

" Hai, Veren. Apakah kau memiliki tamu malam ini? " Tanya seorang pria muda yang biasa mendatangi tempat itu.

Veren tersenyum lalu meletakkan gelas berisi alkohol yang baru saja dia tenggak habis itu. Di tatap nya bola mata seorang pria tampan yang hampir setiap malam mendatangi surga malam. ( Surga malam adalah nama sebuah tempat yang bersisi klub malam, dan juga tempat para pekerja *3** menjajakan diri nya.)

" Kau tahu, aku juga akan tetap disini meski aku tidak melayani tamu. " Veren mengangkat jarinya lalu menjetik kan jemarinya untuk memberi kode kepada bartender jika dia menginginkan satu gelas alkohol lagi.

Pria itu tersenyum melihat betapa anggun dan hebatnya seorang Veren. Bahkan hanya dengan satu gerakan, dia terlihat begitu keren.

" Veren bisakah kau memberikan waktu mu untuk ku malam ini? " Pria itu menatap dengan tatapan memohon dan penuh harap.

Veren kembali tersenyum. Dia kembali menatap pria yang kini duduk disampingnya. Tangannya terangkat lalu mengusap pipi mulus pria itu.

" Aku tidak mau, sayang. Aku sedang tidak berniat bersetubuh. Lagi pula, aku juga tidak akan puas kalau hanya hitungan menit sudah selesai. " Veren tersenyum lalu kembali ke posisi awal dengan memegang segelas alkohol yang tinggal separuh di gelasnya.

Mendengar pernyataan Veren, pria itu tentu saja merasa terprovokasi untuk menunjukkan betapa hebatnya dia diranjang.

" Veren, aku bisa memuaskan mu. Aku berjanji kau tidak akan merasa kecewa oleh ku. "

Veren terkekeh tanpa menatap pria itu. Dia kini sibuk mengambil sebatang rokok lalu menyalakan pemantik untuk membakar ujung rokoknya.

" Aku adalah pekerja *3**. Laku bagaimana bisa kau yang memuaskan ku. Kau ini sungguh pria yang lucu. "

" Veren, bisakah kau memberiku waktu mu? aku mohon. "

" Tidak. Carilah gadis lain. " Veren mematikan rokoknya lalu mulai beranjak pergi meninggalkan pria itu.

" Tunggu, Veren. " Pria itu meraih lengan Veren untuk menahan langkah kaki Veren yang akan menjauh darinya.

" Katakan padaku, apa yang harus aku lakukan agar kau memberikan satu malam saja untukku. "

Veren tersenyum dingin lalu membalikan tubuhnya menatap pria itu.

" Tidak bisa. Kau tidak akan bisa memberikan apa yang aku inginkan. Karena kau, bukanlah orang itu. " Veren melepaskan tangan pria itu laku berbagai pergi meninggalkan pria yang kini menatap punggungnya degan tatapan bingung.

Hinaan, sindiran, bahkan dengan terang-terangan di hina di depan umum adalah hak yang biasa baginya. Seperti sekarang ini. Saat berjalan menuju rumah satu-satunya yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Beberapa warga berbisik sembari melirik tajam ke arah Veren. Tentu saja gadis itu sudah paham apa maksudnya. Bukan tidak perduli, hanya saja dia tidak ingin banyak bicara karena tidak akan ada ubahnya cara berpikir mereka memang sudah sangat buruk tentangnya. Jadi biarkan saja apa yang mereka katakan.

Perlahan Veren melepaskan sepatunya dan berjalan jinjit memasuki rumah.

" Ibu! "

Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun berlari ke arahnya. Tangan kecilnya memeluk erat pinggang Veren dengan mata yang di penuhi dengan air mata. Bibirnya gemetar dengan suara tangis yang tersendat-sendat karena ditahan oleh nya.

Veren menarik nafas dalam-dalam lalu menjatuhkan sepatunya di lantai. Di pegang nya dua tangan yang memeluk pinggangnya lalu mensejajarkan tingginya.

" Ada apa Denzo? kenapa kau menangis? " Veren menyeka air mata putranya dengan jemari lentiknya. Dia tersenyum dengan lembut dan penuh perhatian setiap perlakuannya kepada putra semata wayangnya itu.

" Ibu, hari ini teman-teman di sekolah ku mengejek ku lagi. Mereka mengatai ku anak haram. Mereka juga mengatai ibu. Tidak ada dari mereka yang mau berteman dengan ku. " Denzo kembali sesegukan karena tangisannya masih belum bisa ia hentikan begitu saja.

Veren membuang nafas kasarnya laku memeluk erat tubuh putranya itu. Sesungguhnya dia juga tidak tega dengan semua yang menimpa putranya. Tapi mau bagaimana lagi, kejadian di masa lalu membuatnya harus menjalani semua ini dengan penuh air mata. Anak tujuh tahun yang seharusnya sibuk belajar dan bermain bersama teman-temannya, justru menjadi bulan-bulannan temannya. Sepulang sekolah juga Denzo sama sekali tidak pernah pergi bermain. Alhasil, Denzo hanya menghabiskan waktunya untuk belajar dan belajar.

" Denzo, bagaimana kalau kita pindah rumah saja? kita cari sekolah yang baru untuk mu, kita hidup di lingkungan yang baru. Ibu janji, Ibu tidak akan membiarkan siapapun lagi menghina mu. "

Denzo menyeka air matanya. Matanya lekat menatap bola mata berwarna coklat milik Ibunya. Sesaat dia kembali berpikir, ternyata tindakannya kali ini membuat Ibunya goyah. Padahal sedari dulu, Ibunya sama sekali tidak ingin meninggalkan rumah yang penuh kenangan orang tuanya.

" Ibu, maaf kan aku. Aku tidak berbuat memaksa Ibu untuk pergi dari rumah ini. " Denzo tertunduk pilu. Iya, anak tujuh tahun itu menjadi begitu dewasa karena kondisi yang mendesaknya untuk menjadi lebih dewasa dari usianya. Hidup tanpa seorang Ayah, ditambah tidak adanya Nenek dan Kakeknya lagi, mau tidak mau dia harus bisa mengandalkan dirinya sendiri karena tidak ingin menambah beban untuk Ibunya.

Veren menangkup wajah tampan Denzo lalu tersenyum. Di kecup nya kening dan kedua pipi Denzo bergantian penuh kasih sayang.

" Sayang, Ibu juga sudah tidak nyaman tinggal disini. Lagi pula, tempat tinggal kita nanti adalah tempat yang ketat penjaganya. Disana tidak akan ada lagi orang-orang yang mengatai mu dan juga Ibu. "

Denzo perlahan-lahan mengubah ekspresi wajahnya. Dia tersenyum lalu memeluk erat Ibunya. Dia memang tidak paham apa pekerjaan Ibunya, tapi yang ia tahu adalah, Ibunya yang paling baik dan paling mencintai nya.

" Ibu, ketika aku dewasa nanti, aku tidak akan membiarkan Ibu bekerja sampai larut malam seperti ini lagi. Aku akan menjadi orang sukses agar bisa membuat Ibu bangga padaku. "

Veren mengecup pundak putranya karena merasa begitu terharu.

Denzo, sebelum kau dewasa nanti, Ibu berharap bisa menemukan orang itu dan membalas semua perbuatannya.

Bersambung

Penasaran

( Ini adalah Bab 3 setelah di revisi karena tidak lolos review dari Noveltoon. Jadi, bab ke duanya akan di revisi setelah ini up karena banyak konten dewasa nya. Maaf kalau harus loncat bacanya ya kesayangan. )

Veren menaikkan pandangan matanya setelah seorang pria menghampirinya. Dengan sekuat tenaga dia menajamkan mata hingga dahinya mengeryit memastikan atau memperjelas matanya untuk melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Sudahlah, dia sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas karena matanya buram. Malam ini dia terlalu banyak meminum alkohol, dan beginilah Veren ketika dia terlalu banyak minum.

" Apa yang akan kau lakukan? "

Langkah pria yang sudah berdiri di hadapan Veren terhenti saat suara seorang wanita bertanya kepadanya dengan suara yang seolah mencurigainya. Perlahan pria itu menjauh dari Veren dan memilih untuk tidak mendekatinya.

" Sialan! susah sekali mendekati wanita itu. " Gumam pria yang tak di kenal itu. Sebenarnya dia sudah memperhatikan Veren sedari tadi. Dia dengan sabar menunggu Veren mabuk agar bisa membawanya ke hotel. Tapi sayang, lagi-lagi dia kecewa karena ada saja orang yang menyelamatkan Veren.

" Veren! Veren! " Panggil seorang gadis cantik bernama Karina. Dia adalah satu-satunya teman yang dekat dengan Veren. Mereka juga tumbuh besar bersama-sama. Karina menepuk! nepuk pelan wajah Veren yang sudah tidak sadarkan diri.

" Veren, apa yang membuat mu begitu mabuk? bukankah biasanya kau tidak minum sebanyak ini? " Gumam Karina. Karena tidak mungkin memapah tubuh veren sendiri meski Veren terbilang kurus, tapi karena tubuh tingginya, tentu saja Karina tidak bisa mengimbanginya. Dipanggilnya seorang penjaga surga malam agar bisa membantunya memapah Veren sampai ke taksi.

" Tumben sekali bintang utama kita mabuk. " Ujar penjaga surga malam. Iya, dia juga bisa dibilang lumayan dekat dengan Veren karena dia adalah orang yang di urus untuk menjaga Veren selama berada di dalam surga malam oleh Erick.

" Tidak tahu, sepertinya ada hal yang mengganggu pikirannya. Kalau sudah begini, aku akan membawanya pulang lalu menjemput anaknya juga nanti. "

" Apa perlu saya ikut membantu, Nona? " Tanya penjaga surga malam.

" Tidak usah, tolong bantu aku saja untuk membawa Veren sampai ke mobil. "

" Baik. "

Selama di perjalanan, Veren terus saja bergumam banyak hal. Mulai dari uang menyenangkan, menyebalkan, mendebarkan, hingga sampai menangis. Iya, kehidupan seorang wanita malam juga penuh dengan drama. Tidak semua wanita malam berpikiran tentang uang dan duniawi saja. Seperti Veren, dia menjadi wanita malam juga bukan karena keinginannya. Menjadi bahan olokan teman, saudara, tetangga, bahkan kadang orang asing yang dia tidak kenal. Mereka sibuk menghakimi Veren sebagai wanita malam bahkan anak nya juga ikut merasakannya. Miris, tapi sebagai sahabat Karina juga tidak mampu melakukan apapun.

" Veren, aku tahu bagaimana dan siapa dirimu. Abaikan saja orang yang menyukai mu dan tutup telinga mu saat ada orang yang menghina mu. Hidup bukan tentang mereka, tapi hidup mu adalah hidup mu. Kau hanya bisa bahagia saat kau menjalani tanpa memikirkan mereka. Bangkitlah, Veren. Kau adalah wanita yang kuat. Aku tahu itu. Karena jika aku yang menjadi dirimu, mungkin aku akan memilih untuk mati. " Ucap Karina sembari menyeka air matanya. Sungguh dia begitu tidak tega melihat Veren yang sekarang ini. Orang mencacinya dan mengatainya bekas ratusan orang. Kenapa? kenapa tidak ada satu pun yang bertanya padanya, Veren kenapa kau memilih jalan ini? Veren kenapa kau ada di surga malam hampir setiap malam? bukanya Veren tidak terbuka, tapi hampir tidak ada yang perduli mengenai itu semua.

Setelah beberapa saat, Karina, Veren dan Denzo yang tadi di jemput juga akhirnya sampai di apartemen Karina. Denzo yang tahunya kalau Veren tertidur, dia hanya bisa mengikuti saja kemana Ibunya di bawa. Di juga dengan sigap membantu membenarkan bantal agar Ibunya nyaman saat berbaring Nanti.

" Tolong, jangan ambil putriku. " Ucap Veren lalu sesegukan tapi tak juga terlihat membuka mata.

" Bibi, apa Ibu ku mabuk? " Tanya Denzo sembari menatap Ibunya pilu. Tadinya Karina ingin berbohong, tapi melihat Denzo yang sepertinya menyadari kebenarannya, maka dia hanya bisa mengiyakan saja.

" Iya. "

Denzo tertunduk dengan mata yang berkaca-kaca. Jujur, hati Karina benar-benar sedih melihat Denzo harus melihat keadaan Ibunya yang seperti ini.

" Denzo, kau adalah anak yang cerdas. Bagaimanapun Ibumu, dia tetaplah menyayangi mu. "

Denzo kembali menegakkan wajahnya. yang sudah berlinang air mata.

" Aku tahu, Bibi. Aku hanya sedih karena saat ini Ibu juga sedang sedih. Beberapa bulan lalu, Ibu ku juga pernah pulang dengan keadaan seperti ini. Dia menangis meminta agar jangan mengambil Deniza. Dia juga menangis karena marah kepada Tuhan karena Tuhan mengambil semua orang yang dia sayangi. Dia juga marah terhadap dirinya sendiri karena tidak menemukan donor yang cocok untuk Deniza. "

Karina menutup mulutnya. Air matanya mulai terjatuh karena tak kuasa menahannya lagi. Karina memeluk erat Denzo. Iya, semua yang terjadi adalah takdir dari Tuhan. Tapi tidak lah benar jika menyalahkan Tuhan.

" Denzo, temani Ibu mu tidur ya? jika ada sesuatu terjadi kepada Ibu mu, panggil Bibi ya? "

" Baik, Bibi. "

Setelah kepergian Karina, Denzo perlahan ikut merebahkan tubuhnya di samping Veren. Ditatapnya wajah Ibunya yang tertidur itu. Perlahan dia menggerakkan tangannya memeluk Ibunya erat. Air mata juga kembali mengalir dari sisi matanya. Di usianya yang masih tujuh tahun, dia ikut menyaksikan bagaimana kehidupan pahit yang di jalani Ibunya. Bahkan dia juga mengalaminya. Tapi sungguh itu bukan masalah selama Ibunya baik-baik saja.

" Ibu, aku ingin cepat besar agar bisa melindungi Ibu. Aku sedih melihat Ibu bersedih. "

Pagi harinya, Denzo terbangun dari tidurnya. Matanya yang sayup-sayup itu mencari keberadaan Ibunya. Karena tidak juga menemukannya, akhirnya Denzo terbangun dan sadar dengan cepat.

" Ibu! " Panggilnya karena merasa takut jika Ibunya akan pergi dengan keadaan yang kurang baik. Denzo berjalan menuju kamar mandi. Setelah menyadari jika tak ada Ibunya disana, Denzo berjalan cepat keluar dari kamar untuk bisa menemukan Ibunya.

" Ibu! "

" Kenapa kau berteriak sepagi ini? Ibu kan tidak tuli. " Ucap Veren sembari berjalan mendekati putranya. Di usapnya rambut Denzo dan memberikan kecupan disana.

" Ibu, baik-baik saja? "

" Tentu saja. Memang nya apa yang akan terjadi pada Ibumu yang hebat ini? " Denzo tersenyum. Memang beginilah Veren. Sedikitpun tidak ingin terlihat sedih oleh putranya yang begitu menyayanginya.

" Karina? " Sapa Veren saat melihat Karina tengah murung di meja makannya.

" Ada apa dengan mu? " Tanya Veren sembari menarik kursi untuk anaknya duduk.

" Paman menjodohkan ku dengan anak dari pemimpin perusahannya. "

Veren menahan tawanya. Sungguh paman adalah pria yang sangat perduli dan penyayang. Bukan hanya dengan Karina saja, tapi dengan Veren dan Denzo pun sama.

" Bukanya itu bagus? kau akan di nikahkan dengan pria kaya kan? " Tanya Veren.

Karina menghela nafas.

" Entah ini tradisi orang kaya atau bukan, tapi pria itu sudah memiliki istri. "

" What? "

" Iya, orang tua si pria ini sama sekali tidak setuju dengan pernikahan mereka. Aku tidak tahu apa sebabnya. Tapi hubungan mereka ini terlalu rumit. "

" Aku jadi penasaran, seperti apa rupa pria itu. Apakah bisa mengalahkan Erick? "

Karina meraih ponselnya, menyalakannya, lalu menunjukkan photo pria yang di maksud Karina.

" Lihat! "

Veren menerima ponsel itu untuk melihatnya.

" Pria ini? " Veren menatapnya terkejut.

TBC

Pindah rumah

Setelah melihat photo dari ponsel Karina, Veren nampak berbeda. Tatapan mata wanita cantik itu seolah menyimpan kebencian yang teramat dalam. Dahi yang mengeryit itu seolah tengah menelusur sebuah peristiwa yang terjadi di masa lalu.

" Veren, kau apa baik-baik saja? " Tanya Karina dengan tatapan penuh tanya. Sungguh Karina tahu ada yang tidak biasa dari Veren saat melihat pria yang ia tunjukkan melalui layar ponselnya.

" Veren? " Tanya lagi Karina karena tak mendapatkan jawaban apapun dari Veren. Wanita cantik itu justru semakin fokus menatap layar ponselnya. Mendengar Karina memanggil namanya, Veren menoleh sembari mengerahkan ponsel Karina.

" Ada apa? " Veren terdiam sesaat. Sungguh dia ingin sekali mengatakan kepada Karina. Tapi adanya Denzo membuatnya harus menahan dulu.

" Tidak apa-apa. " Veren tersenyum lalu mengajak Karina dan Denzo untuk memulai sarapan. Setelah selesai, seperti jadwal harian, Veren akan mengantar anaknya ke sekolah dan menyiapkan beberapa keperluan karena Denzo akan segera pindah sekolah.

" Semoga ini pilihan terbaik. " Veren tersenyum memandangi selembar surat untuk Denzo pindah ke sekolah yang sudah di tentukan. Mulanya memang masih agak ragu, tapi karena masukan dari Erick, dia menjadi yakin akan keputusan ini. Pindah sekolah dan pindah rumah lalu berada di lingkungan baru yang terbatas akan gosip pasti akan membuat mereka hidup nyaman nantinya. Memang benar sih, orang-orang yang tinggal di apartemen pasti tidak akan memiliki kebiasaan seperti tetangga di rumahnya. Batin Veren. Setelah beberapa jam menunggu Denzo keluar dari sekolah, barulah dia kembali ke sana untuk menjemputnya.

" Ibu! " Denzo melambaikan tangan dari sebrang jalan.

" Sayang! tunggu disana! " Veren tersenyum menatap Denzo yang juga tersenyum setelah mengangguk mendengar ucapan Ibunya. Butuh beberapa saat untuk mendapati lampu merah dan menyebarang jalan, jadi Veren hanya bisa mengajak berbicara putranya dengan bahasa tubuh. Sungguh, ini adalah hal yang menyenangkan. Veren dan Denzo tersenyum karena merasa lucu tentang apa yang sedang mereka lakukan hingga seorang pria berkaca mata hitam menghampiri Denzo.

" Hei, bocah tampan? kenapa kau berdiri di sini? " Tanya Pria itu lalu melepas kaca mata hitamnya. Wanita cantik yang menggandeng lengan pria itu juga tersenyum ramah.

" Aku sedang menunggu lampu merah agar Ibuku bisa menyebrang jalan, dan menghampiri ku. " Jawab Denzo.

" Oh, baiklah. Paman kira tidak ada yang menjemput mu. " Dari seberang Jalan Veren tercengang lalu dengan cepat dia menunduk menyembunyikan wajahnya.

" Sayang, anak ini mirip dengan mu ya? " Ujar wanita yang sedari tadi menggandeng lengan si pria.

" Benarkah? " Tanyanya lalu kembali menatap Denzo dengan lebih teliti. Pria itu tersenyum karena memang ada beberapa kesamaan di antara mereka. Mulai dari bentuk matanya, alisnya, bibirnya, bentuk rahangnya, bahkan tanda lahir yang ada di pergelangan juga sama.

" Aku rasa, salah satu orang tuamu pasti mirip dengan paman. "

Denzo terdiam tanpa mau menjawab. Iya, dia sama sekali tidak pernah melihat bagaimana wajah Ayahnya. Memang dulu dia dan juga adik kembarnya sering menanyakan perihal Ayahnya karena merasa iri dengan teman-teman sebayanya. Tapi semua berubah seiring berjalannya waktu. Apalagi Ibunya selalu terlihat marah dan sedih saat dia menanyakan tentang Ayahnya. Maka mulai dari situlah dia tidak lagi memikirkan soal Ayah atau menginginkan Ayahnya lagi. Bagi Denzo, Ibunya sudah lebih dari cukup.

" Tidak. Aku mirip dengan Ibuku. " Setelah memikirkanya, maka dia menganggap bahwa ini adalah jawaban yang paling tepat.

" Benarkah? " Entah mengapa pria itu terlihat sedikit kecewa.

" Oh iya, paman adalah pemilik baru sekolah ini. Sepertinya kita akan sering bertemu ya, ana tampan. " Pria itu tersenyum lalu mengacak rambut Denzo lembut.

" Mulai besok aku akan segera pindah sekolah. Jadi pasti kita tidak akan pernah bertemu lagi, paman. " Jawab Denzo tanpa ekspresi.

" Sayang sekali. " Ucap Pria itu setelah menghela nafas nya.

Lampu merah tiba. Untunglah, Veren membawa kaca mata hitam di tasnya. Tanpa menunggu lama, Veren memakai kaca mata hitamnya lalu dengan segera menyebrang jalan.

" Sayang? " Veren mengulurkan tangannya. Denzo yang paham langsung saja menyambut tangan Ibunya dan menggenggamnya erat. Senyumnya dengan cepat terlihat Mmmanis di bibir Denzo.

" Ibu, aku mau makan burger. " Pinta Denzo.

" As you want, sayang. " Jawab Veren lalu tersenyum tanpa mau melepas kaca mata hitamnya. Mereka berjalan meninggalkan pria itu dan wanitanya di sana. Sebenarnya, saat ini jantung Veren benar-benar berdetak degan sangat cepat hingga tubuhnya sedikit gemetar.

" Ibu, tangan Ibu kenapa dingin? " Tanya Denzo yang dengan jelas bisa merasakan suhu di tangan Ibunya. Sebenarnya Veren juga tidak tahu kenapa justru dia yang merasakan ketakutan ini. Tapi saat matanya menatap ke arah Denzo, dia baru menyadari jika ketakutannya adalah kehilangan Denzo. Semua perasaan luka karena kehilangan benar-benar membuat jiwanya terguncang. Tapi adanya Denzo benar-benar adalah sebuah alasan terbesar untuknya bertahan sampai di titik ini.

" Mungkin karena Ibu merasa sedikit pusing, sayang. " Denzo mendongakkan pandangan menatap bola mata Ibunya yang terlihat tidak sinkron dengan ucapannya. Tapi Denzo adalah anak yang sudah memiliki jiwa dewasa di usianya yang baru tujuh tahun maka berpura-pura mempercayai Ibunya adalah pilihan yang benar.

" Baiklah, Ibu. Kita tidak usah beli burger. Kita langsung pulang dan istirahat saja ya? " Veren menghentikan langkah kakinya lalu menyeimbangkan tinggi badannya dengan tinggi Denzo. Dia mengusap lembut wajah anaknya lalu memberikan kecupan sayang di dahinya.

" Sayang, hari ini kita akan pindah ke apartemen. Jadi, sembari menunggu barang-barang kita do kirim kesana, kita bisa berjalan-jalan dulu sebentar dan makan. " Denzo tersenyum lalu mengangguk.

Setelah beberapa saat, sampailah mereka ke sebuah tempat yang menjual Burger dan makanan lainya. Veren dan Denzo menikmati makan siang mereka disana dengan wajah bahagia meski sebenarnya, mereka berdua tengah berpura-pura bahagia. Veren yang masih memikirkan wajah pria tadi, Denzo yang memikirkan alasan apa yang membuat Ibunya begitu aneh. Rasanya ingin sekali bertanya, tapi mengingat bagaimana Ibunya saat tertekan, Denzo memutuskan untuk menyimpan saja pertanyaan itu di dalan hati.

" Sayang, setelah ini kita langsung ke apartemen saja ya? barang-barang kita sudah akan sampai di apartemen. " Ucap veren setelah membaca pesan yang masuk ke ponselnya.

" Baik Ibu. "

Setelah selesai dengan kegiatan mereka, Veren dan Denzo langsung menuju apartemen yang akan mereka tinggali. Satu jam menghabiskan perjalanan menuju apartemen baru mereka, akhirnya sampailah mereka di apartemen yang akan mereka tinggali.

" Karina? "

" Hei? " Karina tersenyum setelah melambaikan tangan.

" Kau ada disini? bukankah kau bekerja? " Tanya Veren.

" Sahabat ku pindah rumah, jadi mana mungkin aku akan tenang saat bekerja? " Veren memeluk Karina karena dia benar-benar bahagia memiliki sahabat yang begitu pengertian seperti dirinya.

" Hah! " Karina dan Veren membanting tubuhnya ke tempat tidur karena merasa begitu lelah. Padahal, barangnya tidak terlalu banyak, tapi kenapa lelah sekali? gerutu keduanya.

" Veren, besok aku diharuskan datang ke restauran untuk membahas perjodohan dengan laki-laki kemarin. " Ucap Karina yang terlihat malas.

" Karina, bolehkah aku saja yang datang? "

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!