Angin pada senja itu berhembus dengan cukup kencang. Langit pun terlihat sudah mulai mendung. Semua orang melangkahkan kakinya dengan terburu-buru.
Seorang gadis cantik dengan matanya yang indah, berjalan sendirian menyusuri trotoar. Sore itu, ia memakai celana jeans 7/9 yang dipadukan dengan kemeja lengan pendek berwarna putih. Ia juga masih terlihat tenang, meskipun rintik-rintik hujan sudah mulai turun.
Priyanka Harumi Ardyanti Winata, atau lebih dikenal dengan nama Arumi. Gadis itu kini telah berusia dua puluh enam tahun. Cantik dan menarik. Ia juga terlihat semakin dewasa.
Masih setia dengan rambut panjangnya yang selalu ia gulung dengan asal-asalan, Arumi selalu tampil manis dengan gayanya yang casual. Penampilan yang sangat berlainan dengan almarhum sang ibu, Ryanthi.
Arumi menghentikan langkahnya di depan sebuah klinik bersalin. Ia kemudian segera masuk ke sana dan menuju meja resepsionis.
Dua orang gadis berkerudung putih dengan masker bedah yang menempel di wajah mereka, menyambut Arumi dengan keramahan yang tidak dibuat-buat.
"Selamat sore, Mbak. Saya ingin menanyakan kamar atas nama ibu Pusparini Winata. Dia melahirkan semalam di sini," Arumi bertanya dengan gaya bicaranya yang khas. Sepasang lesung pipit pun tampak jelas menghiasi pipi dengan sapuan blush on berwarna oranye.
"Sebentar saya cek dulu," jawab salah satu dari mereka. Ia lalu memeriksa komputer yang ada di hadapannya.
"Anda masuk saja lewat lorong ini, dan terus lurus sampai kamar nomor 05!" Tunjuk gadis itu.
"Okay, Thank you," Arumi pun berlalu dari hadapan kedua gadis itu. Ia terus melangkah menuju kamar yang disebutkan oleh gadis di meja resepsionis tadi.
Berdiri di depan pintu bernomor 05, Arumi kemudian mengulurkan tangannya dan hendak meraih handle pintu berbentuk bulat itu. Akan tetapi belum sempat ia meraihnya, pintu itu lebih dulu terbuka.
Arumi tersentak. Ia hampir memekik karena kaget, dan rasa terkejutnya terus berlanjut ketika ia melihat seseorang yang muncul dari balik pintu itu. Arumi hanya dapat berdiri mematung dan menatapnya, begitu pula dengan pria yang muncul dari balik pintu itu.
Ia adalah pria dengan gaya rambut man bun, memakai jaket dari bahan jeans yang dipadukan dengan celana jeans belel. Ada beberapa sobekan di celana panjangnya, yang membuatnya layak disebut sebagai bad boy. Siapa lagi pria itu jika bukan Arjuna Moedya Aryatama alias Moedya. Tatapan mata keduanya saling bertemu dan terlihat ada rasa canggung yang menyelimuti mereka berdua.
Arumi berusaha untuk tetap terlihat tenang, meskipun dalam hati rasanya ia ingin sekali berlari dan langsung menghambur ke dalam pekukan pria itu.
Begitu juga dengan Moedya. Ia terlihat sedikit kikuk dan kebingungan. Namun, ia tetap ingin menunjukan jika dirinya adalah pria yang cool dan calm. Moedya pun membuka pintu agak lebar dan mempersilakan Arumi untuk masuk.
"Silakan," ucap pria berambut gondrong itu. Ia mengela napas dalam-dalam ketika Arumi melangkah masuk dan melewatinya.
Terciumlah aroma menyegarkan khas gadis itu. Aroma yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Aroma yang penuh dengan cinta dan kehangatan di antara mereka berdua. Kedua hal yang kini telah sirna dan terkubur dengan sangat dalam.
"Arum ...." sapa Keanu yang saat itu baru keluar dari toilet. Ia lalu melihat ke arah pintu. Moedya ternyata sudah tidak ada di sana. Keanu kemudian mengalihkan tatapannya kepada sang adik.
"Hai, Arum," Puspa ikut menyapa gadis itu dengan senyum ramahnya.
Arumi memasang senyuman manisnya. Ia berusaha untuk terlihat baik-baik saja di depan Keanu dan Puspa. Ia pun segera menghampiri Puspa yang sedang berada di atas ranjang dengan setengah bersandar.
"Hai, kakak ipar," sapa Arumi dengan hangat. Ia memeluk Puspa dan memberinya ucapan selamat atas kelahiran anak keduanya bersama Keanu.
Bayi perempuan itu diberi nama Jenna. Ia sangat mungil dengan kulitnya yang masih sedikit kemerahan. Arumi tersenyum lebar melihat bayi kecil itu.
"Aku ingin sekali menggendongnya, tapi aku takut membangunkannya," ucap Arumi dengan wajah sedikit kecewa.
"Besok kami akan pulang. Kamu bisa datang ke rumah dan menggendongnya sepuasmu. Lagi pula, Puspa belum boleh terlalu sering menggendong bayinya," sahut Keanu. Ia melirik sang istri yang saat itu hanya tersenyum manis kepadanya.
"Aku akan mampir," balas Arumi.
"Akhir-akhir ini kamu sangat sibuk di toko, sampai-sampai jarang sekali mampir ke rumah," protes Puspa selalu dengan nada bicaranya yang lembut.
Arumi tertawa pelan seraya duduk di ujung ranjang berlapis sprei berwarna putih itu. Ia menatap sang kakak ipar yang kini terlihat semakin berisi.
"Kakak tambah berisi saja. Apa wanita selalu seperti itu jika sehabis melahirkan?" Tanya Arumi. Ia seakan mengalihkan topik pembicaraan.
Ya, tentu saja. Jika sudah membahas masalah toko dan kue, maka kesedihan Arumi akan kembali muncul. Ingatannya akan kembali terusik oleh kenangan indah bersama sang ibu, Ryanthi.
"Nanti juga kamu akan tahu, seberapa nikmatnya berada dalam posisi sepertiku saat ini," jawab Puspa. Ia kemudian melirik Keanu yang saat itu hanya tersenyum dengan sikapnya yang kalem.
"Ah ... ya, sudahlah!" Arumi kembali berdiri. Ia lalu berjalan sedikit dan mendekati Puspa. "Besok aku kemari lagi. Kira-kira jam berapa Kakak akan pulang?"
Puspa hanya mengangkat kedua bahunya. Ia kemudian melirik Keanu yang masih duduk dengan sambil membaca.
"Entahlah, yang pasti setelah kami menyelesaikan segala urusan administrasi. Aku rasa ... mungkin sebelum sore juga kami pasti sudah diizinkan pulang," jelas pria dengan rambut cepak itu.
"Baiklah," sahut Arumi, "aku masih punya sedikit pekerjaan. Aku janji jika aku tidak sempat ke sini lagi ... aku pasti mampir ke rumah. Lagi pula aku sangat merindukan Dinan," ujar Arumi. Ia menyebutkan nama anak pertama Keanu yang berjenis kelamin laki-laki.
"Jangan bohong, Arum! Dinan sering menanyakanmu," ucap Puspa.
Arumi tersenyum seraya mencium pipi kakak iparnya. Ia juga memeluk Keanu untuk sesaat. "Aku usahakan!" Sahut gadis manis itu. Arumi kemudian berpamitan untuk kembali ke toko.
Melangkahkan kakinya keluar dari sana, Arumi harus kembali tertegun karena ternyata hujan turun dengan sangat deras.
"Oh my God!" Keluh gadis itu pelan. Ia bahkan tidak membawa payung di dalam tasnya. Jika sudah seperti ini, mau apa lagi?
Pandangan Arumi akhirnya tertuju pada sebuah kantin yang berada di sebelah klinik itu. Sambil berlari kecil namun sangat hati-hati, ia berusaha untuk menghindari kebasahan. Arumi akhirnya sampai di kantin itu.
Suasana di sana terbilang sepi. Di kantin itu hanya ada beberapa meja yang terisi. Arumi kemudian memesan minuman hangat sambil mengeringkan rambut dan kemeja putihnya yang basah. Sial baginya, kemeja basah itu telah membuat pakaian dalamnya terekspos dengan cukup jelas.
Arumi kembali mengeluh pelan. Ia juga tidak membawa jaket. Begitulah jika bepergian tanpa direncanakan. Ia memang tidak berniat untuk datang ke klinik itu. Akan tetapi, entah kenapa niat itu datang dengan tiba-tiba.
Untunglah suasana di sana cukup sepi. Meskipun merasa risih dan tampak tidak nyaman, tapi Arumi mencoba untuk bersikap biasa saja. Namun, ia menjadi tidak dapat bersikap biasa saja seterusnya, ketika ada seseorang yang menyodorkan jaket kepadanya.
"Pakaian dalammu terlihat dengan sangat jelas," ucapnya datar.
Arumi tertegun. Ia sangat mengenal suara itu. Suara yang selalu ia dengar tiga tahun yang lalu.
...🍁 🍁 🍁...
Hai ... hai ... Ceuceu othor come back membawa cerita yang uwuuwu. Untuk yang sudah tahu siapa itu Arumi dan Moedya, pasti bingung kan kenapa mereka tiba-tiba terpisah selama tiga tahun?
Nah ... bagi yang belum kenal sama mereka, monggo kenalan dulu di novel Ceuceu yang berjudul Ryanthi (Manisnya Kue, Pahitnya Kenyataan) season 2. Tetapi, kalo mau baca dari season pertama juga alhamdullah ya ... sesuatu banget buat Ceuceu. Ceuceu ucapkan "Hatur nuhun pisan".
Jadi, masih penasaran ga nih? Kalau penasaran yuk ikuti kisah cinta Arumi dan Moedya (lagi).
Salam sayang,
🍒 Komalasari
Arumi menatap wajah maskulin itu. Wajah yang belum banyak berubah dari semenjak tiga tahun yang lalu. Wajah dengan beberapa bekas jerawat dan jenggot tipis yang menghiasinya.
"Pakailah!" Moedya masih menyodorkan jaket itu kepada Arumi, sementara gadis itu hanya berdiri dan terpaku menatapnya. Ia tidak tahu jika Moedya juga ada di sana.
"Thank you," ucap Arumi seraya menerima jaket itu. Ia lalu melingkarkan jaket itu tanpa memasukannya. Sesaat kemudian, Moedya mengajaknya untuk duduk dalam satu meja.
Arumi tidak tahu apa maksud dari pria itu dengan mengajaknya duduk bersama, sambil menikmati secangkir kopi panas. Ia tidak ingin bermain tebak-tebakan tentunya. Arumi takut jika dirinya salah dalam menjawab, dan ia akan merasa kecewa.
"Apa kabar?" Sapa Moedya sambil meneguk kopinya. Bahasa tubuhnya belum berubah sama sekali. Ia masih terlihat seperti Moedya yang dulu, yang pernah Arumi cintai dengan sepenuh hati.
"Tadinya aku mau pulang, tapi hujannya terlalu deras," ucap pria itu menjelaskan meski tanpa Arumi pinta.
"Baik. Kamu sendiri?" Arumi balik bertanya. Diliriknya lengan kokoh dengan ukiran gambar-gambar aneh yang menghiasinya. Arumi tahu betul, bagaimana hangatnya berada dalam dekapan lengan itu. Ia juga pernah menyentuh lengan itu, bahkan sering sekali dan entah sudah berapa kali ia melakukannya.
"Seperti yang kamu lihat," jawab Moedya dengan gaya santainya. Itulah ciri khasnya. Ia selalu terlihat tenang dan anti ribet. Hal itulah yang membuat Arumi jatuh cinta kepada pria berusia tiga puluh tahun itu.
"Tidak terasa tiga tahun sudah berlalu dengan begitu cepat. Akan tetapi ... aku tidak pernah melihatmu setiap kali aku mampir ke rumahmu," ucap Moedya lagi. Ia kembali meneguk kopinya.
"Aku jarang di rumah," jawab Arumi pelan. Ia terus memainkan jemari lentiknya pada pinggiran cangkir berisi kopi espresso pesanannya tadi.
"Aku lebih sering menghabiskan sebagian besar waktuku di toko. Di sana ... rasanya jauh lebih ... ah ... waktu terasa begitu cepat saat aku berada di sana ...." Arumi terdiam. Ia tahu jika Moedya tidak akan tertarik untuk mendengar tentang kesehariannya. Arumi yakin jika pria bertato itu sudah tidak peduli lagi dengan dirinya.
Moedya tersenyum simpul. Ia menatap Arumi untuk sejenak. Gadis itu masih terlihat cantik, bahkan kini ia tampak jauh lebih cantik. Arumi terlihat jauh lebih dewasa, meskipun ia masih setia dengan celana jeans 7/9 dan sanggul asal-asalannya.
"Jadi ... kamu masih sibuk di toko?" Tanya Moedya. Ia seakan tidak mempunyai bahan pembicaraan yang lain. Arumi pun hanya menanggapinya dengan sebuah anggukan pelan.
"Kamu sendiri? Apakah masih di bengkel atau ...." Arumi tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena saat itu Moedya segera menyelanya.
"Keanu masih sering datang ke bengkelku," sela Moedya.
"Ya, aku senang karena hubungan kalian tidak terpengaruh oleh ... um ... oleh ...." lagi-lagi Arumi tidak sempat melanjutkan kata-katanya.
"Kami adalah pria yang sudah sama-sama dewasa. Kami masih dapat memberikan batasan antara urusan pribadi dengan persahabatan," ujar Moedya dengan tenangnya. Ia kembali meneguk kopinya.
Arumi tahu dan sangat menyadari jika Moedya saat itu tengah menyindir dirinya. Moedya pernah mengatakan hal seperti itu kepadanya dulu, dalam sebuah pertengkaran hebat di antara mereka berdua. Pertengkaran yang menyebabkan perpisahan yang sangat menyakitkan bagi Arumi.
Arumi hanya mengangguk pelan. Ia tidak ingin menanggapi ucapan Moedya saat itu. Ia sudah cukup senang dapat melihat wajah itu lagi. Arumi merasa bahagia, karena Moedya tak lagi menatapnya dengan tatapan yang dipenuhi oleh kebencian.
Arumi kemudian meneguk kopi espresso-nya. Terlihat dengan jelas betapa ia merasa gugup dan canggung saat itu. Ia termasuk orang yang tidak pintar dalam menyembunyikan perasaannya.
Moedya dapat melihat hal itu dengan jelas. Ia menangkap hal lain dari bahasa tubuh Arumi. Rasa tidak nyaman yang gadis itu tunjukan di hadapannya.
"Kamu baik-baik, Arum?" Tanya Moedya dengan datar.
Arumi menganguk pelan meskipun pertanyaan itu terdengar menyakitkan bagi dirinya. Moedya tidak lagi memanggilnya dengan nama "Miemie" melainkan Arum. Semakin jelas jika Moedya sudah melupakan apa yang pernah terjadi di antara mereka berdua.
"Lucu sekali. Kamu sering bertemu dengan kakakku, tapi kita tidak pernah bertemu sekalipun," gumam Arumi pelan.
"Kamu tidak bersembunyi dariku, kan?" Tukas Moedya membuat Arumi seketika menatapnya dengan tajam sebagai tanda protes dari gadis manis itu.
"Aku juga merasa heran karena setelah hubungan kita berakhir ... aku menjadi sangat jarang bahkan hampir tidak pernah melihatmu lagi. Terkadang aku berpikir jika kamu dengan sengaja menghindariku," ujar Moedya dengan tenangnya.
"Kita sama-sama memiliki kesibukan," sahut Arumi pelan. "Semenjak kepergian ibuku, aku harus menghandle semuanya sendirian. Ini adalah pengalaman pertama untukku, jadi aku ... terkadang aku merasa ...." Arumi tertunduk lesu. Ada banyak hal menyedihkan yang menimpa dirinya dengan bertubi-tubi.
Semenjak hubungannya dengan Moedya berakhir, Arumi harus merawat Ryanthi yang jatuh sakit. Ia dipaksa untuk melepaskan segala atribut kemanjaannya dan seketika menjadi gadis dewasa yang benar-benar dewasa. Begitu juga ketika ia harus menerima kenyataan bahwa Ryanthi harus pergi untuk menyusul sang ayah, yaitu Adrian.
Arumi mulai belajar untuk menjadi gadis yang lebih bertanggung jawab. Ia pun menjadi sedikit pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktunya di dapur, bergelut dengan aroma kue yang mengunggah selera.
Di bawah arahan Keanu yang mewarisi darah bisnis dari sang ayah, Arumi belajar untuk menjalankan toko peninggalan sang ibu. Kini "Sweet in Jar" telah menjadi salah satu toko kue yang paling dicari dan banyak digemari, terutama oleh masyarakat menengah ke atas.
"Maafkan aku Moemoe ...." lirih Arumi.
"Untuk apa?" Tanya Moedya datar.
"Untuk semua yang telah terjadi di antara kita," jawab Arumi pelan.
Moedya tidak menjawab. Ia menatap lekat gadis berparas cantik itu. Dulu wajah itu selalu ia sentuh dengan lembut, dengan penuh cinta. Namun, kini entah siapa yang menjadi pemilik dari wajah itu? Entah pria mana yang beruntung dapat menikmati kecantikan Arumi saat ini?
Moedya yakin jika Arumi pasti sudah mendapatkan pengganti dirinya. Ia tahu ada banyak pria yang rela mengantre hanya untuk mendapatkan satu tiket agar dapat memasuki hatinya.
"Bisakah kita untuk tidak membahas itu?" Pinta Moedya. "Aku tidak ingin mengungkit semua hal yang telah lama kulupakan," lanjut pria berambut gondrong itu lagi.
"Aku ... aku juga tidak ingin mengungkit semua yang telah terjadi. Akan tetapi ... mungkin masih ada hutang kata maaf yang belum sempat aku ucapkan padamu," jelas Arumi pelan.
Moedya masih menatap paras cantik itu dengan lekat. Harus diakuinya jika dulu ia mengalami kesulitan yang luar biasa untuk dapat melepaskan gadis itu.
Mereka pernah terpisah selama kurang lebih tiga tahun, ketika insiden itu terjadi. Sedangkan Arumi begitu setia menantikan kepulangan sang pujaan hati.
Akan tetapi, ketika mereka kembali dipersatukan dalam sebuah ikatan percintaan, nyatanya hal itu tidak membuat kisah di antara mereka berjalan dengan semestinya. Mereka bahkan harus mengubur dalam-dalam rencana indah pernikahan yang telah mereka renda saat itu.
Entah takdir seperti apa yang akan mengiringi langkah mereka ke depannya. Entah kenapa mereka kini harus dipertemukan kembali setelah hampir tiga tahun lamanya saling menghindar dan bersembunyi.
Mungkinkah ada rasa rindu dalam diri masing-masing?
"Kamu sudah meminta maaf dulu kepadaku. Jadi ... kamu tidak harus melakukannya lagi untuk saat ini. Lagi pula, aku juga tidak sepenuhnya benar," ujar Moedya dengan datar.
"Maksudmu?" Tanya Arumi.
Tersungging sebuah senyuman kecil di wajah tengil itu. Wajah yang dulu pernah sangat mengganggu bagi Arumi. Wajah si Mr. Charming.
Hujan telah berhenti. Suasana pun menjadi terang kembali. Perbincangan di antara mereka juga mungkin akan segera diakhiri. Entah kapan mereka dapat bertemu lagi dan saling bertatap muka seperti saat ini.
"Aku harap kita bisa jadi teman yang baik," ucap Moedya tanpa melepaskan pandangannya dari Arumi yang saat itu hanya terdiam menatapnya.
Arumi tersenyum lembut mendengar ucapan dari pria itu. Berteman tidak lah akan terasa sulit baginya. Arumi memiliki banyak teman. Dulu ia merupakan gadis yang sangat supel.
Sebuah anggukan pelan pun terlihat darinya. Tidak ada alasan bagi Arumi untuk menolak hal itu. Lagi pula, ia masih memiliki sedikit harapan akan cinta yang mungkin telah lama terlupakan.
Moedya menghabiskan sisa kopinya yang mulai dingin. Ia pun tampak bersiap untuk pergi. Dengan segera Arumi melepas jaket yang sedari tadi melingkar di tubuhnya. Jaket yang menutupi kemejanya yang basah.
Arumi menyodorkan jaket itu kepada Moedya. Pria itu tertegun sejenak dan menatapnya. "Pakai saja!" Ucap Moedya.
"Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi, atau bahkan mungkin ... mungkin kita ...." Arumi menelan ludahnya sendiri. Tenggorokannya tiba-tiba terasa begitu kering. Lidahnya terasa kelu dan ia tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya.
Dengan wajah ragu, Moedya menerima jaket itu. Ia tidak langsung memakainya dan hanya memegangnya. Sesaat kemudian, mereka berdua pun keluar bersama dari dalam kantin itu.
"Terima kasih untuk traktirannya," ucap Arumi dengan sebuah senyuman manis yang mengiringinya. Ia berdiri dan menatap Moedya untuk sesaat.
Hal yang sama pun dilakukan oleh Moedya. Ia menatap balik gadis itu dengan cukup lekat. Moedya seakan tengah mengobati rasa rindunya selama ini. "Sama-sama," sahut pria bertato itu.
Rasa canggung kembali menyelimuti mereka berdua. Sikap kikuk Arumi dan Moedya terlihat lucu saat itu. Akan tetapi, itu semua tidak berlangsung lama. Moedya segera dapat menguasai keadaan. "Mau kuantar sekalian, Arum?" Tawarnya.
Gerbang menuju taman bunga di hati Arumi rasanya terbuka lebar. Ada banyak bunga yang bermekaran di sana, begitu indah dan berwarna-warni. Arumi ingin sekali mengangguk dan mengatakan "iya, tentu saja". Akan tetapi, dengan segera ia tersadar dari keinginannya.
"Tidak, terima kasih. Aku masih ada urusan lain," jawab Arumi. Ia mencari alasan untuk menolak tawaran pria itu.
"Baiklah," balas Moedya. Ia tidak membujuk ataupun memaksa gadis itu untuk ikut bersamanya. Sesuatu yang di luar perkiraan Arumi. Gadis itu sudah terlanjur merasa percaya diri.
"Okay ... nice to meet you, Moe ... Moedya," Arumi mungkin harus berhenti memanggil pria itu dengan sebutan Moemoe.
Semuanya telah benar-benar berakhir. Tidak ada lagi Moemoe dan Miemie yang dulu, yang ada kini adalah Moedya dan Arumi.
Arumi terus melangkahlan kakinya menapaki trotoar yang basah karena hujan tadi. Ada beberapa genangan di sebagian sudut jalan. Ia tidak tahu jika ada sepasang mata yang terus memperhatikan kepergiannya dari jauh, hingga gadis dengan kemeja putih itu tak terlihat lagi.
Menghela napas dalam-dalam, Moedya pun segera memakai kembali helmnya. Ia lalu menaiki motor retronya dan meninggalkan halaman parkir klinik bersalin itu.
Hujan telah benar-benar berhenti dan menghapuskan awan gelap yang menyelimuti langit sore itu. Meski cuaca terasa lumayan dingin, namun setidaknya langit pun kembali terang.
Seperti itulah kehidupan. Ada kalanya kita harus menjalani suatu ketidaknyamanan yang luar biasa. Kesedihan yang teramat dalam dan terasa sangat menyiksa, bahkan mungkin terasa begitu berat dan menakutkan sehingga tak ingin kita ulangi lagi.
Akan tetapi selama masih ada keyakinan di dalam diri, maka kita akan selalu bertahan. Bertahan untuk hari esok. Apa yang terjadi hari ini, belum tentu terulang kembali pada esok hari.
Jika hari ini hujan turun dengan begitu deras, maka mungkin saja esok mentari akan bersinar dengan terik sepanjang hari. Siapa yang tahu dengan jalan takdir Tuhan? Siapa yang dapat menerka masa depan? Kita hanya cukup menjalani kehidupan ini dengan baik, meskipun terkadang tidak selalu semulus apa yang kita harapkan.
......................
Arumi telah kembali ke toko. Di sana ada dua orang gadis yang membantunya. Bukanlah gadis yang dulu bekerja pada Ryanthi, karena mereka kini telah berumah tangga.
Sesuatu yang terasa begitu miris. Secara fisik Arumi jauh di atas mereka. Namun, siapa sangka karena mereka telah lebih dulu dapat menikmati indahnya pernikahan. Sementara Arumi, masih berkutat dalam kesendiriannya.
Itulah keadilan Tuhan. Kecantikan fisik bukan jaminan dalam segalanya, karena nyatanya cinta pun membutuhkan lebih dari sekedar tubuh indah dan wajah rupawan.
Waktu sudah menunjukan pukul enambelas tiga puluh. Saatnya untuk menutup toko. Kedua gadis itu juga sudah bersiap untuk pulang.
Arumi kembali sendirian di dalam toko itu. Sudah hampir dua tahun ia memilih untuk tinggal di sana, meskipun terkadang pulang ke rumahnya yang kini ditempati oleh Keanu dan keluarga kecilnya.
Semenjak kepergian Ryanthi, hidup Arumi terasa kian sunyi. Ia telah kehilangan salah satu idola dalam hidupnya. Entah kepada siapa kini ia akan bercerita dan berkeluh kesah. Entah siapa yang akan menemaninya lagi menatap langit malam dan merasakan keheningannya. Semuanya hanya tinggal kenangan.
Sama halnya dengan kisah cintanya bersama Moedya. Semua telah menjadi sebuah kenangan yang tidak mudah untuk ia hapuskan.
Duduk bersandar pada ranjang kecilnya, Arumi terus memperhatikan foto sang ibu. Diusapnya wajah cantik itu, air matanya pun menetes dengan tanpa permisi.
Arumi sangat merindukan sosok Ryanthi. Ia kini merasakan apa yang Ryanthi rasakan dulu ketika harus kehilangan sosok orang-orang yang dicintainya.
Gadis itu tahu dan sangat menyadari jika perpisahan pasti akan terjadi dalam setiap kebersamaan. Namun ia tidak pernah dapat membayangkan, jika perpisahan itu ternyata memang sangat menyakitkan. Teramat sakit dan rasanya begitu menyesakan.
Sesaat kemudian, Arumi menghapus air mata yang menetes di pipinya. Akan tetapi, entah kenapa karena air mata itu kembali terjatuh.
"Aku gadis yang kuat, ibu. Aku sama sepertimu ...." lirih Arumi. "Aku gadis yang kuat ...." Arumi mengulangi kata-katanya. Akan tetapi, hal itu tidak menjadikan air matanya berhenti. Ia justru malah merasa semakin tersakiti.
Diletakannya foto itu di dadanya. Arumi pun menangis. Tangisan yang terdengar sangat memilukan. Ia tidak peduli seberapa keras ia meratap, karena di sana ia hanya sendiri.
Hanya Tuhan lah yang melihat dan mengetahui, betapa selama ini ia telah berpura-pura untuk menjadi dewasa dan kuat. Kenyataannya, Arumi bahkan tidak dapat mengatasi kerinduannya terhadap mereka yang telah pergi meninggalkannya.
Pertemuannya dengan Moedya telah membuat kabut di dalam hatinya kian pekat. Harapannya yang indah telah benar-benar sirna. Cinta yang ia jaga dan ia simpan baik-baik selama ini, mungkin tidak akan pernah berbalas lagi. Moedya tampaknya sudah menutup pintu hatinya untuk dirinya.
Sebuah penyesalan yang teramat dalam. Sebuah kebodohan yang merusak segalanya. Jika dulu Ryanthi memiliki Adrian sebagai pilar yang dapat menopangnya agar tetap dapat berdiri tegak, lalu saat ini siapa yang Arumi miliki? Gadis itu benar-benar sendiri.
Haruskah ia berharap agar Edgar kembali dan dapat meluruskan semuanya? Entahlah. Ia juga merasa tidak yakin jika hal itu akan dapat mengubah apa yang telah terjadi. Lagi pula, kejadian itu sudah terlalu lama berlalu.
Arumi pun merasa sangat bodoh. Ia fikir jika Moedya akan kembali padanya. Ia mengira jika cinta yang dirasakan pria itu kepadanya, akan dapat membuatnya bertahan. Akan tetapi, Arumi telah salah. Ia terlalu berbangga hati atas rasa cinta yang besar dari Moedya untuknya. Kenyataannya, kini ia hanya dapat meratapi nasibnya, sendirian dan kesepian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!