''Viona, kita makan dulu yu? sudah jam makan siang nih," ajak Alisa.
Viona, yang masih fokus dengan tatapan ke layar laptopnya hanya mengangguk pelan.
Alisa berdiri dan menyambar tas dari atas meja. "Ayo!"
"Iya-iya duluan aja kenapa sih?" sahut Viona, masih tetep fokus ke laptop. Kemudian ia beranjak menggeser kursinya, mengambil handphone miliknya.
Viona adalah sala satu staf di salah satu BANK ternama di kota Surabaya. Di usianya yang menginjak 29 tahun belum juga menikah seperti yang sang bunda atau keluarga inginkan.
Viona anak ke tiga dari keluarga Rosadi dari istri kedua. Setelah istri pertamanya meninggal dunia dan meninggalkan satu putra dari pernikahan sebelumnya, dan dua putri dari pernikahan dengan Rosadi.
Rosadi menikah dengan Asri dan mempunyai satu putri bernama Viona Nurulita. Viona terlahir dari keluarga berada silsilah nya keluarga keturunan konglomerat.
Viona pernah mau menikah dengan seorang yang sangat ia cintai ya itu Hendra, namun hubungan mereka harus kandas dikarenakan Hendra itu ternyata anak tiri ayah Viona, kakak dari kakak Viona dari lain ibu.
Viona sangat shock kala itu. Saat mengetahui bahwa Hendra adalah saudaranya juga, ia sempat mengurung diri selama beberapa bulan. Hingga akhirnya Viona mampu melewati keterpurukannya itu.
Perlahan Viona bangkit, walau sangat sulit untuk melupakan sosok Hendra yang beberapa tahun ia pacari. Orang tua nya sering mengenalkan ia dengan pria-pria tajir pilihan orang tua, namum selalu Viona tolak mentah-mentah dengan beribu alasan.
Kini Viona dan Alisa, mereka sedang duduk manis menunggu pesanan datang. Alisa menyedot minumannya, sementara Viona sedang asyik melamun. "Hi ... jangan melamun? nanti ayam tetangga mati," ucap Alisa sambil senyum-senyum.
Viona melirik lalu menghela napas dalam-dalam. "Apa hubungannya dengan aku melamun?" menatap tanpa ekspresi.
"Hubungannya ... eh Vi, tuh mas Surya dia sedang memperhatikan mu, gak tertarik apa? dia ganteng pengusaha pula,"
"Duda anak satu, orang Yogyakarta, sopan dan apalagi? yang sering kau bilang itu," Viona mengulang kat-kata yang sering Alisa ucapkan padanya.
"Ih ... kamu ini. Apa salahnya sih? Vi, kau sudah dewasa jangan keasyikan sendiri, gak baik. Aku yakin banyak pria yang lebih baik dari Hendra mu itu, lagian dia sudah bahagia dengan pernikahannya, sementara kamu masih gini-gini juga, buka hatimu Vi ...."
Viona hanya diam seakan mendengarkan perkataan Alisa sahabatnya, seorang ibu rumah tangga yang memiliki seorang balita dari perkawinannya dengan seorang pria yang bernama Darma. Darma adalah sahabat Hendra, pria yang sangat Viona cintai.
"Udah? udah ngomongnya! aku mau makan, dan gak butuh di ceramahin." ketus Viona. Sambil menarik piring nya.
Alisa menggeleng. "Vi ... aku sahabat mu, bahkan lebih dari sahabat. Aku ingin kamu bahagia Vi ...."
"Ya ... aku tahu, tapi aku belum menemukan yang cocok Al, doakan sajalah semoga aku menemukan seseorang yang sangat mencintaiku, meskipun aku sendiri tak cinta."
"Loh, kok gitu? bukannya kamu juga harus cinta sama dia," tanya Alisa heran. Dengan ucapan sahabatnya itu.
"Sekalipun aku membencinya, kalau dia sangat mencintai ku, bersabar menghadapi ku, kan bisa saja lama-lama aku juga mencintainya. Intinya dia penyabar dalam menghadapi sikap ku yang manja atau kolokan gitu," sambung Viona sambil memasukan mie goreng ke mulutnya.
"Oke. kalau gitu, aku doakan semoga kamu menemukan pria macam itu, yang bisa meluluhkan keangkuhan mu itu," ucap Alisa lagi.
Makan siang pun selesai, mereka berdua kembali ke tempat kerjanya semula, dan meneruskan tugasnya masing-masing yang mereka tinggalkan sementara waktu.
Viona meneruskan kerjanya yang tadi tertunda. Begitupun Alisa dia kembali sibuk berkutat dengan laptop yang nangkring di depannya.
Tidak terasa waktu terus berputar dan waktunya mereka pulang. Viona membawa mobil sendiri dan Alisa ikut mobil Viona kebetulan jalan pulang meraka satu arah. Jadi, berangkat ataupun pulang selalu bareng.
Di perjalanan, Alisa selalu memberikan wejangan jangan sampai sahabat terbaiknya ini menjadi perawan tua.
"Aish ... kau ini seperti nenek-nenek aja omongannya. Persis mama aku, nenek aku juga ayah ku. Sama, usia ku baru 29 loh, belum 30. Kenapa sih malah kalian yang repot?" Viona heran. Namun matanya tetap fokus ke jalanan.
"Bukannya repot Vi ... tapi kami sangat sayang sama kamu." Alisa merubah posisi duduknya menghadap Viona.
"Iya, terus kenapa kalau jadi perawan tua? sah-sah aja, kan? buat apa menikah kalau cuma bikin repot, bikin kesal. Bikin sakit hati, kamu tahu. Bahwa menikah itu menyatukan dua hati, dua kepala. Ego yang yang berbeda, pemikiran juga," ujar Viona.
Tiba-tiba Viona ngerem mendadak, entah apa yang dia lihat manik matanya tertuju ke suatu tempat ....
****
Bismillah ... Hi ... reader ku semua, ini tulisan ku yang kesekian, semoga lebih banyak lagi yang suka🙏
"Kamu melihat apa Vi?" tanya Alisa heran pada Viona yang ngerem mendadak.
Mata Viona terus saja mengarah pada suatu tempat yang ia anggap ada sesuatu menarik. Netra mata Viona terus saja menatap tek berkedip ke arah seseorang yang nampak bahagia dengan keluarga kecilnya.
Viona berkali-kali menelan saliva, ada rasa sakit yang menyiksa. Ada suatu yang menyesakkan dada, di matanya terlihat genangan demi genangan air yang siap berjatuhan melintasi pipi.
Tidak lama tangisnya pecah, menangkupkan kedua tangannya di wajah. Ia menangis sangat pilu, jelas Alisa kebingungan dibuatnya. Kemudian Alisa menangkap pemandangan yang mungkin itu, sehingga tangis Viona pecah seketika.
Alisa menarik bahu Viona agar mendekat ke pelukannya. "Jangan, nangis. Kamu tidak boleh menangisi orang yang kini sudah bahagia dengan orang lain, kamu harus mencari kebahagiaan mu sendiri Vi."
Alisa terus mengusap lembut punggung Viona, sahabatnya.
"Kenapa sesakit ini rasanya Al? sakit dada ku sakit ... melihat orang yang aku cintai bersama wanita lain."
"Vi, sadar ... dia itu saudara tiri mu, kamu harus berusaha membuang rasa itu. Hempaskan, buang jauh-jauh, rasa itu tak pantas ada di hati mu Vi. Kamu harus bangkit, cari pengobatannya. tunjukkan kalau kamu bisa bahagia." Ujar Alisa dengan semangatnya menasehati sahabatnya, Viona.
Viona perlahan tenang dan menghentikan tangisnya. Ia menegakkan duduknya, mengusap pipi yang kena banjir air mata. "Oke. Kita pulang."
"Yakin bisa bawa mobil?" tanya Alisa ragu dengan keadaan Viona yang kalut.
"Bisa, lah. Masa enggak," sahutnya sambil bengong seraya berpikir. "Ya ... udah, kamu sajalah yang bawa. Aku malas."
"Oke, kamu geser. Aku mau keluar." Alisa keluar, brugh! menutup pintu dan mengitari mobilnya Viona untuk menggantikan Viona menyetir.
Di perjalanan, Alisa menoleh Viona yang duduk bersandar. Dengan tatapan kosong ke depan.
"Aku antar kamu duluan, sementara aku gimana pulangnya?" tanya Alisa.
"Bawa saja mobil ku," gumam Viona.
"Oke," gumam Alisa mengangguk pelan dengan pandangan fokus ke depan.
Tak selang lama, mobil pun sampai di pekarangan rumah orang tua Viona. Viona pun turun, setelah menutup pintu.
"Al, bawa aja mobilnya. Besok aku ambil mobilnya." Kata Viona dan langsung berjalan dengan gontai menuju pintu.
"Baru pulang, Non?" sapa Bi Ijah, asisten rumah itu.
"Belum Bi," sahut Viona sambil nyengir.
"Si Non, bisa saja." Sambung bi Ijah.
"Bi, kalau mama atau papa nanyain bilang aja aku tidur, gak ada yang bisa ganggu." Pesan Viona sambil jalan gontai, menuju kamarnya dan menjinjing tas nya.
"Baik, Non," sahut bi Ijah. Kemudian menutup pintu, yang sebelumnya celingukan. Melihat mobil Viona gak ada.
Viona menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur yang empuk itu. Dengan menatap langit pikirannya melayang, mengingat apa yang tadi ia lihat. Membuat air mata yang hangat mengalir di sudut matanya membasahi pipi atas telinga.
Sekitar pukul 19. lewat, bu Asri dan pak Rusadi juga oma Yani sedang makan malam, mata keduanya celingukan mencari keberadaan Viona yang tidak muncul juga di meja makan.
"Bi, Viona mana? kok gak ada makan malam, dia pulang, kan?" selidik pak Rusadi pada bi Ijah.
"Iya, tadi sih Mama juga lihat bayangannya, tapi sampai sekarang gak lihat lagi." Timpal bu Asri sembari mengambilkan makan buat sang suami.
"Iya, tadi ... katanya capek pengen istirahat dan tidak mau di ganggu siapa pun." Jawab bi Ijah yang tengah mencuci perabotan di wastafel.
"Hem, Papa harus segera bicarakan tentang Dewo yang ingin meminangnya itu." Gumam pak Rusadi.
"Ya ... omongin aja Pa, aku juga sedih lihat dia masih sering murung. Mamah juga ingin sekali melihat dia segera menikah--"
"Ibu juga, pastinya Asri. Ingin segera menimbang uyut dari Viona. Masa mau jadi perawan tua?" timpal bu Yani memotong perkataan anaknya, Asri.
Selesai makan, Rusadi dan Asri mendatangi kamar Viona yang adanya di lantai atas. sesampainya di atas tepatnya depan pintu kamar Viona. Bu Asri mengetuk pintu beberapa kali.
Tok ....
Tok ....
Tok ....
"Sayang, Mamah dan papah mau bicara sebentar?" pekik bu Asri.
Mendengar pekikan suara sang bunda, Viona menggeliat Malas. Bangun dan menatap daun pintu. "Ck, ada apa lagi sih?" mengusap kasar wajahnya dan menggosok kelopak matanya.
Dengan ragu Viona turun menapaki lantai, setelah sang bunda berapa kali memanggil. Blak!
Pintu, Viona buka dan nampak lah papah dan mamahnya berdiri. "Ada apa sih Mah?"
"Sayang ... masa sih jam segini sudah tidur? belum makan, lagi!" kata bu Asri yang langsung masuk bersama sang suami.
Viona mengikuti dari belakang kemudian duduk di sofa yang yang ada di sana. Dengan muka bantal, Viona mengusap wajahnya.
"Vi, gimana? bersedia, kan? menerima lamaran, Nak Dewo?" tanya pak Rusadi dengan tatapan penuh harap.
"Iya, sayang. Mau sampai kapan kamu terpuruk begini, cari kebahagiaan mu Vi, sudah waktunya kamu memiliki pendamping hidup. Jangan sendiri melulu." tambah bu Asri.
"Vi, bahagia kok dengan begini," jawab Viona sambil membuang pandangan entah ke mana.
Asri dan Rusadi saling bertukar pandangan. "Vi, Papah sudah tua dan sering sakit-sakitan, kami ingin segera melihat kamu menikah. Punya pendamping hidup yang menyayangi mu dengan tulus," ujar Rusadi matanya pun berkaca-kaca.
"Pa ... Vi belum ingin menikah, apalagi calon. Aku masih ingin sendiri dan aku bahagia kok!" sahut Viona menyakinkan.
"Nak ... usia mu sudah berapa sekarang? sudah cukup umur untuk menikah bahkan memiliki momongan. Calon, biar Papah yang carikan. Sekarang aja Dewo siap melamar mu sayang." Suara Asri begitu lirih dan menggenggam tangan Viona.
"Tapi, Mah ... Vi gak sreg sama Dewo pilihan Papah itu!" netra mata Viona bergerak melihat ke arah sang ayah.
"Kalau kamu gak mau sama Dewo, oke ... ini Papah punya data pria yang mapan dan siap meminang mu kapan saja." Rusadi menunjukkan beberapa data pria yang terbilang muda dan pengusaha pada Viona.
Setelah beberapa saat Viona teliti, namun tak satupun dari semua itu yang sreg dengan hatinya. Sampai detik ini, cintanya masih untuk seorang Hendra. Anak tiri dari sang ayah.
"Tidak, aku tidak tertarik Pa ... aku gak mau." Viona menggeleng, hatinya begitu dingin pada pria lain. Jangankan dengan pilihan orang tua yang belum pernah ia kenal, pria yang secara langsung mendekatinya saja, Viona tetap gak tertarik sama sekali.
Asri menarik napas dengan panjang. Melihat ke arah suaminya yang menggeleng-geleng.
"Terus, mau kamu laki-laki seperti apa sih Vi?" Rusadi menatap tajam.
"Aku gak mau yang gimana-gimana Pa," Viona menundukkan pandangannya.
"Kalau begitu, Papah akan putuskan sendiri, dan kamu harus mau. Siapapun pilihan Papah." Dengan nada agak tinggi.
Viona mendongak dan menggeleng. "Vi, belum ingin menikah titik!"
"Papah gak perduli, kamu harus menerima pinangan Dewo." Sambung Rusadi.
"Apalagi Dewo, aku gak mau. Aku tau siapa dia yang sering ganti-ganti pasangan dan juga hobi nongkrong di Bar. Ogah." kekeh Viona yang semakin merasa di kekang.
"Ehem," suara dehem dari seseorang yang sedang berdiri di depan pintu ....
****
Salam Dari SKM ya. Semoga suka juga dengan novel ini.
"Sekarang ... kalau kamu gak mau di jodoh-jodohkan. Cari sendiri, laki-laki pilihan mu itu dan bawa ke sini." Suara oma yang baru muncul dekat pintu kamar Viona.
"Oma, Vi belum ingin menikah." Rajuk Viona lesu.
"Sayang ... Oma ingin ... sekali melihat Vi ada yang jaga. Menyayangi Vi, membahagiakan kamu juga. Salah gak kalau kami ingin seperti itu sayang?" lirihnya oma Yani yang duduk dan mengusap bahu sang cucu kesayangannya.
Viona terdiam, tetap hatinya menolak. Kata menikah! ia tidak ingin menikah, terkekang. terbatasi dll. Dalam hati kecilnya ia menyalahkan, kenapa kejadian kemarin harus menimpanya. Sehingga inilah hasilnya.
Coba, kalau ia tahu kalau Hendra itu kakak tirinya. Gak mungkin jatuh cinta yang sedalam ini, gak mungkin juga sampai berencana nikah? yang akhirnya Viona menggerutu ki dirinya sendiri.
Bu Yani dan Asri, serta mantunya pun diam, hanya matanya yang saling pandang satu sama lain.
Viona menghela napas dalam-dalam, Menatap tajam kedua orang yang ada di hadapannya itu. "Baiklah akan Vi pikirkan. Beri Vi waktu ya, Oma."
Mereka saling pandang dan mengangguk. "Baiklah kalau begitu, Papa tunggu." Kemudian orang tua dan Oma Yani pergi meninggalkan Viona sendiri di kamar.
Setelah mereka melintasi pintu. Viona mengunci pintu, lalu ia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Pandangannya jauh dan kosong, pikirannya melayang. "Harus kemana? aku mencari pria yang mau menikahi ku, tapi bukan pria tajir ataupun berpendidikan tinggi agar secepatnya di tentang oleh orang tua ku, namun aku kekeh dan akhirnya pernikahan ku tidak berlangsung lama."
Viona tersenyum lebar. Merasa itu adalah ide bagus, kebetulan besok hari libur dan Viona berencana bermain ke tempat Alisa. Siapa tahu mau membantu masalahnya itu.
Akhirnya ia tak mampu membuka mata lagi. Rasa kantuk begitu berat menghinggapi matanya sehingga tak ayal Viona pun langsung tertidur kembali dengan nyenyak.
Pagi-pagi, Viona sudah bangun dan melakukan joging di halaman rumah. Berlari kecil di jalan kompleks.
Banyak laki-laki yang mengikutinya berjoging. Sambil merayu-rayu gitu, mendekati. Kadang ada juga yang berani kurang ajar. Nyolek-nyolek dan tanpa ragu Viona suka dengan refleks memukul atau menendang kaki itu pria.
"Gila, nih perempuan! sudah perawan tua galak lagi. Ha ha ha ... emang enak jadi perawan tua. Alot woy alot," ucap seorang pemuda yang menjauhi tempat tersebut. Berteriak-teriak.
Viona tambah marah. Giginya mengerat, rahangnya mengeras. Tangan pun mengepal, bersiap memukul seseorang. Namun mereka malah menjauh sebelum kena amukan dari Viona.
Dengan hati kesal, marah. Viona pulang, langsung bersih-bersih. Setelah rapi, mengenakan jam tangan dan memasukan ponsel ke dalam tas kesayangannya.
Kemudian bergegas menuruni anak tangga menghampiri meja makan untuk sarapan. "Bi, saya mau ke tempat Alisa ngambil mobil. Kalau ada yang nanyain bilang aja gitu."
"Iya, Non nanti bibi sampaikan." Bibi mengangguk.
Viona menghabiskan makannya, lalu meneguk air putih sampai tersisa setengahnya. "Emang pada ke mana?"
"Tuan, masih di kamarnya, Non. Kalau nyonya belanja sama oma," sahutnya bibi lagi.
"Papa sudah sarapan tapi?" menatap kembali.
"Sudah, Non," jawab bibi sambil membereskan bekas makan Viona.
"Oke. Saya pergi dulu!" Viona menyambar tas nya. Kemudian melangkah pergi dengan tujuan tempat Alisa.
Langkahnya membawa dia ke depan, menghampiri taksi yang sudah menunggu dirinya. "Ke jalan xx pak!"
Supir mengangguk, taksi pun segera tancap gas ke tempat yang Viona minta. Viona menyandarkan punggungnya ke sandaran jok. Pandangannya tembus keluar jendela melihat kendaraan lain yang berlalu lalang, sepertinya mau liburan. Secara hari minggu gitu.
Sesampainya di tempat Alisa. Viona turun, menginjakkan kaki di pekarangan rumah Alisa dan Darma.
Brugh!
Alis tutup pintu taksi. "Eh ... maaf Pak?" ucap Viona. Dan memberikan uang buat ongkos taksinya.
Taksi pun mundur dan memutar balik. Setelah mengantar penumpangnya dengan selamat.
Netra mata Viona mengamati rumah tersebut yang nampak sepi. "Pada ke mana sih? sepi amat, tapi mobil Darma ada. mobil aku juga ada!"
Tok ....
Tok ....
Tok ....
Viona berdiri di depan pintu dengan mata terus menyapu suasana sekitar yang tampak asri, sepi dan nyaman.
Punggung jari Viona bersiap mengetuk kembali namun terdengar suara seseorang.
"Eh ... kepala aku nih kepala, mau main ketok aja." Suara Alisa yang nongol dari balik pintu.
"He he he ... sorry, aku kira masih belum ada yang buka Ibu." Viona nyengir memperlihatkan gigi putihnya.
"Nggak usah nyengir. Kaya iklan pasta gigi aja kau ini, kamu sudah sadar? tidak seperti kemarin itu, nangis-nangis gak jelas gitu?" ucap Alisa sambil menempelkan punggung tangan di kening sahabatnya itu.
Viona menepis tangan Alisa. "Apaan sih? orang sadar kok. Enak aja di bilang gak sadar." Viona menyelusup kedalam rumah tersebut, melewati Alisa yang berdiri di pintu.
"Aish ... nih anak main nyelonong aja," ucap Alisa sambil mengekor dari belakang.
"Kok, sepi sih?" gumamnya Viona, mengamati setiap sudut rumah Alisa.
"Mas Darma masih tiduran sama baby. Barusan aku lagi Nyuci." Alisa menuangkan air minum untuknya dan juga Viona.
"Hem ... lagian kamu gak ada pembantu!" tambah Viona kembali.
"Siapa bilang? ada Beby siter, kalau gak menjaga anak, ya ... mengerjakan pekerjaan rumah juga," Sambung Alisa.
Keduanya duduk di sofa ruang tamu. Mereka berbincang dari timur sampai ke utara, barat dan selatan. "Kamu sudah sarapan belum? tanya Alisa menatap sahabatnya itu.
"Aku, sudah dong." Jawab Viona sambil mesem.
"Siapa sayang yang datang?" suara Darma yang baru muncul dengan muka bantalnya, dan rambut yang acak-acakan.
"Ini Viona, Mas. Mau ngambil mobil serta mau ngerecokin kita, maklum orang gak punya pasangan. Jadi ndak ngerti kita yang yang ingin menghabiskan waktu bersama, ha ha ha ...."
Viona mendelik, melotot dengan sempurna pada Alisa. "Nggak boleh, aku ke sini? oke. Aku akan pulang lagi."
"Ya udah, sana!" sahut Alisa sambil tertawa.
"Baik, aku akan pulang. Tapi ... nanti sore," jelas Viona sambil merebahkan dirinya di sofa.
Alisa dan Darma saling pandang sambil tersenyum. Mereka sudah tidak aneh dan tidak canggung dengan Viona, dia mau ngapain juga silahkan. Suka-suka dia.
Viona melirik pasangan suami istri itu, yang duduk berdempetan. Sesekali saling rangkul. "Ponakan ku mana?"
"Belum bangun, masih nyenyak dia." Jawab Darma sembari menunjuk kamar dengan dagunya.
"Hem ... kalian kalau mau ngapa-ngapain, silakan aja. Aku gak pa-pa! nanti dianggap pengganggu lagi." Ketus Viona sambil tiduran di sofa menonton televisi.
Alisa dan Darma beranjak dari duduknya. "Vi, kamu gak punya televisi ya? di rumah, miskin amat sih loh!" Sambil langsung ngeloyor pergi.
"Ha. Ih nyebelin, pergi sana ah. Aku lagi posisi wienak nih." Gumam Viona, kembali memfokuskan pandangannya ke televisi.
Beberapa saat kemudian. Suara bel rumah berbunyi. "Aish ... siapa sih? ganggu aja, gak yang punya rumah. Nggak tamu ganggu aku aja!" Viona pun akhirnya beranjak langkahkan kakinya menuju pintu ....
****
Salam dari BSH "Bukan Suami Harapan"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!