Pasir putih itu dingin di bawah telapak kaki Shannara, kontras dengan hangatnya matahari yang perlahan tenggelam, mewarnai langit dengan jingga dan ungu yang menyala. Ia berdiri di tepi pantai, deburan ombak seolah berbisik menahan niatnya. Di sampingnya, Sergio tampak begitu memesona, kemeja linen putihnya tersibak diterpa angin laut, senyumnya yang sempurna selalu terasa seperti janji akan kebahagiaan abadi.
Namun, bagi Shannara, kebahagiaan itu terasa seperti istana pasir yang indah, tapi rapuh dan pasti akan hancur diterjang ombak.
Angin sore menerpa wajah Shannara, membawa dingin yang seolah menembus tulang. Ia menoleh pada Sergio, kekasih yang sebentar lagi harus ia lepaskan. "Gio…" Shannara memulai, suaranya tercekat. Ia sudah berlatih kalimat ini ratusan kali di depan cermin, tetapi kini, di hadapan mata teduh itu, semuanya terasa mustahil.
Sergio menoleh matanya teduh dan penuh perhatian. Ia tersenyum, senyum itu sempurna, dan justru itu yang menyakitkan.
"Ya, Sayang? Kenapa? Dari tadi kamu gelisah banget. Mau cerita?" Ia menggenggam tangan Shannara, jemarinya yang hangat dan kuat menyalurkan rasa aman yang justru membuat Shannara semakin terluka.
Shannara menarik napas gemetar. Ia harus melepaskan genggaman itu. "Aku … Kita perlu bicara serius, Gio. Soal kita."
Sergio tertegun. Genggaman tangannya mengendur. Ia menatap Shannara, keraguan dan sedikit rasa takut mulai muncul di matanya. Sergio mulai merasakan perubahan suasana. Senyumnya luntur, tergantikan kerutan samar.
"Aku juga mau ngomong serius. Tapi please, aku duluan. Ini udah aku siapin dari lama banget."
Ia melepaskan genggaman tangan Shannara, lalu merogoh saku celananya. Detik itu juga, waktu terasa berhenti. Shannara melihat kotak beludru kecil yang dikeluarkan Sergio, berkilauan tertimpa cahaya senja. Jantung Shannara berdebar kencang, pertempuran batin berkecamuk di dadanya. Tidak, jangan sekarang. Kumohon.
Sergio berlutut di pasir, mengabaikan ombak kecil yang sesekali menyentuh kakinya. Matanya menatap Shannara, penuh janji dan harapan.
"Nara. Lima tahun. Itu bukan waktu sebentar. Kamu tahu, kamu itu segalanya buat aku. Tempat aku pulang, semangat aku. Kita adalah takdir. Aku cinta kamu, melebihi apa pun di dunia ini."
Ia membuka kotak itu. Cincin berlian itu tampak begitu murni di bawah cahaya senja.
"Shannara Althea ... lima tahun kita bersama. Dan dalam setiap waktu itu, aku semakin yakin bahwa aku ingin menua bersamamu. Jadilah pendamping hidupku, Nara. Menikahlah denganku."
Air mata Shannara langsung tumpah, bukan air mata bahagia, melainkan air mata keputusasaan yang pahit. Ini adalah mimpi yang selama ini ia tepis, kini terwujud di hadapannya, namun terasa seperti jurang yang menganga.
"Gio..." bisiknya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Tolong, bangun dulu."
Sergio tertegun. Senyumnya lenyap, digantikan kerutan cemas di dahinya. Ia bangkit, pandangannya menuntut penjelasan.
"Kenapa? Kamu nggak suka model cincinnya? Kita bisa cari yang lain, sayang. Bilang aja. Ada apa, Nara?" tanyanya cemas.
Shannara menggeleng, air matanya tak terbendung. Ia memaksakan diri mundur selangkah, menjauh dari kehangatan Sergio.
"Nggak ada yang salah sama cincinnya. Nggak ada yang salah sama kamu. Kamu … kamu itu hadiah terbaik yang pernah tuhan kasih ke aku. Kamu sempurna. Dan justru karena itu…”
Ia mendongak, menatap mata Sergio yang kini dipenuhi kebingungan dan kekecewaan yang samar
"...Aku nggak bisa terima."
Kotak beludru di tangan Sergio terasa berat, seolah berisi seluruh harapannya yang runtuh. "Apa? Kamu … tolak aku? Seriously? Setelah lima tahun kita bareng? Tapi, kenapa? Kamu nggak cinta lagi sama aku?" Suara Sergio terdengar parau, tak percaya.
"Aku mencintaimu!" Shannara menjerit, sedikit lebih keras dari yang ia inginkan. "Aku sangat mencintaimu, Gio. Lebih dari diriku sendiri. Dan karena aku mencintaimu ... aku harus pergi."
"Omong kosong! Ini gila!" Sergio meraih pergelangan tangan Shannara, matanya menatap dengan tajam. "Jangan ngomong yang nggak masuk akal! Kalau cinta, ya harusnya kita menikah! Apa yang bikin kamu mau ninggalin aku? Aku bisa kasih semua yang kamu mau!"
Shannara menggeleng kuat. "Justru itu masalahnya! Kamu bisa kasih segalanya! Tapi aku? Aku nggak bisa kasih apa-apa buat kamu, bahkan nama baik."
Ia menarik diri dari sentuhan Sergio, lalu mundur selangkah. Ia harus mengucapkan ini, sekali pun kata-kata ini akan membunuhnya.
"Kamu adalah anggota keluarga Adhitama! Keluarga terhormat! Ayahmu dikenal, ibumu dikagumi banyak orang. Sedangkan aku? Aku hanya Shannara, anak dari seorang wanita yang pernah bekerja di jurang gelap dunia malam! Kamu pikir keluargamu akan menerimaku?!"
Sergio menggebrak udara dengan tangannya. "Sialan! Terus kenapa?! Nara, aku tidak mengerti. Kita telah melalui begitu banyak hal bersama. Aku tidak peduli dengan masa lalumu, atau siapa keluargamu. Aku mencintaimu karena kamu adalah kamu."
"Tapi dunia tidak sesederhana itu, Gio. Kamu boleh tidak peduli, tapi keluargamu akan peduli. Orang-orang akan berbicara. Mereka akan mengingatkanmu bahwa aku hanyalah anak dari seorang wanita yang ... pernah terjerat dalam dunia kelam.”
"Kamu pikir aku akan membiarkan mereka menilai kita seperti itu? Aku akan melindungimu. Aku tidak pernah menilai seseorang dari masa lalunya, Nara."
Shannara tersenyum getir "Ya, aku tahu. Tapi mereka akan menilaimu karena memilihku. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu kehilangan rasa hormat dari keluargamu, atau pandangan baik dari dunia di sekitarmu.:
Sergio terdiam. Ia menatap Shannara lama, matanya mulai berkaca-kaca.
"Itu masalahnya. Sayang, kamu terlalu memikirkan apa kata orang. Aku hanya ingin kamu tahu ... aku siap menanggung segalanya demi kamu."
"Dan aku tidak ingin menjadi beban yang harus kamu tanggung. Cinta seharusnya membuat seseorang ringan, bukan terbebani, Gio."
"Aku tidak pernah berkata itu beban, maksudku ... bukan itu."
Angin semakin kencang. Senja berganti ungu.
Shannara menunduk, suaranya nyaris tak terdengar.
"Maafkan aku, Sergio..."
"Aku mencintaimu, Nara. Apa itu saja tidak cukup?"
"Tidak, Gio. Cinta saja tidak cukup ketika dunia menolak keberadaan kita. Maafkan aku yang telah berani mencintaimu..."
Hening. Hanya suara ombak dan hembusan angin yang terdengar di antara mereka.
Shannara menatapnya untuk terakhir kali. Tatapan yang penuh cinta, tapi juga perpisahan.
"Maafkan aku..."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Sergio yang masih berdiri dengan cincin di tangannya, terpaku menatap punggung perempuan yang baru saja menghancurkan hatinya demi melindunginya dari dunia yang kejam.
Ombak datang, membasahi pasir di tempat Sergio berlutut tadi, menghapus sisa jejak dua insan yang pernah berjanji untuk selalu bersama.
Delapan Tahun Kemudian
Suara dentuman musik dari dek atas samar-samar terdengar, bercampur aroma laut dan alkohol. Lampu-lampu pesta memantul dari kaca jendela koridor, membuat bayangan tubuh Shannara tampak menari di dinding sempit kapal pesiar The Siren’s Dream.
Ia baru saja menyelesaikan shift malamnya. Pundaknya pegal, langkahnya berat, matanya hanya ingin menutup. Tapi pesan itu datang.
"Ra, aku butuh bantuanmu. Tamu di kamar 308 A mabuk berat dan menumpahkan anggur di seluruh karpet. Tolong, bantu aku bersihkan sebelum dia bangun. Aku harus menjaga buffet malam."
Nara mengerutkan dahi.
308 A? Itu kamar kelas VVIP, jarang sekali staf biasa bisa masuk. Tapi Risa selalu bisa saja punya alasan.
"Kamu yakin nggak apa-apa aku yang masuk? Takutnya privasi tamu, Ris."
"Aman kok! Aku udah izin. Orangnya udah tidur. Cuma tumpahan di karpet aja, tolong ya."
Nara mengernyit. Risa dikenal perfeksionis dan jarang meminta tolong. Tapi solidaritas di antara kru kapal adalah aturan tak tertulis, tak ada yang meninggalkan rekannya dalam masalah.
Nara tiba di depan kamar 308A. Mengetuk pelan.
Satu kali. Dua kali. Tak ada jawaban.
Ia menempelkan kartu kunci master. Bunyi klik kecil terdengar.
Kamar itu gelap, hanya diterangi sedikit cahaya rembulan yang menembus jendela kapal. Bau alkohol menusuk hidung, bercampur dengan aroma parfum pria yang kuat dan musky. Namun, alih-alih kekacauan tumpahan anggur di karpet, karpet beludru itu bersih, bahkan debu pun tak tampak.
Sunyi.
Terlalu sunyi.
Nara melangkah masuk lebih dalam walau ia setengah ragu. "Risa...? Ini bener kamar yang kamu maksud?" Gumamnya
Nara merasa firasat buruk. Ia baru saja akan berbalik, meyakini ini hanyalah lelucon murahan Risa, ketika matanya menangkap sosok di ranjang king size. Seorang pria telentang, pakaiannya setengah terbuka, napasnya berat dan tak beraturan. Jantung Nara tiba-tiba berdebar kencang. Ia mengenali profil itu. Postur tubuh yang tinggi atletis, garis rahang yang tegas meski sedang terpejam, sosok itu adalah bayangan dari masa lalu yang ia kubur dalam-dalam selama enam tahun.
Sergio.
Mantan kekasihnya, kini ada di hadapannya, tak berdaya di ranjang mewah sebuah kapal pesiar yang mengarungi lautan. Pria yang ia tolak lamarannya, pria yang kini sudah menjadi suami dari seorang socialite terkenal.
Nara menelan ludah, siap melarikan diri, seolah keberadaan Sergio adalah racun yang akan melumpuhkannya. Namun, saat ia melangkah mundur, ia merasakan alas sepatunya menapak sesuatu yang lengket di lantai marmer. Bukan anggur, melainkan cairan bening. Ia terpeleset, dan dalam refleksnya yang buruk, ia meraih apa pun yang terdekat dan itu adalah tepi ranjang.
"Akh"
Suara kecil itu cukup untuk membangunkan Sergio.
Pria itu bergerak lambat, seperti zombie yang baru dihidupkan. Matanya terbuka, tapi pandangannya kosong dan merah. Ia tidak melihat Nara, ia melihat kegelapan. Ia menggumamkan nama seseorang, bukan Nara, melainkan nama lain yang samar.
Dalam gerakan yang sama sekali tidak disadari dan terdesak, Sergio meraih pergelangan tangan Nara.
"Kamu kembali," gumam Sergio dengan suara serak, cengkeramannya kuat, digerakkan oleh dorongan yang tidak murni berasal dari pikirannya sendiri. Bau obat yang aneh baru disadari Nara, bercampur dalam napas Sergio, seolah dia sudah diberi ramuan yang merusak akal sehatnya.
"Jangan pergi, Nara…" Suara Sergio terdengar memaksa, putus asa. Matanya memancarkan gairah yang tidak wajar, seperti nyala api yang tersulut paksa. Obat perangsang yang sengaja diberikan oleh seseorang telah bekerja, membakar kendali diri pria itu hingga tak tersisa.
Nara melawan "Lepaskan, tuan. Anda mabuk."
Namun, ia hanyalah seorang wanita dengan postur biasa melawan pria yang sedang dirasuki hawa nafsu dan obat. Ia didorong keras ke atas ranjang. Teriakan tertahan di tenggorokannya, berubah menjadi erangan sakit.
"Ahk! Tolong berhenti, SAKIT!"
Itu pertama kalinya bagi Shannara. Rasa sakit yang luar biasa, fisik dan emosional, menghantamnya seperti ombak badai. Dalam keputusasaan yang dingin dan memuakkan, dunia di sekelilingnya memudar. Gelombang rasa sakit itu terlampau besar, hingga akhirnya, kesadaran meninggalkannya.
Ketika Nara membuka mata, kamar itu sunyi dan gelap. Sinar tipis fajar menyelinap dari balik tirai tebal. Tangan seorang pria memeluknya dari bekalang, rupanya Sergio masih tertidur pulas itu patut Shannara Syukuri
Memori tentang kejadian semalam menghantamnya, dingin dan kejam. Ia merasakan setiap inchi tubuhnya perih, memar, dan kotor. Air mata tidak keluar, mungkin ia terlalu terkejut untuk menangis. Yang ia rasakan hanyalah kehampaan dan kebutuhan mendesak untuk melarikan diri.
Nara bangkit, rasa sakit menusuk di setiap gerakan. Ia merapikan pakaiannya yang compang-camping secepat mungkin dan berlari keluar dari kamar 308A. Ia tidak peduli jika bertemu siapapun, ia hanya ingin menghilang.
Pergelangan tangannya terasa panas. Ia melihat bekas genggaman Sergio yang menghitam dan memar. Bukan hanya itu saja, tubuhnya di penuhi oleh bekas ciuman dan gigitan, itu menjadi bukti bisu dari kebrutalan tadi malam
Ia membuka pintu, langkahnya tergesa-gesa. Dan saat ia menutup pintu 308 A, ia langsung menabrak seseorang.
"Nara"
Itu adalah Bayu, suami Risa, yang bekerja sebagai petugas keamanan di kapal ini. Pria itu menatapnya dengan ekspresi terkejut dan berubah cepat menjadi khawatir. Mata Bayu langsung tertuju pada memar di leher Nara, lalu ke pergelangan tangannya. Baju yang Nara pakai juga terlihat kusut dan sebagaian kancing lepas.
"Kamu ... kenapa keluar dari kamar itu?" tanya Bayu, suaranya pelan, menyembunyikan senyum puas yang tipis.
Nara menunduk, tidak sanggup menatap Bayu. "Tidak ada. Aku hanya ... salah kamar, aku mau ke kamar 303 katanya ada yang salah dengan minibar-nya." Jawabnya terbata.
"Aku baru saja menerima panggilan mencurigakan dari lantai ini. Dan sekarang, aku melihat seorang pelayan keluar dari kamar VIP. Kamar 308 A. Kenapa kamu keluar dari kamar itu, Nara? Salah kamar ... itu gak masuk akal, 'kan? Kamu tidak berkaca sebelum keluar? Lihat penampilanmu yang kacau ini. Nara, Katakan dengan jujur padaku apa yang terjadi didalam, hm?"
Mundur selangkah "Tidak ada yang terjadi, aku baik-baik saja. Aku harus segera kembali ke kamar.”
Bayu Mencengkeram lengan Nara, sentuhannya kasar dan dingin
Ah
"Tidak. Kamu tidak akan ke mana-mana. Masalah ini harus di selesaikan sebelum Kapten melihatmu. Ikut aku. Risa mencarimu, dia khawatir."
Nara, dalam keadaan linglung dan syok, hanya bisa mengikuti. Tubuhnya terasa berat dan rapuh.
Di kamar staf mereka yang sempit, Risa sudah menunggu. Ia melompat dari ranjang, air mata palsu langsung memenuhi pelupuk matanya.
"Ya Tuhan, Nara! Apa yang terjadi?" Risa memeluknya, pelukan yang terasa seperti belitan tali. Ia mengusap punggung Nara, tetapi pandangan matanya kejam. "Bayu sudah cerita. Siapa pria itu? Katakan padaku! Kurang ajar! Dia sudah menyakitimu."
Nara menarik diri "Sudahlah ... aku tidak mau bicara, yang jelas aku baik-baik saja. Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin tidur."
Nara hanya berdiri kaku. Ia menatap cermin di kamar itu, dan barulah ia menyadari betapa mengerikannya penampilannya. Pakaiannya kusut, rambutnya acak-acakan, dan yang paling mencolok, ada banyak memar kebiruan di leher, bahu, dan lengan. Di pergelangan tangan kirinya, terlihat jelas bekas genggaman yang menghitam.
"Nara, ini serius. Klien itu... dia orang kaya. Apa pun yang terjadi, itu bisa jadi bumerang untukmu. Reputasimu hancur. Apalagi kalau ketahuan dia sudah menikah." Ujar Bayu
Rita mengangguk "Dengar, Nar. Aku tahu kamu pasti syok. Tapi ini aib. Kamu pelayan, dia tamu VIP. Istrinya seorang selebriti. Jika kamu melapor, kamu yang akan dituduh merayu, atau lebih buruk lagi, memeras."
Mereka berdua membujuknya, menggunakan kata-kata aib, reputasi, dan karir sebagai senjata. Mereka menekannya untuk diam, padahal Nara memang tidak berniat melapor. Sergio adalah bagian dari masa lalunya, dan membuka kasus ini sama saja dengan menghancurkan segalanya—untuk Sergio, untuk istrinya, dan yang paling ia takuti, untuk dirinya sendiri.
"Aku akan menutup mulutku," janji Nara, suaranya nyaris berbisik. "Aku akan anggap tidak pernah terjadi apa-apa."
Risa berpura-pura lega. "Bagus, Ra. Itu keputusan yang bijak. Kamu tidak boleh menghancurkan masa depanmu."
Saat itu juga Risa menawarkan solusi yang terasa seperti jebakan kedua. "Tapi... kita tidak bisa membiarkanmu begitu saja. Aku akan coba bicara baik-baik dengan pria itu. Meminta sedikit ganti rugi. Untuk biaya pengobatan, untuk trauma ... ya, anggap saja ganti rugi kecil, agar dia tidak mengulangi ini pada staf lain."
Nara langsung menolak, nada suaranya tegas. Ia tidak butuh uang yang berlumuran dosa tak termaafkan itu. "Tidak! Jangan. Tidak perlu!” Nara menahan Maya yang pura-pura akan pergi. "Aku tidak butuh uangnya. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti semula. Aku tidak butuh ganti rugi, Ris. Kumohon, biarkan saja"
Risa menghela napas, seolah ia benar-benar peduli. "Baiklah, kalau kamu gak mau. Tapi aku akan coba, demi persahabatan kita," ujarnya, Membiarkan kalimat itu menggantung, sebuah manipulasi halus.
Nara lelah untuk berdebat. Ia hanya mengangguk pasrah, terlalu hancur untuk menyadari bahwa kepasrahan itu adalah izin yang Risa butuhkan.
Di balik punggung Nara, saat ia sudah tertidur di ranjangnya, Risa dan Bayu saling bertukar senyum tipis, senyum kemenangan yang keji. Rencana mereka telah berjalan mulus. Jebakan panggilan tengah malam dan penggunaan Bayu sebagai saksi kunci—semuanya terkendali.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!