NovelToon NovelToon

TEARS OF KUMARI KANDAM

CHAPTER 1

...CERITA INI HANYALAH FIKTIF BELAKA....

...JIKA TERDAPAT KESAMAAN NAMA TOKOH, ORGANISASI, TEMPAT KEJADIAN ATAUPUN JALAN CERITA, HAL TERSEBUT MURNI HANYA KEBETULAN DAN TIDAK ADA UNSUR KESENGAJAAN....

Lemuria, atau yang lebih dikenal dengan Kumari Kandam, adalah sebuah benua yang terletak di selatan India. Menurut cerita turun-temurun dari suku pengembara, tanah Kumari Kandam merupakan tanah yang abadi, tanah yang tidak bergeser sedikit pun meski berulang kali dihantam gempa dahsyat. Bahkan Samudera Hindia yang bisa kapan saja menenggelamkan Kumari Kandam, dibuat bertekuk lutut.

Tepat di jantung Kumari Kandam, berdirilah sebuah kerajaan dengan nama yang sama. Kerajaan pertama dan tertua yang dipimpin oleh seorang raja yang adil, Braheim Bhaavesh. Keadilan Raja Braheim membuat rakyat Kumari Kandam hidup sangat terjamin, dan hingga detik ini belum pernah ada satu pun dari mereka yang datang menghadapnya untuk berkeluh kesah.

Selain tersohor karena keadilan rajanya, Kumari Kandam juga tersohor karena memiliki komandan perang yang konon selalu bisa bercanda dengan maut. Posisi tertinggi kelima dalam struktur kerajaan tersebut selalu diduduki oleh anak cucu Yusef Bahadir, komandan perang pertama yang telah bersumpah setia mengabdikan diri beserta keturunannya untuk menjadi perisai hidup Kumari Kandam.

Namun untuk kali pertama dalam sejarah, posisi berbahaya itu diduduki oleh seorang wanita, Haala Anandmayee. Seolah tak mengenal istilah cacat, wanita cantik berambut emas itu tetap mewarisi kecerdasan dan kekuatan fisik para leluhurnya. Tidak hanya ahli dalam bernegosiasi dan menyusun strategi perang, Haala juga ahli dalam bertarung, berkuda, serta menggunakan beragam senjata.

“Karena kejadian seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya, apakah menurutmu akan baik-baik saja?” tanya Braheim pada penasihatnya, Murat Iskender.

Murat terdiam sesaat. “Hamba pikir tidak masalah selama darah Yusef Bahadir mengalir di tubuhnya.”

Braheim mengangguk-anggukkan kepalanya menanggapi Murat. “Kapan dia akan datang?”

“Kapan pun Anda memintanya, Yang Mulia.”

Braheim melempar sebuah gulungan kertas ke lantai. “Aku ingin melihatnya sebelum hari kunjunganku ke Shaasvat*.”

Shaasvat* nama salah satu kerajaan yang ada di Kumari Kandam.

“Sesuai perintah Anda, Yang Mulia.” Murat membungkuk seraya keluar dari ruang kerja Braheim.

...¤○●¤○●¤○●¤...

Lantai beralaskan permadani dengan kualitas bulu terbaik, langit-langit bertabur bebatuan permata langka, dan singgasana megah bertahtakan bongkahan emas murni, seketika kehilangan pesonanya ketika sang Penguasa Kumari Kandam, Braheim Bhaavesh, menampakkan dirinya dari balik tirai.

Sesosok pria berbalut pakaian serba merah itu seolah menyerap semua pesona tanpa sisa, seolah melumpuhkan seluruh panca indra, dan seolah bisa mengundang kelancangan kapan saja. Wujudnya yang terlampau rupawan juga seolah membuktikan bahwa Tuhan sekali pun nyatanya bisa bersikap tidak adil.

“Kau bisa dijatuhi hukuman penggal karena tidak memberikan salam, juga karena mengangkat kepalamu sebelum kuperintahkan.”

Spontan Haala kembali menunduk. “Panjang umur, dan terbekatilah selalu, matahari Kumari Kandam.”

Braheim beranjak sembari melepas mahkotanya. “Kupikir hanya candaan ayahku, ternyata keturunan Yusef Bahadir memang sangat kaku. Karena aku tidak memiliki banyak waktu, bisa langsung kita mulai saja?”

Haala tidak menjawab, karena sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud Braheim. Braheim pun menghentikan para pelayan yang tengah sibuk menanggalkan perhiasannya. Braheim menoleh pada Murat, membuat Murat langsung berlari menghampiri Haala, memberitahunya tentang Vinaash.

Vinaash merupakan ujian yang dibuat oleh Yusef Bahadir dengan keyakinan bahwa hanya keturunannya saja yang bisa melewatinya. Vinaash tidak dibuat dengan maksud kecongkakan, karena nyatanya puluhan orang biasa yang pernah mencobanya selalu berakhir menemui ajal.

Sesuai artinya, Vinaash memang merupakan gambaran dari kebinasaan. Vinaash dimulai dengan Raja Kumari Kandam yang akan dengan sengaja menceburkan dirinya ke dalam lumpur hidup, menunggu diselamatkan oleh keturunan Yusef Bahadir yang diadang seribu prajurit pilihan.

Masalahnya lumpur hidup yang ada di Kumari Kandam berbeda dengan lumpur hidup di tempat lain. Lumpur hidup tersebut mengandung racun yang bisa mendatangkan penyakit misterius yang konon penawarnya hanya bisa dibuat oleh suku pengembara yang tidak pernah muncul selain dalam dongeng pengantar tidur.

“Bukankah itu sudah dihapuskan sejak empat ratus tahun yang lalu?”

“Aku menulisnya lagi setelah tahu jika keturunan Yusef Bahadir kali ini adalah seorang wanita. Kenapa? Kau takut?” Braheim berjalan menghampiri Haala.

“Ketakutanlah yang seharusnya takut menghadapi keturunan Yusef Bahadir.”

Braheim tersenyum menanggapi Haala. “Entah kenapa aku malah semakin merasa takut mendengarnya.”

DEG! DEG! DEG!

Senyum yang tidak lebih dari tiga detik itu benar-benar mampu mengundang kelancangan. Jantung Haala yang hanya berdebar ketika mendengar genderang perang ditabuh, kini berdebar hanya karena disuguhi sebuah senyuman. Senyuman yang membuat kelancangan Haala kian menjadi, hingga tak mengindahkan meski pemilik senyuman itu telah mempunyai ratu dan selir yang tidak terhitung jumlahnya sekali pun.

Sejak hari itu Haala terus berdebar saat berada di dekat Braheim. Merasa khayalannya bersama Braheim hanya akan selamanya menjadi khayalan, Haala pun mantap untuk mencintai Braheim dalam diam. Haala tidak pernah berharap perasaannya akan bersambut, karena cukup tahu diri dengan statusnya yang hanya sebagai bawahan, dan yakin jika tidak ada lelaki mana pun yang akan berpaling dari wanita sesempurna Ratu Kumari Kandam.

Kesibukan Haala mencintai Braheim dalam diam terus berlanjut hingga dua belas tahun. Meski dalam kesibukannya Haala lebih banyak merasakan kesakitan daripada kebahagiaan, Haala tetap setia. Menyaksikan keromantisan Braheim dan ratu tidak sebanding sakitnya dengan menyaksikan Braheim kembali melangsungkan pernikahan politik dengan selir-selirnya yang baru, bahkan menyaksikan Braheim menghabiskan malam dengan mereka.

“Yang Mulia Ratu ingin menemui Anda.”

Spontan Haala menghentikan latihan memanahnya, dan menoleh pada seorang pelayan. “Yang Mulia Ratu? Ada masalah apa?”

“Yang Mulia Ratu sendiri yang akan mengatakannya langsung.”

“Baiklah.” Haala mengekori pelayan tersebut menuju istana ratu.

...¤○●¤○●¤○●¤...

“Kenapa kau diam saja? Cepat katakan iya agar suasana hatiku bisa sedikit membaik.”

“Tugas hamba hanya mengangkat pedang, Yang Mulia,” balas Haala pada Ratu Kumari Kandam, Jihan Joozher.

PRANG!

Sebuah gelas perak berisi Goan Feni* kembali dihantamkan ke tembok, membuat semua orang yang ada di kamar berhias batu permata hijau itu terlonjak, kecuali Haala yang tetap duduk tenang di tempatnya. Kemurkaan Jihan bermula saat Haala langsung menolak permintaannya tanpa pikir panjang.

*G**oan Feni** adalah minuman beralkohol yang hanya diproduksi di Goa, India. Goan Feni dibuat dari getah kelapa atau apel mete dan kandungan alkohol di tiap botolnya mencapai 43-45%.

Hanya dengan alasan Haala adalah pengintai terbaik Kumari Kandam, Jihan meminta Haala untuk mengintai apa saja yang dilakukan Braheim dengan selirnya. Jihan ingin tahu apakah Braheim benar menghabiskan malam dengan wanita-wanita yang dianggapnya rendahan itu atau hanya ingin membuatnya dibakar api cemburu.

Jihan mengaku sudah seringkali mengirim pengintai, namun mereka semua selalu berakhir di penjara bawah tanah. Jihan lalu berpikir jika pengintainya adalah keturunan Yusef Bahadir, tidak akan terjadi masalah yang besar sekali pun akhirnya akan tertangkap basah juga.

Haala beranjak. “Jika tidak ada lagi yang ingin Yang Mulia Ratu sampaikan, hamba mohon undur diri.”

“Kudengar kau memiliki seorang adik yang sengaja disembunyikan karena gila.” 

Haala menghentikan langkahnya. “Dia menjadi gila setelah digagahi orang tak dikenal. Aku penasaran jika berita itu tersebar, apakah akan memengaruhi citra keturunan Yusef Bahadir yang dihormati sepanjang masa?” imbuh Jihan.

Haala berbalik dan kembali duduk di kursinya, membuat Jihan tersenyum puas. “Aku memberimu kesempatan untuk melihat langsung keperkasaan Yang Mulia Raja, seharusnya tidak perlu bersikap munafik dan menurut saja. Cih. Rakyat jelata memang merepotkan.” Jihan masih melanjutkan.

CHAPTER 2

Suara perhiasan yang bergemerincing, napas berat yang memburu, dan erangan yang terdengar ambigu itu menjadi pengganti mimpi buruk Haala sejak dua bulan yang lalu. Ancaman dari Jihan membuat Haala mantap untuk memilih mencabik hatinya sendiri daripada meludahi wajah leluhurnya yang hingga hari ini masih dielukan seisi Kumari Kandam.

Haala selalu melancarkan aksinya di malam kesebelas, malam di mana Braheim akan mengunjungi haremnya untuk tujuan yang tentu saja melepaskan berahi. Braheim selalu menebar keramahan pada semua selir sebelum hilang dari balik pintu sebuah kamar yang di dalamnya sudah diisi dua orang wanita bak bidadari yang seakan lupa cara memakai Saree* dengan benar.

*S**aree** atau shari adalah jenis kain yang dipakai wanita di negara India, Bangladesh, Nepal, dan Sri Lanka. Saree atau shari terdiri dari helaian kain yang tidak dijahit, variasinya beragam dengan panjang 4-9 meter yang dipakaikan di badan dengan bermacam-macam gaya.

Awalnya Haala hanya menggunakan telinganya untuk memenuhi permintaan Jihan, karena itu saja sudah cukup membuat terik matahari kewalahan mengeringkan basah di kedua pipinya. Namun Ratu Kumari Kandam ternyata banyak dianugerahi tabiat buruk. Bukan hanya tidak pernah absen merendahkan orang dan melempar barang-barang, sang ratu juga sulit untuk merasa puas.

“Para selir meminta izin untuk membasuh tubuh Yang Mulia Raja, tapi Beliau menolak.”

Jihan mendecak menanggapi Haala. “Dasar wanita rendahan. Tentu saja Braheim menolaknya karena hanya aku yang diizinkan melakukan itu. Berapa banyak perhiasan yang diberikan Braheim pada mereka?”

“Hamba tidak yakin. Hamba hanya mendengar beberapa buah perhiasan berjatuhan di lantai.”

Jihan menghentikan pelayan yang tengah mewarnai kuku tangannya. “Mendengar? Tunggu, maksudmu semua laporan yang kau sampaikan padaku selama ini bukan hasil dari mata tapi telingamu, begitu?”

“Ampuni hamba, Yang Mulia. Terlalu berisiko untuk melakukan pengintaian dari jarak yang lebih dekat da--“

PRANG!

Ucapan Haala spontan terjeda, karena sebuah piring emas berisi cat pewarna kuku yang tiba-tiba dilayangkan padanya, membuat wajah berikut pakaiannya ternoda warna hitam pegam. Kemurkaan Jihan kian menjadi, karena melihat ketenangan Haala. Terlebih karena tidak terima dengan kenyataan bahwa percikan cat berwarna gelap itu tak kuasa melunturkan kecantikan wanita berambut emas yang sedari tadi duduk di depannya.

Jihan tiba-tiba tertawa geli, dengan maksud yang hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Tawa kerasnya menggema cukup lama, lalu spontan terhenti saat dua orang pelayan masuk ke kamarnya membawa piring berisi buah. Sesuatu yang gila mendadak terlintas di benak Jihan ketika melihat kilau pisau pengupas buah itu. Jihan berniat memotong rambut berwarna langka yang membuatnya tak henti mengeratkan gigi.

Ujung pisau sudah membelai rambut panjang Haala, seolah tidak sabar untuk memamerkan ketajamannya. Namun Haala dengan gesit menghindar, memelintir pergelangan tangan Jihan, dan menjatuhkan pisau yang digenggamnya. Jihan meraung kesakitan, lalu hendak kembali menyerang Haala, namun pedang turun-temurun peninggalan Yusef Bahadir yang kini mengarah ke wajahnya membuat langkahnya seketika terpatri.

“Hamba dengar Penasihat Murat memiliki hubungan khusus dengan Anda. Dia bebas keluar masuk istana ratu atas izin langsung dari Anda. Hamba penasaran jika berita itu tersebar, apakah akan memengaruhi citra Ratu Kumari Kandam yang terkenal bersih dari skandal?”

DEG!

“Silakan Anda sebarkan berita perihal adik hamba, karena hamba juga akan melakukan hal yang sama,” imbuh Haala.

DEG! DEG!

Haala masih melanjutkan, “Kehancuran nama baik leluhur hamba tidak akan membuat hamba dan keluarga hamba mati kelaparan, atau terkurung di penjara bawah tanah seumur hidup. Tapi bagaimana dengan Anda, Yang Mulia Ratu?”

DEG! DEG! DEG!

...¤○●¤○●¤○●¤...

Terlihat Haala tengah fokus mengendalikan pedangnya yang seakan sudah tidak sabar ingin segera menyantap seporsi sarapan pagi. Lawan Haala, Braheim, tampak kewalahan karena kemampuan berpedangnya yang tidak seberapa. Braheim paham betul jika rutinitas latihan pagi itu hampir selalu membuat Haala mati kesal karena mendapat lawan yang payah seperti dirinya, namun entah kenapa kekesalan Haala pagi ini terasa berbeda.

“Jika tebakanku benar, pasti ada yang membuatmu lebih kesal daripada melawanku yang lebih payah dari prajuritmu ini.”

“Kepayahan Anda tetap menjadi pemicu kekesalan terbesar hamba, Yang Mulia,” balas Haala pada Braheim.

Spontan Braheim tertawa. “Jadi siapa yang pantas disalahkan? Muridnya yang terlalu payah? Atau gurunya yang terlalu hebat?”

“Anda yang terlalu payah, Yang Mulia. Karena menjadi lebih hebat dari keturunan Yusef Bahadir tidak akan pernah terjadi meski hanya dalam mimpi.”

Braheim kembali tertawa. “Apa hatimu juga sehebat kemampuan berpedangmu?”

CRANG!

Braheim mematung, sembari memandangi pedang Haala yang kini tergeletak di tanah. Braheim masih tidak percaya jika dirinyalah yang membuat pedang pusaka dengan pegangan berlilit kain putih lusuh itu terlepas dari tangan Haala. Keterkejutan keduanya pun perlahan meluruh, ketika mendapati kedatangan Murat yang terburu.

Entah apa yang dibisikkan Murat pada Braheim, hingga membuat urat-urat di wajah tampan Braheim menggumpal. Tanpa menjawab apa-apa pada Murat, Braheim langsung menugaskan Murat untuk mengawal Haala ke kamarnya. Sementara dirinya, berteriak meminta pakaian pada pelayan, dan dalam sekejap hilang dari balik pintu gerbang. 

“Apa yang terjadi, Penasihat?”

“Entahlah. Tapi satu yang pasti, kau berada dalam masalah besar,” jawab Murat pada Haala.

“Masalah besar? Apa ini menyangkut Yang Mulia Ratu?”

“Apa Yang Mulia Ratu yang memberimu perintah?” Murat balik bertanya pada Haala.

Haala diam, memandangi ekspresi serius di wajah Murat. “Sepertinya kita sedang membicarakan masalah besar yang berbeda, Penasihat.”

Ya, Haala memang tengah berada dalam masalah besar, dan masalah besar itu merupakan serangan balasan dari Ratu Kumari Kandam yang memiliki segudang tabiat buruk. Serangan balasan dari Jihan tidak main-main, bahkan bisa dipastikan dampak yang akan ditimbulkan dari serangan balasan tersebut adalah hukuman penggal.

Pagi tadi harem digemparkan dengan penemuan salah satu selir yang mati mengenaskan di kamarnya. Orang pertama yang menemukan selir nahas tersebut adalah kepala pengurus harem, Leyla Rahsheda. Leyla yang biasa mengantarkan air cuci muka untuk para selir curiga karena panggilannya tidak kunjung direspon oleh si Selir Nahas.

Leyla menanyakan keberadaan si Selir Nahas pada selir yang lain, namun nihil. Akhirnya Leyla membuka pintu kamar si Selir Nahas dengan paksa. Dan betapa terkejutnya Leyla saat mendapati kamar mewah itu berantakan, terlebih pemilik kamar yang terbaring bersimbah darah dengan banyak luka tusuk di sekujur tubuhnya.

Menurut pengakuan Leyla, nama Haala tertulis di lantai dengan darah yang diyakini milik si Selir Nahas. Semua harta benda milik si Selir Nahas juga raib, diduga dicuri oleh Haala. Pengakuan terakhir Leyla pun kian menguatkan label tersangka pada Haala. Leyla mengaku atas nama Tuhan, jika dirinya sering melihat Haala keluar masuk harem.

Berita duka tentang si Selir Nahas yang diduga dihabisi secara keji oleh keturunan Yusef Bahadir dengan cepat menyebar ke luar Kerajaan Kumari Kandam, hingga ke Shaasvat, tanah lahir si Selir Nahas. Tak perlu menunggu waktu lama, utusan dari Shaasvat pun datang ke Kumari Kandam, hendak memastikan benar tidaknya berita duka tersebut.

“Beri aku sedikit waktu lagi untuk melakukan penyelidikan. Aku yakin masih ada kebenaran yang belum terungkap.”

BRAK!

Kakak pertama si Selir Nahas menggebrak meja. “Yang Mulia! Bagaimana bisa Anda membuat Adik hamba semakin tidak tenang? Semua kebenaran sudah terungkap! Berikan hukuman mati pada keturunan Yusef Bahadir!”

“Benar, Yang Mulia. Meski status Adik kami hanyalah seorang selir, tapi mohon belas kasih Anda, Yang Mulia.”

Braheim menghela napas menanggapi Kakak kedua si Selir Nahas. “Maka dari itu beri aku sedikit waktu lagi.“

BRAK!

“Jangan karena pembunuh itu adalah keturunan Yusef Bahadir, Anda lantas melindunginya! Jika Anda tidak segera menjatuhkan hukuman mati, Shaasvat akan mengibarkan bendera perang pada Kumari Kandam!” Kakak pertama si Selir Nahas berseru seraya keluar dari ruang pertemuan.

...¤○●¤○●¤○●¤...

Suara tawa bersahutan terdengar jelas memenuhi kolam mandi susu. Terlihat Jihan bersama para pelayan pribadinya tengah membicarakan kesialan bertubi yang kini menimpa Haala. Sudah lama sekali Jihan tidak merasakan kepuasan akan keberhasilan rencananya seperti sekarang. Jihan berpikir akan sulit untuk menyingkirkan Haala yang diam-diam memiliki karakter menyebalkan, tetapi nyatanya tidak lebih mudah dari menginjak seekor semut.

Meski sempat kesal karena Braheim memberikan penjagaan sangat ketat untuk melindungi Haala, Jihan tetap merasa berjalan di atas angin. Jihan sengaja memilih si Selir Nahas sebagai target karena tahu jika si Selir Nahas datang dari keluarga dengan pasukan tempur terkuat kedua setelah pasukan tempur Haala. Di mana itu artinya, penjagaan seketat apapun tidak akan berguna karena pada akhirnya perang besar tetap tidak akan terhindarkan.

Jihan juga sudah menyiapkan antisipasi jika nantinya Tuhan tidak lagi berpihak padanya. Orang-orang yang ditugaskan Jihan untuk melenyapkan si Selir Nahas sudah keluar dari Kumari Kandam dengan upah semua harta benda milik si Selir Nahas. Dan Jihan tidak perlu khawatir para pembunuh sebenarnya itu akan membuka mulut, karena sebelum itu terjadi, kaki tangan Jihan yang bertugas membuntuti mereka akan lebih dulu mengirim mereka ke neraka.

“Seharusnya waktu itu dia tidak perlu menarik pedangnya. Lagipula aku tidak bersungguh-sungguh ingin memotong rambutnya.”

“Benar, Yang Mulia, Haala terlalu sombong,” sahut seorang pelayan pada Jihan.

“Pasti sekarang dia sedang menangis.”

Jihan tertawa menanggapi pelayannya yang lain. “Percuma saja karena tidak ada yang bisa menyelamatkannya. Braheim pun akan segera lepas tangan. Dia tidak mungkin memutus hubungan dengan Shaasvat yang memiliki pasukan tempur terkuat.”

Pelayan Jihan ikut tertawa. “Itu benar, Yang Mulia. Jadi cepat atau lambat Beliau pasti akan membiarkan Haala diseret ke alun-alun ko--.”

“Sudah kuduga kau dalang dari semua kekacauan ini.”

DEG!

CHAPTER 3

“Dan sudah kuduga kau orang pertama yang akan mengetahuinya.” Jihan memerintahkan semua pelayannya untuk keluar.

“Berhati-hatilah.”

Jihan terbahak menanggapi Murat. “Apa aku memerlukannya? Aku yakin bahkan kau sekali pun tidak mampu menemukan bukti yang bisa mengarah padaku. Lalu apa gunanya berhati-hati?”

Jihan terus terbahak, sembari melumuri kedua tangannya secara bergantian dengan air susu. Sementara Murat, masih berdiri di tengah-tengah pintu utama kolam, memandangi segala aktivitas yang dilakukan Jihan. Jihan berenang ke sana ke mari sambil bersenandung bahagia, merasakan betapa hebat dirinya bisa berjalan di atas angin.

Murat hanya diam mendengar kecongkakan Jihan yang seakan tidak berujung, sambil bergumam mengasihani Jihan dalam hati. Pria berlesung pipi itu menunggu saat yang tepat untuk menyampaikan maksud kedatangannya pada Jihan, ratu dengan segudang kemampuan hebat yang seketika menjadi tolol jika sudah teperdaya kecemburuan.

Dan saat yang dinanti pun tiba. Jihan berbalik, menoleh pada Murat yang sedari tadi hanya berdiri mematung tanpa berucap sepatah kata pun. Jihan penasaran apa alasan Penasihat lancang banyak mulut sepertinya bersikap acuh, terutama alasan pria minim berahi sepertinya sampai nekat berkunjung di tengah hujan lebat.

Jihan keluar dari kolam susu, lalu menceburkan diri ke kolam air. “Apa yang ingin kau sampaikan? Jika tidak ada cepat keluar dan panggilkan pelayanku. Kau membosankan.”

“Kaki tanganmu tertangkap.”

Jihan sempat terkejut, namun kembali tenang. “Harusnya kau menambahkan kata bangkai dalam kalimatmu.”

“Itu karena mereka belum menjadi bangkai.”

Jihan kembali menoleh pada Murat. “Apa katamu?”

“Situasi akan berbalik padamu jika kau tidak memiliki rencana cadangan.”

“Tunggu, Murat.”

Jihan bergegas keluar dari kolam, berniat mengejar Murat yang tidak pernah sekali pun mengindahkan perintahnya. Jihan akhirnya berhasil mengejar langkah cepat Murat meski sempat tersandung dengan kain penutupnya beberapa kali. Pria dengan bola mata berwarna hitam pekat itu menatap Jihan kesal, membuat Jihan tak kalah kesal.

“Beritahu aku dulu bagaimana mereka bisa tertangkap hidup-hidup.”

“Tanyakan saja pada orang yang kau pikir sedang menangis di kamarnya sekarang,” sahut Murat pada Jihan.

“Haala? Tapi bagaimana dia bisa keluar? Bukankah Braheim menahannya berhari-hari di kamar dengan penjagaan yang ketat?”

Murat menghela napasnya. “Lalu kau pikir dia akan menikmati penjagaan itu dan tidur dengan nyenyak? Kau hanya memiliki sedikit waktu untuk berpikir sampai kaki tanganmu sadar dan membuat pengakuan.”

Jihan mendekat pada Murat, menjelajahkan sebelah tangannya ke dada bidang itu. “Bantu aku seperti biasa. Hm?”

Murat tidak menjawab, hanya membiarkan Jihan bertindak sesuka hatinya. Satu per satu kancing pakaian Murat sukses ditanggalkan, menampakkan tubuh penuh bekas luka yang entah kenapa malah mengusir rasa kasihan Jihan dan mengundang sesuatu yang panas. Namun satu kalimat yang dilontarkan Murat membekukan panas itu dalam sekejap.

“Aku bosan dengan wanita sisa,” tandas Murat seraya berbalik memunggungi Jihan.

Jihan ikut berbalik. “Benar-benar membosankan.”

“Bersumpahlah untuk tidak mengusik Haala jika aku menyelamatkamu lagi kali ini.”

Jihan mengangguk dengan cepat. “Aku bersumpah.”

“Ceritakan padaku bagaimana semua ini bermula.”

Jihan menurut, dan menceritakan awal mula dirinya berurusan dengan Haala. Murat tak henti menghela napas mendengar cerita Jihan. Daripada menyematkan label tolol, akan lebih pas jika menyematkan label tidak waras pada Jihan. Entah di mana Jihan meninggalkan kewarasannya hingga berani mengancam, melukai, bahkan memfitnah keturunan Yusef Bahadir.

Jihan memang dikenal sangat pencemburu oleh semua orang. Wanita penggila batu permata itu masih belum bisa menerima jika kasih sayang Braheim tidak bisa dimilikinya secara utuh. Jihan menganggap Braheim sangat mencintainya hanya karena Braheim memberinya singgasana ratu. Padahal Braheim yang Murat tahu hanya memberikan cintanya pada rakyat.

Jihan menjadi wanita terpilih dari sekian banyak wanita yang ada di Kumari Kandam bukan hanya karena kecantikannya saja, tetapi karena kecerdasannya yang bukan sekadar omong kosong, namun mampu dibuktikannya dengan tugas-tugas ratu yang bisa diembannya sesuai harapan Braheim. Tidak lebih dari itu, tetapi Jihan terus salah paham mengira cintanya bersambut.

Murat berjalan keluar dari kamar Jihan. “Minta maaf pada Haala setelah masalah ini selesai.”

“Apa? Dia yang seharusnya minta maaf padaku.”

Murat menghentikan langkahnya. “Setelah semua yang kau lakukan padanya? Apa lebih baik kubiarkan saja kau meregang nyawa di pedang pusaka Yusef Bahadir?”

"Cih. Aku hanya akan meminta maaf jika sudah berhasil membuat wanita rendahan itu angkat kaki dari Kumari Kandam," ujar Jihan dalam hati.

...¤○●¤○●¤○●¤...

Pedang Haala hampir memisahkan kepala Murat dari tubuhnya andai saja Murat terlambat menangkis serangan Haala barang setengah detik. Haala pun menyarungkan kembali pedangnya, setelah orang dengan jabatan tertinggi kedua di Kerajaan Kumari Kandam itu menyampaikan maksud kedatangannya sambil membungkuk hormat.

Meski merasa sangat tidak nyaman karena ini merupakan kali pertama ada pria yang melihatnya mengenakan gaun tidur, Haala tidak memiliki pilihan lain. Murat sudah terlanjur menginjak balkon kamarnya, dan jika tidak segera mempersilakannya masuk, mata-mata kerajaan yang terus terjaga pasti akan menyebarkan desas-desus.

Kini keduanya sudah duduk saling berhadapan. Murat tak kunjung bersuara, karena mendadak kehilangan fokusnya. Wanita bergaun tidur putih yang duduk memunggungi rembulan itu mendadak membuat degup jantungnya berisik bukan main. Bagaimana mungkin, kecantikan penguasa langit malam bisa dikalahkan oleh sosok wanita didepannya.

“Penasihat?”

Murat tersadar dari lamunannya, dan berdeham beberapa kali sebelum akhirnya mulai berbicara. “Aku datang untuk Yang Mulia Ratu.”

“Katakanlah, Penasihat.”

Murat kembali berdeham, “Kekacauan ini adalah perbuatan Yang Mulia Ratu. Beliau berkata tidak akan mengulanginya lagi, dan tidak akan menyebarkan apapun perihal adikmu.”

“Lalu kau dikirim untuk menyelesaikan kekacauan yang dibuat Yang Mulia Ratu, begitu?”

“Benar. Jadi tolong serahkan masalah ini padaku,” jawab Murat.

“Kau tahu aku tidak akan dengan mudah menyetujuinya, bukan?”

“Ya. Maka dari itu aku menawarkan ini.” Murat mengeluarkan sesuatu dari dalam pakaiannya.

Sebuah sobekan peta kuno berukuran kecil terpampang di depan mata Haala. Haala mencoba membaca peta itu, tetapi tidak ada satu tempat pun di dalam peta yang diketahuinya. Nama-nama tempat dalam peta itu juga ditulis menggunakan bahasa Videsh* asli yang menambah kesulitan Haala menjadi berkali lipat.

*V**idesh** merupakan bahasa kumari kandam yang digunakan para leluhur terdahulu. Sudah tidak digunakan lagi di masa sekarang karena terlalu rumit.

“Kudengar adikmu sedang sakit. Salah satu tempat di peta ini bisa mengantarmu pada orang yang bisa memberimu ramuan ajaib penyembuh segala macam penyakit,” imbuh Murat.

“Apakah orang yang kau maksud itu suku pengembara?”

Murat mengangguk menanggapi Haala. “Percayalah, mereka bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Mereka benar-benar ada di sekitar kita. Yang mana itu artinya adikmu bisa disembuhkan.”

Meski masih dibayang-bayangi perasaan tidak percaya, entah kenapa Haala merasa sangat senang melihat ekspresi yakin di wajah Murat. Selama ini Haala memang mati-matian mencari keberadaan suku pengembara. Haala enggan meminta bantuan siapa-siapa sekali pun keluarganya karena hanya anak-anak setinggi lutut yang memercayai suku tersebut hidup.

Dalam dongeng anak-anak dikisahkan jika suku pengembara dipimpin oleh seorang pria beserban hitam yang memiliki wajah buruk rupa dan tatapan menghipnotis. Konon suku pengembaralah penguasa serta pewaris Kumari Kandam yang sesungguhnya, karena mereka merupakan manusia pertama yang menginjakkan kaki dan membangun kehidupan di tanah Kumari Kandam.

Jika benar suku pengembara bukan sekadar dongeng, itu artinya pasukan tempur Haala bukanlah pasukan tempur terkuat. Dikisahkan bahwa pasukan tempur suku pengembara tidak hanya manusia yang kebal dengan segala jenis senjata tajam, tetapi juga makhluk-makhluk supernatural seperti singa, kera, gajah, dan ular raksasa.

Mereka juga dikisahkan pandai meramu obat-obatan, dan kerap kali memberikan obat tersebut pada yang paling membutuhkan. Mereka tidak memiliki tempat tinggal tetap, karena selalu berpindah ke satu tempat ke tempat lain. Semua itu mereka lakukan demi meratakan bantuan ke tempat-tempat yang tidak terjangkau keadilan Raja Kumari Kandam.

“Mereka pernah menyelamatkan nyawa orang yang kucintai.”

“Jadi mereka benar-benar memiliki ramuannya?” tanya Haala antusias.

“Ya, dan aku tahu cara memanggil mereka.”

“Beritahu aku, Panasihat.” Haala semakin antusias.

“Hanya jika kau menyerahkan masalah ini padaku. Bagaimana?”

...¤○●¤○●¤○●¤...

Murat berhasil menghindarkan Kumari Kandam dari perang yang dilayangkan Shaasvat setelah bernegosiasi dengan para pelaku pembunuh si Selir Nahas. Awalnya mereka tidak mengindahkan apapun yang Murat katakan dan bersikeras akan mengakui perbuatannya di depan Braheim, namun tawaran dari Murat berhasil membuat dua orang pria tak takut mati itu dengan cepat berubah pikiran.

Murat berjanji akan membuat keluarga mereka tidak kekurangan apapun selama dirinya masih hidup, menaikkan kasta keluarga mereka, serta memberikan posisi di kerajaan ketika anak-anak mereka sudah mencapai usia siap bekerja. Selain itu Murat juga akan memastikan Jihan yang merupakan tuan mereka ikut menerima hukuman yang setimpal atas perbuatannya.

Mereka pun setuju, dan esoknya setelah memberi pengakuan seperti yang diperintahkan Murat, mereka dijatuhi hukuman penggal. Kondisi di dalam kerajaan masih belum kembali normal sejak insiden mengerikan yang terjadi di harem. Bahkan harem mendadak dipenuhi cerita-cerita konyol seperti arwah si Selir Nahas yang diduga akan bersemayam di dalam harem selamanya.

Lalu Jihan, pindah dari istana ratu ke istana barat* dengan alasan tidak bisa tidur nyenyak karena para penghuni harem yang terus membuat kegaduhan. Padahal Muratlah yang membuat Jihan kini tinggal di istana kecil di samping kandang kuda sebagai bentuk hukuman atas perbuatannya yang keji. Jihan akan terus berada di sana sampai Murat sendiri yang mengizinkannya keluar.

*I**stana barat** istana yang menjadi tempat tinggal selir favorit raja terdahulu. Sekarang sudah tidak digunakan lagi karena sejak masa kepemimpinan Braheim, tidak ada gelar selir favorit. Istana tersebut kemudian dialihfungsikan untuk tempat beristirahat pasukan berkuda.

Sementara Haala, mulai sibuk melakukan aktivitas malam. Seperti janjinya, Murat memberitahu di mana tempat tinggal suku pengembara serta bagaimana ritual untuk memanggil suku yang hanya dianggap mitos itu. Namun kuil yang biasa digunakan untuk ritual pemanggilan suku pengembara terletak di tempat yang sangat jauh, dan dengan medan yang bukan main sulitnya.

“Ke mana kau akan pergi?”

Spontan Haala mengurungkan niatnya menaiki kuda, dan membungkuk hormat pada Braheim yang tiba-tiba muncul entah dari mana. “Panjang umur, dan terbekatilah selalu, matahari Kumari Kandam.”

“Jawabanmu?”

Haala diam sesaat, berpikir. “Ada tempat yang ingin hamba kunjungi, Yang Mulia.”

“Selarut ini?”

“Benar, Yang Mulia,” balas Haala.

“Jika tempat yang ingin kau kunjungi itu bisa membuatku melepas penat, bawa aku juga.”

Haala kembali diam, semakin berpikir. “Silakan naik, Yang Mulia.”

Braheim tak menjawab, hanya memandangi Haala yang tiba-tiba duduk bersimpuh di sampingnya, menyodorkan sebelah kakinya sebagai penopang pijakannya untuk naik ke atas kuda. Namun tak disangka Braheim malah bertindak yang tidak seharusnya. Dengan cepat Braheim menggendong Haala, mendudukkan Haala di atas pelana, dan mengambil kendali tali kekang kuda putih itu.

“Tolong jangan melakukan tindakan seperti tadi lagi di lain waktu, Yang Mulia.”

Braheim tersenyum menanggapi Haala. “Aku hanya menyelamatkan harga diriku sebagai seorang pria.”

“Anda bukan hanya seorang pria tetapi raja.”

“Aku raja yang berhati,” sahut Braheim.

“Berikan hati Anda pada yang pantas.”

Braheim kembali tersenyum. “Menurutmu siapa yang paling pantas mendapatkan hatiku?”

Haala terdiam cukup lama. “Hamba,” gumam Haala akhirnya.

Perlahan laju gesit kuda berbulu cantik itu melambat, karena si Pengendali Tali Kekang yang kini tengah sangat terkejut. Entah semilir angin yang membuat pendengarannya menjadi salah paham, atau jawaban singkat wanita berkepang di depannya memang sungguh-sungguh, Braheim hanya membiarkan mulutnya berucap sejalan dengan apa yang terlintas di dalam benaknya.

“Ah, jadi menurutmu kau yang paling pantas. Kalau begitu, haruskah aku memberikan hatiku sekarang juga?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!