NovelToon NovelToon

KISAH DI KOS-KOSAN CAMPURAN

Nggak Bisa Tidur Gara-Gara Suara Aneh

"Ahahaha! Hihihi!"

Kututup telingaku dengan bantal mendengar cekikikan dari kamar sebelah.

Sudah jam berapa ini?!

Kenapa mereka ribut sekali?!

Kulihat jam dari handphone.

Jam 23.17

Sudah jam segini! Mereka ngapain sih?!

Gini nih kalau ngekos di kos campuran.

Tiap malam, kamar sebelahku selalu aja rame. Kemarin suara desah*n. Sekarang suara cekikikan. Entah suara apa lagi besok.

Padahal yang kutahu, tetangga sebelah kamarku itu belum menikah, tapi setiap malam, selalu aja terdengar suara laki-laki.

Cekikikan itu terdengar lagi.

Haduhhhh! Gimana aku bisa tidur kalo rame gini! Mana besok harus kerja lagi. Kugaruk kepalaku dengan kesal.

"Ah ah ah." Sekarang cekikikan itu berganti dengan desah*n.

Astaga! Telingaku yang suci ternodai sudah.

Aaargh! Kutendang selimutku mendengar suara desah*n itu.

Andai aku punya banyak uang, sudah dari dulu aku pindah dari sini.

Suara desah*n itu masih berlanjut.

Membuatku semakin kesal.

Ya ampun! Mereka berisik sekali sih! Mereka pikir kamar mereka kedap suara apa.

Sepanjang malam, suara desah*n itu terus berlanjut. Suara itu sangat menggangguku.

Entah jam berapa mereka baru bisa diam. Karena tanpa kusadari aku sudah terlelap tidur.

________

Jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika aku pulang kerja.

Kutatap kamar sebelah kanan kamarku, lampunya tidak menyala. Kamar yang setiap malam mengeluarkan desah*n.

Semoga aja penghuni kamarnya tidak pulang malam ini. Karena aku sangat mengantuk. Aku ingin istirahat. Tadi malam aja aku kurang tidur. Untung aku besok libur. Jadi aku bisa tidur seharian.

Kos-kosanku ada tujuh kamar berjejer seperti huruf L. Satu kamar untuk dapur, satu kamar lagi berisi dua kamar mandi dan satu toilet.

Tririring!

Bunyi hp mengagetkanku.

Kutatap layar hp. Tertuliskan nama Pipit di layar.

Dengan malas, kutekan tombol hijau menjawabnya.

"Apa Pit?"

[ Aku mau nginep di kosan kamu. Aku udah izin sama Ibu kos. Bentar lagi aku nyampe nih. ]

Tut tut tut.

Sambungan telefon terputus begitu saja.

Kupandangi layar hpku dengan heran.

Nih anak, aku belum bilang iya, tapi udah dimatiin aja telfonnya.

Tok tok tok!

Ada seseorang yang mengetuk pintu kosku.

Kuintip dari jendela kamar yang tertutup tirai. Ternyata Pipit.

"Kok cepet banget nyampeknya?" Kubuka pintu kamarku setengah, mempersilahkan dia masuk.

"Kan tadi aku dah bilang, kalau aku tuh mau nyampek."

Kupandangi kantong plastik hitam di tangannya.

"Apaan tuh?" tanyaku.

"Nih, bakso buat kamu," ucapnya seraya memberikan kantong plastik.

Dengan wajah sumringah, kuambil kantong plastik itu.

"Nah, gitu dong! Kalau kesini tuh bawa makanan. Jangan cuma curhat mulu!" cibirku.

"Wei! Kalau dikasih makanan tuh terimakasih dong!" sahut Pipit.

"Iya-iya. Makasih! Aku mau ambil mangkuk dulu ya di dapur."

Setiap penghuni kosan ini, semuanya diberi kunci dapur dan kunci kamar mandi sendiri-sendiri.

Kami berkewajiban untuk mengunci pintunya setelah selesai menggunakan ruangannya.

Kulihat, pintu dapur sedikit terbuka. Namun lampunya dalam keadaan mati.

Ck, siapa sih yang habis pakek dapur tapi nggak dikunci?! Aku berdecak kesal dan masuk ke ruangan.

Begitu lampu dapur kunyalakan, mataku terbelalak melihat dua manusia saling mengulum bibir di lantai dapur.

Astaga! Mereka ini sudah sinting kali ya. Kenapa mereka melakukannya di sini?!

Mereka terlihat malu menatapku.

Mbak Lina, tetangga kamar sebelahku, mengelap bibirnya dengan cepat.

"Ayo sayang, kita lanjutin di kamar," ajak si laki-laki. Mbak Lina berdiri. Mereka pun berlalu meninggalkanku sendiri di dapur.

Pantas saja tadi lampu kamarnya mati! Ternyata mereka melakukannya di sini! Kenapa Ibu kos tidak menegur mereka sih?! Apa jangan-jangan Ibu kos nggak tahu ya?

Dengan cepat kuambil mangkuk. Tak lupa kukunci pintu dapur dan kembali ke kamar.

Kutuang bakso ke dalam mangkuk.

Kemudian, kulahap dari pentol yang paling kecil.

Pipit tampak menelan air liurnya melihatku melahap pentol bakso.

"Apa?" tanyaku padanya. Pasti mau minta baksonya nih.

"Minta pentolnya satu dong!"

Nah kan bener!

Mendapati tatapan tajam dariku, dia hanya meringis. Memperlihatkan sederet giginya. Ada cabe yang nyangkut di gigi depannya.

"Pit, ada cabe tuh. Nyangkut di gigi depanmu!" ucapku memberi tahu.

"Iya kah?" Pipit mengambil hpnya untuk dibuat kaca. "Oh iya! Pantas aja tadi Virman ngelihatin aku aneh. Ya ampun, ternyata ada cabe toh di gigiku!"

"Kamu masih pacaran sama Virman?"

Pipit hanya mengangguk, karena mulutnya sibuk mengunyah pentol bakso.

Dasar! Kenapa tadi baksonya dikasih ke aku, kalau ujung-ujungnya dia juga minta?!

"Bukannya kemarin kamu curhat ke aku sambil nangis-nangis dan bilang kalau dia selingkuh ya? Kirain kamu putus sama dia."

Pipit menelan bakso yang dikunyahnya. Lalu menjawab, "aku memang putus. Tapi tadi siang balikan lagi!"

"Apa?! Terus apa gunanya kamu curhat sampek nangis-nangis kalau ujung-ujungnya tetep balikan?!" Aku menatap Pipit tidak percaya.

"Ya, mau gimana lagi. Aku masih sayang sama Virman Tis," ucapnya sambil nyengir.

"Sia-sia aku nasehatin kamu Pit, Pit. Kamu tuh udah putus-nyambung sama dia berkali-kali! Putus nyambung lagi, putus nyambung lagi. Alasannya pun sama, karena dia jelalatan sama cewek lain!"

Kulahap pentol bakso yang paling besar.

"Besok-besok lagi, kalau kamu putus sama dia, jangan curhat sama aku! Aku nggak mau kamu nangis-nangis sama aku kalau ujung-ujungnya kamu tetep balikan. Sampai berbusa tahu nggak, rasanya nasehatin kamu!"

Plek plek plek!

Pembicaraanku dan Pipit terhenti saat terdengar suara aneh dari kamar sebelah kanan. Kamar Mbak Lina.

"Suara apaan tuh Tis?"

"Nggak tahu!" Aku mengedikkan bahu, pura-pura tidak tahu.

Meskipun aku tahu kegiatan apa yang dilakukan Mbak Lina sampai mengeluarkan suara seperti itu, tapi aku tidak mau membicarakannya pada Pipit.

"Ah ah ah."

Plek plek plek!

Aku mengusap wajahku kasar. Sia-sia aku pura-pura nggak tahu. Padahal niatnya aku ingin menutupinya dari Pipit, tapi kamar sebelah terus saja mengeluarkan suara desah*n.

Pipit membulatkan matanya menatapku. Aku hanya membuang muka ke arah lain.

"Tis, kamu denger juga kan? Kamar sebelah tadi ... mereka ngapain?!" Pipit terus menatapku penuh tanya.

"Nggak tahu ah! Udahlah, kita tidur aja!" Kubaringakan tubuhku ke kasur yang ada di lantai.

Bukannya menuruti perkataanku, Pipit malah menempelkan telinganya di tembok. Dia berusaha menguping suara desah*n itu.

"Pit, kamu ngapain nempelin telingamu di tembok kayak gitu?!"

"Kamu nggak denger suara barusan?" Dia malah balik nanya.

"Terus kalau denger kenapa?!" sahutku kesal. Gara-gara suara itu, hari-hariku untuk istirahat di malam hari jadi keganggu.

Suara desah*n itu kembali terdengar.

Aaaarrgh! Aku benci suara itu!

Aku akan minta pindah kamar saja ke Ibu kos besok! Mumpung kamar sebelah kiriku masih kosong.

Sudah dua jam, tapi Pipit masih setia menempelkan telinganya di tembok.

"Pit! Udahlah, ayo tidur! Mau sampai kapan kamu nempelin telingamu di tembok?!" ucapku pada Pipit yang masih setia di posisinya.

"Gila ya mereka! Udah dua jam, mereka masih belum kelar-kelar!"

Aku mendelik ke arahnya.

"Yang lebih gila itu kamu! Udah tahu mereka gitu-gitu. Masih aja nguping!"

Pipit akhirnya memilih tidur di sampingku setelah lelah menempelkan telinganya di tembok.

Dia mah enak. Setelah nemplok ke bantal langsung tidur. Lah, aku? Boro-boro ngantuk, orang suara desah*n dari kamar sebelah aja makin kenceng. Gimana mau tidur?!

Inilah Aku

"Tis, Tisa! Bangun Tis!" Suara Pipit yang kencang, dan tubuhku yang seperti diguncang-guncang membuatku terbangun.

"Bangun Tis, bangun!"

"Apaan sih Pit? Aku tuh masih ngantuk!"

"Bangun! Ada cowok tampan datang ke kosan ini! Sepertinya penghuni baru!" ucapnya antusias. Dia bangkit, mengintip dari jendela kamarku.

"Aduh Pit, gitu doang heboh banget sih! Kirain apaan! Udah ah, aku mau tidur lagi. Mumpung lagi libur." Kurebahkan tubuhku lagi.

"Ck, ah Tisa! Ada cowok guanteng dicuekin!"

"Bodo amat. Aku ngantuk!"

"Ya udah deh. Kalau gitu aku pulang dulu ya. Nanti sore aku ke sini lagi. Daaah," ucapnya sambil membuka pintu kamar dan pergi.

Sementara aku? Aku kembali melanjutkan tidurku.

________

Aku baru terbangun lagi sekitar jam 10.

Perutku yang keroncongan ini menjadi alarm yang membuatku terbangun.

"Bakso! Bakso!"

Pas sekali! Tukang bakso lewat di depan kosanku.

Tanpa pikir panjang, aku langsung keluar kamar.

"Bakso Bang!" teriakku pada tukang bakso.

Tukang bakso berhenti.

Segera kuambil uang di dompetku, dan bergegas ke tukang bakso.

Tak kuhiraukan rambutku yang awut-awutan karena bangun tidur. Dengan cepat, kuikat rambutku asal-asalan ke atas.

"Satu porsi, dibungkus aja ya Bang." Abang tukang bakso mengangguk.

"Libur Neng?" tanyanya padaku.

"Iya Bang." Kuusap wajahku yang rasanya berminyak. Tak luput, aku juga membuang kotoran yang ada di sudut mataku.

"Nggak jalan sama pacarnya Neng?"

"Nggak punya pacar Bang," jawabku singkat.

"Masa sih, cantik gini tapi nggak punya pacar?"

"Ya emang nggak punya Bang, tapi kayaknya Abang perlu pakek kacamata deh," ujarku.

"Hah? Kok bisa?"

"Iya, soalnya kayaknya mata Abang bermasalah deh. Aku yang awut-awutan gini dibilang cantik. Pasti baksonya jadi mahal kan, karena gombalan tadi?"

Dilihat dari manapun, mukaku pasti saat ini minyakan banget. Apalagi muka bantal karena baru bangun tidur.

Abang bakso malah ketawa mendengar ucapanku.

"Neng, Neng. Yang namanya cantik itu, mau penampilan kayak gimanapun, ya tetep cantik!" imbuhnya.

"Udah ah Bang. Jangan gombal lagi, nggak bikin kenyang!" ucapku sambil membayar bakso dan masuk ke kamar.

Setelah ambil mangkuk, aku melahap bakso sambil nonton anime. Rutinitasku tiap libur, nonton anime.

Tak terasa, waktu sudah menjadi sore.

Aku yang lagi asik-asiknya nonton anime dari hp sambil dicas, dikagetkan oleh pintu kamar yang tiba-tiba dibuka seseorang.

"Pipit! Kalau mau masuk itu ketuk pintu dulu!" Aku memandang kesal kearahnya, tapi Pipit malah mendelik ke arahku.

"Udah dibilang, kalau hp lagi dicas itu jangan dibuat main!" Sekarang malah dia yang ngomel ke aku. Aku hanya memutar bola mata.

"Ya kalau kamu punya pacar, yang bela-belain harus balas chat. Lha ini, cuma nonton kartun doang! Bisa cepet rusak hpmu kalau dibuat main terus saat dicas!"

"Udah dibilangin, bukan kartun! Tapi anime, a-ni-me! Jangan berani-beraninya nyebut anime kartun!"

"Emang kenapa? Sama aja tuh! Kartun, kartun, kartun!" ucap Pipit mengejekku.

"Heeeghh! Dibilang nggak sama, ya nggak sama! Jangan nyebut anime kartun!!" Kututup mulut Pipit dengan tanganku.

"Hemph!" Pipit menepis tanganku. "Tanganmu kok rasanya asin sih Tis?"

Aku tertawa mendengar ucapannya. "Ya iya lah, orang barusan aku habis garuk ketek!" ucapku menyeringai.

"Iihhh, dasar! Tisa jorok!" Pipit mengusap-usap mulutnya. "Pantesan asin!"

Aku hanya tertawa melihatnya.

"Gimana rasanya ketek yang belum mandi dari pagi? Enak nggak? Hahaha!"

"Dasar! Dari tadi pagi kamu belum mandi?" Aku mengangguk menjawabnya.

"Ya ampun ... jorok banget sih kamu. Cepet mandi sana Tis! Bau tahu!"

"Nggak ah, males! Lagian nggak mau ke mana-mana kok."

"Kata siapa nggak kemana-mana? Ikut aku belanja ke mall yuk!"

"Huaaaii!" Aku menguap lebar. "Nggak ah males!"

"Ayolah Tis, aku bosen di kosan terus!"

"Yang bosen siapa?" tanyaku.

"Aku," jawabnya

"Yaudah, kamu aja yang pergi sendiri. Aku nggak bosen di kosan."

"Ayolah Tis, nggak seru kalau shopping sendirian," ucapnya memelas.

"Aku nggak suka shopping! Capek jalan ke sana ke mari!" sahutku.

"Ayolah, aku beliin cilok deh!"

Nah, dia mulai menyogokku!

Aku masih bergeming.

"Sama sempol deh."

Kulirik dia, aku masih tetap bergeming.

"Batagor juga!"

"Kuy, gasken!" Aku langsung berdiri. Cilok, sempol, batagor, l am coming!

"Eits! Mau ke mana kamu?" Pipit menahan bajuku.

"Kan mau ke mall, katanya mau shopping?"

"Mandi dulu sana!" titahnya.

"Nggak usah deh, kasian kamunya nunggu kelamaan nanti."

"Halah, bilang aja nggak sabar pengen makan cilok! Giliran soal makanan aja, gercep!"

"Ehehe." Aku hanya nyengir menanggapinya.

"Tapi Tis, seenggaknya kamu cuci muka dululah. Mukamu minyakan banget tuh!"

"Kenapa harus cuci muka kalau ada tisu basah?" ucapku sambil mengelap wajahku dengan tisu basah.

Pipit mengusap wajahnya kasar. "Ya Allah, bisa-bisanya aku punya sahabat kayak dia. Joroknya udah kelewatan!"

"Yuk berangkat!" ajakku.

"Sisir dulu tuh rambut! Berantakan kayak gitu!" ucapnya lagi.

Kuambil topi hitam yang tergantung di dinding. "Inilah kegunaan dari topi, sayang." Kupakai topi itu, menutupi sempurna rambutku yang tadi berantakan. "Nah, lihat! Nggak perlu sisiran lagi kan?" ucapku bangga.

Lagi-lagi Pipit hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahku.

"Yuk lah, berangkat. Cilokku sudah menunggu." Aku berangkat dengan pakaian seadanya. Kaos oblong lengan pendek, celana training, dan topi hitam tadi.

Hahaha. Inilah aku. Aku tak pernah ribet soal penampilan. Aku memakai apapun yang membuatku nyaman.

Aku memandang Pipit yang tinggi semampai. Kulitnya putih dengan gincu merah di bibirnya. Tak luput dengan baju yang begitu, wah!

180 derajat sangat berbeda dengan penampilanku. Aku tak pernah berdandan, karena tidak bisa. Begitu belajar bikin alis, malah bentuk kotak dan jadi aneh.

Dia perempuan yang sangat menjaga penampilan. Apalagi dia bekerja di salon yang cukup terkenal.

Aku pernah ditawari kerja di sana, tapi aku nggak mau. Karena aku merasa tidak cocok berada di tempat yang berkilau seperti salon. Hehehe. Aku yang amburadul gini, kerja di salon?

"Pit, kamu udah tinggi. Ngapain masih pakek sepatu yang ada hak-nya?" Kupandangi sepatunya itu. Entah berapa centimeter tingginya. Ngilu aku lihatnya.

"Ini namanya fashion sayang, fashion! Ugh! Sayangku ini, besok-besok aku akan ajari kamu fashion deh!" ucapnya sambil menggandeng lenganku.

"Fashion apaan? Udah tinggi, masih pakek sepatu tinggi! Kayak galah tahu nggak!" ucapku tertawa. "Enak deh, nanti kalau ada pohon ceri, nggak usah ambil galah. Orang ada galah di samping aku! Hahaha!"

"Aish! Tisa nih! Masa orang disamain sama galah! Gini nih, kalau nggak tahu fashion. Lihat tuh sepatu bulukmu!" Pipit menunjuk sepatu tali yang kupakai. "Harusnya mah, itu udah masuk tong sampah!"

"Enak aja! Ini nih masih bisa dipake tahu!" bantahku.

"Ada lubangnya tuh di depan! Sampai jempolmu udah kelihatan pun, aku yakin kamu masih pakek tuh sepatu. Baru kalau udah sol-nya lepas, nah, baru deh kamu bilang nggak bisa dipakek!"

"Nah itu kamu tahu!" sahutku.

"Tisa, Tisa. Kamu itu kerja uangnya buat apa sih? Beli pakaian enggak, make up juga enggak, keluarga juga kaya tapi penampilan kayak gembel gini!" ucapnya mencibirku. Aku hanya meliriknya malas.

"Eh, tapi tadi siang Ayahmu telpon aku lagi tahu! Nanyain kosan kamu di mana."

Aku menoleh terkejut. "Terus kamu bilang apa?! Kamu nggak bilang kan, alamat kosanku?!"

"Ya enggaklah. Kan aku udah janji sama kamu, tapi mau sampai kapan kamu nggak pulang ke rumahmu Tis?"

"Sampai aku sukses! Udahlah, jangan bahas rumah terus. Bahas lain aja!"

Orang-orang yang bersalipan dengan kami selalu saja memandangi kami.

Mungkin mereka heran dengan penampilan kami yang begitu kontras. Yang satu cantik bening, yaitu Pipit. Yang satunya lagi amburadul, aku!Hahaha.

Sol Sepatu Lepas

Kutenteng kantong plastik berisi sempol di tangan kiriku. Sementara tangan kananku memegang cilok, sambil sesekali menyuapkannya ke mulut.

Lalu batagor? Sudah habis kulahap di tempatnya tadi.

"Tis, nggak bisa apa kalau makan ciloknya nanti aja?" tanya Pipit.

Sambil jalan-jalan di mall, aku terus menyuapkan cilok ke mulut.

"Diliatin orang, malu tahu! Masa makan sambil jalan?" imbuhnya lagi.

"Ya biarin aja napa Pit! Orang lihat kan karena punya mata," kukunyah cilok dengan penuh kenikmatan.

"Lagian kenapa sih kamu antusias banget sama cilok itu? Bukannya sama ya, kayak cilok yang kamu beli tiap hari."

"Beda kali Pit! Yang ini tuh gratis, makanya lebih nikmat!" ucapku sambil mengacungkan cilok di tanganku.

"Aish! Nggak masuk akal banget sih! Tungguin di sini ya. Aku mau nyobain dress itu!"

Aku duduk di kursi yang memang disediakan di sana. Sementara Pipit berlalu ke ruang ganti baju.

Tak lama, dia keluar menunjukkan dress yang dipakainya kepadaku.

"Gimana? Bagus nggak?" tanyanya.

"Bagus!" ucapku sambil beralih mengunyah sempol.

Kemudian dia masuk ke ruang ganti lagi dan keluar dengan dress yang berbeda.

"Kalau ini bagus nggak?"

"Bagus!" Aku mengangguk.

Beberapa kali dia keluar masuk ruang ganti. Mencoba banyak baju. Aku hanya terus mengangguk dan mengatakan bagus.

"Ish! Dari tadi kamu cuma ngangguk-ngangguk terus! Beneran bagus nggak sih?" Pipit mulai protes dengan anggukanku.

"Nih, denger ya Pit. Yang buat bagus itu bukan bajunya, tapi orangnya! Dasarnya kamu itu cantik, mau pakek baju apapun pasti bakalan tetep cantik!"

"Uuhh, sayangku! Makasih ya." Pipit malah memelukku.

"Udah ah, jangan peluk-peluk terus, aku mau makan sempol nih!" Kudorong tubuh Pipit menjauh.

"Yaudah deh, kalau gitu aku nggak jadi beli! Aku masih punya dress yang baru di rumah." Keputusannya membuatku melongo.

Apa?! Dari sekian banyak baju yang dicobanya, ujung-ujungnya malah nggak beli.

Nggak capek apa dia, gonta-ganti nyobain baju tadi?

Nggak ada gunanya muter-muter terus tadi. Ujung-ujungnya nggak beli apa-apa. Ah, udahlah. Terserah dia mau beli apa nggak.

"Yuk, kita jalan-jalan lagi. Cari yang lain, buat cuci mata," ajaknya seraya menggandeng lenganku.

Kutinggalkan plastik bungkus cilok dan sempol di pojokan kursi yang aku duduki tadi.

"Eh Mbak, Mbak. Sampahnya tolong dibawa!"

Aku menoleh ke mbak-mbak yang jaga baju di mall itu.

Astaga! Kenapa dia bisa tahu sih kalau aku ngumpetin sampah di situ?

Kutatap wajah Pipit yang mendelik ke arahku.

"Kenapa kamu buang sampah di situ?! Malu-maluin banget sihh!" Matanya yang mendelik seakan mengatakan itu.

Aku hanya nyengir ke arahnya.

"Maaf Mbak, tadi kelupaan!" ucapku pada mbak penjaga baju sambil mengambil sampahku.

"Hiiighh! Gemes aku tuh sama sikapmu Tisa!" ucap Pipit seperti mau menggigitku.

"Hehehe. Maaf."

Setelah itu kami terus keliling mall, mondar-mandir nggak jelas. Kata Pipit sih, ini namanya cuci mata, tapi menurutku bukan cuci mata. Kaki pegel iya.

Saat keluar mall, seseorang mendorongku dari belakang, membuatku hampir jatuh.

Pipit yang ingin menahanku agar tidak terjatuh malah menginjak ujung belakang sepatuku.

Kreeek!

Aku memandang sepatuku.

Astaga! Sol sepatuku lepas!

Sol sepatu kaki kiriku tertinggal satu langkah dariku karena diinjak Pipit.

"Pipit!" teriakku.

"Tuh kan bener! Sepatumu itu udah nggak layak pakai!"

Setelah merusak sepatuku, dia malah bilang gitu?

"Pit, kamu tuh udah ngerusak sepatuku! Bukannya minta maaf, malah bilang gitu!"

"Tisa, ini tuh udah saatnya kamu ganti sepatu! Copot tuh sepatu dan buang ke tong sampah!"

Beberapa orang yang lewat memandang ke arahku. Melihat sepatuku yang lepas sol-nya.

Kucopot sepatuku dan membuangnya ke tong sampah.

"Yuk, kita masuk mall lagi. Kita beli sepatu baru buat kamu," ajak Pipit.

"Nggak usah deh, di kosan masih ada sepatuku yang lain. Pulang aja yuk!" tolakku.

"Ya ampun Tisa! Terus kamu pulang nyeker?" tanya Pipit.

"Iya, nggak papa. Mall sama kosanku kan deket."

Akhirnya aku benar-benar pulang tanpa alas kaki, alias nyeker.

Karena Pipit yang terus muter-muter di mall tadi, aku baru pulang jam delapan malam.

Sampai di kos, aku langsung masuk kamar mandi untuk cuci kaki.

Kutatap kamar sebelah kiri kamarku. Lampu yang selama ini mati, kini menyala. Mungkin benar kata Pipit tadi pagi, ada penghuni baru yang datang, tapi bodo amat. Aku bukan tetangga baik hati yang akan menyapa setiap penghuni baru.

Tiba-tiba, pintu kamar itu terbuka. Ada seorang cowok nyembul dari dalam dengan kaos oblong warna putih lengkap dengan celana kolornya.

Ada sesuatu yang terjiplak sempurna di tengah-tengah celana kolor itu.

Glek!

Aku menelan ludahku.

Astaga! Apa yang aku pikirkan?! Mataku! Mataku ternodai!

Segera kubuang mukaku ke arah lain.

"Halo Dek. Aku penghuni baru di sini," sapanya. "Adek juga penghuni di sini?"

Kenapa dia manggil adek?

"Iya, salam kenal," ucapku tak memusingkan panggilan adek barusan. Aku berlalu begitu saja.

Saat ingin membuka pintu kamar, sayup-sayup kudengar suaranya bergumam, "Kenapa Ibu kos membiarkan anak dibawah umur ngekos di sini sih? Ini kan kos-kosan campuran."

Siapa yang dimaksud anak di bawah umur? Aku?

Kembali kuputar badanku menghadap ke arahnya.

"Siapa maksudnya anak di bawah umur? Aku?" tanyaku padanya.

Dia tampak terkejut karena aku mendengar ucapannya.

"Ya, siapa lagi kalau bukan kamu? Kan di sini cuma ada aku sama kamu!" sahutnya.

"Denger ya Om, aku tuh bukan anak di bawah umur! Aku udah 22 tahun!" ucapku memberikan kejelasan.

"Apa kamu bilang? Om?! Umurku baru 23 tahun! Aku bukan Om-om!"

"Siapa suruh muka trapas?" ucapku tidak peduli.

"Dasar bocil!"

Siapa lagi tuh bocil? Dia ngatain aku bocil? Baru kenal udah ngajak ribut!

"Denger ya Om, aku tuh bukan bocil! Aku udah 22 tahun!"

"Aku juga bukan om-om!" sahutnya tak mau kalah. Dia mendekat ke arahku. Membuat benda yang sedari tadi sembunyi di kolor sedikit berbandul.

Aku terbelalak melihatnya.

Aaargh! Kenapa aku malah melihat ke arah situ lagi sih?!

Refleks, kututupi wajahku dengan kedua tangan.

"Kenapa?" Dia terlihat bingung menatapku.

"Mohon maaf, kedepannya tolong pakek celana yang lebih tebal!" ucapku melihat ke arah benda mengerikan itu.

Sial! Kenapa aku malah melihat ke sana lagi?!

Dia terlihat kikuk. Mungkin dia malu karena aku sudah melihat sesuatu yang seharusnya tidak aku lihat dari dirinya.

"K-kalau gitu, aku masuk ke kamar dulu," ucapnya terbata.

Nah kan dia beneran malu.

Cowok itu berlalu masuk ke kamarnya. Begitu pun juga aku.

Kuputuskan untuk mandi, karena aku belum mandi seharian.

Saat mengaitkan handukku ke centelan di dalam kamar mandi, lagi-lagi aku mendengar suara aneh. Seperti merintih kesakitan. Aku urung membuka baju.

Suara apa itu? Masa kamar mandinya berhantu, sih?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!