...BEDA TIGA TAHUN...
...WIBUKKK KESAYANGAN AKOHHHH LUTFAN...
...[SELAMAT MEMBACA]...
Kehidupan ini terlalu kejam untuk ia jalani.
Sungguh ia telah mengetahui, bahwa manusia tidak bisa memilih ingin terlahir dari rahim seorang wanita yang terhormat ataupun yang terhina. Namun setidaknya, apakah ia tidak bisa lahir dari hubungan yang baik? Maksudnya, pernikahan.
Supaya kelak ia tak malu dan memiliki nasab.
Tetapi, nyatanya apa? Itu semua hanyalah mimpi yang tidak akan pernah menjadi nyata. Ibunya adalah wanita yang sangat tidak baik dalam pandangannya. Dan sampai kapan pun ia tidak akan dipandang dengan baik juga oleh orang-orang, karena kelahirannya yang tanpa seorang Ayah. Bahkan juga, tanpa nama Ibunya itu, meninggalkan ia di depan panti asuhan Al-Hikmah.
"Mbak Mardiyah!"
Suara seruan itu membuatnya menoleh mencari-cari siapa yang memanggilnya tadi. Setelah netranya menangkap orang tersebut. Kemudian Mardiyah bicara, "Oh. Salsa. Ada apa?"
"Di panggil sama Umma Sarah, Mbak," jawab Salsa---gadis dua puluh tahun yang menggunakan gamis hijau lumut dan kerudung hitam itu.
Mardiyah mengangguk. "Iya. Aku ke sana habis ini."
"Cepat yo Mbak, soalnya di tunggu sama Umma."
Mendengar ucapan Salsa, sesegera mungkin Mardiyah berdiri, meninggalkan kursi batu taman. Dan membawa beberapa kerupuk udang yang ditugaskan kepadanya untuk dijemur sejenak saja. "Nggak biasanya, Umma Sarah manggil siang-siang gini," gumamnya.
Usai sudah Mardiyah meletakkan kerupuk yang dijemurnya tadi di dapur---secepatnya ia menuju kantor Umma Sarah yang jaraknya cukup dekat. Dan sekitar dua menit dengan tergesa-gesa ia telah sampai di ambang pintu kantor.
"Assalamualaikum Umma," salam Mardiyah.
Salamnya disambut senyum hangat dari Umma Sarah. "Waalaikumussalam. Masuk sini, Nak."
Mardiyah melangkah masuk, mengambil duduk bersebrangan dengan Umma Sarah. Kedua netra indah itu saling bertatapan. "Umma mau bicara tentang apa?" tanya Mardiyah.
"Hari ini ... tepat milad mu yang ke dua puluh satu tahun, ya?"
Dengan menunduk, serta tersenyum sekilas Mardiyah menjawab, "Iya, Umma."
Amplop cokelat yang rata tapi memiliki sebelah sisi yang menggelembung itu di serahkan kepada Mardiyah. "Ini ... dari---"
"Dari siapa, Umma?" sanggah Mardiyah.
"Ibumu," jawab Umma Sarah.
Mardiyah urungkan mengambil amplop itu---saat mendengar kata Ibu disebutkan oleh Umma Sarah. Bahkan rasa-rasanya ia mencoba tuli dan buta, seakan-akan ucapan Umma Sarah adalah angin lalu dan amplop cokelat tak ada di depannya.
"Umma harap kamu baca, Mardiyah. Jangan pernah menyalah pahami sesuatu yang kebenarannya belum kamu ketahui," ucap Umma Sarah.
Menyalah pahami apa, Umma? Semua sudah jelas tentang wanita hina itu! batin Mardiyah.
"Mardiyah nggak mau menerima surat dari orang yang meninggalkan bayi, yang baru berusia lima hari di panti asuhan, Umma!"
Mardiyah lepas kendali. Netra indahnya berkaca-kaca, bentakan yang ia lontarkan hanya pembelaan untuk kesakitan mendalam di hidupnya. "Apa Umma percaya bahwa Mardiyah adalah anak wanita itu? ... Mardiyah nggak percaya Umma. Sama sekali pun nggak percaya! Nggak ada seorang Ibu yang setega dia!" lanjutnya.
"Mardiyah!" hardik Umma Sarah.
"Ibu macam apa dia, Umma?" Air mata Mardiyah detik itu juga menetes, tatapan yang semula ramah berubah sendu. Lantas ia kembali berujar lirih, "Tolong Umma ... to-long jelasin ke Mardiyah, apa wanita seperti dia pantas untuk dipanggil dengan sebutan Ibu?"
"Pantas. Coba kamu pikir, gimana bisa kamu lahir di dunia ini tanpa Ibumu, Mar?"
Mardiyah menggeleng. "Mardiyah nggak peduli, Umma. Entah siapa pun Ibu kandung Mardiyah, Mardiyah tetap anak yang nggak pernah di inginkan."
"Umma paham, Mar. Tolong kamu bawa surat ini, sebagai pertanda kamu masih menghormati Umma, Nak."
Mardiyah meninggalkan kantor panti asuhan dengan membawa surat yang dari Ibu kandungnya. Umma Sarah hanya terdiam memandangi anak asuhannya, tatapan itu mengambarkan segala cinta kasih yang diberikan untuk Mardiyah.
"Umma ... Umma!"
"Lutfan? Ya Allah! Kapan kamu datang, Nak?"
Lutfan. Anak lelaki semata wayangnya, tiba-tiba datang tanpa memberi kabar.
"Barusan ini," jawab Lutfan dengan cengengesan.
Tas belanja yang terbuat dari kertas, dan entah berisi apa Lutfan berikan kepada Umma Sarah. "Hadiah dari aku, Umma. Buat Umma, mohon dengan segala keikhlasan diterima tanpa memikirkan harga dan lain-lainnya."
"Ya Allah. Kamu ini! Mana pernah Umma mikirin harga segala."
Lutfan mengambil duduk di sofa abu-abu kantor panti asuhan. "Ya siapa tahu, Umma berubah gitu."
"Oh iya Umma. Tadi aku lihat si anu cewek da---maksudku si Mar, ngapain keluar dari kantor Umma kayak nangis gitu?"
Umma Sarah yang tadi hendak membuka bungkusan, kembali menatap Lutfan dan bertanya, "Nangis? Mardiyah nangis?"
Lutfan mengangguk.
"Umma apain dia?"
"Nggak di apa-apain. Tadi Umma mau kasih sesuatu ke dia."
Kening Lutfan mengerut. "Sesuatu apa?"
"Surat."
"Surat? Dari?"
"Dari Ibu kandung dia, Lutfan. Sebenarnya dituliskan bahwa Umma harus menyerahkan itu di usia dia yang ke lima belas tahun. Tapi Umma memilih menyerahkannya di usia dia yang sekarang dua puluh satu tahun," jelas Umma Sarah.
Lutfan mengangguk. "Jadi faktanya ... dia anak hasil ... itu Umma?"
"Bisa dibilang. Tapi Ibunya diperkosa dan laki-laki yang mana Ayah Mardiyah nggak menerima kabar tentang kehamilan itu."
Lutfan terlihat heran. "Alasannya?"
"Ternyata Ayah Mardiyah sudah menikah."
Lutfan manggut-manggut. Alasan seorang perempuan yang tiada ingin memberitahu tentang kehamilannya adalah pernikahan tiba-tiba. Sehingga mempupuskan harapan seorang janin yang ingin terlahir di dunia dengan miliki kedua orang tua yang lengkap.
"Ternyata ... itu alasan dia bersikap aneh, ya Umma?"
Umma Sarah bertanya, "Aneh gimana?"
"Dia dingin. Bicaranya juga irit. Sekali bicara nyakitin banget."
Umma Sarah meletakkan kembali tas yang belum ia lihat isinya. Ia berdiri, mengambil duduk di samping Lutfan. "Harusnya kamu memahami dia, Lutfan. Bukannya sendari kecil kalian tumbuh bersama? Kamu tahu sendiri gimana dulu setelah pulang sekolah dia terus menangis. Kamu tahu gimana dulu teman-teman sebayamu mengejek-ejek dia habis-habisan."
"Dia nggak tahu pasti statusnya sebagai seorang anak. Entah yatim piatu, entah masih memiliki orang tua. Dan ... kamu paham gimana sakitnya saat Abimu meninggalkan 'kan, Nak?" sambung Umma Sarah.
Lutfan hanya terdiam.
"Penderitaan kalian emang nggak sama. Tapi ... sama-sama menyakitkannya 'kan, Lutfan?"
"Penderitaan kalian emang nggak sama. Tapi ... sama-sama menyakitkannya kan, Nak?"
Lutfan hanya bisa mengangguk.
"Lutfan pamit dulu, Umma. Mau keliling outlet lagi."
Kening Umma Sarah mengerut. "Keliling outlet lagi? Emangnya tugas-tugas sekolahmu sudah selesai?"
"Umma lupa? Lutfan ini udah Ujian Nasional, tinggal lihat aja Lutfan ini lulus atau nggak? Jadi mah santai-santai aja Umma," jawab Lutfan.
Netra Umma Sarah terbelalak. "Pasti dong! Pasti lulus anak Umma!"
"Aamiin. Do'a Ibu pasti terkabul. Jadi mohon bantuannya dalam setiap sujud, ya Umma? Do'ain aku anak Umma yang ganteng ini. Dadah! Aku pamit Umma. Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam."
Lutfan tak pernah memungkiri bahwa kerinduannya terhadap Mardiyah yang dulu sangatlah besar. Ingatan-ingatan masa kecil di mana ia dan Mardiyah saling mengasihi, saling mendekap satu sama lainnya di saat tertimpa musibah masih berputar jelas dipikirannya.
Bahkan di saat-saat menyedihkan dari kehidupan di mana ia harus kehilangan sosok Ayah, Mardiyah tak pernah datang untuknya, perempuan itu hanya datang untuk Umma hanya menghibur Umma tidak dengan dirinya. Padahal jika ia ingat-ingat dulu, Mardiyah pernah berjanji bahwa setiap ia meneteskan air mata, pelukan dari perempuan itu adalah obatnya.
Entah sengaja ingkar, atau memang telah terlupakan.
Lo pikir, gue bisa lihat lo nangis Mar? batin Lutfan.
Sengaja Lutfan memarkir mobilnya di pembatas asrama putri dan putra yang berdekatan dengan asrama Mardiyah, barang kali sejenak saja ia bisa melihat apakah keadaan Mardiyah yang baik-baik saja. Atau setidaknya melihat ada seseorang yang menemani perempuan itu dalam tangisnya.
"Weh! Ngapain kamu Lutfan?!"
Jantung Lutfan berdetak kencang. Ia benar-benar terkejut. "Banyu! Lo mau bikin gue jantungan? Gue kaget gila!"
"Duh mulutmu iku lho! Kebanyakan di kota nggak bisa ngontrol banget. Lah kamu ngapain toh lihat-lihat asrama putri?" ucap Banyu.
Lutfan menatap Banyu sewot. "Lah lo sendiri ngapain? Santri kok kelayapan di panti asuhan. Balik sana lo ke pesantren!"
Banyu menggeleng ber-istighar. "Bisa-bisanya kamu balikin pertanyaan aku, Lut, Lut. Heran aku sama kamu. Wes aku balik ke pesantren. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Hati-hati."
Lutfan memandang kepergian Banyu dengan bergumam, "Lagian ngapain lo tanya-tanya? Orang gue lihatin asrama panti asuhan punya Umma gue. Nggak masalah 'kan gue lihat?"
Setelah mengomel-omel tak jelas, Lutfan memasuki mobil. Sebenarnya ia ingin menyetir sendiri, tapi dikarenakan masih sekolah Umma melarangnya. Jadi ia diantar Cak Sur ke mana-mana, yang dulunya beliau adalah sopir Abinya.
"Ke mana, Mas?" tanya Cak Sur.
"Balik ke kota. Kita keliling outlet lagi, Cak." Lutfan menimbang-nimbang, apa harus semua outlet? Bagaimana kalau sebagai saja. Ia juga bisa mengerjakan via online. "Dua outlet aja, Cak. Nanti kalau udah langsung anterin saya ke kos, ya Cak?"
"Nggih, Mas."
Mobil melaju, perjalanan mungkin akan memakan waktu sekitar satu jam bilang tidak macet. Niat hati ingin memejamkan mata, namun gawai yang berada di saku depannya berbunyi.
Siapa lagi? Ganggu banget, batin Lutfan.
Mas Jafar
Saya boleh minta tolong?
Ternyata Jafar---Kakak sepupunya.
^^^Boleh, Mas^^^
^^^Apa?^^^
Mas Jafar
Tolong nanti di kota, belikan saya buku catatan dan pena. Saya butuh.
Maaf merepotkan, karena saya sama sekali tidak sempat keluar.
Tidak apa-apa 'kan Lutfan?
^^^Santai Mas^^^
^^^Nggak pa-pa, nanti aku beliin^^^
^^^Berapa?^^^
Mas Jafar
Satu kardus semua
^^^Oke siap^^^
^^^Besok kalau aku pulang ke panti,^^^
^^^aku mampir ke pesantren^^^
Mas Jafar
Terima kasih, Lutfan
Layar gawai mati. Lutfan memasukkan kembali gawai itu di dalam saku, sebelum memejamkan mata ia berujar, "Cak Sur, tolong nanti mampir di toko Purnama."
"Purnama yang mana, Mas?"
"Jalan Anggrek aja, Cak. Deket sama outlet," jawab Lutfan.
Cak Sur mengangguk.
"Saya mau tidur dulu, Cak. Tolong nanti bangunin, ya Cak?"
Cak Sur mengangguk. "Siap, Mas."
...🌺...
Di lain tempat.
Panti asuhan adalah rumah bagi Mardiyah. Orang-orang tidak akan pernah memahami kesakitannya, orang-orang hanya bisa mengolok-olok tanpa memahami ucapan yang terlontar itu sangat berpengaruh bagi kehidupannya. Tidak memiliki Ayah dan Ibu, Mardiyah tak masalah. Namun mengapa dunia seakan-akan meneriakinya bahwa anak haram tak patut untuk bahagia?
Hatinya sakit.
Secarik kertas di dalam amplop ini apa? Pertanda sayang? Atau pertanda bahwa ia masih memiliki orang tua? Memuakkan! Ia merasa tidak membutuhkan surat ini. Jika memang ia adalah anak yang diinginkan apa sebegitunya susahnya untuk sekadar memberi nama?
Mardiyah benci.
Kehidupan macam apa yang akan ia dapati karena terlahir dari rahim perempuan hina seperti itu?
Menjijikan.
"Kak Mar ..."
Jendela kamar Mardiyah yang sedikit terbuka menampakkan Inayah yang mengintip.
"Ada apa?"
"Ehmm ... a-aku boleh masuk, Kak?"
Mardiyah beranjak dari ranjang, dan membuka pintu perlahan. "Mau ngapain?"
"A-aku lihat, K-kak Mar nangis. K-kak Mar nggak pa-pa?"
Pandangan Mardiyah yang semula tajam, kini melembut. Padahal asrama Inayah termasuk jauh dari asramanya, mengapa bisa gadis kecil itu bisa sampai sini? "Kakak nggak pa-pa, Naya."
"Mau masuk?"
Secepatnya Inayah menggeleng. "E-enggak, o-orang Kak Mar di luar, ngapain aku masuk?"
"Kakak masuk. Ayo, masuk."
Langkah kecil Inayah memasuki kamar asrama Mardiyah, pandang gadis kecil itu mengedar mungkin bingung ingin duduk di mana.
"Duduk di atas kasur aja," ucap Mardiyah.
Inayah duduk di tepi ranjang, ia memilin jari-jari tangannya dengan menunduk ia berujar, "Kakak ... ke-napa nangis?"
"Masalah orang dewasa."
"Ehm ... e-emang masalahnya orang dewasa apa? Kok Kakak sampai nangisnya begitu banget," tanya Inayah.
Mardiyah tersenyum getir. Bagiamana kiranya ia menangis sampai Inayah merasa aneh? "Begitu gimana?" tanyanya.
"Ka ... yak sakit banget gitu."
Masalahnya emang sakit, Nay, batin Mardiyah.
"Sakit dikit, Nay," ujar Mardiyah.
Inayah mengangguk. "Bi-biasanya kalau orang nangis di peluk bakalan diem. K-kak Mar mau aku peluk?"
Kali ini bukan senyum getir. Namun senyum tipis yang ia tampakkan untuk Inayah---gadis kecil ini belajar dari mana? Pengetahuan dari mana bahwa pelukan adalah obat dari rasa sakit semacam ini?
"Boleh, sini."
Inayah mendekat merentangkan tangan memeluk dengan begitu erat. "Gimana Kak?" tanya Inayah.
"Apanya yang gimana?"
Tepukan terasa di punggung Mardiyah.
"Pelukannya Kak," ucap Inayah.
Orang-orang benar tentang pelukan. Dekapan ini terasa hangat dan nyaman, gadis kecil ini seakan-akan cerminan dirinya yang dulu. Mengapa bisa pelukan dari Inayah begitu membuatnya merasa damai dan membaik?
Sakit di dadanya mereda.
"Nyaman, Nay."
Terasa seperti pelukan masa kecilku dengan dia, batin Mardiyah.
Note:
Kejadian dua tahun yang lalu pasca empat bulan kecelakaan Ayah Lutfan, Ayah Jafar dan Jafar, Lutfan masih umur 18 tahun mau lulus sekolah.
"Nyaman, Nay."
Dekapan hangat yang terjadi dua menit lamanya terlepas. Gadis kecil itu menatap Mardiyah dengan netra indahnya, dan bertanya, "Kak Mar, udah baikan?"
"Lumayan."
Mardiyah beranjak dari ranjang, membuka laci pertama dan setelah mendapat apa yang diinginkannya, ia berbalik. "Buat kamu, Nay."
"Co-cokelat?"
Mardiyah mengangguk. "Hadiah."
"Ma-makasih, Kak Mar."
Mardiyah sedikit menunduk---menyentuh kedua bahu gadis kecil itu. "Sana. Kamu balik ke asrama," ujarnya.
"I-iya, Kak. Naya pamit. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Mardiyah tidak pernah memungkiri bahwa pelukan memang manjur untuk menenangkan diri. Ia sedikit tenang. Pelukan Inayah masih terasa, ia juga merasa seakan-akan disayangi oleh keluarga. Ia paham semua orang di panti asuhan Al-Hikmah adalah keluarganya. Namun tetap saja, tidak semua bersedia menerima.
Amplop cokelat itu masih tergeletak di ranjang. Hari ini usianya tepat dua puluh satu tahun, cukup dewasa untuk menghidupi diri sendiri. Ah tidak, ia lupa selama ini ia memang hidup sendiri di panti asuhan. Rasa ingin membakar surat yang diberikan oleh wanita hina itu sangat besar.
Tapi apa boleh? batin Mardiyah.
Ia takut dengan membakar surat itu, sama saja dengan menghilangkan rasa hormatnya pada Umma Sarah---seorang Ibu panti asuhan yang mengurusnya sendari kecil.
Mardiyah menggeleng. "Enggak. Aku nggak bisa."
Cepat-cepat Mardiyah membuka laci dan memasukan amplop cokelat itu di sana. Ia tak ingin membacanya sekarang, nanti. Iya, nanti jika ia sudah sangat siap.
"Enggak-enggak. Sekarang aja."
Mardiyah kembali membuka laci. Ia takut jikalau mengulur waktu akan membuatnya berakhir membuang secarik kertas di dalam amplop itu.
Santai, Mardiyah. Kamu tinggal buka surat ini, batin Mardiyah.
Saat amplop di buka kertas di dalamnya terlihat usang, sedikit kecoklatan hendak robek. Mardiyah jadi berpikir sudah berapa tahun surat ini di buat? Ah, iya. Sewaktu kelahirannya.
Anak Ibu ...
Semakin bertumbuh besar kamu pasti semakin cantik. Sayangnya Ibu tidak melihat itu, Nak.
Percaya lah Nak, Ibu sama sekali tidak berniat membuang kamu. Ibu hanya merasa belum sanggup untuk merawatmu seorang diri. Ibu takut menelantarkan amanah yang telah Allah berikan kepada Ibu, Nak.
Anggap lah Ibu ini adalah gadis muda yang bodoh. Karena tidak mampu menjaga diri selayaknya manusia yang kuat. Orang-orang benar mengenai kelahiranmu yang tanpa Ayah, kamu tidak perlu malu Nak. Ada seorang Ibu muda yang begitu baik, beliau akan menjagamu di panti asuhan ini.
Dada Mardiyah terasa sesak. Bukan karena rasa kecewanya, tapi karena seorang wanita yang menyebutkan dirinya Ibu harus rela menitipkan anak seusianya di panti asuhan ini.
Apa ... I-ibu di perkosa? batin Mardiyah.
Tangan Mardiyah meremas kuat sisi kiri secarik kertas itu. Dan lanjut membaca.
Mungkin Ibu muda itu akan menyerahkan surat ini di usiamu sekitar lima belas tahun. Karena Ibu yang memintanya, Sayang. Di usai ini, kamu harus menjaga dirimu sebaik-baiknya, jangan biarkan orang lain berkuasa atas dirimu tanpa kehendakmu langsung.
Jangan pernah sayang ...
Nak, ingin rasanya Ibu memeluk kamu. Percayalah setiap hari Ibu merindukanmu, Ibu tidak tahu sepanjang apa usia Ibu nanti. Namun Ibu harap masih ada waktu bagi Ibu untuk melihatmu lagi, Ibu tidak bisa berjanji, tapi Ibu akan menemuimu.
Entah kapan. Ibu pasti akan datang.
Air mata Mardiyah membasahi kertas usang itu, menetes sedikit demi sedikit diiring rasa sakit di dadanya yang kian lama kian dalam.
Maaf.
Karena Ibu tidak memberimu nama. Bukan tidak sayang, Ibu sangat menyayangimu. Tetapi sungguh, Nak ... Ibu hanya takut laki-laki itu datang dan mengambilmu sebagai anaknya.
Ibu tidak mau itu terjadi.
Kamu adalah anak Ibu seorang. Tidak ada yang boleh mengambilmu dari Ibu dan panti asuhan itu adalah tempat yang tepat untuk membuatmu tumbuh sebagai gadis yang baik.
Nama Ibu adalah Zanitha. Seorang anak tunggal yang hanya bisa membuat orang tuanya menderita saja. Maafkan Ibu juga harus mengecewakanmu dan membuatmu menderita.
Maaf Ibu tidak memberikanmu keluarga yang utuh dan bahagia. Tolong maafkan Ibu, Nak.
Do'a Ibu hanya satu untukmu ...
Semoga kelak ada seorang laki-laki baik yang menjadikanmu istrinya dan memberikanmu keluarga serta rasa bahagia yang tidak pernah bisa Ibu berikan untukmu.
Aamiin.
Jika kelak kita bertemu Ibu ingin tahu, nama indah apa yang diberikan oleh Ibu muda baik itu padamu.
Salam, Zanitha.
Kertas usang itu Mardiyah letakkan di sampingnya. Ia lepas. Isakan demi isakan yang menyakitkan kian terdengar lara, ia telah berburuk sangka pada Ibunya. Namun sungguh ia tetap kecewa, ia lebih memilih hidup menderita bersama Ibunya dibandingkan harus hidup sendiri di panti asuhan ini. Untuk apa ia bisa makan? Jika ia sendiri tak tahu apa Ibu yang telah melahirkannya telah berkecukupan atau tidak? Untuk apa tempat tinggal ini? Jika ia sendiri tak tahu, Ibunya memiliki tempat berteduh atau tidak.
"Ibu jahat ... Ibu tinggalin aku di sini."
Ia terduduk lemas di bawah ranjang. "Ibu pikir a-aku bakal bahagia hidup tanpa Ibu?"
"I-ibu jahat. Ibu nggak ngerti gimana sakitnya aku selama ini!"
Di remasnya tepi kayu ranjang dengan kuat, ia menunduk dalam. "Lebih baik hidup berdua bersama dan saling berbagi derita, Bu."
"I-itu lebih baik. Itu lebih baik ... dibandingkan sendiri-sendiri dan saling menderita tanpa bisa bertemu seperti ini ... Bu. Ibu jahat ..."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!