NovelToon NovelToon

Sekeping Kenangan

Prolog

Apa arti cinta sejati? Inilah yang akhirnya ku pahami saat aku mengenal Sarah.

Ada banyak keanehan saat aku merenungkannya kembali. Namun keanehan inilah yang menjadikan kisah kami semakin menarik. Aku yakin, Sarah juga pasti berpikiran sama.

Kami memiliki banyak perbedaan di antara kami, di mana aku lebih suka hidup di tengah kota-kota besar, ia justru lebih senang dengan suasana pedesaan yang begitu kental. Sebuah tempat di mana jalanan hanya berupa gundukan tanah-tanah liat, tidak pernah ada bunyi kendaraan roda empat yang lewat, apalagi tempat hiburan atau semacamnya. Sebab yang ia butuhnya hanyalah ketenangan dari alam. Dan ia hanya perlu memulai semua itu dengan menghirup udara segar di setiap pagi. Yang sudah cukup baginya untuk bertahan di tengah kehidupan yang semakin rumit.

Ia mengatakan padaku, jika ia tidak pernah mengimpikan untuk hidup mewah sekalipun. Dan seandainya itu terwujud pun, hal itu juga tidak akan membawa banyak kebanggaan baginya. Yang membuat jiwanya lebih tenang dari siapapun. Ia hanya mengimpikan anak-anak yang bisa tumbuh besar di lingkungan yang sama sepertinya. Menemani mereka menuju dewasa. Kemudian menua dengan tenang di penghujung waktunya. Suatu permintaan yang tidak terlalu muluk-muluk bukan? Tapi kisah kami bahkan telah dimulai sejak enam tahun yang lalu. Yang untuk sejumlah alasan, aku mungkin tidak akan bisa melupakannya seumur hidup.

Kami berteman, menghabiskan waktu bersamaan, hingga menunjukkan perhatian satu sama lain. Hal-hal yang takkan pernah terjadi jika tidak ada alasan yang mendasar. Maka atas dasar alasan itu pulalah kemudian aku mencintainya. Perasaan itu bahkan membuat hari-hariku jauh lebih indah dari yang pernah ku rasakan sebelumnya. Aku, mungkin tak punya pengalaman yang baik untuk urusan percintaan. Tapi aku sangat yakin jika aku telah menjatuhkan perasaanku pada hati yang tepat kali ini. Aku menyimpan bayang-bayang tersebut cukup lama di dalam kepalaku. Setidaknya hingga waktu mengungkap segalanya.

Sebab seperti kebanyakan kisah cinta pada umumnya, aku juga berharap agar kisah kami berlanjut selamanya. Namun pada kenyataannya, aku justru harus meratapi kisah ini yang berakhir sebagai tragedi. Sebagian diriku merasa sangat sakit saat semua ini harus berakhir. Tapi hidup memang tidak selalu sejalan seperti yang kita harapkan bukan?

Seseorang perlu belajar dari masa lalu. Dan tak jarang jika pengalaman pahit bisa memberi pengaruh yang begitu besar. Dan tak peduli pada apapún yang pernah orang katakan kepadaku, hal itu tidak akan mengubah kenyataan jika aku pernah merasa sangat menyesal. Namun kini, semua itu hanyalah kepingan cerita dari kisah masa laluku. Sebuah kisah yang terjadi hampir enam tahun berlalu. Dan benar, semua orang menginginkan kehidupan yang sempurna. Tapi hidup yang sempurna itu hanya bisa datang di waktu dan lewat cara pandang yang tepat, bukan?

Dan seperti inilah penilaianku, setelah waktu pada akhirnya membuatku bisa melihatnya dengan cara yang lebih baik.

Aku bisa merasakan hangat tangannya saat kami bisa berpegangan tangan kembali pada malam itu. Tapi saat mata kami mulai bertemu, aku tahu aku harus segera melepas genggamanku. Karena kisah kami yang telah sepenuhnya berbeda sekarang. Namun sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi tanpa pernah ku sadari. Dan tanpa pernah ku mengerti, semua kenangan yang terjadi di masa-masa itu tiba-tiba kembali padaku. Meski beberapa di antaranya terasa samar.

Aku coba menatap ke belakangku, kembali mengulas semuanya. Sebab inilah yang ku mesti lakukan sekarang. Dan di sini, di salah satu tepi kota Bandung, semuanya terasa begitu kontras dari yang sebelumnya pernah ku ingat. Hanya ada gedung-gedung megah yang berdiri di sini. Setiap jengkal tanah juga sudah begitu padat dengan banyaknya pemukiman. Bahkan anak-anak tidak bisa berlari-lari di tengah jalan raya lagi di sini. Karena mereka yang bisa dengan mudah tertabrak jika berani melakukannya. Namun di sana, aku masih bisa melihat rerimbunan hutan belantara, sungai-sungai yang mengalir deras, atau sesekali merasakan merdunya suara alam. Mungkin aku sempat merindukannya sesekali, namun aku tahu aku takkan pernah kembali.

Aku kembali menatap jam di tangan kiriku, sudah hampir pukul satu siang sekarang. Meski awan hitam membuatku tidak bisa merasakan terik matahari lagi dari atas sana. Dan di atas meja kerjaku, aku baru saja membuka cerita lamaku. Satu kisah yang baru ku tulis beberapa menit yang lalu. Sesuatu yang juga bukan karena keharusan tersendiri saat aku melakukannya. Melainkan juga karena aku yang mulai menyukainya. Tapi terlepas dari semuanya, aku tahu aku harus menyelesaikan semua ini dengan segera.

Jadi inilah aku Ryan William. Ini adalah kisahku saat aku berumur 25 tahun. Namun kali ini aku tahu harus memulainya dari mana.

Storia 1 : Kisah hidupku

Bandung, sebuah kota yang sekarang semakin lengkap dengan keistimewaannya. Ku rasa kita bisa mulai dengan sebutan kota metropolitan terbesar di dalam negeri, tempat bersejarah, atau kota paling sejuk mungkin. Bermacam keadaan yang membuatnya sangat nyaman ditinggali. Namun belakangan, kadang aku juga berpikir jika kota ini mungkin berkembang karena keberuntunganya. Dengan banyaknya peristiwa penting di masa lampau, yang juga menjadikannya banyak tertulis di dalam buku sejarah. Karena itulah kota ini seakan mendapat perhatian yang lebih. Dan kau bisa melihat itu dari perkembangan kota ini dari waktu ke waktu. Yang terasa jauh lebih pesat dari kota-kota lain kebanyakan. Sewaktu aku kecil dahulu, aku masih ingat sekali dengan lingkungan di sekitar tempat tinggalku. Di mana jalanan hanya berupa gundukan tanah kering berpasir. Bahkan selalu ada tanah lapang di antara hampir setiap rumah. Tapi kini, semua daerah yang dulunya permukiman segera saja berganti perkantoran. Pusat perbelanjaan mulai mengisi beberapa tempat, sementara tempat tinggal mulai digantikan oleh apartemen.

Namun Bandung, ku rasa memang sama seperti kota-kota besar lainnya. Dan hampir selalu ada golongan tersisih yang hidup berdesak-desakan di tengah kota besar. Sebagai bukti jika hidup sama sekali tidak mudah. Tapi semua sepertinya hanya tentang pekerjaan tetap. Dan seiring kedua orang tuaku telah memilikinya, (keduanya bekerja sebagai guru di salah satu sekolah milik pemerintah), setidaknya aku bersama saudari-saudariku masih bisa mendapa tpendidikan yang layak. Meski juga bukan pendidikan yang paling prestisius didalam negeri. Karena untuk urusan perguruan tinggi, tentu saja orang tuaku harus bekerja lebih ekstra lagi.

Di Bandung, rumah kami juga tidak terlalu kecil, tapi juga terlalu besar untuk didiami enam anggota keluarga. Dengan bagian beranda yang sudah banyak kelihatan rapuh. Ayahku telah berulang kali melakukan perbaikan pada bagian tersebut, namun yang ia hasilkan sepertinya tidak ada lain selain memperbaikinya lagi di tahun-tahun berikutnya. Aku dan saudari-saudariku yang lain, (aku anak ketiga dari empat bersaudara), kami bersekolah di tempat yang sama hampir seumur hidup kami. Yang katanya demi alasan biaya. Seperti buku-buku yang bisa diwariskan atau semacamnya. Terutama untuk pendidikan Sekolah Dasar yang bahkan gurunya adalah ayah dan ibuku sendiri.

Aku berani mengatakan padamu, jika orang tuaku benar-benar bekerja tanpa mengenal lelah hampir seumur hidup mereka. Dan itu bukan hanya sekedar ungkapan bangga yang biasa diucapkan anak-anak terhadap kedua orang tuanya, melainkan juga karena kenyataan bahwa mereka yang hampir tidak punya waktu beristirahat untuk sedikit pun, bahkan meski sejenak. Pagi dan malam, hampir delapan belas jam lebih menurutku. Dan hampir tidak ada waktu atau kesempatan yang terbuang percuma. Saat kelas berakhir, mereka biasanya akan mengajar untuk kelas-kelas yang privat. Seraya berharap pengertian dari sejumlah orang tua siswa yang anaknya mereka ajar. Bahkan saat pagi masih buta sekali pun juga, mereka sudah biasa terbangun untuk membuat bermacam jajanan ringan. Sebelum memasarkannya di warung-warung atau bahkan kantin sekolah.

"Bekerja keras seharian demi makan sehari. Bekerja ekstra demi masa depan yang lebih baik di keesokan hari." Yang biasa dikatakan ayahku. Dengan harapan agar kami anak-anak menjadikannya panutan.

Sebetulnya, ide tentang berjualan itu datangnya dari kakek dan nenekku. Mereka bahkan pernah punya kios kecil di depan rumah. Tapi kios itu sepertinya hanya tinggal sisa-sisanya sekarang. Yang membuktikan jika semua keahlian tidak sepenuhnya bisa diwariskan. Tapi layaknya ayah, layaknya anak, satu-satunya yang diturunkan sepertinya hanya keahliannya mengajar itu saja. Sebab sebelumnya, kakekku juga adalah guru di salah satu sekolah di daerah tersebut. Aku tidak tahu apa mereka adalah orang-orang yang hebat atas dasar profesi mereka. Tapi ku rasa aku tentu akan lebih suka mengiyakannya.

Pada intinya bisa ku katakan padamu, jika orang tuaku benar-benar berjuang demi keluarga kecil ini. Sosok yang sangat bisa diandalkan. Meski semua penghargaan itu sebetulnya juga tidak akan bisa datang dari diriku sendiri.

Dan ya,  pemahamanku tentang orang tua ku rasa sangat berbeda dari orang-orang kebanyakan. Saat kalian bisa membanggakan orang tua kalian sebagai sosok yang hebat, cinta dan kasih, namun aku, aku memang takkan pernah bisa menemukan ungkapan-ungkapan semacam itu di dalam kehidupanku. Ayahku dan ibuku, mereka tidak mencintaiku. Mereka bisa menunjukkankasih sayang mereka untuk anak-anaknya yang lain, tetapi tidak untukku.

Aku tidak ingin kalian mengatakan aku berlebih-lebihan. Selain itu, aku juga tidak punya alasan untuk melakukannya bukan? Namun sejumlah luka fisik atau psikis yang pernah ku terima benar-benar bisa mengingatkanku atas segalanya. Yang beberapa di antaranya mungkin akan terus ku bawa seumur hidup. Aku, adalah seseorang yang lebih banyak menghabiskan masa kecilku di tengah teror. Hanya ketakutan saja yang ku kenal semasa kanak-kanak. Mereka bahkan sering memperlakukanku dengan cara yang teramat kejam. Seperti memukulku atas alasan yang aku bahkan tak pernah tahu mengapa. Kemudian berdalih jika itu semacam pembelajaran untukku. Tapi pembelajaran macam apa yang diberikan jika jalannya hanyalah kekerasan? Bahkan orang bodoh pun bisa memahaminya dengan begitu mudah.

Kedewasaan, pada akhirnya membuatku mengerti dengan apa yang terjadi di keluarga ini. Di mana aku kerap membandingkan hidupku dengan teman-temanku yang lain. Saat mereka bisa dengan mudahnya membeli mainan terbaru seperti yang mereka mau, aku justru hanya bisa mendapati diriku mencuri kelereng yang dijual oleh tetangga sebelah rumah. Dan tidak seperti teman-temanku yang lain, saat mereka biasa bercerita tentang episode terakhir dari film yang mereka tonton (kami kerap membicarakan serial Dragon Ball), sepertinya hanya aku saja yang berdiam sendiri di pojokan, kemudian tanpa sadar mendengarkan. Kami memang tidak memiliki televisi kabel di rumah, tapi persoalannya bukan karena itu. Ayahku dan ibuku, mereka akan selalu melarangku jika aku pergi keluar rumah. Bahkan hanya untuk menonton di rumah tetangga.

Di rumah, tidak pernah ada uang untuk membeli mainan, atau sekedar pakaian yang cukup. Terkecuali bantuan itu datang dari tetangga sebelah rumah. Itu pun juga hanya berupa pakaian-pakaian bekas. Dan tidak jarang pula aku mengintip isi lemari saudariku yang lain, memperhatikan berapa banyak pakaian yang mereka miliki. Sementara milikku, sepertinya aku tidak punya lebih dari sepuluh helai pakaian dan juga celana kain. Bahkan aku pernah berkali-kali mencuri kancing atau resleting dari pakaian mereka, sebelum menjahitnya ke dalam pakaianku sendiri. Well, aku tidak mengatakan jika mereka tidak pernah membelikannya. Tapi seandainya ada sekali pun juga, kejadiannya pasti akan sangat jarang. Dan karena besarnya perlakuan buruk yang saat itu ku rasakan, hal itu segera saja melunturkan semua kebaikan yang pernah mereka berikan.

Diskriminasi dan kekerasan yang pernah ku terima membuatku mempertanyakan apa masih ada diriku di hati mereka. Yang ku rasa jawabannya adalah tidak. Bahkan aku tidak akan pernah merasa bangga saat aku bisa menceritakannya. Masa laluku dipenuhi rasa sakit dan air mata. Membuatku perlahan menjadi pemberontak. Bahkan di usia yang sangat muda. Dan jangan katakan jika kenakalanku hanya dengan menaruh permen karet di atas kursi teman-temanlku saja, atau sekedar melempari mereka dengan kertas saat guru tengah memunggungi kami. Tidak, sama sekali tidak. Bahkan kenakalanku bisa jauh lebih kejam dari pada itu.

Aku biasa menembakkan tinta ke belakang baju seragam teman-teman sekolah, mencoret-coret buku pelajaran mereka, menarik bangku saat mereka akan duduk, atau bahkan menarik anting dari telinga anak-anak perempuan. Namun percayalah padaku, jauh di dalam diriku, aku tidak pernah ada niat sedikit pun untuk menyakiti. Orang-orang yang lebih dewasa suka mengartikannya sebagai mencari perhatian. Meski sebetulnya juga bukan itu yang aku cari-cari. Pertemanan ku rasa. Meski aku melakukannya dengan cara yang keliru. Namun ironisnya, justru hal-hal semacam itulah yang membuatku dijauhi.

Aku memiliki kehidupan sosial yang begitu buruk. Dan hampir sama sekali tidak memiliki teman. Seandainya ada sekali pun juga, mereka hanya mau meluangkan waktunya sebentar. Yang artinya bukan kebersamaan yang mendorong mereka melakukan itu, tapi lebih karena tidak punya alasan lain. Selalu ada kelompok di setiap sekolah, dan aku tak pernah masuk ke dalam salah satunya. Mereka selalu bersikap pasif dan terus menjaga diri. Dan tidak pernah memasukkanku ke dalam pergaulan mereka. Saat itu aku belum mengerti jika memang ada yang salah. Namun aku benar-benar mengetahuinya setelah beberapa tahun belajar di dunia keperawatan.

Sebetulnya, pendidikan ini juga bukan satu dari keinginanku.Dan ku rasa memang tidak banyak orang-orang yang menjadikannya sebagai pekerjaan yang diidam-idamkan. Kau bisa saja membayangkan seperti apa kehidupan mereka, mengurusi orang lain yang bahkan bukan keluarga sendiri, membantu memberi makan, membersihkan, memberi motivasi atau perhatian yang bahkan melebihi diri sendiri. Aku tahu aku tidak dibentuk untuk pekerjaan yang satu itu. Namun aku tidak tahu mengapa, tapi seumur hidupku, ku rasa aku hanya dihadapkan pada kenyataan bahwa aku memang tidakpunya pilihan. Sebab tidak seperti saudariku yang lain, saat mereka bisabersekolah untuk pendidikan apa pun yang mereka inginkan, orang tuaku, merekahanya mengatakan jika mereka tidak punya biaya apa pun untuk sekolahku. Yangjelas sekali jika mereka memang tidak pernah mengusahakannya.

Dua tahun menjalani pendidikan di sana, barulah aku bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingat saat seorang dosenku pernah mengatakannya ke hadapan kami, "Seorang anak dengan masa kecil kurang bahagia, mereka biasa melakukan bermacam cara untuk mencari perhatian, yang salah satunya adalah dengan cara mengganggu." Pada saat pertama kali mendengarnya, ku kira aku juga sama sekali tidak tahu pada apa yang mesti ku pikirkan. Tapi di waktu yang nyaris bersamaan, aku tiba-tiba saja tersadar jika itu adalah karakter yang ada pada diriku sendiri.

Aku tahu ini bukanlah kenyatan baru untukku. Dan jelas, aku juga pernah mendengarnya berkali-kali. Namun aku tidak tahu mengapa, tapi ku rasa hanya kali ini saja aku baru menganggapnya persoalan serius. Dan ini seakan kami yang tengah membicarakan seseorang yang tak normal di dunia ini sekarang, seseorang dengan kesalahan didalam otaknya, tapi celakanya, aku justru menjadi salah satu dari orang yang mereka maksud. Aku tiba-tiba merasakan sebagai seseorang yang aneh, seseorang dengan kepribadian yang tak wajar. Yang menjawab semua tentang kemampuan bersosialku yang begitu buruk, tentang mengapa orang-orang menjauhiku, hal-hal yang membuatku sendiri. Semua itu bukan karena aku yang tidak ingin menjalin ikatan dengan baik. Aku melakukannya, tentu saja. Sebagai makhluk sosial. Namun aku selalu gagal saat coba mengadaptasikannya ke dunia nyata. Aku tiba-tiba melihat itu yang semacam aib bagiku. Suatu kesalahan. Yang aku tidak bisa menutupinya lagi.

Aku mungkin bisa terima jika alasannya karena orang tuaku meninggal dunia. Dengan begini, aku bisa menganggap ini sebagai kewajaran bukan? Setidaknya, aku tidak akan mencari sosok yang mungkin ku salahkan. Tapi kenyataan tentu saja tidak pernah berkata demikian. Yang seketika membuatku marah.

Beberapa tahun setelah pendidikan vokasiku berakhir, aku mulai mencoba melamar beberapa macam jenis pekerjaan. Tapi mencari pekerjaan di negeri ini tentu saja bukan perkara mudah. Bahkan hampir selalu menjadi terbaik di kelas juga sama sekali bukan jaminan. Aku sempat bekerja sebagai penjaga warnet beberapa kali, bekerja sebagai penjaga kasir, atau bahkan sales di salah satu show room sepeda motor, yang jelas sekali tidak ada hubungannya dengan kualifikasi yang saat itu aku punya. Aku tahu semua itu bukan pekerjaan yang selama ini aku impikan. Hingga semua harus berakhir dengan pemecatan.

Aku pernah mencoba pekerjaan yang sesuai untuk bidangku sebetulnya, dengan memasukkan lamaran berkali-kali. Ke hampir setiap rumah sakit swasta, atau peruntungan di rumah sakit pemerintah, atau bahkan klinik-klinik yang pernah ku lihat di pinggir jalan. Tapi semua hanya berakhir penolakan. Beberapa orang mungkin mengatakan tentang uang, keluarga. Untuk sesaat, aku mungkin tidak peduli. Tapi sekali lagi waktu membuat sadar, jika aku sama sekali tidak membuat perubahan apapun pada diriku sendiri. Dan di samping semua perkara di atas, masih ada persoalan lagi yang harus ku hadapi sendiri. "Pergi ke tempat kerja sana! Lihat lowongan di koran, jadi honorer rumah sakit atau apa!" Yang biasa dikatakan ibuku. Aku tidak pernah mengatakan apapun selama waktu-waktu itu. Dan tentu, aku masih tetap membencinya. Seakan dia yang berniat mengusirku sekarang.

Namun itu bagus untukku.

Oktober 2009, ku kira dari sanalah jalan keluar dari semua masalahku terlihat. Saat pemerintah akhirnya membuka lowongan PegawaiNegeri Sipil lagi. Dan sama seperti pelamar lainnya, yang dengan mudahnya terpengaruh euforia akan kebutuhan kerja, aku juga tidak menemukan satu alasanpun untuk tidak mendaftar. Terlebih menjadi pegawai negeri memang kedengaran keren. Namun aku tidak bodoh. Aku tahu peluangku akan sangat kecil jika mendaftarkan diriku di Bandung. Jadi karena inilah aku kemudian berpikir untuk meninggalkan Bandung dengan segera.

Pilihan pertamaku adalah ke Kalimantan. Aku tidak tahu mengapa, tapi hanya itu yang terlintas di benakku. Suatu tempat terasing, dengan banyak hutan belantara, dan tentu ada sejumlah kota. Dengan penduduk yang masih sedikit. Untuk ini aku tidak mengatakan apa pun pada keluargaku. Dan tentu, kami memang tidak pernah bicara lagi akhir-akhir ini. Terlebih rencana itu memang ku maksudkan sebagai pembalasan. Aku mempertimbangkan ide tersebut selama beberapa hari. Dan pada akhirnya pilihanku jelas, jika aku harus menentang keberanianku sendiri.

Penerbangan menuju Kalimantan nyaris terasa hampa. Hanya kenangan lama yang ku ingat sepanjang perjalanan. Yang semakin kuat seiring jarakku meninggalkan rumah. Dengan mata yang terus berkaca-kaca, aku hanya bisa menatap ke luar jendela. Membayangkan hidupku yang seketika tanpa arah. Di bandara, saat pesawat baru saja mendarat, aku melihat orang-orang yang melangkah bersama tujuan hidupnya. Ku rasa hanya aku yang tidak merasakannya. Aku tidak punya teman atau pun keluarga di tanah yang baru ini, yang membuatku seakan orang terasing di dunia ini.

Rasanya cukup berat tentu saja, saat aku harus memperjuangkan segalanya seorang diri. Namun aku telah menjalani masa-masa sulit di hampir keseluruhan hidupku. Dan aku tidak punya pilihan sedikit pun untuk berhenti. Dua minggu berlalu, saat penerimaan baru saja dimulai, aku tidak menyia-nyiakan waktuku untuk tidak segera mendaftar. Kemudian mengikuti semua prosedur yang ditentukan, sebelum menunggu selama beberapa bulan lagi. Namun untuk ini aku tahu jika Tuhan selalu punya rencana untukku. Dan saat namaku tercantum sebagai salah satu kelulusannya, aku tak tahu masalah apa lagi yang menungguku ke depannya.

*********

Welmina, di sanalah yang tertulis mengenai tempat tugasku. Sebuah tempat yang tak lebih dari 10 km persegi. Tidak ada jalan raya, tidak ada sinyal atau bahkan listrik (sinyal dan listrik baru ada di akhir 2010 an), dengan seluruh wilayah masih dibatasi oleh hutan belantara. Bahkan siang hari masih terasa seperti kota mati. Tidak ada tempat hiburan atau semacamnya di tempat itu. Bahkan warung kecil sudah tutup sebelum pukul delapan malam. Tapi yang membuatku habis pikir tentu saja adalah pilihan penduduk untuk menetap di sana. Saat orang yang waras lebih memilih pergi ke kota, mereka justru dengan bangganya memilih untuk bertahan. Menerapkan apa yang sering mereka sebut dengan "Hidup di kampung sendiri lebih baik daripada di tanah orang." Meski di zaman sekarang kata-kata semacam itu sepertinya tidak ada nilainya lagi.

Sebetulnya, aku tidak datang sendiri. Setidaknya ada sebelas orang lagi yang nasibnya persis sepertiku. Mereka yang kenyataannya dibuang hanya karena siapa diri mereka. Ku rasa semua orang memang pernah mendengarnya. Slogan-slogan mulia, yang sering digunakan untuk menggambarkan pegawai negeri saat ini. Mereka yang katanya abdi negara, pelayan masyarakat, suatu publisitas yang sangat bagus untuk menggambarkan jika pekerjaan ini adalah pekerjaan yang hebat. Meski pada kenyataan aku tidak bisa melihatnya begitu.

Biar ku katakan padamu, jika sebetulnya kami memang pernah dijanjikan jika penempatan berdasarkan ranking. Dan itu artinya aku tidak akan harus melihat pedalaman seperti yang dihindari oleh kebanyakan orang. Tapi memang sudah jelas jika pejabat memang selalu suka berbohong. Mereka yang suka menggunakan kekuasaannya agar diperlakukan istimewa atau semacamnya. Aku bahkan bisa melihat itu dari mereka yang mendapat tempat-tempat terbaik, kemudian setelah melihat keluarga mereka secara keseluruhan, semuanya menjadikan alasanku terlihat sangat relevan. Bahkan ada sejumlah orang yang tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat kerjanya, namun karena ayahnya yang memang orang berpengaruh di daerah tersebut, dia tidak pernah mendapat hukuman atau apa pun. Hingga kemudian yang terdengar darinya hanyalah kabarnya yang tiba-tiba berpindah ke kota besar. Kenyataan yang membuktikan jika hidup ini memang tidak pernah adil.

Sejujurnya, aku juga tidak ingin menjadikan inisebagai alasan. Tapi justru hal-hal semacam inilah yang membuat kami tidakmencintai pekerjaan ini lagi. Bahkan di masa-masa awal kami bekerja. Kami biasamelakukannya dengan membolos kerja. Menerapkan apa yang kami sebut dengan "MenuntutKeadilan". Aku tahu semua itu mungkin terdengar seperti satu pembenaran bagi kalian. Tapirasanya memang tidak terlalu adil bukan, jika semua kesalahan hanya ditimpakankepada kami? Karena memang bukan kami yang lebih dulu memulai. Persoalannya adalahtentu saja hal-hal seperti itu justru membuat kami harus terlibat dengan lebih banyakmasalah lagi. Yang salah satunya adalah dari Otto sendiri. Dia atasan kami diWelmina. Orang yang menurutku merupakan orang yang paling buruk di muka bumi.

"Sudah puluhan tahun saya bekerja di sini, tapi saya tidak pernah seperti kalian! Apa kalian tidak pernah memandang saya? Pegawai di sini adalah orang-orang pilihan, orang-orang berprestasi!" Ujarnya, seraya menunjuk ke arah dirinya. Sebelum memperlihatkan sejumlah piagam yang pernah ia raih. Yang salah satunya adalah pegawai teladan. Kalimat yang telah ku dengar hampir jutaan kali.

Aku berani bersumpah, ia hampir selalu mengulang kata-kata yang sama di setiap ia marah di hadapan kami. Sebelum menyinggung tanggung jawab, peraturan, atau yang lebih gilanya lagi adalah meminta kami untuk menjadikannya teladan. Sesuatu yang bagi kami jelas terdengar mustahil. Maksudku, benar saja ia pernah menjadi pegawai teladan pada masa-masanya dulu. Tapi di masa sekarang, kenyataan seperti itu memang tidak bisa dijadikan kebanggaan lagi.

Aku tidak tahu apa Otto bisa memahami kami atau tidak. Yang menurutku memang sesuatu yang sulit ku bayangkan. Meski sebetulnya dia juga memiliki seorang anak. Dia yang juga seorang pegawai dan bekerja di daerah pedalaman. Tapi tentu saja, belum saatnya aku membicarakan ini. Dan lagi, sepertinya setiap orang yang punya jabatan memang hampir selalu sama. Mereka yang selalu suka menggunakan kekuasaannya dengan segala cara. Lagipula, Otto juga bukan suatu pengecualian. Semua orang bahkan bisa melihat itu dari proyek-proyek kesehatan yang masuk ke tempat ini. Saat pemerintah mengeluarkan sejumlah besar dana, namun dana-dana tersebut kemudian raib secara misterius. Dan meski semua orang tahu duduk perkaranya, sepertinya juga tidak ada seorang pun yang berani membawanya ke ranah hukum. Rasa takut yang sama seperti yang dihadapi oleh kebanyakan orang. Jadi saat ia mulai bicara banyak tentang disiplin, menurutku ia sama sekali tidak layak.

Bahkan dia yang menjadi pegawai teladan pun juga ku rasa hanya kebetulan semata. Di tahun delapan puluhan saat ia mengatakannya padaku, yang kenyataannya pegawai di masa-masa itu memang sangat jarang. Karena itu dipilihlah orang-orang yang mengabdikan dirinya di tempat terpencil. Yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Jadi apalagi yang bisa dibanggakan jika kemenangannya itu seperti, kau tahu kan, "bersaing dengan dirinya sendiri". Mungkin yang baik dari dirinya hanya jam kantornya saja yang terkenal rajin. Yang bahkan di saat hari libur pun ia bisa datang ke kantor pagi-pagi. Dan jangan katakan aku yang telah mengarang kejadiannya.

Sekali, saat aku masih terlelap menikmati pagi libur yang indah, ia tiba-tiba saja sudah berdiri di depan rumah, menggedor pintu tak tahu diri, lalu mengomel seenaknya karena ke kantor terlambat. Tapi saat ku katakan hari itu adalah hari libur, ku rasa ia tidak tahu di mana harus menaruh wajahnya lagi. Hebatnya, Si Tolol itu selalu punya alasan menghindar. Dengan menempatkan kesalahan orang lain setiap ada kesempatan. Kemudian pernah pula temanku Vira yang harus mengingatkannya kalau hari itu adalah hari libur. Bahkan ia sampai membunyikan toa berkali-kali karena kantor benar-benar kosong. Tapi kali ini yang jadi alasannya adalah anak-anak di halaman depan. "Mereka bermain seenaknya, membuat halaman berantakan." Begitu Vira mengatakannya padaku. Untungnya, Vira memang sedikit cerdas di sini, dengan membuatnya terpojok karena seragam yang ia kenakan. Hingga akhirnya ia tidak bisa ke mana-mana lagi.

Sejujurnya, kami juga tidak peduli pada kekuasaan yang ia salah gunakan, tapi saat ia mulai menyakiti kami secara kehidupan, maka kami jadi tidak bisa tinggal diam begitu saja bukan? Apalagi setelah ia berani memotong gaji kami seenaknya. Yang seketika membuat kami seperti kehilangan perasaan hormat. Di belakangnya, kami suka menyebutnya "Si Tolol yang Berdahi Lebar". Kau tahu, karena rambutnya yang memang kelihatan minim. Ku kira karena bagian dahinya itulah yang nampak begitu serakah, hingga berani menjarah wilayah yang harusnya ditumbuhi rambut. Bahkan, kami sempat menyebut itu sebagai karma baginya. Maksudku, karena sikap buruknya terhadap kamilah yang menyebabkan rambutnya lebih cepat rontok.

Terakhir, kami mengembangkan cara yang lebih gila lagi untuk mengejek Otto. Dengan membuat permainan untuk mentertawakannya. Aku dan temanku Erik, entah bagaimana caranya bisa menemukan foto Otto waktu masih muda. Mungkin berusia tiga puluh tahunan menurutku, tapi fakta yang mengejutkannya adalah rambut si tua itu yang ternyata sudah rontok sejak dulu. Kami lalu mengcopy foto tersebut, mencetaknya di kertas karton, sebelum menjadikannya permainan dart. Bahkan menjadikannya ajang taruhan.

Ku rasa semua orang di sini memang tidak menyukainya. Sosok yang selalu kami harap meninggal dunia dengan cara yang mengenaskan, tapi justru diberi umur panjang. Coba bayangkan, betapa tidak adilnya menjalani hidup di dunia ini. Satu-satunya orang yang masih menaruh hormat padanya sepertinya hanya Randy seorang. Meski pun dia juga sebetulnya punya alasan untuk melakukan itu.

Randy memang tipe orang yang lihai mencari muka di hadapan orang-orang penting. Mungkin karena itulah ia bisa bertahan di kursi jabatannya begitu lama. Sebagai bendahara utama yang tentu memberi banyak keuntungan bagi Otto. Aku dan teman-temanku, suka mengait-ngaitkan keduanya sebagai ayah dan anak. Kau tahu, karena mode rambut keduanya yang memang terlihat mirip. Aku tidak tahu mengapa, tapi belakangan ini memang banyak orang-orang yang mengalami kebotakan dini. Tentu saja ia tidak boleh tahu tentang ini. Tapi seandainya ia pun tahu juga, ku rasa itu takkan mengubah perasaan kami terhadapnya.

Aku tahu jika apa yang kami lakukan memangsangat keterlaluan. Terlebih jika melihat siapa dan apa status kami di hadapannya.Tapi seseorang bukan dihormati karena mereka lebih tua atau jabatannya bukan?Aku tidak mengatakan jika orang yang lebih tua tidak layak dihormati. Tapisiapa pun bisa kehilangan rasa hormat itu dengan begitu mudah. Dengan katalain, jika seseorang selalu bersikap baik padamu, maka dunia akan bersikap baikpula padanya.

Bagaimana pun juga krisis penghormatan kami terhadap Otto bisa sedikit mengobati kekecewaan kami saat berada di sini. Dan aku juga tahu jika atas dasar serangan-serangan tersebut pula lah kami takkan pernah berdamai. Bahkan jika harus berselisih dengannya seumur hidup pun juga, ku rasa takkan jadi masalah. Tapi memang bukan begitu yang kemudian terjadi.

Aku tidak ingin kalian berpikir jika kami tiba-tiba berubah rajin atau semacamnya. Dan tentu, bukan atas dasar dorongan Otto pula yang membuat kami melakukan ini. Melainkan karena hadirnya sosok yang lain. Yang ternyata adalah anaknya Otto sendiri.

Jadi seperti yang ku ceritakan, jika Otto memangmemiliki seorang anak. Dan anaknya adalah seorang perempuan. Sebetulnya juga tidakada yang istimewa dari pertemuan kami yang pertama tersebut. Kami hanyabertemu, berkenalan, itu saja. Bahkan aku tidak tertarik mengenalnya lebihjauh. Namun semua orang bisa  menunjukkan sifat aslinya dengan mudah saat namaketurunan Otto itu disebut-sebut.

Aku dan teman-temanku mulai suka mencari-cariperbedaan keduanya. Seperti bagaimana mereka bergaul, cara mereka bicara, ataubahkan cara mereka berpakaian. Seraya membayangkan kebodohan Otto selama ini. Rasanyasangat menyenangkan saat membayangkan Sarah tiba-tiba datang ke kantorsaat hari tengah libur. Hanya saja persamaan-persamaan semacam itu ternyata memangtidak pernah kami temukan. Mungkin satu-satunya yang menarik hanyalah kenyataan tentang dirinya saja yang merupakan pegawai pindahan ke Welmina. Karena sepertiyang ku katakan, saat semua orang berlomba-lomba pergi ke kota besar, ia justrumeninggalkan semua kenyamanan itu dan memilih hidup di sini. Yang bagi kami hampirsama seperti menukar kebahagiaan dengan kesulitan itu sendiri. Tapi buah memangtidak pernah jatuh jauh dari pohonnya bukan? Dan tentu, kami juga tidak pernahmembicarakan itu. Setidaknya tidak di dekat telinganya Sarah. Meski kami kadangbisa keterlaluan, tapi kami masih bisa menjaga perasaan. Meski aku juga sebetulnyatidak terlalu yakin.

Awalnya, ku kira Sarah akan sedikit kesulitan saat bergaul bersama kami. Mengingat siapa yang menjadi ayahnya. Tapi ternyata ia bisa melakukannya dengan mudah. Termasuk kepada kami yang kadang masih sering membicarakannya di belakang. Ku kira semua orang bisa menutupi wajahnya dengan baik di sini. Dan lagi kenyataan jika penampilannya juga tidak terlalu jelek, bahkan termasuk cantik jika kau benar-benar memperhatikan. Yang menurutku adalah hal yang positif lagi di mata kami.

Aku tahu sebagian besar teman-temanku hanya menunjukkannya untuk bermain-main. Sebelum menemukan apa yang mereka sebut dengan "kesempatan bersenang-senang". Kau mengerti maksudku kan? Lagipula bekerja sekaligus merayu cewek tetap jadi kegiatan yang menyenangkan. Mungkin satu-satunya yang serius mengejar Sarah hanyalah Randy sendiri. Ia bahkan sudah memperlihatkan sisi agresifnya sejak pertama kali ia datang kemari. Di tambah lagi dengan kedekatannya bersama ayahnya, yang tentu hal itu akan memberinya lebih banyak kemudahan lagi.

Dan lagi percayalah padaku, tidak ada perasaan suka pada pandangan pertama. Aku hanya lebih mempercayakannya pada waktu. Terlebih ada satu hal lagi yang memang jadi beban perasaanku. Ku rasa aku tak ingin kehilangan muka saja saat aku bergaul dengan teman-temanku. Terlebih karena sarkastik yang selama ini sering ku lakukan.

Namun, tentu saja aku tidak ingin mengatakan jika kami kemudian tiba-tiba berseberangan. Dan aku juga tidak mengatakan jika aku tiba-tiba bertindak kasar padanya. Ku rasa, aku hanya suka menunjukkan ketidakpedulianku saja. Hanya saja aku tidak aku jika sikap sinisku akan segera berubah. Yang kesemuanya bahkan akan terjadi sebentar lagi.

 

 

Storia 2 : Api Unggun Malam Tahun Baru

Satu hal yang menarik di Welmina, mungkin suasana tahun barunya. Meski juga tidak bisa dikatakan sangat menarik, tapi sudah cukup baik karena tidak ada hiburan lagi yang bisa dirasakan di sana. Benar saja, aku tidak melewatkan seluruh liburku di tempat itu pada masa-masa tersebut, tapi kami memang sengaja meluangkan waktu merayakannya di sana. Tempat kerjaku, sebetulnya adalah daerah yang bernama Dulin. Dua tempat itu masih satu wilayah dengan Welmina. Yang menjadi satu wilayah kecamatan. Dan jarak keduanya bahkan tidak lebih dari sepuluh kilometer. Namun perlu ku ingatkan pula padamu, jika hampir keseluruhan transportasi di tempat ini hanya bisa dilakukan melalui air. Jadi hal-hal seperti itulah yang membuat perjalanan tidak bisa diselesaikan dalam sehari semalaman.

Waktu baru saja memasuki awal Januari 2013. Di mana musim hujan sudah seharusnya mulai deras-derasnya. Tapi yang berbeda saat itu adalah musim panas yang lebih panjang dari biasanya. Sungai-sungai masih terlihat kering. Anak-anak juga masih bisa menyeberanginya dengan berjalan kaki. Sebetulnya, hujan memang sudah turun sejak satu bulan yang lalu. Tapi karena panas yang masih berasa hingga pergantian musim, bagian-bagian sungai masih banyak yang belum terisi air. Yang sepertinya adalah puncak terpanas selama lima tahun belakangan.

Di Welmina sendiri, tempat yang indah ini terletak di antara pertemuan dua buah sungai. Satu adalah sungai Welna, dan satunya lagi adalah sungai Mara. Di mana sungai Welna yang lebih kecil bermuara langsung ke sungai Mara yang lebih besar. Dan letak Dulin sendiri berada di salah satu tepian sungai Welna. Di sepanjang aliran sungai tersebut, setidaknya ada belasan desa-desa kecil lagi yang berdiri di sana. Yang keadaannya juga sama terlihat menyedihkan. Namun aku akan sangat berbohong jika mengatakan pemandangan di sana tidak ada yang menarik. Seperti wilayah di sekitaran muara misalnya. Meski keindahan geografis itu hanya bisa dinikmati jika suasananya benar-benar tepat.

Jadi kami berencana membuat acara kecil di tempat itu. Yang acaranya akan dilaksanakan pada malam hari. Sebelum mengisi sisa malam dengan makan malam di tempat terbuka. Sepertinya akan jadi acara yang menarik. Aku tidak tahu apakah Otto akan ikut serta atau tidak. Tapi jika melihat kebiasaannya, ia memang tidak pernah terlibat untuk acara-acara yang seperti ini. Jadi yang jadi pertanyaan sekarang adalah tentu saja tentang Sarah.

Jadi kami berencana membuat acara kecil di tempat itu. Yang acaranya akan dilaksanakan pada malam hari. Sebelum mengisi sisa malam dengan makan malam di tempat terbuka. Sepertinya akan jadi acara yang menarik. Aku tidak tahu apakah Otto akan ikut serta atau tidak. Tapi jika melihat kebiasaannya, ia memang tidak pernah terlibat untuk acara-acara yang seperti ini. Jadi yang jadi pertanyaan sekarang adalah tentu saja tentang Sarah.

Semua teman-temanku segera menjauh. Dan menyerahkan tugas itu untukku seorang diri. Yang tiba-tiba saja kelihatan bodoh hanya karena tidak bisa menyalakan api. Aku sudah sangat berusaha, sungguh. Satu-satunya usaha yang bisa ku lakukan. Aku menghalau udara dingin agar tidak mengganggu, menjadikan daun-daun kering sebagai bahan apinya, tapi apapun yang ku lakukan sepertinya hanya membuatnya menyala sebentar. Ditambah lagi teman-temanku yang bahkan tidak terlihat peduli. Mereka malah asik berbicara dengan para gadis, bercanda tawa, seakan lupa tujuannya kemari. Tapi yang membuatku terkejut adalah Sarah yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Aku bahkan tidak pernah tahu jika ia datang kemari.

"Kesulitan?" Tanyanya tiba-tiba. Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya bersikap di detik pertama kedatangannya. Sebelum ia duduk di dekatku.

Sejujurnya, aku juga cukup senang dengan kedatangannya. Meski aku tidak berharap ia akan datang di saat seperti ini. Tapi karena ia yang sudah berada di dekatku, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja bukan? Aku lalu mengusap keringatku. Dan entah kenapa di saat kami mulai duduk sebentar di sana, waktu tiba-tiba berjalan seperti lambat sekali.

Ia menata kayu keringnya kembali, menyatukan ranting-ranting yang patah, kemudian membakarnya dengan hati-hati. Bahkan perlu beberapa kali percobaan agar ia benar-benar berhasil. Meski pada akhirnya api tetap membara. Ia lalu memasukkan kayu-kayu yang tak terbakar lagi ke dalam perapian. Dan menjaganya agar terus menyala stabil. Sementara aku duduk diam menyaksikan. Mencermatikan cara kami yang mungkin berbeda.

"Kamu pendiam sekali?" Tanyanya tiba-tiba lagi. Hal itu segera saja membuat perhatianku berbalik ke arahnya.

"Uh..., tidak."

"Kamu tahu, kata orang tua dulu, kalau belum bisa menyalakan api sendiri, berarti dia belum pantas berkeluarga," Ujarnya lagi. Dan ia tersenyum pada dirinya sendiri.

"Oh..., aku tidak tahu itu?"

"Ya, orang-orang di sini percaya begitu."

Kali ini ia menatapku. Sebelum aku bisa memahami ucapannya. "Dan kau sendiri, berapa umurmu sekarang? Dua puluh lima kan...? Kau juga belum menikah?" Lalu balasku. Dan jelas, aku sama sekali tidak bermaksud memojokkannya.

Tapi mendengar jawabanku, Sarah malah sedikit terkejut. Ia lalu menyahut, "Aku tidak tahu kalau kau tahu umurku? Ku kira selama ini kau selalu bersikap sinis?" Lalu balasnya. Dan aku bisa melihat senyumnya kemudian. Membuatku tahu jika aku telah mengucap kalimat yang salah.

"Tidak..., ku kira semua orang bisa mengetahuinya dengan mudah kan? Lagi pula siapa saja bisa melihat identitasmu di dinding kantor." Sahutku. Terpaksa mencari pengalihan lain. Dan berusaha mengatakannya sesantai mungkin. Tapi Sarah hanya mentertawakannya. Beruntungnya ia memang tidak menanggapiku lagi setelah itu. Hingga percakapan tanpa sadar berakhir.

Bulan baru saja mengintip dari balik rerimbunan hutan. Cahayanya yang perak perlahan mengubah alam terang-benderang. Tapi malam baru saja dimulai di sini. Di mana suasananya akan lebih menyenangkan lagi. Sedikit jauh dari api unggun, kami mulai menata tempat untuk kami makan malam. Karpet tebal terampar di atas permukaan pasir berbatu. Sementara di sekitar kami, udara mulai dipenuhi oleh bermacam aroma. Yang kadang berasa harum, kadang kembali segar, atau bahkan lezat kembali.

Omong-omong, hidangannya benar-benar terasa lezat. Kami memanggang ikan mas di sana, sejumlah daging, sebelum menikmatinya sebagai makan malam. Api unggun masih menyala kecil tepat di hadapan kami. Kali ini kami yang duduk mengitarinya. Dengan posisi laki-laki dan perempuan yang saling bersebelahan. Erik berada di sebelah Melia, Eddie di dekat Susie, sedang aku berada di sampingnya Sarah. Bahkan angin malam tidak terlalu kerasa lagi kali ini. Yang ada hanya kehangatan sekarang. Dan benar jika kami tidak melakukan hal-hal yang salah ketika itu terjadi, bahkan kejadiannya sama sekali tidak direncakan. Tapi saat Sarah yang tiba-tiba menuangkan segelas minuman untukku, mau tidak mau aku melihat itu sebagai isyarat yang membahayakan lagi.

Aku melihat teman-temanku mulai menatapku, dan segera tahu jika mereka meributkan itu di dalam kepala mereka. Rasa jahil yang sudah terpatri lama membuatnya begitu mudah ditebak. Aku bahkan tidak tahu jika pengaruh Otto sampai begini. Mau tidak mau aku yang harus mengisi percakapannya dengan hal-hal lain lagi. Seperti sedikit menyinggung tentang liburan, rutinitas di akhir pekan, atau membicarakan rencana yang sama di tahun berikutnya. Beruntungnya, semua teman-temanku ikut menanggapi. Meski aku tidak tahu mereka melakukannya untuk berpura-pura atau apa.

Kami baru menyelesaikan makan malam tepat sebelum pukul sembilan malam. Namun tak ada seorangpun yang ingin segera pulang. Tak peduli jika malam akan semakin larut. Para perempuan mulai mencuci semua perabotannya di pinggir sungai. Sementara kami yang laki-laki mengangkat semua perlengkapan ke atas perahu. Namun sepertinya hanya aku tidak memilih berkumpul bersama teman-temanku lagi. Di saat mereka kembali membentuk kerumunannya sendiri-sendiri.

Di sekelilingku, dunia semakin terlelap, dan bulan terlihat lebih besar dari beberapa jam sebelumnya. Sementara air sungai semakin berwarna keperakan. Di waktu sama, bayangan langit perlahan berjalan di atas air. Dan aku bisa melihat kabut yang perlahan turun dari atas langit. Sinar bulan yang melewatinya membuatnya terlihat seperti jalan cahaya menembus angkasa. Hanya suara alam yang terdengar di sini. Bahkan hewan malam mulai terdengar sepi. Semua tiba-tiba menenangkan, sunyi, dan tentu saja sedikit dingin.

Namun aku benar-benar tidak ingin diganggu lagi ketika itu. Ku kira semua orang bisa memahaminya dengan mudah. Di saat aku tengah menatap sungai kecil di hadapanku, sebelum pertemuanku dengan Sarah kembali berlanjut. Tentu saja aku tidak ingin terlihat menghabiskan waktuku dengannya lagi ketika itu. Namun karena ia yang lebih dulu datang padaku, ku rasa terlalu mustahil untukku kemudian mengusirnya bukan?

"Butuh teman?" Tanyanya sesampainya di depanku. Sementara aku meliriknya tanpa menjawab. Ku kira itu bisa memberinya sedikit jawaban. "Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?" Ujarnya lagi lembut. Mau tidak mau aku harus menanggapinya.

Lalu aku bergumam. "Entahlah... Ku kira aku hanya ingin sendiri."

"Oh..., lalu apa aku mengganggumu?"

Aku menggeleng. "Aku tidak berkata begitu. Maksudku, kau tahu kan, mereka tidak mengundangku? Jadi aku memilih kemari." Sahutku, dengan sedikit menyembunyikan perasaanku.

Aku melihatnya mencermati jawabanku sebentar, sebelum sepintas melihat senyumnya. Dan entah mengapa, hal itu tanpa sadar membuatku tersenyum pula.

"Kalau begitu kita senasib sekarang," sahutnya lagi.

Ia merapikan roknya sebentar, sebelum duduk di samping kananku, bahkan di saat aku belum mengizinkannya. Di dalam hati aku mulai bertanya-tanya akan bagaimana sikap teman-temanku kelak.

"Jadi... apa yang kau lakukan di sini?" Tanyanya lagi.

"Tidak ada, hanya duduk diam ..."

"Oh, jadi kau ingin duduk saja tanpa bicara?"

Aku tahu ia tidak serius karena aku melihat senyumnya. Karena itulah aku menanggapinya dengan nada yang sama. "Ya, ku rasa." Ujarku tanpa serius menyahut. Namun mendengar jawabanku, Sarah juga tidak berkata apa pun. Dan kami benar-benar duduk diam dalam keheningan selama beberapa waktu.

Aku menatapnya sesekali. Memperhatikan angin malam yang menerpa wajahnya. Namun rasanya benar-benar aneh di sini, saat harus menghadapinya begini, yang seketika saja membuatku sedikit rikuh. Duduk hanya berdua, menjauh dari keramaian. Tidak seperti teman-temanku, saat mereka bisa dengan mudah membangun percakapan, ku rasa aku takkan bisa menemukan karakter yang semacam itu di dalam diriku sendiri. Yang pada akhirnya keheningan itu terus berlanjut. Hingga kekonyolan itu tidak tertahankan lagi.

"Umm..., kau tidak gila kan? Apa kau akan terus diam saja semalaman," Kali ini aku yang bicara.

Ia menatapku sekilas, tapi aku melihat senyumnya lagi untuk kesekian kalinya. "Ya..., tapi kan kau sendiri yang ingin terus diam begini?"

"Tapi tidak sediam ini juga kan..." Aku mengedipkan mataku ke arahnya.

Dan ia akhirnya bergumam. "Jadi ... apa yang mesti ku tanyakan menurutmu?"

Pertanyaannya sedikit membuatku bingung.

"Um... apa saja. Apa pun yang terlintas di dalam pikiranmu ku rasa,"

Bahkan perlu waktu sedikit lagi untuknya menjawab. Yang kali ini terasa sedikit lebih lama. "Entahlah... kenapa tidak kau saja yang bertanya lebih dulu?" Lalu balasnya lagi.

Namun di sinilah sesuatu baru saja luput dari perhatianku. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai merasakan ada hal yang aneh saat kami bisa duduk berdua di sana. Meski kebanyakan kami hanya sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Bahkan, aku masih belum tahu apa yang membawanya kemari. Sejenak, aku kembali tepikir teman-temanku. Membayangkan hal buruk apa yang mungkin mengiritasi isi kepala mereka. Tapi saat tatapanku kembali kepada mereka, mereka juga tidak terlihat peduli.

Jadi sekarang pilihanku untuk bertanya. "Jadi, kenapa kau tiba-tiba datang kemari Sarah? Maksudku, tadinya kau bekerja di kota kan?" Ujarku akhirnya.

Sebetulnya, aku juga pernah mendengarnya. Tapi ku rasa hanya kali ini saja aku perlu jawabannya langsung. Terlebih kejadian itu memang fakta yang cukup mencengangkan. Namun bukannya langsung menjawab, Sarah justru terdiam sebentar. Dan aku langsung tahu jika ada yang membebani pikirannya. Meski aku tidak tahu itu apa. "Aku kemari karena keluargaku Ryan!" Lalu sahutnya halus.

"Apa maksudmu dengan keluargamu?"

"Ya..., karena di sini tempat asalku kan, tempat keluargaku. Ku kira aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja."

"Maksudmu, kau ingin dekat keluargamu?" Ujarku dan ia menggangguk. "Tapi saat kau bekerja kan, bukan berarti kau lantas melupakan mereka bukan? Kau masih bisa meliburkan dirimu sesekali. Mengajukan cuti mungkin. Menurutku itu jauh lebih baik. Lagipula keluargamu juga akan baik-baik saja, meski kau tidak di dekat mereka." Nadaku jelas sekali menunjukkan penolakanku. Sesuatu yang jelas tidak sulit untukku mengungkapkan.

"Tapi kalau aku lebih suka di sini bagaimana?" Sahutnya, dan ia tiba-tiba tertawa. "Sepertinya kau tidak senang berada di sini?" Sebelum tanyanya lagi.

"Ku rasa semua orang tidak menyukainya."

"Tidak untukku,"

Inilah yang selama ini aku tahu dari Sarah. Dan meski aku takkan pernah memahami perasaannya, tapi aku bisa melihat prinsip kami yang sepenuhnya berbeda. Yang bagi orang sepertiku tentu saja kedengaran konyol. Namun aku tahu ia juga tidak ingin membahasnya lagi ketika itu. Jadi ku kira karena itulah ia kemudian mengalihkan topik pembicaraannya.

"Jika kau sendiri..., seandainya bebas memilih, kau akan memilih tinggal di mana?" Ia tiba-tiba bertanya begitu padaku.

"Um..., semua tempat selain di sini. Apapun yang berbentuk kota besar. Asal aku punya pekerjaan tetap, tempat tinggal ...,"

"Aku tidak memintamu mendeskripsikannya." Potongnya segera. "Aku hanya ingin kau menyebut nama tempatnya," bahkan ia tidak mengatakannya berbelit-belit.

"Entahlah... Bandung mungkin."

"Karena dari sana asalmu?"

"Karena di sana tempat asalku."

Ada jeda sebentar sebelum kami bicara lagi.

Lalu ia bergumam. "Bagaimana kalau kamu menceritakan tentang tempat tinggalmu...!" Sekarang, aku justru mendengar ketertarikan dari nada bicaranya. Dan bersiap-siap untuk mendengarkan.

"Um..., jadi apa yang ingin kau ketahui?"

"Apa saja yang menarik. Tempat liburan mungkin?"

Aku mulai memikirkannya. Tapi jawabanku sebetulnya juga tidak banyak. Meski cukup sulit untuk membuatnya kecewa. Bukan apa-apa sih sebetulnya, yang menurutku lebih ke arah diriku sendiri. Karena kau tahu sendiri kan, ku kira rasanya memang terlalu tolol jika aku terkesan tidak mengenal tempat tinggalku sendiri.

Dan aku mengarang-ngarang jawabanku. "Tergantung jenis liburan yang kau mau. Maksudku, sebagian besar memang lebih banyak di luar kota. Tapi masih cukup dekat karena masih di wilayah Jawa Barat... Kamu bisa pergi ke puncak kalau kau mau, menikmati suasana alamnya, atau pergi ke Kawah Putih mungkin, bahkan ada juga pemandangan air terjun. Dan jika ingin mencari pengalaman yang sedikit berbeda, kita bisa melihat-lihat Bintang di Observatorium Bosscha jika kau mau." Sahutku, berharap jawabanku tepat. Tapi seandainya jawabanku salah juga, ku rasa ia takkan tahu.

"Oh...," nadanya tidak menunjukkan jika ia benar-benar tertarik. "Kalau di Bandung sendiri?" Lalu tanyanya lagi.

"Ehm... ku rasa hanya ke mall mungkin, taman kota. Oh ya, Gedung Sate jika kau pernah dengar..." Sahutku cepat-cepat, saat aku baru saja mengingatnya.

"Gedung Sate...?"

Sekarang, aku mulai berlagak layaknya guru sejarah.

"Itu karena kau jarang membaca buku!" Ujarku segera. "Sebenarnya itu adalah salah satu bangunan bersejarah di sana. Yang sekarang jadi ikon dari kota Bandung itu sendiri. Tapi yang sebetulnya menarik adalah tamannya. Orang-orang biasa berfoto di tempat itu. Seperti foto pra-nikah, atau sekedar foto-foto biasa."

"Oh, aku sedikit heran dengan namanya."

"Ya, kalau kau pernah melihatnya, kau akan langsung mengerti mengapa namanya Gedung Sate." Sahutku, kali ini ia menatapku serius. Namun tidak juga segera menjawabku. Aku tahu mungkin ini akan sedikit mengecewakan baginya. Tapi aku tidak bisa menahan diriku lagi.

"Ku rasa kau perlu keluar sebentar, Sarah." Lalu tambahku. "Maksudku, keluar dari kehidupan ini. Memahami dunia luar dan memperluas wawasanmu. Tempat ini..., ku rasa hanya untuk orang-orang yang lelah atas segalanya. Mereka yang ingin lari dari dunia luar. Kau takkan mendapat apapun dari tempat yang bahkan wilayahnya kurang dari lima kilometer persegi. Di sini hanya akan mempersempit ruang gerakmu, dan membuatmu terus tertinggal di belakang. Umm... aku tidak mengatakan jika bertahan di sini akan selalu kelihatan buruk. Tapi tak masalah jika hanya keluar untuk sesekali."

Aku tahu Sarah tengah memikirkan kata-kataku dari diamnya. Aku bahkan bisa menebak akan seperti apa responnya kelak. Tapi jawabannya memang sedikit di luar dugaanku.

"Ya, ku kira aku bisa melakukannya jika waktu itu benar-benar ada! Itu juga jika kau mau menemaniku?" Lalu sahutnya lagi.

Aku tahu jika ia hanya bercanda karena ia tertawa. Karena itulah aku kemudian mengiyakan. Sebelum mata kami yang kemudian saling melakukan kontak. Bahkan kali ini sedikit lebih lama.

"Ya, tentu saja," kali ini aku yang menyahut.

Dan kami tersenyum lagi untuk kesekian kalinya.

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!