Aku adalah Anto, seorang suami yang sangat biasa. Dengan penghasilan tidak sampai dua juta perbulan. Aku tetap berusaha menyenangkan istriku dengan membantunya mengerjakan tugas rumah.
Alhamdulillah di usia pernikahan kami yang ke sepuluh tahun, aku dan istriku telah memiliki dua orang anak, laki-laki dan perempuan yang kini telah bersekolah. Mereka adalah anak-anak yang baik dan manis. Tidak pernah menyusahkan orangtua dan selalu menuruti kata-kata orangtuanya. Mereka juga adalah anak yang cerdas, selalu mendapatkan ranking. Aku benar-benar bangga dengan anak-anakku.
Sore ini aku pulang dari bekerja seperti biasa. Pekerjaanku hanya sebagai buruh toko bangunan yang tidak jauh dari tempat tinggalku. Dengan sepeda, sebagai alat transportasiku.
"Mas,bedakku habis nih." Keluh Lisa,istriku tiba-tiba saat aku baru saja melepas sandalku di depan pintu.
"Assalammualaikum." Ucapku.
"Wa'alaikumsalam." Sahutnya malas.
"Uang yang mas kasih sudah habis ya bu?" Tanyaku hati-hati pada istriku itu.
"Yah, uang yang ayah kasih itu buat makan satu bulan saja tidak cukup apalagi buat beli bedakku!" Oceh Lisa. Istriku itu memang selalu merasa kurang dengan pemberianku. Tapi aku selalu berusaha sabar menghadapinya.
Aku menghela nafas berat. Aku memang belum mampu menyenangkan istriku itu. "Berapa harga bedaknya,bu?" Tanyaku pelan.
"Cuma tiga ratus ribu kok yah." jawabnya enteng seolah uang tiga ratus ribu itu kecil. Padahal uang tiga ratus itu aku dapatkan dalam waktu satu minggu.
"Tiga ratus tibu,bu?" Tanyaku kaget. Mahal sekali harga bedak yang di pakai oleh istriku.
"Iya, ayah kenapa kaget? Itu hanya bedak yah. Belum lipstik, maskara dan yang lain lagi. Bisa lebih lima ratus ribu. Belinya juga cuma dua bulan sekali, kok." gerutunya dengan wajah masam.
"Hhmm, simpanan di dompet ayah hanya ada sisa seratus tiga puluh ribu, bu," ucapku seraya merogoh dompet dari saku celanaku.
"Ya sudah,sini!" todongnya dengan menadahkan tangan.
"Buat ayah yang tiga puluh ribu, ya." Ucapku.
"Pelit banget sih, yah. Tiga puluh ribu saja di ambil." Lisa menyebik.
"Buat pegangan ayah, bu. Kalau ban sepeda bocor." Jelasku seraya menyerahkan selembar uang merah satu-satunya yang ada di dompetku ke tangannya.
Dengan cepat, Lisa mengambil uang itu lalu menyimpannya di saku bajunya.
"Ya sudah,ayah cuci piring sana. Aku capek,yah." Ucapnya sambil lalu kemudian mendekati si bungsu Alya yang sedang rebahan di tempat tidur.
Aku segera ke kamar mandi. Kamar mandi yang hanya berukuran dua kali satu setengah meter.
Kami tinggal di sebuah kost-kostan sederhana karena untuk mengontrak rumah tentu saja keuanganku tidak cukup.
Aku lalu mencuci piring kotor yang sudah menumpuk di kamar mandi. Setelah selesai,aku pun segera mandi lalu bersiap ke masjid untuk sholat maghrib.
Sepulang dari sholat magbrib,aku segera mengambil piring. Perutku rasanya lapar sekali.
Aku membuka dandang nasi,nasinya sudah dingin karena sudah dari pagi istriku masak. Saat hendak mengambil sayur dan lauk ternyata hanya ada sepotong tahu dan sedikit sambal terasi. Tak apalah,yang penting ada teman nasi. Batinku.
Alhamdulillah,aku makan dengan lahap. Apapun yang di masak istriku, aku tidak pernah protes. Aku cukup tahu diri. Dan beruntung kedua anakku tidak seperti ibunya yang sering mengeluh.Setelah merasa kenyang,aku duduk sebentar di sebelah si sulung yang sedang menonton tv.
"Yah,minta uang donk. Buat beli paket data." Pinta Andre.
"Uang ayah di dompet hanya tinggal tiga puluh ribu,nak. Tadi sudah ayah kasih ke ibu seratus ribu." Jelas Anto.
"Ayah ini,kasih uang seratus ribu saja di ungkit-ungkit." Gerutu Lisa yang langsung duduk menatap kesal ke arahku.
"Bukan di ungkit-ungkit bu. Tapi ayah hanya kasih tau Andre kalau ayah sudah tidak punya uang lagi." Jelasku.
"Kasihin saja yang tiga puluh ribu itu!" Ucap Lisa.
"Bu,itu kan untuk pegangan ayah kalau ada apa-apa di jalan. Kalau ban sepeda ayah bocor atau apa."
"Ban bocor paling sepuluh ribu,yah. Dasar ayah tidak mau mengalah sama anak." Ucap Lisa sinis.
Aku menghela nafas. Akhir-akhir ini Lisa makin tidak mau mengerti keadaanku. "Harga paket datanya berapa,nak?" Tanyaku pada Andre.
"Paling murah lima belas ribu,yah." Jawab Andre.
"Ayah kasih dua puluh ribu cukup kan?" Tanyaku lagi pada Andre.
Ander mengangguk cepat. "Iya,cukup yah." Jawabnya bersemangat. Putraku itu tidak pernah mengeluh dengan semua pemberian ayahnya walau terkadang ayahnya tidak mampu memenuhi keinginannya. Dia adalah anak yang pengertian.
Aku berdiri lalu mengambil dompet lusuhku di saku celana. Aku keluarkan uangku dua puluh ribu lalu aku berikan pada Andre,anakku. "Ini uangnya. Pakai kuotanya di hemat ya nak."
"Iya, terimakasih yah." Ucapnya dengan senyum semringah.
Karena lelah,aku langsung berbaring di sebelah si sulung yang masih asik nonton tv. Tiba-tiba Lisa berdiri,lalu mengambil handphone yang ada di sebelah Andre.
"Mas Andre,ibu mau pake sebentar handphonenya." Ucap Lisa pada sulungku. Yah,kami hanya memiliki satu buah handphone saja jadi kalau butuh harus bergantian.
Aku hanya melirik sebentar ke arah Lisa. Setelah mengambil handphone,Lisa membuka pintu lalu keluar dari kamar kost kami.
Akhir-akhir ini hampir setiap malam menjelang tidur,Lisa keluar dengan membawa handphone. Dia baru kembali setengah jam kemudian kadang lebih aku tidak tau. Karena kelelahan,aku tidak memperdulikannya asal dia hanya keluar kamar saja. Aku pun dengan cepat terlelap ke alam mimpi.
Entah karena kaget atau apa,aku tiba-tiba terbangun. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Di sampingku,Andre sudah terlelap.
Aku duduk lalu menoleh ke atas ranjang tempat Lisa dan si bungsu tidur. Aku sangat kaget mengetahui Lisa tidak ada di sebelah Alya padahal sudah pukul sepuluh malam. Kemana Lisa. Tanyaku dalam hati.
Aku langsung berdiri lalu membuka pintu kamar yang tidak terkunci. Aku keluar dari kamar. Sayup-sayup aku mendengar suara Lisa. Aku menoleh ke kiri kanan tapi Lisa tidak ada,hanya suaranya saja yang terdengar sangat pelan.
Karena kamar kost kami ada di ujung dan dekat dengan tangga menuju tempat menjemur pakaian,aku berinisiatif naik ke atas tangga. Ternyata Lisa sedang duduk sendirian di tangga paling atas sambil bersandar di dinding. Dia sedang asik bertelponan hingga tidak menyadari kehadiranku yang sedang mengintipnya.
"Lisa?" Panggilku pelan karena takut terdengar orang karena memang hari sudah malam.
Tapi Lisa tidak mendengarku. Dia malah tersenyum-senyum seperti orang yang sedang malu-malu.
"Lisa!" Panggilku lagi dengan suara sedikit lebih keras. Dia begitu fokus dengan lawan bicaranya di seberang sana sampai tidak mendengarkan panggilanku.
Lisa menoleh dan langsung kaget saat tau aku yang memanggilnya. Dia langsung berdiri dan menyimpan hanphone di belakang punggungnya.
"Ayah! Bikin kaget saja!" Ucapnya kesal dengan mata yang menyorot tajam.
"Kamu sedang apa malam-malam di sini?" Tanyaku penasaran.
"A-aku sedang telponan sama adikku, Maya." Jawabnya gugup. Terlihat seperti orang yang sedang berbohong. Tapi aku tidak tahu apa.
"Kenapa harus di sini? Kenapa tidak di kamar saja?" tanyaku heran.
"Kalau telponan di kamar nanti Alya dan Andre terbangun. Makanya yah,cari rumah. Ngontrak apa? Masa kost terus,huhh!" Jawabnya ketus.
Aku menghela nafasku berat. Selalu itu yang di minta oleh Lisa. Aku tidak mampu menjawabnya karena aku pun belum mampu untuk memenuhi keinginannya itu. Maafkan aku,istriku. Batinku sambil menatap ke arahnya.
Lisa turun dari tangga melewatiku begitu saja dengan wajah kesal. Aku menyusulnya turun. Dia masuk ke dalam kamar lalu membanting handphone ke atas kasur tipis tempat aku dan Andre tidur. Dia langsung naik ke atas ranjang lalu tidur di samping Alya.
Aku hanya menggelengkan kepalaku melihat kelakuan Lisa. Aku pun masuk ke kamar mandi lalu berwudhu,aku memang belum sempat sholat isya tadi.
Aku segera sholat,tidak lupa berdoa untuk keluarga kecilku. Setelah sholat,aku berbaring hendak melanjutkan tidurku. Tapi setelah setengah jam,aku belum lagi bisa tertidur karena bayangan Lisa saat di atas tangga tadi terus berseliweran di pelupuk mataku.
.
.
.
.
.
13
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Aku lihat Lisa masih tertidur. Aku segera mandi lalu ke masjid untuk sholat subuh.
Sepulang dari masjid,Lisa belum juga bangun.
"Bu,bangun bu. Subuh." Bisikku pelan seraya mengusap bahunya.
Lisa tidak bereaksi jadi aku coba bangunkan lagi dengan suara sedikit lebih keras sekalian membangunkan kedua anakku.
"Bu,bangun dulu. Sudah subuh ini."
Lisa lalu menggerakkan tubuhnya lalu membuka matanya perlahan. "Ayah,ibu masih ngantuk nih." Ucapnya kesal. Dia kembali memejamkan matanya sepertinya masih ngantuk sekali. Entah semalam dia tidur jam berapa aku tidak tahu.
"Ayah,sudah jam berapa sekarang?" Tanya Andre yang sudah duduk seraya mengucek-ucek matanya.
"Sudah jam lima,nak. Ayo bangun." Titahku.
Andre segera bangun dari tidurnya lalu menggulung kasur tipis yang dia pakai untuk tidur ke sudut kamar. Kemudian dia mengambil pakaiannya yang tersusun di rak lalu pergi ke kamar mandi.
"Bu,tidak ke warung beli sayur?" Tanyaku pada Lisa yang ternyata sudah duduk di atas tempat tidur sambil mengotak atik handphone. Baru bangun tidur sudah main handphone seperti tidak ada kerjaan saja.
"Aku mau bikin telur dadar saja,yah. Nanti jam sembilan aku mau pergi." Jawabnya tanpa menoleh ke arahku,masih sibuk menatap ke layar handphone. Entahlah dia sedang chat dengan siapa. Memang di handphone itu banyak nomor yang tidak ada namanya.
"Pergi kemana?" Tanyaku penasaran.
"Ke rumah bu Narti,ada banyak pesanan catering." Jawabnya datar.
"Alhamdulillah,semoga bu Narti tiap hari manggil ibu,ya. Lumayan buat tambahan." Ucapku penuh syukur. Setidaknya dia mempunyai uang tambahan untuk dirinya sendiri.
Lisa hanya menatapku sekilas lalu kembali menatap benda pipih itu.
"Bu,katanya paket datanya habis kok masih di mainin terus handphonenya?" tanyaku heran.
"Nanti siang baru habis, sudah satu bulan kan, yah. Sekarang sekalian aku habiskan saja." Jawabnya ketus. Wajahnya terlihat masam.
"Hhmm." Aku berdiri lalu keluar dari kamar sementara Andre sudah selesai mandi.
Aku duduk di dekat pintu pagar tempat penghuni kost lewat. Kita biasa ngobrol jika kebetulan tidak ada pekerjaan. Setengah jam kemudian aku dengar ada penghuni kost yang memutar lagu sangat keras. Aku lalu masuk,ternyata suara musik itu berasal dari kamarku sendiri. Lisa kalau memutar musik pasti suaranya sangat keras.
Aku masuk ke kamarku. "Bu,pagi-pagi muter musik kok keras banget. Tidak enak sama tetangga." Tegurku.
"Iihh,ayah ini. Orang-orang juga suka kok muter musik keras-keras." Sahutnya kesal.
"Hhmm,sudah masak bu? Sebentar lagi ayah mau berangkat kerja." tanyaku yang sudah tidak mempedulikan lagi suara musiknya.
"Aku sedang masak nasi,yah. Sebentar lagi mateng." Jawabnya malas.
Aku kembali keluar kamar karena kupingku mulai sakit dengar suara musiknya. Entahlah tetangga sebelah terganggu apa tidak. Lisa sangat susah di nasehati.
Setengah jam kemudian, Alya memanggilku. "Yah,sudah mateng. Makan yuk." Ajaknya lalu kembali ke kamar kami.
Aku segera mengukuti langkah kaki si bungsu. Di kamar,istriku sedang menyiapkan nasi di mangkuk besar. Ada beberapa potong telur dadar di piring.
Aku segera mengambil piring lalu mengisinya dengan nasi dan telur dadar di lengkapi kecap manis agar makan terasa lebih enak. Kami memang sering sarapan ala kadarnya seperti ini.
Setelah selesai makan,aku segera bersiap.
"Ayah pergi kerja dulu ya. Assalammu'alaikum." Pamitku pada istri dan kedua anakku. Aku lalu keluar dari kamar.
"Wa'alaikumsalam. Ayah hati-hati kerjanya,ya." Sahut si bungsu.
Aku tersenyum seraya melambaikan tanganku ke arah mereka. Aku lalu mengambil sepedaku. Ya,aku kerja dengan mengendarai sepeda karena aku memang tidak memiliki motor.
Ku kayuh sepedaku dengan semangat. Aku selalu bersemangat bekerja demi keluarga kecilku. Kadang kalau di tempat kerjaku banyak kardus tak terpakai,sepulang kerja aku akan menjualnya.
Jarak antara rumah dan tempat kerjaku hanya lima belas menit dengan mengendarai sepeda. Setelah sampai,aku memarkirkan sepedaku di pojok agar tidak mengganggu orang.
"Anto!" Panggil bosku,Toni.
"Ya,bos." Sahutku seraya melambaikan tanganku ke arahnya.
"Kamu ikut si Budi anterin pesanan bata sama semen." Titahnya.
"Siap,bos." Sahutku bersemangat.
Aku lalu mendekati Budi yang sibuk memasukkan bata dan juga semen ke mobil pik up. Aku lalu ikut memasukkan semua barang ke dalam pik up. Setelah selesai,aku langsung naik mobil dan duduk di sebelah Budi.
"Di antar kemana,Bud?" Tanyaku ingin tahu.
"Ke jalan Bunga." Jawab Budi seraya menghidupkan mesin mobil.
Sepuluh menit kemudian,kami sudah sampai ke rumah pembeli. Aku lalu membantu Budi menurunkan bata dan semennya di depan rumah.
Setelah selesai,kami kembali lagi ke toko.
Begitu setiap hari pekerjaanku. Kalau tidak ada barang yang hendak di antar,aku akan membantu mengerjakan apa saja di toko.
Menjelang siang,aku kembali menemani Budi mengantar pesanan pembeli. Kali ini sedikit lebih jauh. Lima belas menit kami baru sampai.
Karena pesanan pembeli sangat banyak,aku tentu saja merasa kelelahan. Aku langsung masuk ke mobil begitu selesai menurunkan semua barang di rumah pembeli. Aku bersandar di sisi kiri mobil seraya memejamkan mata.
Lima menit kemudian. "To,to!" Panggil Budi seraya tangan kirinya menyikut kakiku.
"Apa sih? Fokus saja nyetir." Ucapku masih dengan mata terpejam.
Tiba-tiba Budi menghentikan laju mobil hingga membuatku membuka mataku.
"Lihat di sana? Bukankah itu Lisa,istrimu?" Tunjuk Budi.
Aku lalu menoleh ke arah yang Budi tunjuk. "Mana Lisa?" Tanyaku sambil mengernyitkan dahi karena tidak ada Lisa di sana.
"Itu yang duduk di boncengan sepeda motor biru!" Jelas Budi.
Aku menatap lekat-lekat ke arah sepeda motor biru tapi orang yang di sangka Lisa oleh Budi tidak menghadap ke arah kami. Bentuk tubuh dan rambutnya dari belakang memang hampir sama. Memakai pakaian berwarna hitam polos. Aku pikir tidak hanya Lisa yang memiliki pakaian seperti itu. Tapi aku teringat ucapan Lisa tadi pagi kalau dia akan membantu memasak di catering di tempat bu Narti.
"Bukan,Bud. Lisa hari ini membantu catering di rumah bu Narti kok." Sanggahku walau ada sedikit keraguan dalam nada suaraku.
"Oohhh,apa aku salah lihat ya? Kalau begitu kita dekati saja biar lebih jelas." Ajaknya kemudian.
Aku hanya diam saja tanpa menjawab iya atau tidak.
Tapi baru saja Budi menghidupkan mesin mobil,sepeda motor berwarna biru itu sudah berlalu dari sana hingga kami kehilangan jejak.
"Yah,motornya sudah pergi,to. Telat kita." Sesalnya.
"Ya sudah kita kembali saja ke toko,nanti kelamaan bos bisa marah. Lagian aku yakin kalau itu bukan Lisa kok." Ucapku meyakinkan Budi.
"Ya sudah,semoga bukan Lisa." Ucap Budi kemudian,lalu melajukan mobil kembali ke toko.
***
Aku pulang ke rumah saat jam sudah menunjukkan pukul lima sore. Sampai di rumah,aku lihat Lisa sedang memainkan handphonenya sambil tersenyum-senyum sendiri. Di wajahnya masih ada sisa polesan make up.
"Assalammualaikum." Ucapku.
"Wa'alaikumsalam." Sahutnya seraya menoleh sekilas ke arahku.
"Anak-anak mana bu?" Tanyaku setelah aku sadar kalau Lisa hanya sendirian di kamar kost kami.
"Anak-anak ada di rumah neneknya. Bosen di sini." Jawab Lisa.
"Kamu tadi siang jadi membantu di rumah bu Narti kan bu?" Tanyaku dengan nada menyelidik.
"Ya jadi donk yah." Jawabnya sewot.
Hhh,aku menghela nafas lega. Aku lalu mengambil handuk dan juga pakaian gantiku lalu masuk ke kamar mandi.
Sepuluh menit aku keluar dari kamar mandi,Lisa masih asik dengan handphonenya.
"Bu,asik banget." Ucapku lalu hendak duduk di sebelahnya.
Lisa kaget lalu berdiri. "Ayah apaan sih? Bikin kaget saja." Gerutunya.
"Ayah hanya mau duduk di sebelah kamu saja loh,bu." Ucapku.
"Sana ih. Sebentar lagi maghrib,yah. Apa ayah tidak sholat di masjid?"
"Hhmm. . ." Aku berdiri lalu mengambil kopiahku. "Ayah ke masjid dulu." Pamitku.
Lisa hanya diam saja tanpa menggubrisku.
.
.
.
.
.
18
Hari ini aku sedang tidak enak badan,jadi aku pulang lebih cepat. Pukul sepuluh,aku sudah kembali ke kostan. Baru saja aku hendak berbaring,tiba-tiba Lisa keluar dari kamar.
"Mau kemana,bu? Ayah minta di kerokin donk." Pintaku pada Lisa.
"Nanti ya,yah. Aku di panggil mbak Siti nih." Tolak Lisa.
Hhh,aku menarik nafasku berat. Badanku rasanya remuk,mungkin enak kalau di kerokin tapi Lisa lebih memilih menemui tetanggaku yang di kamar tengah. Mbak Siti. Mereka memang sudah berteman lama. Tapi aku ini kan suaminya masa dia lebih mementingkan teman daripada suaminya sendiri.
Aku coba memejamkan mataku,mungkin dengan tidur,badanku jadi sedikit lebih enak. Tapi belum lagi aku menyambut mimpi,terdengar suara ribut-ribut dari luar kamarku. Entah ada apa di luar.
Awalnya aku mencoba bersikap masa bodoh. Mungkin ibu-ibu yang sedang ngerumpi saking hebohnya. Tapi ternyata suara ribut-ributnya makin rame. Aku yang merasa terganggu akhirnya bangun dari tidurku lalu menoleh keluar.
Ternyata Lisa,Siti dan tetanggaku satu lagi yang bernama Wati sedang beradu argumen dengan suami Wati. Memang Lisa sempat cerita kalau Wati curiga suaminya ada main di luar. Jarang pulang dan juga jarang kasih nafkah.
Aku yang tidak ingin ikut campur urusan orang,kembali merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Kebetulan Andre dan Alya sedang di rumah neneknya jadi aku bebas tidur di kasur.
Baru saja aku terlelap dalam mimpi,tiba-tba terdengar suara Lisa berteriak. Repleks aku terbangun lalu buru-buru keluar dari kamar. Ternyata Lisa sedang perang mulut dengan suami Wati.
"Bu!" Teriakku memanggil Lisa,istriku.
Lisa hanya menoleh sesaat ke arahku lalu kembali berargumen dengan suami Wati.
Aku yang tidak ingin Lisa terlibat masalah langsung menghampirinya.
"Bu,masuk!" Titahku sambil menatap tajam ke arah istriku itu.
"Aku belum selesai,yah." Tolaknya.
"Bu,ayah bilang masuk ya masuk!" Titahku lagi dengan suara lebih tinggi seraya tanganku menarik tangan Lisa agar mengikuti langkahku masuk ke kamar kost kami.
"Iihh,ayah!" Ucap Lisa kesal sambil sesekali menoleh ke belakang. Dia masih tidak ingin mengikuti perintahku. Rasanya aku kesal sekali.
Kami masuk ke dalam kamar,lantas pintu langsung aku kunci. "Bu,jangan ikut campur urusan rumah tangga orang!" tegasku.
"Wati itu teman aku,yah. Bukan orang lain. Aku kasihan dengannya yang di selingkuhi suaminya yang tidak tau diri itu," jelas Lisa berapi-api.
"Tapi tetap saja bu,itu masalah rumah tangga mereka. Biarkan mereka menyelesaikan sendiri masalah mereka. Tidak baik ikut campur masalah rumah tangga orang." Nasehatku lagi pada Lisa,istriku.
"Iiiihh,dasar ayah saja yang tidak punya rasa pertemanan. Kalau teman ada masalah ya kita bantu donk,yah." Protesnya dengan melipat kedua tangan di depan dada.
"Tapi bukan masalah suami istri,bu. Itu masalah yang sangat pribadi. Ya sudahlah. Ibu bisa kan pijitin ayah? Badan rasanya capek banget,bu. Sekalian di kerokin ya." Pintaku pada Lisa.
"Huuhh,makanya yah. Cari kerja yang bagusan dikit. Yang duitnya banyak,yang kerjanya tidak terlalu capek. Ujung-ujungnya kalau ayah sakit gini,aku yang capek. Terus gaji ayah juga di potong karena tidak kerja sehari." Gerutu Lisa seraya tangannya mencari balsem. Lisa mulai mengerok punggungku. Rasanya badanku mulai enakan.
Sepuluh menit kemudian. "Sudah,yah. Capek." Ucap Lisa lalu ikut tiduran di sebelahku.
"Hmm,terimakasih,bu." Sahutku lalu memakai lagi pakaianku.
"Anak-anak minta di jemput sebelum ashar. Ayah saja yang jemput." Ucap Lisa malas.
"Ayah kan sedang tidak enak badan bu. Ibu saja, ya," tolakku halus.
"Huuhh,ayah ini." gerutu Lisa.
Aku lalu memejamkan mataku sementara Lisa menyalakan tv.
Satu jam kemudian aku terbangun dari tidurku. "Bu,masakin nasi goreng donk. Ayah laper."
"Ayah ini banyak maunya." omel istriku.
"Sekarang kan sudah hampir jam satu,bu. Wajar ayah laper." Ucapku membela diri.
Dengan berat hati,Lisa bangkit dari duduknya lalu mulai menyiapkan bumbu untuk membuat nasi goreng. Beberapa menit kemudian tercium aroma sedap dari nasi goreng bikinan istriku. Istriku itu memang pandai memasak,itu sebabnya dia sering di panggil untuk membantu di catering bu Narti jika banyak pesanan. Karena karyawan di catering bu Narti sudah cukup,jadi Lisa hanya di minta saat pesanan banyak saja.
Lisa meletakkan dua piring nasi goreng di lantai yang beralaskan tikar. "Cuma nasi goreng sama kerupuk,yah. Ada telur dua buat makan malam Alya sama Andre." Ucap Lisa.
"Terimakasih,bu. Iya,tidak apa-apa. Sama kerupuk juga sudah enak kok." Sahutku lalu segera melahab nasi gorengku. Lezat rasanya sampai aku ingin nambah tapi sayangnya sudah habis.
Aku lalu menaruh piring kotor ke baskom kecil lalu mengambil air minum.
"Yah,aku jemput anak-anak sekarang saja ya." Ucap istriku seraya berdiri di depan kaca. Memoles wajahnya dengan bedak dan lipstik,tak ketinggalan pensil alis juga dia coret-coretkan di wajahnya.
"Mau jemput anak-anak kok pake dandan segala,bu?" Tanyaku heran.
"Iiihh ayah ini. Masa istrinya di suruh tampil jelek."
"Ya kan hanya jemput sebentar terus balik lagi ke sini."
"Aku mau mampir ke temanku dulu yah."
"Teman siapa,bu? Apa harus tampil menor begitu?" Tanyaku dengan nada tidak suka.
"Ayah kok bawel sih. Temanku yang kerja di catering bu Narti loh,yah. Katanya ada yang butuh tenaga buat masak." Jelas Lisa.
Aku menatapnya lekat-lekat. "Ya tidak perlu dandan begitulah,bu."
"Sudah ah,aku mau berangkat dulu. Ayah tidur saja sana biar cepat sembuh besok bisa kembali kerja. Jangan sering-sering ijin loh,bisa habis duit gaji ayah!" Ucap Lisa yang segera berlalu dari hadapanku.
Aku menatap kepergiannya dengan nanar. Aku jadi teringat ucapan Budi waktu itu. Aahh,Lisa tidak mungkin begitu. Hatiku bermonolog.
Aku lalu pergi ke kamar mandi,berwudhu lalu sholat zuhur. Setelahnya aku kembali berbaring di tempat tidur sambil menunggu anak dan istriku pulang.
Entah sudah berapa lama aku tertidur,tiba-tiba terdengar ramai suara anak-anakku dan ibunya. Aku membuka mataku,benar saja ternyata di bungsu sedang ngambek karena terlambat di jemput oleh ibunya.
"Ibu tadi kan jemput kamu jam satu,kenapa masih ngambek?" Tanyaku heran sambil mengusap lembut kepalanya.
"Ibu baru datang jam empat,ayah." Sanggahnya.
Dahiku berkerut. "Jam empat? Tadi ibu dari kost jam satu,kok."
"Jam empat,ayah!"
Anakku tidak mungkin berbohong. Aku lalu menoleh ke arah istriku. "Bu,kenapa mereka baru di jemput jam empat?" Tanyaku menyelidik.
"Kan tadi ibu sudah bilang kalau ibu mau ketemu sama teman ibu,gimana sih yah,masa lupa." Jawabnya membela diri.
"Hhmm,selama itu?"
"Lama apa? Hanya sebentar kok,Alya saja yang tidak sabar."
"Sudah-sudah. Alya sayang,ibu kan tadi ada urusan sama temannya jadi jemput kamu sedikit telat. Kamu sudah makan belum,nak?"
Alya hanya diam saja sepertinya dia masih tampak kesal.
Aku kembali menoleh ke arah istriku. "Bagaimana bu,kapan ibu mulai kerja?" Tanyaku.
"Kerja apa,yah?" Lisa balik bertanya.
"Loh,tadi ibu bilang ada yang butuh tenaga buat masak makanya ibu ketemuan sama teman ibu." Jelasku.
"Hhh,tidak jadi." Jawabnya singkat.
Aku menghela nafasku. Belum rezeki. Batinku.
"Andre,ibu pinjam sebentar handphonenya." Pinta Lisa pada putraku Andre yang sedang asik dengan handphonenya.
"Sebentar lagi,bu." Jawab Andre.
"Hhh,makanya yah beli handphone satu lagi biar tidak perlu gantian begini. Aku kan juga butuh handphone,yah. Malu sama teman-temanku hari gini tidak punya handphone." Gerutu Lisa dengan wajah di tekuk
Aku pun ingin memenuhi semua kebutuhan keluargaku tapi apa daya,gajiku kecil. Aku juga tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik karena ijasahku hanya SMP.
.
.
.
.
.
.
.
13
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!