Bab 1. Ijin Menikah lagi
Impian terbesar seorang wanita adalah menikah dengan pria yang dicintai dan mencintainya. Begitu juga dengan Namira, sudah tiga tahun lamanya Namira membina rumah tangga dengan sahabatnya sendiri. Selama itu juga cinta Ari tidak pernah berubah, masih sama seperti pertama mereka bertemu dulu. Banyak mata yang mandang iri pada Namira karena, meskipun ia belum hamil juga, Ari tidak pernah sedikitpun berniat untuk menduakan Namira.
Tapi, semua berubah setelah nenek meminta Ari untuk menikah lagi demi hadirnya tangisan bayi di rumah. Meskipun Namira menolak dimadu namun, pada akhirnya ia harus merelakan suaminya menikahi wanita pilihan nenek. Namira terpaksa memberinya ijin menikah lagi karena ia sangat mencintai Ari.
***
Di sebuah kamar vip rumah sakit terbaik di Ibu kota. Seorang nenek terbaring lemah akibat sakit komplikasi yang sudah lama ia derita. Bicaranya terbata sebab, semakin hari tubuhnya semakin ringkih saja.
"Ari...,"lirihnya memanggil satu-satunya cucu yang ia miliki.
Ari yang saat itu duduk di samping tempat tidur pasien berdiri dan menggenggam tangan nenek.
"Ari di sini, Nek. Nenek mau makan?" tawar Ari yang baru saja menggantikan istrinya berjaga di ruangan ini.
Nenek menggeleng lemah. "Tidak, Ari tolong dengarkan dan kabulkan permintaan Nenek yang terkhir...."
"Nenek jangan bicara seperti itu. Ari janji apapun permintaan Nenek pasti Ari kabulkan," jawab Ari berusaha memberikan yang terbaik untuk Nenek.
Nek Rusmi lega mendengarnya. "Dengar ... Nenek sudah melamar seorang gadis untukmu. Nikahilah dia, Nak...."
Tubuh Ari menegang mendengar permintaan nenek yang dirasa sulit untuk dikabulkan. Bagaimana bisa nenek memintanya untuk menikah sedangkan ia sudah memiliki seorang istri yang sangat ia cintai?
"Nenek bicara apa?"
"Nenek harap kamu tidak menolaknya. Nenek sangat ingin melihat anakmu. Tolong kabulkan permintaan nenek kalau tidak nenek tidak akan bisa pergi dengan tenang. Wanita itu bekerja di Restoran nenek, menikah lagi atau ceraikan istrimu," ucap nenek tidak main-main.
Hinga menjelang petang Ari kembali ke rumah dengan perasaan yang gamang bingung tidak menentu. Haruskah ia menuruti perintah nenek atau tetap setia pada Namira?
Seperti biasa istrinya selalu menyambut kepulangan Ari dengam wajah sumringah. Namira tahu kalau hari ini Ari sangat lelah, dari kantor harus menjenguk nenek di rumah sakit.
"Sudah pulang, Mas." Namira mencium punggung tangan suaminya dan Ari tidak pernah lupa mengecup keningnya.
"Duduk sini, ada yang mau Mas bicarakan!" Ari mengajak Namira duduk di sofa ruang tamu, ia tidak mau menunda waktu karena takut Namira akan lebih sakit hati bila tahu semuanya dari nenek.
"Kayaknya serius banget, ada apa, sih?" Namira penasaran dibuatnya.
Ari semakin bingung melihat Namira. Tidak tahu harus mulai bicara dari mana. Akhirnya hanya sekali tarikan nafas ia berkata, "Aku ingin menikah lagi."
Jeder!!!!
"Kamu mau menikah lagi, Mas?"
Bagaikan disambar petir di siang bolong, hati Namira hancur menjadi berkeping-keping ketika mendengar perminyaan suaminya Ari ingin menikah lagi. Apa salahnya selama ini?
"Aku terpaksa melakukannya, Namira. Penyakit nenek sudah semakin parah, beliau sangat ingin melihat dan menggendong anakku. Lalu apa yang bisa aku lakukan? Kita sudah menikah selama tiga tahun tapi sampai sekarang kamu belum hamil juga."
Pria yang masih memakai stelan kantor ini menggenggam erat tangan istrinya. Sebagai seorang suami yang sangat mencintai istrinya, tentu Ari tahu permintaannya ini sangat menyakiti hati Namira. Tapi, Ari tidak punya pilihan selain menuruti keinginan nenek yang tengah terbaring di rumah sakit.
Hanya ada dua pilihan, menceraikan Namira atau setuju menikah untuk yang kedua kali. Tentu saja, sampaikapanpun Ari tidak akan pernah menceraikan Namira.
Air mata yang sedari ditahan Namira, akhirnya jatuh juga. Bukan cuma permintaan konyol suaminya tapi, tentang dirinya yang belum mengandung pun semakin menyayat hati. Wanita mana yang tidak mau mengandung dan melahirkan seorang anak yang lucu? Tapi, apa mau dikata jika Tuhan belum memberikan kesempatan untuknya?
"Tapi bukan aku yang salah kalau Allah belum menitipkan anak dalam rahimku, Mas!"
Namira semakin terisak, ia tidak sanggup membayangkan seperti apa rumah tangganya kelak setelah hadirnya orang ketiga diantara mereka.
Ari menghapus air mata Namira, menangkup wajah mungil menggunakan kedua telapak tangannya, ditatapnya istrinya dengan penuh penyesalan.
"Sekali lagi maafkan aku, Namira. Aku tahu semua ini akan berat untuk kita jalani. Tapi, aku tetap harus menikahinya. Aku nggak mau pisah dari kamu."
Ari memeluk Namira dan mencium puncak kepala istrinya, tangisan Namira semakin membuatnya merasa bersalah. "Percayalah .... sampai kapanpun cintaku cuma untuk kamu. Pernikahan ini hanya untuk status saja. Semua aku lakukan agar nenek cepat sembuh. Aku tidak akan menyentuh wanita itu."
"Itu sama saja menambah dosa, Mas. Untuk apa berpoligami kalau kamu nggak bisa berlaku adil sama kedua istrimu, nanti?"
"Sudahlah, Sayang. Manusia tidak ada yang bisa berlaku adil. Aku cuma mau menjaga hati dan perasaanmu. Lagipula salah wanita itu juga kenapa dia setuju menikah dengan laki-laki yang sudah beristri. Kamu tenang saja, meskipun aku menikahinya tapi, kamu tetap menjadi prioritas utamaku."
Namira menarik diri sampai pelukan itu terlepas, wajahnya masih sendu, air matanya belum berhenti juga, ia melihat Ari dengan perasaan hancur dan sakit luar biasa.
"Kamu sudah bertemu dengan wanita itu, Mas?"
Ari menggeleng lemah. "Belum, dia pegawai baru di restoran nenek!"
"Kamu akan bertemu dan mencintai dia,nanti. Aku nggak siap untuk itu, Mas...."
"Nggak ada yang akan berubah, kamu tetap menjadi satu-satunya ratu dihatiku."
Ari mencium kening Namira dengan sayang, sungguh ia pun tidak sanggup menerima permintaan nenek. Karena setelah kedua orang tuanya meninggal, nenek yang mengasuh dan merawat Ari sedari kecil.
Ari sudah bertekad, apapun yang terjadi, ia akan terus berusaha menjaga hati dan cintanya untuk Namira.
***
Di tempat lain, seorang wanita muda yang baru pulang kerja harus menerima perlakuan kasar dari ibu tiri yang tidak pernah tulus sayang kepadanya.
Dilla harap ia salah dengar atau ibu tirinya yang salah bicara. Bagaimana bisa Dilla yang masih perawan ting-ting akan dijadikan istri kedua?
"Pokoknya kamu harus menikah dengan cucu pemilik restoran itu! Ibu nggak akan tinggal diam kalau sampai kamu menolak tawarannya!" Wanita bertubuh gempal ini marah bahkan tidak segan-segan menampar pipi Dilla. Sumi orang yang paling bahagia karena beberapa hari yang lalu nek Rusmi melamar anak tirinya.
"Tapi dia udah punya istri, Bu. Dilla nggak mau dijadikan istri kedua!" pekik Dilla sembari memegang pipi yang masih terasa nyeri. Dilla memohon agar ibunya mau mengembalikan uang yang sudah diberikan nenek itu sebagai tanda lamaran untuknya.
"Jangan bodoh kamu! Mereka orang kaya yang nggak pelit. Nggak masalah kalau dijadikan istri kedua yang penting uang tetap lancar! Ingat ayahmu yang sakit-sakitan dan butuh uang banyak untuk betobat! Kamu pikir biaya rumah sakit nggak mahal, apa?"
"Tapi aku akan dianggap sebagai pelakor, Bu! Apa kata orang-orang nanti?" Dilla masih teguh pendirian, dirinya tidak mau merusak rumah tangga orang.
"Pilihan ada di tanganmu. Kalau kamu membatalkan lamaran ini, itu artinya kamu siap melihat ayahmu masuk penjara!!"
Sumi tidak perduli dengan tangisan Dilla yang memilukan, ia memilih pergi dan mengurung Dilla di dalam kamar.
Apakah tidak ada cara lain selain menjadi istri kedua? Haruskah ia menikahi pria yang masih berstatus suami orang? Sebagai sesama wanita tentu Dilla tahu betapa sakit dan hancurnya hati bila orang yang kita cintai menduakan hati.
Tidak munafik, hati kecilnya pun mendambakan menikah dengan pria yang dicintai dan mencintainya. Namun kenyataannya berbeda mau tidak mau, setuju atau tidak Dilla tetap harus menikah dengan pria yang tidak pernah ditemuinya, pria yang tidak tahu seperti apa wajah dan sifatnya. Terlebih lagi ia akan menyandang status sebagai orang ketiga di rumah tangga pasangan suami istri tersebut. Jika ia menolak maka, kesehatan ayah akan semakin memburuk.
Andai saja dari awal ia tahu kalau ibu tirinya sudah menerima uang dan lamaran dari nek Rusmi. Tentu Dilla akan mengembalikan uang itu. Kalau sudah begini apa yang bisa ia lakukan? Sebagian uangnya sudah digunakan untuk bayar hutang dan pengobatan ayahnya. Mau mencari uang dimana lagi?
Dilla sudah mengambil keputusan dan bersedia menjadi istri kedua dari pria yang masih memiliki istri, ia sudah siap menerima segala resikonya.
Orang ketiga dikenal sebagai perusak rumah tangga dan penghancur kebahagiaan wanita lain. Tidak perduli apapun alasannya, lingkungan sekitar tetap akan memandang buruk dan akan menyalahkan orang ketiga.
Malam ini Dilla tidak bisa tidur, berbaring di atas tempat tidur ditemani air mata yang terus mengalir. Dilla berharap ada jalan keluar selain menikahi pria yang masih beristri.
***
Di tempat lain.
Namira pun sulit memejamkan mata, ia berbaring menghadap Ari yang sudah tidur pulas setelah melakukan kewajibannya sebagai seorang suami di atas tempat tidur.
Namira melipat kedua tangan di bawah bantal, mengagumi wajah tampan Ari yang digandrungi banyak wanita. Namira berharap hanya dirinya yang berhak memandang dan tidur di samping Ari. Jika boleh meminta, ia tidak mau ada wanita lain diantara mereka.
"Malam ini kamu masih menjadi milikku, Mas. Masih tidur di sampingku, masih memanjakan aku, masih menganggap aku sebagai satu-satunya pemilik hatimu. Tapi, bagaimana dengan besok malam dan seterusnya, Mas? Apa kamu akan tetap menjaga cintamu untukku? Apa aku bisa melihat kamu berduaan dengan wanita lain? Hatiku sangat sakit membayangkannya, Mas," gumam Namira.
Dada Namira semakin terasa sesak berusaha menahan tangisannya agar tidak pecah di malam hari, ia masih belum bisa memejamkan mata seolah takut hari ini akan berlalu.
Keesokan harinya.
Kabar buruk datang dari rumah sakit, kondisi nenek semakin parah dan selalu menyebut nama Ari. Ari dan Namira pun bergegas ke rumah sakit.
"Pelan-pelan bawa mobilnya, Mas! Kita bisa celaka." Namira takut karena Ari semakin menambah kecepatan mobilnya.
"Semua ini salahku, kalau saja aku bisa membujuk nenek tinggal bersama kita, aku pasti bisa memantau kondisi nenek setiap hari. Nenek pasti tidak akan sakit seperti ini." Ari semakin panik, tidak sabar sampai ke rumah sakit.
Memang. Nek Rusmi selalu menolak tinggal di rumah Ari karena lebih nyaman tinggal di rumah peninggalan suaminya.
"Tolong jangan salahkan dirimu sendiri seperti ini, Mas. Yang penting kita sudah melakukan yang terbaik untuk kesembuhan nenek termasuk setuju kamu menikah lagi dengan wanita pilihan nenek, Mas!"
Ari spontan menekan rem membuat mobil itu berhenti di tengah jalan beruntung, saat itu jalanan lumayan sepi hingga meminimalisir terjadinya kecelakaan lalu lintas. Ari lantas menepikan mobil dan mematikan mesinnya.
"Kamu serius, sayang? Kamu ijinkan aku menikah lagi?" Ari terkejut mendengar pernyataan istrinya. Padahal, malam tadi Namira sangat menentang keputusannya.
"Di dunia ini tidak ada istri yang rela dimadu, Mas. Tapi terkadang mereka punya alasan lain menerimanya. Seperti yang aku lakukan sekarang ini. Demi nenek, demi kedua orang tuaku, demi kamu dan demi keturunan kita, aku rela kalau kamu menikah lagi.
Jika bicara tentang hati, tidak akan ada habisnya. Luka, kecewa dan berakhir air mata.
Ari menghapus air mata Namira. "Aku bersyukur memiliki kamu, terima kasih untuk pengertian ini," ucap Ari, suaranya hampir tidak terdengar.
Namira tersenyum getir, ia memilih diam dan melihat keluar jendela.
Ari menghela napas berat dan kembali melajukan mobil menuju rumah sakit.
Sementara di rumah sakit.
Dilla seperti patung hidup yang diatur oleh pemiliknya, ia pasrah dan menuruti keinginan ibu tirinya untuk memakai kebaya putih yang diberikan nek Rusmi beberapa hari yang lalu. Dilla duduk di samping nek Rusmi yang masih saja menyebut nama Ari.
"Nenek yakin kalau kamu dan Ari bisa saling mencintai. Kamu gadis yang baik, ramah dan pintar masak. Tidak jauh berbeda dengan Namira. Hanya saja Namira lebih sibuk mengurus butiknya, belum lagi sampai sekarang Namira belum hamil juga. Rasanya nenek sudah lelah menunggu jadi, nenek harap kamu bisa melahirkan keturunan Ari," ucap Nek Rusmi.
Dilla hanya bisa tersenyum masam, dilihatnya pria paruh baya yang duduk di kursi roda tempak tersenyum padanya. Bahkan, ayahnya pun terkesan setuju jika ia dijadikan istri kedua.
*"Assalamualaikum"*
Suara dari pintu membuat semua orang menoleh. Seorang pria berkemeja biru berjalan cepat mendekati tempat tidur pasien. Sementara langkah istrinya terasa berat mengikuti jalannya.
"Siapa dia?" Dilla membatin melihat pria tampan di depannya.
"Maaf Ari baru sampai Nek," ucap Ari setelah mencium punggung tangan nenek. Tanpa sengaja ia melihat wanita berkebaya putih di depannya, mereka saling mengunci pandangan. Ari sudah menduga kalau wanita ini yang akan menjadi istri keduanya.
"Cepat sembuh, Nek," ucap Namira, setelah mencium pipi nek Rusmi, ia seolah mengabaikan perempuan yang masih berpegangan tangan dengan Nenek.
Suara Namira memutuskan pandangan Ari dan Dilla. Dilla menarik tangannya dari genggaman nenek.
"Namira, sayang ... Sayang maafkan nenek, Nak," lirih nek Rusmi.
Namira paham apa yang akan dikatakan nenek selanjutnya.
"Nenek nggak perlu minta maaf, Nenek nggak salah. Namira tahu keputusan Nenek adalah keputusan yang terbaik untuk kita semua." Meskipun mencoba tegar tapi hatinya tetap sakit.
"Dilla ini yang akan menikah dengan suamimu, Nak," ucap nek Rusmi pada Namira.
Namira berusaha tersenyum melihat wanita cantik yang akan menjadi madunya, lalu ia menoleh melihat Ari yang hanya diam dan menundukkan kepala.
"Maafkan aku, Mbak," lirih Dilla, ia bahkan sudah mengeluarkan air mata. Dilla sadar, dirinya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan Namira yang tetlihat sempurna. Wajar bila suaminya ini sangat mencintainya. Kalau bukan karena desakan ibu tiri ia tidak akan mau menikah dengan suami orang.
"Sudahlah. Ini jalan yang harus kita lalui bersama, aku rela jika suamiku menikahi kamu," ucap Namira, sebagai seorang wanita, ia sadar sudah mengambil keputusan terberat dan terbodoh dalam hidupnya.
Ari semakin merasa bersalah dan memeluk Namira. "Sampai kapanpun, Mas akan selalu mencintai kamu, sayang," bisik Ari.
Dilla menyaksikan sendiri perlakuan Ari kepada Namira, betapa lembut dan perhatian Ari kepada Namira. Dari tatapan matanya saja sudah tergambar kalau pria tampan itu sangat mencintai istrinya. Wajar saja mereka adalah sepasang suami istri sedangkan ia hanyalah orang ketiga yang sudah lancang masuk ke dalam rumah tangga mereka.
Seorang pria paruh baya datang untuk menikahkan Ari dan Dilla. Karena terkendala dokumen yang memang belum sempat diurus, Ari dan Dilla menikah secara siri.
Namira dan Ari sama-sama tidak menyangka kalau pernikahan akan dilangsungkan saat ini juga. Ari belum juga melepaskan tangan Namira padahal sudah tiba waktunya untuk menikah.
"Sudah bisa kita mulai?" tanya pria berbaju batik tersebut, ia berdiri disamping tempat tidur pasien tepat berhadapan dengan Ari.
Ari tetap diam dan hanya fokus melihat Namira, sungguh ia merasakan sakit seperti apa yang dirasakan Namira.
Namira tersenyum dan menarik tangannya lalu berjalan mendekati Dilla.
"Sudah waktunya untuk kalian menikah." Namira menggandeng tangan Dilla dan mensejajarkannya di samping Ari. Kini, Dilla sudah berdiri diantara Ari dan Namira.
Dilla semakin tidak bisa berkata lagi, ia memeluk Namira dan meminta maaf. Namira mengangguk dan melepas pelukannya.
Pernikahan ini disaksikan ayah Dilla yang mengalami stroke ringan, dokter, nenek rusmi, ibu tiri Dilla dan terutama Namira sebagai istri pertama.
Hanya satu kali ucap, kata sah sudah terdengar di ruangan itu. Kini, Dilla sudah resmi menjadi istri Ari. Namira semakin lemas saja, tulang yang tadinya kokoh terasa lunak dan hancur.
"Cium tangan suamimu," ucap Sumi ibu tiri Dilla, ia tidak perduli keadaan yang dialami orang lain termasuk Dilla yang akan menjalani rumah tangga menjadi istri kedua, baginya uang adalah segalanya. Mulai hari ini Dilla akan menjadi ladang uangnya.
Dilla gemetaran tapi tetap melakukan apa yang diperintahkan ibu tirinya, ia meraih tangan Ari dan mencium punggung tangannya.
"Sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Ari, cium kening istrimu," ucap nek Rusmi yang paling bahagia menyaksikan pernikahan ini.
Rasanya Ari enggan melakukannya tapi, ia tidak mau nenek kecewa dan berpikiran yang bukan-bukan, perlahan Ari menunduk dan mencium kening Dilla dihadapan semua orang.
Hati Namira hancur melihatnya, seketika ia membuang muka dan menyeka sudut air mata yang sudah basah. Apa lagi yang lebih menyakitkan dari semua ini? Melihat suami menikah lagi dan mereka akan berbagi cinta adalah kesakitan yang luar biasa.
"Nenek harap, kalian bisa akur. Jangan saling menyalahkan, harus saling menghargai. Biar bagaiman pun Dilla sudah menjadi istri Ari juga. Jadi, kamu harus bisa adil sama kedua istrimu!"
Nek Rusmi menasehati Ari, Namira dan Dilla, ia berharap semua berjalan seperti keinginannya.
Ari dan Namira menerima nasihat yang diberikan nenek. Meskipun sebenarnya mereka berdua menjadi korban, tapi keduanya tetap berusaha menerima keadaan.
Hari itu juga mereka kembali ke rumah. Ari fokus mengukur jalan dan sesekali memegang tangan dan membelai pipi Namira yang duduk di sampingnya.
Dilla merasa diabaikan, sedari tadi tidak ada yang mengajaknya bicara, ia duduk sendirian bangku belakang.
'Dilla, kamu nggak punya hak untuk cemburu,' batin Dilla, ia mulai iri dan mendamba diperlakukan semanis itu.
"Ada yang mau kamu beli, Sayang?" Pertanyaan itu tentu ditujukan pada Namira tapi, istrinya itu tidak merespon sama sekali.
"Kamu melamun ya, sayang?" tanya Ari lagi.
"Nggak kok, Mas. Aku capek kita langsung pulang aja," jawab Namira, ia membuang muka. Baru kali ini pemandangan di luar jendela lebih menarik perhatiannya daripada suaminya sendiri.
***
Rumah berlantai dua menjadi tempat tinggal Dilla yang baru. Bagi Dilla rumah ini terlihat seperti istana. Tidak seperti rumahnya yang hanya memiliki dua kamar berukuran kecil.
Tanpa basa-basi, Ari langsung masuk ke kamar. Sementara Namira menunjukkan kamar di lantai dua yang akan ditempati Dilla.
"Dilla, ini kamar kamu." Namira membuka pintu kamar yang berada di depan kamarnya.
"Apa ini nggak terlalu berlebihan, Mbak? Kamar ini terlalu luas untukku," jawab Dilla masih memegang koper berisi pakaiannya.
"Kamu jangan sungkan, bukan cuma kamar ini. Rumah inipun sudah menjadi milikmu. Biar bagaimanapun juga kamu ini istrinya mas Ari. Jadi kamu bebas ngelakuin apapun di sini."
"Terima kasih, Mbak," jawab Dilla, awalnya ia takut Namira akan marah dan memakinya tapi ternyata wanita ini menyambut dan memerlakukannya dengan baik.
"Ya sudah, kamu istrahat saja, ya." Namira kembali ke kamar. Di dalam kamar, ia melihat Ari duduk di tepian tempat tidur.
"Kamu capek, Mas?" Dengan lembut ia memberikan pijatan kecil di punggung Ari.
"Sebenarnya hatimu terbuat dari apa? Bisa-bisanya kamu ijinkan dia tidur di kamar itu. Harusnya biarkan wanita itu tidur di kamar yang ada di lantai dasar!" sentak Ari tiba-tiba, ia bicara tanpa melihat wajah istrinya.
"Mas, dia juga istri kamu. Bukannya tamu di rumah ini! Kita harus memperlakukan dia dengan baik, 'kan?"
"Tapi aku nggak akan pernah menganggap dia sebagai istriku, Namira. Cuma kamu satu-satunya istriku di rumah ini." Ari mengusap wajahnya frustasi, sikap Namira yang seoalah baik-baik saja justru membuatnya semakin merasa bersalah.
"Tapi--
"Sudahlah, aku mau istrahat!" Ari memungkas ucapan Namira, kemudian ia berbaring membelakangi Namira.
Namira serba salah, ia pun tidak tahu harus melakukan apa. Ap ia harus berbuat jahat dan tidak adil pada wanita itu?
"Kamu marah, Mas?" Namira mengelus punggung lebar Ari. "Harusnya aku yang marah karena mulai malam ini kamu akan tidur di kamar Dilla."
"Sstttt!" Ari berbalik arah, menarik Namira sampai istrinya jatuh kepelukannya, mata tajam yang tadi sempat marah sudah melunak melihat wajah ayu Namira. Dibelainya pipi Namira dengan penuh kelembutan.
"Berhenti berpura-pura tegar, sayang. Aku tahu kamu marah. Tapi, jangan hukum dirimu seperti ini. Jangan pikirkan sesuatu yang semakin membuat hatimu terluka. Kamu tahu kalau aku tidak mungkin mencintai dia. Jadi, untuk apa aku tidur di kamarnya?"
"Tapi, Mas--
Ari tidak membiarkan Namira bicara omong kosong lagi, ia menyatukan bibir mereka. Rasanya sudah cukup mereka membuang waktu percuma. Ari bertekad menghamili Namira secepatnya, bukan menghamili Dilla istri kedua yang baru beberapa jam yang lalu dinikahinya.
Namira larut dalam suasana, menikmati belayan lembut Ari yang selalu memanjakannya.
***
Di kamar lain. Pakaian sudah tersusun rapi di dalam lemari, Dilla tidak terbiasa duduk berdiam diri seperti ini. Akhirnya Dilla berinisitif menyiapkan makan malam untuk Namira dan suaminya, ralat! Suami mereka. Toh, Namira sudah memberikan kebebasan untuknya melakukan apapun di rumah ini.
Meskipun canggung dan merasa asing di dapur tapi, ia tetap cekatan mengelola bahan mentah yang ada di lemari pendingin lalu menyajikannya di atas meja.
Setelah dirasa cukup, Dilla kembali ke lantai dua. Mungkin, berendam air hangat bisa menghilangkan penat di kepala. Dilihatnya pintu kamar Namira masih tertutup rapat, sejak pulang dari rumah sakit ia belum bertemu lagi dengan Namira atau Ari. Dilla tidak perduli ntah apa yang dilakukan dua orang itu sampai berjam-jam di dalam kamar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!