"Selamat siang kak, mau pesan apa?" tanya Nanda pada salah seorang pelanggan yang telah duduk manis di salah satu meja. Ia pun menyerahkan daftar menu kepada pelanggan cafe itu.
"Saya pesan french fries, cheesecake, sama manggo smoothies." ucap perempuan yang berpakaian formal. Sepertinya ia pegawai kantoran. "Kamu mau pesan apa, beb?" tanya perempuan itu pada lelaki di sampingnya. Lelaki itu tiba-tiba tersentak saat namanya disebut. Ia tadi sempat terpana pada kecantikan Nanda yang saat ini sedang menunggu pesanan mereka.
"Ah, aku samain aja sama pesanan kamu, yang!" ucapnya sambil tersenyum manis. Namun, matanya masih melirik ke arah Nanda yang masih terus tersenyum ramah. Bukan bermaksud mencari perhatian dari para pelanggan khususnya laki-laki. Tapi ia hanya sekedar menunjukkan attitude sebagai karyawan yang baik agar tidak memberikan kesan buruk bagi pelanggan cafe itu.
"Pesanannya samain aja mbak, jadi masing-masing 2 porsi ya!" ucap perempuan itu ramah.
"Baik, kak. Mohon ditunggu sebentar. Saya permisi dahulu." ucap Nanda lagi ramah sambil membungkukkan tubuhnya memberi hormat.
"Awww ..." lelaki yang menemani perempuan itu tiba-tiba meringis karena cubitan kekasihnya.
"Apaan sih, yang, cubit-cubit! Sakit tau!" lelaki itu mendelik tajam. Kesal karena tiba-tiba saja dicubit.
"Makanya punya mata itu jangan jelalatan." desis perempuan itu sambil mengacungkan kedua jari telunjuk dan jari tengahnya ke arah mata sang lelaki.
"Nda, itu pesanan meja 12 tolong diantar ya!" pinta Ayu seraya menyerahkan nampan berisi pesanan pelanggan di meja nomor 12.
"Baik, kak." sahut Nanda sigap.
Lalu dengan gesit, ia pun mulai mengantarkan 1 per satu pesanan para pelanggan. Nanda bekerja dengan penuh semangat.
...***...
"Ukh, capeknya!" lenguh Nanda seraya merebahkan punggungnya di sandaran kursi yang didudukinya. Tangannya bergerak bergantian memijit punggungnya sendiri , kanan dan kiri.
"Yah wajar kamu kecapekan, Nda! Kamu hampir tiap hari ambil lembur." sahut Mila seraya menyerahkan sebotol jus jeruk kemasan kepada Nanda.
"Wuih, makasih, Mil! Kira-kira ini bayar apa gretong nih?" ujar Nanda seraya terkekeh.
"No gretongan." sahut Mila cepat.
"Lho, jadi ini bayar toh! Nih gue balikin aja lagi. Baru diminum separuh juga. Belum habis, jadi nggak bayar kan!" ucap Nanda dengan wajah polosnya membuat beberapa karyawan cafe yang tengah bersiap-siap untuk pulang terkekeh.
"Ini nih, akibat keseringan lembur, otaknya jadi ikutan lelah. Makanya jangan keseringan lembur, efeknya bukan hanya tubuh kamu yang lelah, tapi otak juga. Minuman yang udah dibuka segelnya aja tetap harus bayar, apalagi udah diminum. " cibir Mila seraya tersenyum geli.
"Kamu kan tau Mil, tanggungan aku tuh banyak. Adik-adik di panti kan butuh makan, jadi aku harus kerja lembur supaya perut mereka tetap bisa kenyang. Kami nggak bisa ngarepin donatur, tau sendiri zaman sekarang, orang-orang yang gemar bersedekah udah makin berkurang. Kalaupun ada, mereka lebih ke pencitraan biar dianggap orang paling dermawan." ungkap Nanda membuat Mila, Ayu, dan lainnya terdiam.
Ya, mereka sudah tau kalau Nanda besar di sebuah panti asuhan. Untuk membalas budi pada pihak panti yang sudah bersedia menampungnya dari kecil. Maka dari itu, ia harus bekerja keras untuk membantu keuangan demi meringankan beban bunda Rieke yang merupakan ibu panti di tempatnya dibesarkan.
"Mau ibu bayarin minumannya?" celetuk Lavina yang entah sejak kapan sudah berada di ruangan itu.
"Eh ibu, terima kasih Bu, nggak perlu. Nanda bisa bayar sendiri kok." ujar Nanda malu-malu sebab pasti atasannya itu telah mendengarkan keluh-kesahnya barusan dengan Mila.
"Kalau kamu butuh duit, jangan sungkan ngomong sama ibu, Nda. Dengan senang hati akan ibu pinjamkan." tawar Lavina ramah .
"Ah, nggak usah Bu. Terima kasih atas tawarannya. Entar Nanda nggak bisa bayarnya, jadi repot. " tolak Nanda halus. Sesulit-sulit dirinya, ia sangat mengupayakan tidak berhutang kepada orang lain. Ia termasuk orang yang selalu memikirkan risiko dari setiap tindakan yang ia ambil. Ia tidak mau sampai terlilit hutang dan mengakibatkan dirinya kesusahan sendiri. Cukuplah hidupnya susah jangan dibuat makin susah pikirnya.
"Kalau takut nggak bisa bayar, nikah aja sama anak ibu, entar hutang kamu nggak perlu dibayar. Langsung ibu anggap lunas." goda Lavina membuat Nanda tersedak ludahnya sendiri. Sedangkan Mila dan Ayu terperangah dengan candaan atasannya itu.
"Wah, Nda, ide bagus tu!" goda Mila.
"Cie ... cie ... Nanda." goda Ayu. "Bu, kalau Nanda nggak mau, Ayu mau, Bu jadi menantu ibu. Ayu nggak perlu berhutang kok, cuma mau jadi menantu ibu aja, boleh nggak?" canda Ayu sambil terkekeh.
"Nggak boleh." sergah Lavina. "Penawaran ini hanya berlaku untuk Nanda." imbuhnya lagi sambil mengerlingkan sebelah matanya kepada Nanda membuat semua orang di sana makin terperangah tak percaya dengan apa yang Lavina ucapkan.
...***...
Hari sudah menunjukkan pukul 10 malam, sudah waktunya cafe Starla tempat Nanda tutup. Nanda pulang ke panti dengan mengendarai sepeda. Tak peduli dingin yang menguar dan angin yang berhembus menembus pori, Nanda tetap mengayuh sepedanya dengan penuh semangat.
Tiba-tiba hujan rintik turun mengguyur bumi, tetapi Nanda tetap mengayuh sepedanya. Namun, makin lama hujan makin deras membuat tubuh Nanda yang hanya dibalut kemeja tipis mulai menggigil kedinginan. Ia pun segera mencari tempat untuk berteduh. Tapi akibat hujan yang makin deras membuat jarak pandangnya menjadi terbatas. Nanda pun kesulitan mencari tempat berteduh. Jalanan itu juga sudah sangat sepi. Tiada pohon rindang yang bisa dijadikannya tempat berteduh, sedangkan jarak ke panti masih cukup jauh. Sebenarnya ia bisa saja naik taksi online, tapi ia harus berhemat demi mencukupi kebutuhan di panti.
Tak lama kemudian, Nanda melihat sebuah halte. Ia menggumamkan rasa syukurnya, akhirnya ia bisa berteduh sejenak. Ia berharap, hujan segera reda agar ia bisa segera tiba di rumah.
Satu jam kemudian, hujan pun mulai reda. Nanda pun kembali mengayuh sepeda tuanya untuk pulang.
Jarum jam sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam, akhirnya Nanda telah tiba di panti tempatnya dibesarkan. Karena tubuhnya yang basah, Nanda masuk melalui pintu belakang. Tetapi, baru saja ia masuk, ia menangkap suara tangis dari kamar bunda Rieke. Nanda panik, tapi ia tidak mungkin langsung berjalan menuju kamar bunda Rieke. Ia pun segera membersihkan diri dan menggunakan handuk yang memang selalu tersedia di kamar mandi. Setelah itu ia bergegas berganti pakaian. Tak sabar rasanya ia ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi sebab tak biasanya bundanya tersebut menangis apalagi ini sudah tengah malam.
Selesai berganti pakaian, Nanda segera menuju kamar bunda Rieke. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu. Bunda Rieke yang sadar pasti Nanda-lah yang mengetuk pintu kamarnya, segera mengusap air matanya hingga tak bersisa. Lalu ia pun membuka pintu kamar seraya tersenyum lebar. Namun, bagaimana pun bunda Rieke mencoba menutupi kesedihannya, Nanda tetap menyadarinya. Apalagi terlihat jelas dari mata bunda Rieke yang terlihat sembab.
"Bunda kenapa? Apa yang terjadi? Kenapa bunda nangis tengah malam gini?" cecar Nanda panik. "Jangan bilang bunda nggak papa sebab bunda pasti tau, Nanda nggak akan percaya itu." imbuhnya lagi membuat mata bunda Rieke berkaca-kaca lalu kembali menangis.
Nanda segera memeluk tubuh tua bunda Rieke dan mengusap punggungnya, mencoba memberikan ketenangan.
Lalu Nanda memapah tubuh tua Bunda Rieke menuju ke tempat tidurnya. Setelah duduk, Nanda kembali menanyakan apa yang terjadi.
"Sekarang bunda udah bisa cerita ada apa? Bunda nggak perlu khawatir, Nanda pasti akan bantu cari jalan keluarnya." tutur Nanda lembut.
"Nda, tadi siang anak mendiang pemilik lahan tempat berdirinya panti ini datang. Dia bilang, dia telah menjual tanah ini jadi kita harus bersiap-siap bila pembelinya datang kemari dan meminta kita pindah." lirih bunda Rieke dengan wajah tertunduk lesu.
"Apa? Kok bisa begitu, Bun? Kan tanah ini sudah diwakafkan orang tuanya untuk pendirian panti, kenapa malah dia jual?" Nanda geram bukan main.. Bagaimana bisa mereka menjualnya begitu saja tanpa memikirkan nasib anak-anak panti yang ada di sini. Apalagi setaunya, tanah ini sudah sekian lama diwakafkan oleh mendiang pak Wiro untuk dijadikan panti asuhan.
"Bunda juga bingung, Nda. Bunda bingung harus bagaimana. Bunda khawatir bila orang yang beli tanah ini datang dan tiba-tiba mengusir kita, kita harus pindah kemana, Nda. Ya Allah, bunda benar-benar bingung." lirih Bunda Rieke yang sudah terisak.
Tanpa sadar, Nanda pun menitikkan air matanya. Ia juga bingung harus bagaimana. Tapi bila ia turut bersedih, lalu siapa yang akan menguatkan bunda Rieke dan adik-adiknya. Nanda segera menyeka air matanya dan memeluk bunda Rieke.
"Udah ya Bun, nanti kita cari jalan keluarnya. Kita terus berdoa aja ya Bun, semoga pemiliknya berbaik hati dan mau memberikan waktu untuk kita mencari tempat yang baru." ujar Nanda menenangkan.
"Tapi Nda, nggak semudah itu. Kalaupun mau cari tempat baru, itu sudah pasti menyewa, sedangkan keuangan panti saja sudah sangat pas-pasan. Itupun kau harus kerja keras siang malam hingga lembur untuk mencarinya, lalu bagaimana kita bisa menyewa rumah yang cukup besar untuk menampung adik-adikmu. " lirih Bunda Rieke lagi. Ia benar-benar bingung sekarang.
"Bun, ingat, tak ada yang tak mungkin bila Allah berkehendak. Kalau Allah sudah bilang Kun Fa Ya Kun, maka apapun bisa terjadi. Kita banyakin berdoa aja yang Bun, semoga nanti Allah memberikan kita kemudahan." pungkas Nanda mencoba menenangkan. Walaupun hatinya sebenarnya sedang berkecamuk memikirkan jalan keluar dari masalah ini, tapi ia harus selalu berusaha untuk tegar dan berpikir positif. Seperti katanya tadi, tak ada yang ada yang tidak mungkin di dunia ini bila Allah sudah berkehendak.
Bunda Rieke pun tersenyum. Ia bangga pada sifat welas asih Nanda. Biarpun ia dibesarkan dalam keadaan kekurangan, tapi itu tidak membuatnya jadi manusia yang lemah dan mudah berputus asa. Nanda justru terlihat tegar dalam setiap masalah apapun. Ia juga gadis yang bertanggung jawab. Di saat saudara-saudara sepantinya banyak yang keluar dan ada juga yang diadopsi tanpa peduli lagi dengan keadaan panti, tapi ia tetap setia bahkan rela banting tulang demi mencukupi kebutuhan warga panti terutama adik-adiknya.
'Apa yang Bu Bos katakan tadi serius, ya? Apa aku harus pinjam duit dengan Bu bos? Tapi kalau Beliau beneran nyuruh aku nikah sama anaknya gimana? Tapi kalau itu memang bisa membuat bunda dan adik-adik tidak terlantar, aku tak mengapa. Aku ikhlas.' lirih Nanda dalam hati.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Pagi-pagi sekali Nanda telah bangun dan melaksanakan tugas hariannya dari mencuci, menyiapkan sarapan, dan membantu adik-adiknya yang masih sangat kecil untuk mandi.
Nanda selalu melakukan semua itu dengan senang hati. Tanpa kenal lelah dan dengan sabar , ia memandikan, membantu sikat gigi, dan terakhir membantu mereka berpakaian.
"Kakak, Pia nggak mau mandi, dingin." kata bocah bernama Via yang baru berusia 3 tahun. Karena lidahnya masih cadel, ia menyebut namanya sendiri Pia, bukan Via.
"Akak, Oci duga ndak au andi." sahut Oci si bocah berusia 2 tahun.
"Ih, jolok! Pia cama Oci bau ndak mau mandi. Jelly mau mandi duluan aja ya kak. Bialin, ciapa yang bau ndak kasi calapan ya kak!" ujar Jerry memanas-manasi.
Nanda terkekeh melihat 3 bocah yang sibuk berdebat itu.
"Kakak, Yaya macih atuk." gumam Yaya yang masih setengah memejam. Entah dia tidur jam berapa, tidak biasanya jam 6 seperti ini mereka ia masih mengantuk.
"Kok Yaya masih ngantuk? Emang Yaya bobok jam berapa?" tanya Nanda seraya mensejajarkan tubuhnya dengan Yaya yang belum genap 3 tahun.
Yaya tampak berpikir, "Yaya tidul jam dua tiga empat lima. Yaya ndak bica tidur coalna Yaya cedih liat unda anyis." ujar Yaya bercerita sambil menyandarkan kepalanya di pundak Nanda.
Nanda terkejut mendengar penuturan Yaya. Nanda ingin terkekeh, tapi ia juga sedih saat mengingat mereka harus pindah dari rumah yang telah ia tempati belasan tahun yang lalu. Ia sungguh tak menyangka semalam Yaya mendengarkan tangisan bunda Rieke. Lalu setelah berhasil membujuk ke empat bocah itu untuk mandi , Nanda pun membantu bunda Rieke menyiapkan sarapan. Anak-anak yang usianya sudah 7 tahun ke atas
"Nda, tadi Sapto telepon terus bilang orang yang beli tanah panti ini akan datang siang nanti." ujar Bunda Rieke sambil mengupas bawang untuk membuat bumbu nasi goreng. Mereka lebih suka membuat nasi goreng dengan bumbu racikan sendiri. Selain lebih hemat, rasanya juga lebih nikmat. Setiap memasak mereka membuat nasi goreng dengan 2 varian rasa yaitu pedas dan tidak pedas agar semua anak-anak tetap dapat makan bersama.
Nanda berpikir sejenak, ia pikir ia harus bertemu dengan pemilik tanah sebelumnya dan pemilik barunya. Setidaknya ia bisa meminta keringanan waktu dan uang kompensasi agar mereka bisa mencari tempat tinggal baru. Ia berencana bekerja sebentar lalu meminta izin pulang sebentar siangnya agar dapat bertemu pak Sapto dan pemilik barunya.
"Nanti Nanda pulang sebentar, Bun supaya bisa bicara sama pak Sapto dan pemilik baru tanah ini. Semoga aja mereka dapat memberikan keringanan waktu dan juga uang kompensasi supaya kita bisa cari rumah yang cukup besar untuk menampung adik-adik." ujar Nanda sambil menuangkan minyak ke wajan. Urusan masak-memasak sudah jadi bagiannya. Bunda Rieka cukup menyiapkan bahannya saja, itu permintaan Nanda sendiri. Apalagi bunda Rieke sudah cukup berumur, ia tidak tega membiarkan bunda Rieke kelelahan karena mengurus adik-adik panti. Walaupun jumlah mereka tidak terlalu banyak lagi karena sudah banyak yang diadopsi, tapi cukup melelahkan bila bunda Rieke melakukan semuanya sendiri.
"Terserah kamu saja, Nda. Bunda hanya bisa berdoa, semoga semua dilancarkan." ujar bunda Rieke dengan tersenyum manis.
...***...
Kini Nanda sudah kembali mengayuh sepeda tuanya membelah jalanan. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat, sedangkan cafe buka pukul 10, jadi Nanda masih ada waktu untuk sampai di cafe tepat waktu.
Saat lampu merah menyala, Nanda berhenti tepat di samping sebuah mobil mewah. Nanda yang hanya mengenakan kemeja oversize berwarna krem dan celana jeans hitam yang sudah pudar, serta sepatu kets berwarna hitam putih yang tak kalah lusuh, dengan rambut dikuncir kuda ternyata masih mampu menyedot perhatian beberapa pengendara yang berhenti di sekitarnya. Kulit wajahnya putih alami tanpa tersentuh skincare merk apapun. Nanda tersenyum saat melihat seorang anak kecil mengamen di samping sebuah mobil. Hal tersebut ternyata mampu membuat beberapa pengendara tadi makin terpana saat melihatnya. Senyuman Nanda sangatlah manis apalagi di kanan dan kiri pipi Nanda terdapat lesung pipi yang membuat kadar kecantikannya naik berkali-kali lipat.
"Liatin apa sih kamu, Mas?" tanya seorang perempuan cantik di sebuah mobil mewah. "Cih, hanya melihat gadis kampung kayak gitu aja kamu bisa bengong kayak gitu. Aneh!" perempuan itu mencibir pria yang duduk di sebelahnya.
Merasa di sindir, lelaki itu pun memalingkan wajahnya ke arah lain.
tin tin tin ...
Terdengar suara klakson yang dibunyikan berkali-kali membuat lelaki tadi bertanya kepada supirnya.
"Ada apa, Win?" tanya lelaki itu pada sopirnya yang bernama Erwin.
"Itu pak, mobil di depan jalannya kayak keong gara-gara liatin tu cewek cantik. Kayaknya mereka semua terpesona , cantik banget sih." ungkap Erwin jujur. Karena usianya yang masih seumuran dengan sang majikan, membuatnya biasa bicara santai. Sang bos juga tidak masalah sebab mereka juga kadang berbincang berdua untuk mengisi keheningan di saat dalam perjalanan.
"Cantik dari mana? Cewek kampungan gitu aja apa istimewanya? Dari pakaiannya aja keliatan dia cuma orang miskin yang nggak ada apa-apanya." ucap perempuan itu.
Dalam hati Erwin mencibir, majikan perempuannya ini memang tipe melihat seseorang dari penampilan dan harta kekayaan. Ingin menimpali tetapi Erwin tidak ingin dianggap sopir tak tahu diri dan kurang ajar jadi dia hanya diam sama seperti majikan laki-lakinya yang hanya diam tanpa merespon apapun.
...***...
Nanda telah tiba di cafe Starla. Ia pun segera berganti pakaian menggunakan seragam yang disediakan khusus karyawan cafe. Setelah berganti pakaian, ia dan beberapa rekannya segera mengelap meja dan menyusun kursi agar terlihat rapi dan bersih. Setelah beres ia membalik tulisan Open di pintu cafe menghadap depan agar para pelanggan tau bahwa cafe telah dibuka untuk umum.
Tak lama kemudian, para pelanggan pun mulai datang satu persatu. Cafe Starla termasuk cafe yang cukup terkenal. Ia telah memiliki beberapa cabang resmi di berbagai daerah dan kota. Lokasi yang strategis, desain interior yang menarik, pelayanan yang ramah, dan menunya yang variatif dari yang western maupun Indonesian food membuatnya disukai berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, karyawan kantoran, para sosialita, anak-anak sekolah, bahkan para eksekutif muda pun gemar kemari yang tentunya mereka lebih suka menggunakan privat room.
"Pelayan." panggil salah satu pelanggan. Nanda yang kebetulan berada tidak jauh dari orang itu pun segera menghampirinya.
"Mau pesan apa kak?" tanya Nanda sopan.
Perempuan itu mengerutkan keningnya saat melihat Nanda. 'Cih, gadis sok kecantikan di jalanan tadi ternyata bekerja di sini.' gumamnya dalam hati.
"Saya mau moccacino float dan fettucine. Kalian apa ?" tanyanya pada teman-temannya, lalu Mereka pun menyebutkan pesanan mereka satu persatu yang kemudian dicatat Nanda dengan baik.
"Kalau begitu, mohon ditunggu, ya kak! Permisi." pamit Nanda seraya membungkukkan badan memberi hormat.
Tak lama kemudian, Nanda pun kembali mengantarkan pesanan perempuan tadi, namun saat satu langkah lagi Nanda tiba di meja itu, tiba-tiba ia merasa kakinya menabrak sesuatu sehingga ia kehilangan keseimbangan dan nampan yang berisi minuman itu pun tumpah ke lantai dan sedikit memercik ke dress yang dipakai perempuan itu.
"Kau ini tidak bisa bekerja atau bagaimana sih? Kalau tidak bisa bekerja, mending kamu berhenti! Dasar kampungan. Kamu tau, harga dress yang saya pakai ini seharga satu bulan gaji kamu, jadi saya minta kamu ganti!" teriak perempuan itu membuat semua orang yang ada di dalam cafe itu menoleh ke arahnya.
Nanda yang sudah ketakutan lantas berlutut memohon maaf dengan kedua tangan tertangkap di depan dada.
"Saya mohon Kak, maafkan saya. Saya tidak sengaja, saya mohon maafkan saya!" ujar Nanda dengan wajah memelas.
"Tidak, pokoknya kau harus ..."
"Harus apa Freya?" seru seseorang yang tiba-tiba saja memotong ucapannya.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Perempuan yang bernama Freya itupun lantas menoleh dengan kedua mata membelalak lebar.
"Ma ... Mama ..." cicitnya terkejut.
"Jadi dia harus apa?" tanyanya lagi.
Merasa pasti mendapat dukungan, lantas Freya pun merengek di hadapan ibu mertuanya tersebut.
"Itu ma, dia tumpahin minuman Freya sampai terkena dress baru Freya jadi Freya minta dia menggantinya." rengeknya manja membuat Lavina mendesis sinis.
"Bu, maafkan saya, saya benar-benar tidak sengaja melakukannya." ujar Nanda dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Nanda masih pada posisi semula yang berlutut.
"Kamu masuklah, Nanda. Biar ini jadi urusan saya. Lanjutkan saja pekerjaanmu. Oh ya, minta Mardi bersihkan bekas minuman itu." ucapnya lembut membuat Nanda makin terisak karena bos tempatnya bekerja sangatlah baik. Padahal perempuan yang dia layani menantunya sendiri. Ia dapat mengetahuinya dari cara dan kata-kata perempuan itu saat bicara dengan Lavina. Tetapi Lavina bukannya memarahinya, malah tetap bicara dengan lembut dan tak lupa tersenyum padanya, membuat hatinya menghangat. 'Mama ...' ucapnya dalam hati yang tiba-tiba teringat dengan sosok sang ibu. Walaupun ibunya dulu banyak berbuat salah pada orang-orang, tapi ia tetap bersikap lembut padanya.
"Terima kasih, Bu. Terima kasih. Kalau begitu , saya permisi." ucap Nanda sopan seraya membungkukkan tubuhnya seperti biasa lalu ia pun berlalu dari hadapan Lavina.
"Ma, kenapa dia dibiarin begitu aja?" rengek Freya lagi. "Harusnya tegur dia, bahkan kalau perlu pecat dia, . Dia itu pegawai uang tidak becus." ujarnya lagi.
Mata Lavina menyipit, ia sungguh tidak menyukai sifat menantunya yang angkuh dan seenaknya ini. Tapi ia bisa apa? Ia sudah berusaha menentang hubungan putranya dengan Freya, tetapi putranya keras kepala dan tetap bersikeras menjadikan Freya istrinya walaupun hanya dengan menikah siri.
Lavina menghela nafas lelah, lalu menatap tajam Freya yang sudah ketakutan. "Kalau kamu cuma ingin membuat kekacauan di cafe mama, lebih baik kamu dan teman-temanmu pergi dari sini." tegasnya kemudian ia segera berlalu dari hadapan Freya dan teman-temannya.
Freya mendengus kesal, sudah hampir satu tahun berlalu semenjak ia menikah dengan Gathan Adriano Tjokroaminoto, tetapi ia belum juga mampu meluluhkan hati kedua mertuanya. Bahkan sampai sekarang, ia belum diakui sebagai bagian dari keluarga Tjokroaminoto tersebut.
"Fre, mertua loe sinis banget sama loe! Loe belum diakui doi juga jadi menantunya ya?" bisik Carla pelan supaya tidak terdengar orang lain.
"Berisik!" desisnya. "Udah yuk kita pindah ke cafe lain aja." seru Freya kesal. Ia benar-benar tak menyangka bisa bertemu Lavina di sini. Lavina memiliki banyak cafe, ia pikir Lavina akan mengunjungi cafenya yang lain, tapi tak tahunya malah bertemu di cafe cabang ini. 'Dasar sial. Malu-maluin aja. Bagaimana kalau ada yang viralin? Bisa malu deh gue. Mana gue udah koar-koar jadi menantu keluarga Tjokroaminoto, bisa-bisa gue diejek jadi menantu yang tidak dianggap. Bisa jatuh deh reputasi gue sebagai sosialita masa kini.'! omelnya dalam hati.
Tetapi, walaupun ia sedang kesal, ia tetap berusaha untuk tetap tersenyum ramah dan berjalan dengan anggun. Tentu ia tidak mau pamornya sebagai sosialita rusak hanya karena ekspresi kesalnya.
...***...
"Kak, aku bisa minta izin sebentar nggak?" tanya Nanda pada Ayu yang memang usianya di atas Nanda.
"Kamu mau kemana?" tanya Ayu sambil menyusun menu pesanan pelanggan di atas nampan.
"Aku mau balik sebentar, kak. Panti kami digusur kak. Rencananya siang ini pembelinya itu mau datang . Aku takut dia ngusir tiba-tiba aja, lalu kami harus tinggal dimana. Jadi aku mau minta waktu sekaligus kompensasi sama yang jual. Bagaimana pun kan tanah itu sebenarnya udah diwakafin untuk pembangunan panti, masa' sekarang dia seenaknya jual tanpa kasih kami apa-apa." cerita Nanda dengan mata berkaca-kaca.
Ayu yang baru saja selesai menyusun menu dan memberikannya pada Mila, lantas berjalan ke arah Nanda dan memeluknya. Ia pun dapat merasakan kesedihan yang dirasakan Nanda. Ia mengusap punggung Nanda yang bergetar.
"Andai kakak bisa bantu kamu, Nda. Tapi kamu tau sendiri kan bagaimana kehidupan aku. Kami cuma keluarga sederhana. Rumah kami juga kecil jadi nggak bisa nampung kamu dan adik-adik kamu." ujar Ayu yang kini matanya sudah memerah.
"Nanda ngerti kok kak. Makasih udah punya niat baik kayak gitu."
"Ya udah, kamu pulang dulu gih! Nanti biar kakak yang laporan sama Bu Lavina." ujar Ayu saat pelukannya telah terlepas.
"Makasih ya kak." ucap Nanda tulus.
"Semoga urusanmu dimudahkan ya, Nda." doa Ayu tulus.
"Aamiin ..." sahut Nanda. Lalu Nanda pun segera berlalu dari hadapan Ayu tanpa berganti pakaian lagi. Ia segera mengambil sepeda tuanya dan mengayuhnya keluar dari area cafe.
Setelah kepergian Nanda, Lavina yang sebenarnya telah mendengar cerita Nanda dengan Ayu dari awal tanpa sepengetahuan mereka pun segera keluar dari balik pintu. Lalu ia segera memanggil sopir sekaligus tangan kanannya dan memerintahkan sesuatu. Setelah menerima titah, sopirnya yang bernama Herman itu segera pergi untuk melaksanakan titah majikannya.
...***...
"Assalamualaikum." ucap Nanda setibanya di panti. Jantung Nanda sudah berdegup kencang saat melihat deretan mobil mewah terparkir di depan panti asuhan. Nanda pun masuk ke ruang tamu dengan tangan meremas ujung kemeja yang ia kenakan untuk menetralisir rasa gugup.
"Wa'alaikum salam, Nda. Sini duduk di samping bunda." ujar Bunda Rieke. Lalu Nanda pun duduk di samping bunda Rieka. Nanda menghela nafas dan menghembuskannya pelan. Lalu pandangan matanya ia arahkan ke depan. Di hadapannya telah duduk beberapa orang termasuk Sapto, putra pemilik tanah sebelumnya.
Tapi, mata Nanda justru bersirobok dengan salah seorang pria yang memiliki wajah paling rupawan sendiri. Nanda bahkan tak mampu memalingkan wajahnya saat menatap pria itu.
"Nda, perkenalkan, itu tuan yang membeli lahan panti kita, tuan Gathan." ujar Bunda Rieke pada Nanda. "Tuan, ini Nanda, dia salah satu anak yang besar di panti ini. Dia juga yang turut membantu saya mengurus anak-anak panti di sini." lanjut Bunda Rieke.
Merasa namanya disebut, lalu Nanda mengulurkan tangannya pada lelaki itu.
"Perkenalkan, saya Nanda." ujarnya seraya mengulurkan tangan, tetapi lelaki itu tidak menggubris membuat rasa kagum yang sempat ada jadi hilang seketika. 'Sombong.' desisnya dalam hati.
"Mulai hari ini tanah ini telah menjadi milik perusahaan saya, jadi saya minta kalian segera pindah dari sini sebab lahan ini akan kami bangun apartemen mewah " ucap pria bernama Gathan itu tanpa basa-basi.
"Berapa lama?" tanya Nanda cepat. "Berapa lama waktu yang tuan beri? Terus terang, kami belum memiliki tempat tinggal pengganti saat ini. Apalagi tanah wakaf ini dijual secara tiba-tiba oleh orang yang tak punya hati tentu kami akan kesulitan mencari tempat lain." tanya Nanda dengan mata melirik tajam pada Sapto. Sapto menelan ludahnya kasar saat dilirik secara tajam seperti itu.
Sedangkan Gathan sedikit tertegun saat mendengar penuturan Nanda, bukan hanya tentang tempat pengganti, tetapi juga ternyata tanah tempat berdirinya panti asuhan ini merupakan tanah wakaf.
"3 hari. Saya hanya bisa memberi waktu 3 hari sebab pada hari keempat bangunan di atas lahan ini akan segera dihancurkan. Jadi saya harap pada hari keempat kalian semua sudah pindah beserta barang-barang kalian." tegasnya membuat mata Nanda membulat sempurna.
"Tuan, bagaimana kau hanya memberi kami waktu 3 hari? Mencari rumah baru untuk kami tinggali tidak semudah itu." serunya tak percaya sebab mereka hanya diberi waktu 3 hari. Sedangkan mereka saja belum memiliki tempat pengganti, selain itu tidak mudah memindahkan barang-barang panti sebab mereka butuh dana dan juga mereka butuh waktu untuk mengurus segala hal tentang kepindahan mereka. "Pak Sapto, seharusnya ini jadi tanggung jawabmu juga. Bagaimana pun tanah ini sudah diwakafkan tapi mengapa kau jual. Kami tidak mau tau, kau harus membantu kami mencari rumah baru dan beri kami kompensasi sebagai gantinya. Aku tau, lahan di daerah sini nilainya tinggi. Ingat, dosa besar menjual tanah wakaf apalagi dengan cara seenaknya seperti ini." desis Nanda tidak terima.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!