NovelToon NovelToon

Bena

BAB 1A [First Time]

VISUAL

1. Kak Savalas

2. Kak Jin

3. Kak Nehan

4. Kak Syden

5. Kak Maven

6. Kak Lesham

7. Kak Vante

8. Jastin

A/N:

Diurutin dari yang tertua. Kenapa nggak ada visual 'Nadisha'? Karena nggak ada yg cocok. So, anggap aja kamu yang baca sebagai Nadisha-nya [kalo cewek]

HAPPY READING!

BANTU KOREKSI TYPO, YA!

JIKA SUKA BOLEH DI-LIKE💜

_________________________________

BRAKK...

"Aduh sakitt!! Mama, huaa," teriakku di dalam kamar sambil memegangi keningku yang terjedot tembok barusan. Tidak ada orang lain lagi selain Mama yang bisa kuteriaku seperti itu. Bayangkan saja, Papaku masih bekerja di jam segini. Sedangkan Kakakku, ah, lebih baik jangan tanya soal dia. Aku sedang bertengkar dengannya beberapa jam yang lalu. Masalahnya sepele. Hanya karena aku meminjam kaos kaki bergambar beruang miliknya. Padahal aku hanya meminjam sebelah saja. Tidak semuanya. Memang dasar, Kakakku yang super pelit.

Pintu kamarku langsung terbuka dengan cukup keras. Siapa lagi pelakunya jika bukan Mamaku sendiri. Orang hanya aku dan Mama yang sedang berada di rumah.

Jangan tanya soal pembantu. Karena aku tidak memilikinya. Sebetulnya jika memiliki pembantu aku sangat menginginkannya. Ya, aku akan terbantu jika ada orang yang bisa ku minta tolong. Sayangnya, Mama tidak mengijinkan jika Papa mencari pembantu untuk membantu Mama mengurus pekerjaan rumah. Kalau sudah Mama yang melarang. Apa boleh buat. Semua pasrah.

"Tuh, kan. Sudah berapa kali Mama bilang, kalau lagi teleponan jangan naik-naik kursi, Nad. Jatuh, kan, akibatnya. Ngeyel, sih." Bukannya membantuku berdiri atau bertanya 'Nad, kamu nggak apa-apa?' tetapi Mama malah lebih dulu mengomeliku. Iya, aku tahu aku yang salah. Namun, bisa kan jika aku dibantu dulu. Seenggaknya sampai keningku tidak nyeri lagi.

Mama menghela napasnya, lalu mendekatiku dan membantuku berdiri.

"Ya, maaf. Habisnya sinyal di kamar aku jelek, sih, Ma. Mau nggak mau aku ya harus naik kursi dulu biar bagus sinyalnya," ungkapku jujur. Memang kenyataannya begitu. Aku saja sampai terheran-heran. Mengapa hanya kamarku saja tempat yang selalu susah sinyal. Padahal di kamar Mama-Papa, Kak Savalas, semuanya bagus. Entah ada apa di dalam kamarku sampai sinyal saja sering menghilang.

Mama hanya menggeleng. "Masalah sinyal lagi? Kamu kan bisa teleponan di ruang lain, Nadisha. Nggak harus di kamar."

"Iya, Mama."

"Ya, udah. Kamu jaga rumah, ya. Mama mau keluar sebentar," ucap Mama sambil mengelus rambutku. Aku menoleh, kaget. "Emang Mama mau ke mana?" tanyaku penasaran.

Tidak biasa-biasanya Mama keluar rumah di siang hari seperti ini.

"Mama ada urusan sama Tante Muditta," jawab Mama. Tante Muditta itu Mamanya Kak Maven, Maven Hoseok nama lengkapnya. Akhir-akhir ini Mama sering bertemu dengan Tante Muditta. Katanya sih sedang membahas masalah bisnis. Tapi aku tidak tahu apa itu benar atau tidak.

"Oh. Nanti kalau pulang jangan lupa bawa something, ya, Ma."

"Iya kalau inget. Ya, udah. Mama pergi dulu, ya. Itu kening dijaga biar nggak kejedot lagi."

Aku hanya tersenyum miris sambil memegang keningku.

Kini hanya terlihat punggung Mama saja yang kian menghilang secara perlahan.

Tiba-tiba ponselku berdering, ada sebuah pesan masuk. Dengan cepat aku langsung membacanya.

Nadisha Radka, lo nggak usah kesenengen gitu deh. Cuma setahun aja nggak mungkin ngebuat Kak Nehan suka sama lo.

Aku menggercutkan bibirku setelah membaca itu. Apa-apaan ini? Seharusnya Zelo mendukungku untuk mengejar Kak Nehan. Bukannya malah menjatuhkan rasa percaya diriku.

Kak Nehan itu gebetanku. Sudah lama aku menyukainya. Bahkan sejak SMP kelas tujuh. Waktu itu kami berada dalam satu sekolah. Kebetulan juga, masuk SMA ini Papa menempatkanku di sekolah yang ternyata Kak Nehan juga sekolah di sana. Sungguh, aku sangat senang mengetahui hal itu. Aku jadi memiliki kesempatan untuk mengejar Kak Nehan. Dan aku sangat berharap semoga Kak Nehan memiliki perasaan yang sama denganku.

Sementara Zelo, dia itu sahabatku sejak kecil. Selain sahabat, dia juga sepupuku. Entahlah, dari kecil aku sulit bergaul. Tidak seperti Zelo yang mudah akrab dengan orang lain. Apalagi orang yang baru dikenalnya. Karena itu, sejak kecil sampai sekarang temanku ya hanya Zelo saja. Mungkin memang ada banyak teman lain. Akan tetapi aku tidak yakin apa mereka mengakuiku sebagai temannya.

Aku mengetik balasan untuk Zelo.

Lo temen bukan sih?! Sukanya bikin gue punya niat buat mundur aja. Berjuang aja belum. Masa udah mundur, sih!

Tidak menunggu waktu lama, sedetik setelah pesanku terkirim, Zelo langsung membalasnya. Dia memang sangat cepat dalam hal membalas pesan. Kecepatan mengetiknya super kilat.

MENURUT LO?!!! EH, NAD. GUE BUKANNYA PUNYA NIATAN BIKIN LO MUNDUR YA. JANGAN ASAL NUDUH, DEH. GUE ITU EMANG BERDOANYA BIAR LO NGGAK SUKA LAGI SAMA NEHAN. NGERTI KAGAK SIH

Mambaca pesan itu, aku tidak tahu harus membalas apa.

Hanya satu kalimat yang bisa ku katakan sekarang; namanya aja Zelo, masa orangnya nggak bisa selo.

______

Ini adalah pagi pertamaku di sekolah baruku. Masa-masa orientasi sekolah akan di mulai hari ini. Aku merasa dag-dig-dug-der sekarang. Ya, bukannya apa-apa. Setiap kali aku mendengar kata MOS, pikiranku langsung tertuju kepada hal-hal yang kurang mengenakkan. Bukan seperti yang kulihat di televisi ataupun mendengar omongan orang tentang kegiatan MOS. Akan tetapi, aku pernah merasakan secara langsung kegiatan itu. Walaupun sekarang namanya bukan lagi MOS tetapi PLS---Pengenalan Lingkungan Sekolah----namun tetap saja ini membuatku was-was sendiri. Meski namanya sudah berbeda, tapi belum tentu kegiatannya juga berbeda. Ku dengar dari Kak Savalas semalam, kegiatan PLS dan MOS tak ada bedanya. Sama-sama masih mengandung unsur dimalu-maluin depan orang banyak.

Entah aku tidak tahu jika di sekolah lain. Tetapi jika di SMA Tanda Darma atau yang sering di singkat STANDAR, katanya masih menganut sistem seperti dulu. Tapi aku berharap, semoga nanti aku tidak terkena masalah dengan kakak-kakak OSIS. Aku ingin hidup tenang di sekolah baruku.

Sekarang aku ada di teras rumah. Sedang memakai kaos kaki sambil menunggu Kak Savalas yang sibuk menjadwal buku. Sejak semalam kakakku itu sama sekali tidak masuk ke kamarnya. Karena itu, pagi-pagi begini dia harus menjadwal bukunya. Seperti biasa, Kak Savalas selalu menonton pertandingan sepak bola dengan Papa sampai jam tiga pagi.

Oh, iya. Mulai hari ini dan setahun seterusnya, aku akan berangkat sekolah bersama Kak Savalas.

"Sha, lo kalau diajak kenalan sama cowok jangan mau," cetus Kak Savalas yang baru saja muncul. Memang hanya dia satu-satunya orang yang memanggilku dengan 'Sha' sendiri. Tapi tak apa. Mungkin itu termasuk dalam nama kesayangan.

"Emang kenapa?" tanyaku bingung.

Kak Savalas hanya menggeleng. "Nggak apa-apa. Pokoknya inget pesan Kakak. Jangan mau diajak kenalan sama cowok."

Aneh.

Kenapa tiba-tiba Kak Savalas melarangku untuk berkenalan dengan cowok. Padahal tidak ada angin juga tidak ada hujan.

"Ya tapi kenapa, Kak? Harus ada alasannya, dong."

"Udah. Nurut aja sama gue," balasnya biasa.

"Aneh. Ya udah deh, iya."

"Pinter."

Meskipun aku berkata iya. Namun tetap saja di dalam hati aku sangat penasaran. Ah, ada-ada saja Kak Savalas. Tidak biasanya dia melarangku seperti ini. Tanpa alasan pula.

Setelah itu, kami berdua berangkat ke sekolah. Dengan keadaan Kak Savalas yang tenang dan tentram. Mungkin sudah sejahtera dirinya. Sementara aku? Aku masih penasaran dengan maksud ucapan Kak Savalas tadi. Tidak mungkin kan dia melarang tanpa ada alasan? Ku rasa dia sedang menyembungikan sesuatu.

Suatu saat, aku pasti akan tahu dengan apa yang Kak Savalas sembunyikan dariku. Mungkin untuk saat ini aku memang tidak tahu. Tapi kebohongan tidak akan bertahan lama bukan?

Aku akan selalu siap untuk tahu itu.

Motor Kak Savalas berhenti di depan gerbang STANDAR. Ini bukan karena bensinnya habis, kan? Soalnya tadi pagi Papa sudah mengisi bensin Kak Savalas sampai tumpah-tumpah.

"Kok berhenti sih, Kak?" tanyaku. Aku melihat Kak Savalas sedang memperhatikan sekelilingnya.

Lalu dia menoleh ke belakang. "Kakak nganternya sampai disini aja biar lo olahraga sedikit. Pulang sekolah tunggu Kakak di halte."

"Kenapa harus di halte? Gue kan nggak mau naik angkutan umum, Kak," tolakku.

"Kalau lo nurut sama gue itu akan lebih baik. Udah. Sana masuk," suruhnya.

Aku tak menjawab sepatah katapun. Jujur saja. Kakakku memang aneh. Tapi bukan hanya sekadar aneh, namun juga menyebalkan tingkat tinggi. Sikap Kak Savalas yang begini lah yang membuatku semakin penasaran dengan apa yang disembunyikannya itu. Andai saja aku bisa membaca pikiran orang lain. Mungkin aku tidak akan sepenasaran ini. Tapi mau bagaimana lagi. Semua itu hanyalah andai-andaiku saja yang tidak akan pernah menjadi nyata.

Aku turun dari motor Kak Savalas. Sebelum aku menyalaminya, dia sudah lebih dulu masuk ke dalam. Meninggalkan aku sendirian. Apa itu yang dinamakan Kakak?

Ah, ya sudahlah.

Aku tidak memikirkan itu terlalu jauh. Kuhembuskan napasku dengan kasar. Lalu mulai melangkah masuk ke dalam sekolah. Banyak siswa-siswi berhamburan datang ke sekolah. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh kurang dua menit. Pantas saja banyak yang tergesa-gesa. Ternyata mereka takut telat. Sama sepertiku. Suka berangkat ke sekolah jam tujuh mepet tapi takut terlambat. Memang pemikiran yang salah.

Ini pertama kalinya aku masuk ke STANDAR sebagai salah satu siswinya.

Dulu aku pernah masuk ke STANDAR. Tetapi hanya untuk mengantar Kakakku saja untuk mewakili lomba tingkat Nasional di bidang Matematika. Ketahui saja bahwa Kakakku itu memang pintar. Berbeda denganku. Otakku tak begitu mulus seperti Kakakku. Padahal kami keluar dari rahim yang sama. Perlakuan orangtua pun juga sama. Tapi tetap saja aku jauh dibawah Kak Savalas.

Meskipun begitu, aku tak merasa ada sedikitpun rasa iri kepadanya. Aku tidak begitu berambisi untuk menjadi seperti Kak Savalas. Selagi Mama-Papa tidak mengharuskan aku untuk seperti Kak Savalas, aku masih merasa biasa saja. Aku cukup beruntung orangtuaku tidak begitu mengharuskan anak-anaknya untuk berprestasi. Mereka membebaskan kami. Aku senang. Itu artinya aku tidak perlu memaksakan diriku untuk belajar dengan keras agar seperti Kak Savalas. Hal ini memang sederhana. Tetapi kebebasan untuk tidak harus berprestasi itu adalah kebahagiaan tersendiri.

Bahkan, banyak juga teman-temanku yang diwajibkan orangtuanya untuk berprestasi. Selalu menunjukkan nilai yang bagus-bagus di raport. Terkadang, aku kasihan juga dengan mereka. Setiap ada kabar tentang ujian atau ulangan, mereka langsung khawatir dan was-was. Takut tidak bisa mengerjakan soal dan mendapat nilai yang buruk. Dan berakhir dengan kemarahan orangtua. Atau mungkin bisa jadi dengan disitanya ponsel. Bagiku, itu sungguh menyeramkan. Aku tak tahu harus bagaimana jika hal itu terjadi padaku.

"Nadisha, kan?"

Aku menoleh ke sumber suara. Ada seorang cowok berdiri di depanku sekarang. Aku terdiam.

"Nadisha, bukan?" tanyanya mengulangi.

Aku langsung tersadar dari lamunanku seraya mengangguk. Tapi, bagaimana bisa dia tahu namaku?

Bahkan aku belum berkenalan dengan siapapun. Termasuk manusia yang berjenis cowok. Karena Kakakku memang melarang itu.

Dia mengulurkan tangannya kepadaku. "Gue Lesham," ucapnya sambil tersenyum.

Aku harus bagaimana?

Kulihat dari badge kelas, dia adalah anak kelas sebelas. Itu artinya dia adalah Kakak kelasku, kan?

Tidak enak jika aku tidak membalas uluran tangannya. Tapi aku teringat akan pesan dari Kak Savalas. Ah, tapi aku tidak peduli dengan itu karena alasannya kurang jelas. Lalu kubalas uluran tangan cowok yang bernama Lesham itu.

"Dari mana Kakak tahu kalau nama gue Nadisha?" tanyaku selanjutnya. Tetapi dia hanya tersenyum, wajahnya penuh dengan ilusi. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Kak Lesham malah menyeriangiku dengan semangat empat lima.

"Kak. Jawab gue," ujarku lagi sambil melepaskan tanganku dari genggamannya.

Kak Lesham maju selangkah ke depanku. "Semoga lo betah, ya," ucapnya begitu saja dan pergi dari hadapanku.

Aneh.

BAB 1B

Semua kelas sepuluh berkumpul ditengah lapangan yang teriknya minta ampun. Sedari pagi, kami digambar oleh kakak kelas. Apalagi seluruh kelas XI dan XII berada di luar semua. Mungkin hari ini sengaja diberi jam kosong untuk melihat adik kelasnya. Sekaligus juga untuk memalukan kami.

Keringat bercucuran membasahi tubuhku. Rasanya aku haus sekali. Aku ingin minta izin untuk minum. Tapi setelah melihat salah satu temanku tadi meminta izin, aku langsung mengurung niatku itu. Dia sempat disuruh untuk bergoyang selama sepuluh menit dulu baru boleh minum. Mungkin jika hanya ditonton oleh teman-temannya dan kakak OSIS itu bukan masalah. Tapi ini itu masalahnya banyak sekali anak kelas sebelas dan duabelas yang melihat. Bahkan mereka mengerumuni lapangan yang berada di tengah-tengah sekolah ini. Sungguh memalukan.

Aku tidak mau dipermalukan seperti itu.

"Itu Kak Jin, kan?"

"Omegaat, ternyata dilihat dari dekat ganteng banget, ya? Nggak nyesel gue sekolah disini."

"Ya Tuhan, ganteng bangettt."

Suara-suara itu berasal dari belakangku. Mereka semua bersuara hanya karena munculnya satu cowok dengan topi berwarna putih itu. Ku akui cowok itu memang ganteng. Tapi tetap saja, dia tak membuatku tertarik.

"Itu namanya Kak Jin, Nad. Dia yang paling ganteng di STANDAR. Sebenarnya banyak, sih, cowok yang ganteng disini. Tapi dia itu diurutan nomor satu. Kak Jin itu juga anggota dari Stigma," ucap Zelo panjang. Dia menjelaskan tentang Kak Jin tanpa ku minta. Aku tak heran jika Zelo bisa tahu semua itu. Jangankan berita satu sekolah, berita diluar sekolah pun Zelo bisa mengetahuinya. Itu semua karena dia memang memiliki banyak teman.

Mendengar kata Stigma, alisku terangkat satu.

"Stigma itu apaan?" tanyaku pada Zelo.

Zelo berpikir sambil mengetuk-ngetukkan tangannya di dagunya. "Gue nggak tahu arti sebenarnya, sih. Cuma, yang gue tahu Stigma itu kumpulan dari cowok-cowok ganteng di STANDAR. Oh, iya. Gue pernah google sih, tapi artinya nggak baik. Bahkan tuh, ya, semua anak STANDAR kalau lo tanyain artinya Stigma nggak akan ada yang tahu. Cuma anggota Stigma aja yang tahu."

"Ya udahlah, nggak penting."

"Iihhh penting tahu," seru Zelo tepat di telingaku.

Aku mendorong Zelo untuk tidak dekat denganku. Dia hanya membalasku dengan mengulurkan lidahnya.

"Namanya beneran Jin? Kok lucu, ya?" tanyaku lagi. Pasalnya aku tiba-tiba penasaran. Zelo tertawa pelan sambil mencubit pipiku. "Tuh, kan. Gue bilang juga apa. Lo pasti masih butuh gue buat tanya-tanya."

Kini, giliran aku yang mencubit lengan Zelo hingga dia meringis kesakitan. "Udah ih! Buruan jawab."

"Iya, iya. Jin itu cuma singkatan dari namanya. Lo nggak tahu, sih. Namanya Kak Jin itu susah banget buat diucapin. Kalau lo mau tahu nama aslinya, temuin dia. Terus baca name tag-nya."

Sesulit itukah namanya?

Aku jadi semakin penasaran. Aku harus bertemu dengan Kak Jin setelah ini. Tidak ada cara lain supaya aku tahu nama aslinya. Jika ku tanyakan pada Kak Savalas pasti dia juga tidak akan tahu.

"Dek, kalau mau cerita didepan aja sana!"

Aku dan Zelo menoleh ke belakang bersamaan. Ternyata kami ditegur oleh salah satu anggota OSIS. Ah, ini semua Zelo yang memulai. Gara-gara dia menceritakan tentang Kak Jin aku jadi banyak bertanya seperti ini. Harusnya aku diam saja dari tadi untuk cari aman. Sungguh, aku tidak ingin dipermalukan seperti yang lain. Meskipun aku tak kenal dengan kakak kelasku yang sedang menonton kami, tetap saja rasa malu itu akan terbawa sampai nanti.

"Ke depan gue bilang!!" ujar anggota OSIS itu lagi. Dia bersedekap dada sambil menunjukkan wajah ketusnya.

"Pada tuli apa gimana, sih?!"

Zelo mencolekku, aku bingung harus bagaimana. Kalau aku menuruti perintah anggota OSIS itu, sudah pasti aku akan dipermalukan. Tapi kalau aku tidak menuruti, aku juga akan dibuat malu. Ah, keduanya sama-sama akan membuatku malu. Tidak ada jalan aman sekarang.

"Pada bisu, ya?! Maju, Dek!!"

"Kak Jin, mereka berdua ngobrol dari tadi," lagi dan lagi. Salah satu anggota OSIS yang menegurku dengan Zelo itu malah mengadukanku kepada Kak Jin.

Kak Jin yang semula ada di barisan depan, sekarang mulai mendekat kepadaku. Dia membawa sebotol air mineral di tangan kanannya. Sebelum berjalan menghampiriku, Kak Jin mengambil air mineral itu dari kardus yang berada di sampingnya.

Kak Jin memberikan sebotol air mineral itu kepadaku. "Mengobrol perlu tenaga, kan?"

Dengan ragu aku mengambil air mineral itu dari tangan Kak Jin. Selain haus, aku memang sudah lelah. Makanya, aku butuh minuman sekarang.

"Jin, dia itu---"

"Kak Raden silahkan ke depan, biar ini saya yang urus," ucap Kak Jin dengan bahasa yang formal.

Orang yang bernama Raden itu mengercutkan bibirnya. Lantas pergi begitu saja.

"Kenapa nggak diminum?" tanyanya setelah Kak Raden pergi.

Aku terkejut. "Nggak. Ini mau diminum. Makasih, ya, Kak."

Kak Jin tak menjawab. Dia hanya tersenyum. Aku membuka botol air mineral itu dan melogoknya hingga tinggal setengah. Sementara Zelo terus menarik seragamku. Aku langsung memberikan sebotol air itu kepada Zelo.

Tiba-tiba aku teringat akan nama asli Kak Jin. Aku menyipitkan mataku, lalu membaca name tag-nya dengan mudah karena ia tidak menggunakan jas sama seperti anggota OSIS yang lain.

Jiozhen Iseok Nagendra

Hanya Nagendra saja yang mudah dibacanya.

"Susah ya baca nama gue?" Kak Jin menatapku.

Bagaimana dia tahu jika aku sedang membaca nama panjangnya?

Apa hanya perasaanku saja jika hari ini semuanya terasa aneh?

Tetapi, ucapan Kak Jin itu langsung membuatku terdiam. Ingin sekali aku berkata; iya, Kak, susah. Tapi sayang, aku tak seberani itu untuk menjawab.

"Panggil gue 'Kak Jin', Nadisha."

____

Rasanya aku ingin mengadu atas keluhanku hari ini. Tetapi aku tak tahu harus mengadu kepada siapa. Sekarang aku sendirian menuju ke kantin. Sedangkan Zelo, anak itu sedang berada di UKS sekarang. Dia berada di UKS juga karena aku. Aku juga yang ceroboh memberikannya air mineral bekasku tadi. Padahal aku tahu jika Zelo tidak bisa meminum atau memakan sesuatu yang sudah berbekas. Hal itu selalu membuat Zelo sakit sesudahnya.

Karena rasa ingin tahuku atas nama panjang Kak Jin, aku sampai lupa akan hal itu.

Beruntung saja sakitnya Zelo tak separah biasanya. Namun, setelah ku pikir-pikir, penyakitnya itu memang aneh juga. Setahuku tidak ada jenis penyakit yang seperti itu. Atau mungkin, aku yang tidak tahu. Tapi aku tidak peduli lagi. Yang penting aku tidak akan mengulangi lagi kecerobohanku itu. Aku harus lebih berhati-hati.

Kantin STANDAR jauh dari kata luar biasa. Ku kira kantinnya seperti kantin-kantin pada umumnya. Tetapi aku salah menduga. Bisa aku bilang bahwa ini sangat-sangat megah. Aku sampai berpikir semua bangunan yang ada di STANDAR ini memang seperti hotel bintang lima. Pantas saja banyak sekali orang yang ingin masuk ke sekolah ini. Selain uang SPP yang sama seperti lainnya, fasilitasnya juga lengkap.

Meskipun begitu, untuk masuk di sekolah ini bukanlah hal yang mudah. Apalagi yang melalui jalur beasiswa seperti Kakakku. Wah, jangan tanya sulitnya seperti apa. Aku saja yang masuk di STANDAR tanpa jalur beasiswa saja rasanya ingin mengurungkan niatku untuk bisa masuk di sini. Akan tetapi, karena orangtuaku sangat percaya jika aku bisa masuk di STANDAR, mau tidak mau aku belajar dengan keras untuk ikut tes ujian masuknya.

Setelah aku pikir-pikir, masuk STANDAR sama seperti masuk di Universitas yang paling terkenal.

Walaupun begitu, jangan berpikir bahwa murid-muridnya ramah, baik, dan tidak nakal. Karena kenyataannya jauh dari kata itu. Dulu, sebelum aku masuk di STANDAR, aku sempat browsing di internet tentang sekolah ini. Sekolah yang selalu mendapat akreditasi A lima kali berturut-turut.

Kau tahu?

Setiap aku mendengar hal-hal baik dari suatu sekolah, aku langsung menyimpulkan bahwa semua hal yang berada di dalamnya juga baik. Termasuk juga siswa-siswinya.

Tapi aku berharap, ini adalah yang terakhir kalinya aku berpikir semacam itu.

Aku berhenti melangkah. Ada seorang cowok yang menghadangiku sekarang. Dia berbaring di sebuah kursi panjang yang letaknya menutupi jalan menuju ke kantin. Aku rasa, kursi yang dia pakai untuk berbaring adalah kursi yang dia ambil dari kantin. Cowok itu menutup matanya. Aku pikir dia sedang tidur sekarang. Namun, saat aku ingin melangkahinya, ia membuka matanya. Membuatku terkejut dan salah tingkah.

Bagaimana ini?

Ku kira dia tidur, tapi ternyata tidak.

Ya Tuhan, harus bagaimana aku sekarang? Bagaimana kalau dia tahu bahwa tadi aku akan melangkahinya?

Siapapun yang kasihan padaku, tolong aku dari cowok ini.

Iris mata cowok ini menatapku tajam. Dia bangun dari posisi berbaringnya. Cowok itu memutar badannya menghadap kepadaku. Kelakuannya sangat membuatku semakin merasa terpojok. Harusnya tadi aku berbalik arah saja. Mengurungkan niat untuk ke kantin.

"Nggak pernah diajarin tata krama untuk nggak melangkahi orang yang lebih tua dari lo, ya?" ucap cowok itu dengan datar.

Ku akui dia memang sangat putih. Bahkan lebih putih dari aku. Entah terbuat dari apa kulitnya itu sampai seputih itu. Aku akui juga dia memang ganteng. Tapi sayang. Wajah datarnya itu membuat semua pujianku hilang seketika. Aku tidak tahu, kalimat yang ia lontarkan barusan itu pertanyaan atau kah menyindirku. Aku tidak bisa membedakan hal itu sekarang. Semuanya langsung merujuk kepada hal negatif.

"Nggak, bukan begitu, Kak. Gue pikir lo---" cowok itu menyela ucapanku. "Nggak diajarin juga tata krama ngomong sama orang yang lebih tua?"

"Bukan begitu, Kak. Gue---eh, aku...," tatapannya selalu tajam kepadaku ketika aku ingin membalas ucapannya. Aku selalu gagal untuk berbicara yang benar ketika ditatap tajam seperti itu. Seolah-olah hal yang akan aku katakan sudah pasti salah. Padahal aku sama sekali belum mengucapkan maksudku.

Cowok itu memiringkan kepalanya. Meskupun begitu, tatapan tajamnya tetap tidak berubah. Apalagi wajah datarnya itu, sama sekali tidak ada perubahan. "Nggak pernah belajar tata krama ngomong yang baik, ya? Lo sekolah sejak kecil buat apa coba kalau ngomong aja nggak bener," katanya menyisit hati.

Aduh. Kenapa cowok ini selalu membuatku merasa yang bersalah, sih?

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku tidak berani menatap cowok itu lama-lama. Semakin aku menatapnya, dia semakin menyeramkan.

"Kalau ada orang ngomong itu ditatap matanya. Jangan buang muka. Lo bener-bener bodoh, Dis."

Mendengar kata 'bodoh' dan 'Dis' aku langsung menoleh. Menatap cowok itu dengan kebingungan. Di satu sisi aku sakit hati karena dia menghinaku bodoh. Aku memang tidak pandai. Tapi bukan berarti aku bodoh. Rasanya aku ingin mencakar bibirnya itu. Tapi apa boleh buat. Aku hanyalah seorang Nadisha yang takut pada apapun. Ralat. Aku bukan penakut. Aku hanya belum berani saja. Nanti kalau aku sudah berani, aku akan membalasnya.

"Nggak sopan!" kata cowok itu sebelum akhirnya pergi dari hadapanku. Aku bisa menghela napas lega. Akan tetapi, perkataannya yang terakhir membuatku kesal.

Kata-katanya jahat sekali, ya, Tuhan.

BAB 1C

Malam ini aku memilih untuk berdiam diri di dalam kamar. Semua yang terjadi sehari penuh ini membuatku merasa aneh. Aku bertemu tiga orang cowok yang sangat aneh. Yang pertama tadi Kak Lesham. Cowok yang menemuiku tiba-tiba dan mengajak aku untuk kenalan. Padahal dia sudah tahu namaku, lalu untuk apa dia mengajakku berkenalan ulang coba?

Dan setelah kutanya, dia malah kabur begitu saja. Seolah dia tidak mau menjawab pertanyaanku yang terbilang mudah.

Yang kedua, Kak Jin. Sejujurnya aku paling penasaran dengannya. Dia tahu bahwa aku sedang haus. Padahal aku tidak mengatakan apapun. Dan kami juga baru bertemu tadi siang untuk yang pertama kalinya. Sebelum kejadian tadi pagi aku tidak pernah bertemu dengannya. Apa dia bisa membaca pikiranku?

Ah, aku harus berpikir positif saja. Tadi dia bilang bahwa 'mengobrol perlu tenaga, kan?' itu artinya dia hanya berinisiatif membawakanku minuman. Bukan karena hal lain. Oke, Nadisha. Berpikirlah yang logis-logis saja. Buang jauh-jauh pikiran tidak masuk akal itu.

Tapi, ada satu lagi yang membuatku terkejut. Kak Jin tahu namaku. Bagaimana bisa? Bahkan aku belum memasang name tag-ku. Apa dia mendengar orang lain memanggilku Nadisha? Masuk akal. Aku rasa dia mengetahui namaku melalui orang-orang yang memanggilku.

Aku harus selalu berpikir positif saja.

Yang terakhir ada Kak---entahlah. Aku tidak tahu namanya. Pokoknya dia itu ketus sekali. Tidak ada ramah-ramahnya. Aku harap tadi adalah pertemuan terakhirku dengan cowok itu. Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengannya. Bentuknya saja cowok, tapi mulutnya pedas seperti cewek. Apa mungkin dulu ia adalah seorang cewek, tapi waktu lahir jadinya cowok?

Oke, itu tidak masuk akal.

Dia juga tahu namaku, kan?

Bagaimana bisa aku hari ini bertemu dengan tiga cowok dan ketiga-tiganya tahu namaku?

Rasanya seperti namaku sudah dengan sengaja disebarkan.

Aku ingin mengeluh, tetapi apa isi hidupku hanya terisi dengan keluhan dan pertanyaan saja.

Ponselku bergetar di saku celana. Membuat lamunanku membuyar seketika. Siapa lagi kalau bukan Zelo yang mengirimiku pesan. Aku menghela napas jengah. Dengan malas kubuka pesan yang masuk. Kulihat di notifikasi hanya ada satu pesan saja yang masuk. Tumben. Biasanya Zelo akan mengirimiku pesan yang banyak. Bisa ku hitung pesan yang Zelo kirim paling sedikit adalah sepuluh pesan. Tunggu, kenapa nomornya tidak ku simpan?

Apa mungkin ini nomor barunya Zelo?

Tanpa banyak bertanya lagi, aku langsung membuka pesan yang masuk itu. Seketika aku tercengang melihatnya.

Gw didepan rumah lo

______

Aku tidak tahu harus senang atau tidak sekarang.

Aku masih ingat betul siapa itu Kak Lesham. Bahkan sebelum dia mengirimiku pesan, aku sempat memikirkannya dengan kedua cowok lagi itu. Tapi belum sempat aku menyimpulkan semuanya, cowok itu malah mendatangi rumahku. Aku sudah tidak mau bertanya-tanya lagi bagaimana ia bisa tahu namaku, nomorku bahkan sampai alamat rumahku. Sekarang aku harus menemuinya dulu. Akan ku tanyakan kepadanya nanti semua yang menggenangi pikiranku sejak tadi.

Aku langsung turun dari kasurku. Menata rambut panjang yang berantakan. Setelah itu aku langsung pergi keluar menemuinya. Jika hanya sekadar bertemu saja tidak perlu mengganti pakaian, kan? Aku rasa tidak.

Ketika aku sampai di tangga paling bawah. Kak Savalas sedang mengetik tugasnya di depan televisi. Saat aku ingin melangkah kembali, dia menoleh kepadaku. Aku menebak bahwa Kak Savalas akan bertanya kepadaku ke mana aku akan pergi. Ketahuilah, Kakakku yang satu ini memang selalu memperhatikan dan mengawasiku. Aku tidak bilang jika dia overprotektif. Aku hanya bilang bahwa dia sangat peduli kepadaku. Sampai-sampai dia selalu mengawasiku tiada henti. Kak Savalas menutup laptopnya. "Mau ke mana, Sha?" tanyanya sesuai dugaanku.

Aku tersenyum lantas menghampirinya. "Cuma ke depan doang. Kakak mau ikut? Nyari angin," ujarku setengah berbohong. Aku memang mau ke depan. Tetapi bukan untuk mencari angin. Melainkan menemui Kak Lesham.

Kak Savalas mengernyitkan alisnya. "AC di kamar lo rusak lagi?"

"Ya, gitu deh. Nanti kalau Papa pulang Nadisha mau minta yang baru," jawabku. Masalah AC ternyata cukup membantuku untuk bisa keluar rumah tanpa diikuti Kak Savalas. Oh, iya. AC di kamarku itu memang sering rusak. Aku tak tahu karena apa. Tapi yang pasti, AC itu menyala sesuka hatinya. Kadang dingin. Kadang malah tidak menyala sama sekali. Sudah hampir yang kesekian kalinya AC di kamarku itu di serviskan. Namun, tetap saja begitu. Memang sudah saatnya aku meminta yang baru.

Kak Savalas mengambil laptopnya. Ia berdiri lalu mengacak-acak puncak rambutku sambil terkekeh. "Ya udah. Jangan lama-lama. Ini udah mau jam sepuluh. Nanti lo bisa masuk angin. Gue ke kamar dulu," kata Kak Savalas tanpa ada curiga sedikitpun.

"Iyaa."

"Itu televisinya matiin, Sha."

"Iyaaa."

"Cepetan tidur, besok sekolah. Bentar lagi Papa sama Mama pulang. Kalau lo belum tidur, siap-siap aja diceramahi besok," katanya meskipun Kak Savalas sudah berada di kamarnya.

Aku mendengus. "Iya, Kak. Good night."

"Malam juga."

Akhirnya, Kak Savalas pergi juga. Aku langsung teringat Kak Lesham lagi. Aduh, pasti dia sudah menungguku dari tadi. Astaga, kenapa aku lama sekali sih! Dengan gegabah aku mematikan televisi dan melempar remote-nya ke sembarang tempat. Aku langsung berlari menuju ke depan rumah. Namun, sesampainya aku di depan rumah aku sama sekali tidak melihat ada Kak Lesham di sini. Sama sekali tidak ada sosok-sosok manusia yang berdiri ataupun hadir di depan rumahku.

Aku menghela napas. Padahal aku ingin bertanya banyak kepada Kak Lesham. Tetapi dia sudah tidak ada.

Betapa bodohnya aku langsung percaya kalau Kak Lesham memang datang ke rumahku. Bisa jadi dia hanya berbohong kepadaku, kan?

Dia mengerjaiku malam ini.

Aku berdiri di halaman rumahku. Mataku mencari seseorang di semua sudut rumahku. Tapi hasilnya tetap sama. Tidak satupun orang yang datang ke rumahku. Kak Lesham benar-benar mengerjaiku. Dia menyebalkan sekali. Dan aku juga sangat bodoh bisa langsung percaya kepadanya.

Hawa dingin menusuk tulang rusukku. Aku menggosok-gosokkan kedua tanganku. Aku memutuskan untuk masuk kembali ke dalam rumah.

Ponselku bergetar lagi. Tanpa membaca notifikasi di layar ponsel, aku langsung membuka pesan yang masuk.

Nyariin gw ya?

Pesan itu sudah pasti dari Kak Lesham. Tuh, kan! Aku bilang juga apa. Dia pasti hanya mengerjaiku sejak tadi. Sekarang aku jadi tahu jika Kak Lesham lebih menyebalkan daripada Kakak kelas yang ku temui di kantin siang tadi.

Aku mengetik balasan untuk Kak Lesham. Lalu ku pencet kirim setelahnya. Aku tidak jadi masuk ke dalam rumah. Entah mengapa aku masih ingin berdiri di sini sambil menunggu balasan dari Kak Lesham. Lagipula ini juga belum malam sekali. Masih pukul setengah sepuluh lebih.

Nggak lucu, Kak

Semenit kemudian pesanku langsung terbalas.

Gw dibelakang lo

Membaca pesan itu aku langsung terkejut. Spontan aku langsung membalikkan badanku. Dia benar-benar datang ke rumahku. Kukira dia berbohong.

"Hai, Nadisha," sapanya sambil menyengir kuda.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!