Rintik hujan di pagi hari, membuat Freya merasa tidak bersemangat menjalani aktivitasnya. "Langit aja lagi nangis mana bisa naikin mood kalo gini?"
Wanita itu lantas bangkit dari pembaringannya dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim di kala subuh menjelang. Setelah selesai dengan urusan pribadinya, Freya bersiap mempersiapkan kebutuhan buah hatinya. Hal itu sudah sangat biasa dilakukannya sebelum berangkat bekerja.
Freya Anindita adalah seorang wanita single parent di usia yang terbilang masih muda. Menginjak usianya yang ke dua puluh tujuh tahun, dia telah menjadi seorang janda dengan membawa sepasang anak balita. Mantan suaminya bernama lengkap Adnan Arshaka. Mereka menikah setelah berpacaran sekitar dua tahun lamanya. Namun, siapa menyangka mereka akhirnya berpisah di usia pernikahan yang keenam dengan alasan yang tidak masuk akal.
“Buna, sarapan apa kita?” tanya Aluna kepada ibunya yang sedang berkutat dengan kompor dan wajan pagi ini.
"Buna masak kesukaan Aluna dan Daffa!" Wanita itu menoleh dengan senyuman menjawab pertanyaan putri kesayangannya.
“Wow, Spagety carbonara!” pekik Aluna girang saat satu mangkuk besar masakan terhidang di meja makan.
"Daffa sudah bangun sayang?" tanya Freya kepada anak sulungnya kemudian.
"Sudah, dia lagi mandi sama mbak Wulan."
“Bekal Kakak ini juga kan Buna?” Dengan girang gadis yang baru bersekolah tk itu kembali membuat Freya mengembangkan senyuman. Asalkan ada kedua buah hatinya, seberat apapun hidupnya, dia yakin bisa melewati semuanya.
“Nih, Buna udah siapin semuanya!”
Tak lama terdengar seruan celoteh anak bungsunya, dia adalah Daffa yang masih berusia tiga tahun dan sedang masa aktif-aktifnya.
“Buna!”
“Wah, anak ganteng Buna… Udah wangi, sini Buna peluk dulu!” Freya merentangkan tangannya menyambut kedatangan Daffa setelah sebelumnya dia menaruh kembali celemek kotornya. Tak lama kemudian, Freya meletakkan pria kecilnya di kursi khusus bayi agar tidak terjatuh dan meletakkan semangkuk sarapan pagi. Di bantu oleh pengasuh kedua buah hatinya, Freya merasa beruntung bisa menjalani hari-hari berat pasca perceraiannya yang sudah terlewati setahun lamanya.
Anak sulungnya bernama Aluna Azzahra dan si bungsu mereka namai Daffa Zaidan Althaf. Dalam sidang perceraiannya tidak ada hak asuh anak, semuanya berhak mengasuh anaknya. Namun, dikarenakan anak-anak mereka masih sangat kecil, maka diputuskan anak-anak tinggal bersama dengan ibunya.
Mantan suaminya sendiri merupakan karyawan di salah satu perusahan besar di ibu kota. Sebelum berpisah, keduanya hidup mengontrak disana. Saat putusan perceraian berlaku, Freya memilih kembali pulang ke kampung halamannya di kota kembang. Walaupun mereka telah bercerai, Adnan sendiri tidak pernah bolong mengunjungi buah hatinya di akhir pekan.
Pasca perceraian, Freya juga meminta izin kembali tinggal bersama ibunya. Di bantu oleh sang ibu, Freya berusaha terus memperbaiki diri, baik dari segi mental maupun fisiknya.
Sungguh beruntung, dalam kurun waktu tiga bulan Freya kembali ke kampung halamannya, dia akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan. Lambat laun, perekonomian Freya mulai stabil bahkan berlebih, dia bisa menyewa rumah sendiri bahkan bisa mendapatkan orang yang bisa membantunya mengurus anak-anak dan rumah di kala dia sibuk dengan pekerjaannya.
Waktu bergulir dengan cepat, Freya dan putrinya siap berangkat. Namun, hujan masih terus mengguyur tak terlihat mereda.
“Buna, hujannya awet nih!” Aluna mendongak menatap ibunya.
Gadis kecil kesayangan Freya itu baru berusia enam tahun. Tahun ini, dia sengaja memasukkannya di taman kanak-kanak yang tak begitu jauh dari rumah sewanya itu.
“Iya… Baiknya Buna order taksi saja!” Freya merogoh ponsel di tasnya, tak lama dia memesan kendaraan lewat aplikasi dan tak perlu menunggu lama mobil yang dipesannya datang. Keduanya lantas berpamitan pada orang rumah, dia harap saat Wulan menjemput pulang putrinya cuaca sudah kembali cerah.
***
Setelah mengantar putrinya, Freya pun tak lama sudah berada di kantor tempat dia menghidupi keluarga kecilnya pasca perceraian. Walaupun Adnan atau mantan suaminya tetap mengirimi dia uang, Freya bersikeras harus mempunyai pendapatan sendiri. Alasan Freya menyewa rumah karena jarak tempuh dari rumah ibunya terlampau jauh. Disini, dia hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit menggunakan kendaraan, itupun dikarenakan kondisi jalan raya yang selalu padat mengakibatkan kemacetan.
Freya bekerja di salah satu perusahaan swasta di bidang kontraktor, dia menjabat sebagai staf keuangan. Dalam satu ruang besar khusus divisi keuangan, hanya terdiri dari ruangan kepala bagian atau manager dan ruangan yang berisi satu supervisor dan dua administrasi.
"Pagi, Sell!" sapa Freya pada salah satu rekan kerjanya yang sudah lebih dulu disana.
“Pagi!” sahut rekan Freya yang bernama Seilla. “Muka lu kok kusut?” tanyanya kemudian dengan raut wajah yang terlihat seolah tengah mengolok Freya.
“Iya, pagi-pagi hujannya awet kek di kasih formalin, bikin gak semangat ngapa-ngapain!” keluh Freya menanggapi rekannya.
“Dih, gak boleh lu tuh ngomel-ngomel gara-gara hujan. Hujan tuh penanda turunnya rezeki, you know!”
Seilla merutuki keluhan rekan kerjanya, sedangkan Freya sendiri mencibir lirih. “Eh, Pak Bram udah dateng?”
Freya mendadak berbisik bertanya pada rekannya dengan wajah mulai terlihat menegang.
“Belum!” sahut Seilla cepat. “Cie… Sepagi ini nanyain si Bos, kangen ya?”
“Matamu!” Freya kembali dibuat kesal oleh rekannya, setelah mengumpat kasar dia kembali ke mejanya. “Gue barusan ampir telat, lu tau sendiri telat potong gaji!” Freya merepet kesal menjelaskan pada rekannya.
Sudah bukan jadi rahasia, bahwa aturan kantor mereka memang sedikit menakutkan jika terlambat datang. Terlebih, bos dimana Freya berada terkenal dingin juga angkuh. Walau terkenal dengan sifat angkuh dan dinginnya, manager keuangan yang bernama lengkap Abraham itu terlihat seolah menyukai Freya. Alasan itulah membuat Seilla selalu menggoda rekannya. Terlebih, Seilla mengetahui status Freya yang merupakan janda dua anak. Rumor itupun sudah menyebar hampir ke seluruh bagian kantor. Awalnya Freya merasa risih, tetapi dia harus bersikap bodo amat agar bisa bekerja lama disana.
“Kalian ini, sepagi ini berisik sekali!” Tiba-tiba suara seorang wanita paruh baya ikut menimpali keduanya. “Tuh, orangnya dah jalan kesini!” Namanya adalah Linda, tapi kedua rekannya selalu memanggilnya Ibu Linda, jelas karena perbedaan usia mereka. Bu Linda merupakan supervisor disana, dia lah yang membawahi Seilla.
Mendengar peringatan bu Linda, kedua wanita yang tadi terlibat candaan mendadak diam dan pura-pura sibuk dengan berkas di depan mata mereka. Pintu ruangan terbuka, semerbak harum yang sudah di hafal sebagian warga divisi keuangan mulai menelan ludah. Tak lama suara berat langsung keluar dari pria yang barusan datang.
“Freya, tolong ambilkan laporan keuangan tiga bulan yang lalu!” Pria tampan nan tegas itu berhenti tepat di depan meja Freya. “Sebentar lagi team audit akan datang ke tempat kita.” Tanpa basa-basi lanjutan pria itu lantas melangkahkan kaki memasuki ruangannya setelah menyampaikan perintah.
“Baik, Pak!” Freya bangkit perlahan mengiyakan perintah. Wanita itu lantas bersiap menuju meja arsip yang tak jauh dari tempatnya.
“Acieee, baru datang langsung di cariin Ayang!” goda Seilla membuat Freya menoleh tidak senang.
“Harusnya dia nyuruh elu!” Freya bersungut kesal di depan rekannya. “Gue kan karyawan baru seumur jagung!”
“Ck, dikasih rezeki dapet perhatian pria paling tampan dan kaya di kantor itu harusnya seneng!” Seilla kembali menggoda rekannya. “Lagian ya, gue itu di bawah wewenang Bu Linda, lah elu? Kan elu adminnya doi! Gitu aja pura-pura lupa…”
“Haish, seneng bener kamu tuh godain Freya!” Kali ini bu Linda merasa candaan Seilla berlebihan. Terdengar Seilla terkekeh renyah kembali berkutat dengan pekerjaannya, sedangkan Freya menghela nafas berat.
Seilla dan bu Linda adalah rekan kerja Freya selama di kantor. Sejak awal dia bekerja disana, dia sendiri tidak ingin berhubungan dekat dengan siapapun. Untungnya, Seilla dan bu Linda cukup menghargai status jandanya. Freya mulai membuka diri pada keduanya dan percaya mereka cukup menghargainya.
Bagi Freya, dia tidak pernah ingin menutupi status jandanya. Hal tersebut justru digunakan olehnya sebagai tameng bagi para pria yang ingin mendekatinya. Namun, namanya manusia tidak bisa diharapkan lebih. Bagai pisau bermata dua, ada yang tumpul ada juga yang tajam. Bagi kalangan rekan wanita di beberapa divisi lain justru mencemooh statusnya. Apalagi saat rumor Pak Bram, sapaan akrab manager yang sekaligus bos Freya. Rumor yang menyatakan bahwa ada affair antara keduanya. Semua wanita yang mengejar pria tampan itu mulai membenci kehadiran Freya, bahkan status single parent yang melekat dalam diri Freya menjadi alat mengolok dirinya.
Bersambung…
Freya telah mengantongi beberapa berkas yang diinginkan tuannya. Dia perlahan mengetuk pintu ruangan, terdengar suara mengijinkan dari bosnya membuat Freya lantas mendorong pintu dan masuk ke ruangan atasannya.
“Maaf Pak, semua berkas ini mau ditaruh dimana?” tanya Freya lagi-lagi meminta ijin.
Terlihat pria tampan itu menghentikan aktivitasnya dan melirik keberadaan wanita yang bisa mencuri perhatiannya. ‘Semakin hari, kenapa kamu semakin mempesona, Freya…’
Pria itu masih terdiam dan sibuk bermonolog dalam benaknya. Dia mengabaikan pertanyaan bawahannya dan terus menikmati kecantikan Freya. Wanita yang tengah jadi sorotan atasannya itu terlihat gelisah. Dia tidak menyukai pandangan atasannya yang seolah menyimpan beberapa makna.
“Pak?” Freya kembali bertanya dan membuyarkan lamunan Bram.
“Oh, maaf…” Bram menjadi salah tingkah. “Taruh saja di meja besar itu!” Bram menunjukan ke arah dimana Freya harus meletakkan berkas yang dibutuhkannya.
Pada dasarnya, Abraham atau yang akrab di panggil Bram adalah pria yang dingin juga terkenal cuek pada sekitar. Namun, semua tidak berlaku saat pria itu berhadapan dengan Freya. Asisten khusus yang baru saja dipekerjakannya untuk membantunya. Pria itu mendadak berwajah teduh dengan kata lemah lembutnya. Terkadang, Freya selalu merasa menggigil atas sikap atasannya yang berubah dalam beberapa bulan terakhir setelah kedatangannya.
“Sudah selesai Pak!” Freya menaruh berkas dan bersiap izin kembali ke mejanya. “Kalau begitu, saya kembali ke meja saya lagi ya, Pak,” ujar Freya kemudian.
“Eh, tunggu!” Menyadari akan kepergian wanita incarannya. Bram terlihat memiliki ide luar biasa untuk berdekatan dengan Freya. “Kamu belum pernah kan melakukan proses audit sama editor. Biar ada pengalaman, kamu boleh bantu saya melakukan proses auditnya ya?”
Sejujurnya, perkataan Bram bukan lagi pertanyaan, melainkan perintah yang tidak mungkin di bantah. Freya menundukkan pandangan seraya menganggukan kepala pasrah. “B-baik, Pak. Apa saja yang perlu saya siapkan sebelumnya?”
Freya masih berdiri di tempatnya, dari jarak pandang Bram dia bisa dengan jelas menyelidiki tampilan Freya yang selalu terlihat anggun di matanya. Hari ini, Freya mengenakan terusan di atas lutut yang membuatnya terlihat begitu manis dengan perpaduan warna yang kontras dengan warna kulitnya.
“Eh, kamu hanya perlu mengkaji dan mempelajari ulang tiga laporan keuangan tersebut!” Bram kembali melayangkan senyuman tampan yang sejenak membuat debaran jantung Freya berdetak lebih kencang dari biasanya.
“Owh,” Freya mengangguk dan kembali berniat membawa berkas kerjanya. “Kalau begitu, saya akan mempelajarinya di meja saya, ya Pak?”
“Tidak usah!” Bram lantas beranjak dari kursi kebesaran mendekati dimana Freya berdiri sekarang. Freya semakin berkedip tidak wajar atas tingkah tuannya yang memiliki gelagat mencurigakan. “Kamu cek disini saja, agar aku tidak perlu memanggilmu berulang kali!”
“Oh– iya… Maaf!” Freya kembali menunduk dengan kekehan bodohnya. Bram ikut terkekeh dengan tingkah malu-malu bawahannya itu.
Bram menarik kursi untuk Freya, tak lama dia ikut menarik salah satu kursi yang bersebelahan dengan wanita yang terlihat mematung itu. “Coba kamu periksa pengeluaran kita di tiga bulan sebelumnya. Jangan lupa dengan hutang piutangnya juga… Mereka pasti banyak bertanya seputaran masalah itu!” Bram berkata tanpa memperhatikan, dia menoleh saat terasa sepi tanpa jawaban Freya.
“Kamu kenapa?”
“Ah, tidak… Maaf!” Freya lantas duduk di kursi dan kembali berusaha fokus pada pekerjaannya.
Hal ini jelas membuat Freya gugup, selama ini dia tidak pernah berdiskusi hanya berdua dengan atasannya, selalu ada pihak ketiga diantara mereka.
Bram menunduk dengan kekehan, dia mengerti mengapa bawahannya bisa segugup itu sekarang. “Apa ada masalah, Frey?”
“Ah, enggak kok, Pak!” Freya cepat menghardik pertanyaan tuannya. Dia tidak mungkin mengaku tengah merasa gugup berbincang berduaan dengannya.
“Tadi sarapan dulu, gak?” Bram kembali bertanya basa-basi membuat Freya justru semakin gugup. “Haha! Kamu tuh ya… Udah aku bilang, kamu jangan gugup begitu!”
“Hehe…” Freya terkekeh terpaksa menunjukan sederet gigi rapinya. “Saya sudah sarapan, Pak… Sama anak-anak…”
Begitulah Freya, dia selalu menjadikan kehadiran buah hatinya sebagai senjata menghardik keberadaan pria yang mungkin memiliki niat mendekatinya. Bagi Freya, status janda sendiri mencoreng reputasi seorang wanita. Siapa yang mau jatuh cinta sama janda bahkan sudah beranak dua?
Bram mengerti dia kembali tersenyum dengan mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti dan tidak lagi membahas hal pribadi. Tak lama, auditor yang mereka tunggu datang. Selama dua jam lamanya mereka melakukan proses audit dan serangkaian proses lainnya. Selama melakukan proses audit, Freya diam-diam memperhatikan tampilan tuannya. Wanita mana yang tidak terpesona oleh pria tampan, yang humble dengan wawasan yang luas, terlebih pria itu berstatus perjaka single. ‘Wajar, jika setengah populasi wanita disini mengejarnya… Jika saja—’
Freya lantas bergumam dalam benaknya. ‘Mikir apa sih, Freya!’
Tak lama Freya menggelengkan kepalanya perlahan membuat Bram yang memang ikut memperhatikannya ikut tersenyum girang dengan kelakuan Freya yang menggemaskan.
“Karena semua sudah selesai lebih awal, bagaimana jika kami menjamu anda makan siang sekalian?”
“Wah, tidak perlu repot-repot loh, Pak!”
Bram sengaja menawari kedua editor makan siang bersama. “Jangan sungkan… Hal ini sudah sangat biasa kami lakukan!”
“Frey, kamu tolong booking resto seperti biasa ya,” titah Bram ke arah Freya yang di respon anggukan mengerti oleh yang bersangkutan.
Tanpa menunggu lama, keempatnya bersiap keluar ruangan dan menuju salah satu resto ternama disana.
“Maaf Pak, apa saya ikut?” tanya Freya konyol.
“Haha, ya iya lah!” jawab Bram gemas. Justru, makan siang ini ditujukan untuk bisa makan siang bersama Freya dalam kedok perjamuan klien kantor.
“Hehe, boleh saya ajak Seilla?” Lagi, Freya seolah tidak ingin memberikan celah untuk Bram bisa kembali hanya berduaan saja dengannya. Tentu saja hal itu akan membahayakan kedepannya.
“Ck, Frey… Kita lagi jamu klien kita loh!” Bram terlihat mengintimidasi dan jelas menolak keinginan bawahannya.
“Oh, iya… Maaf!”
“Jangan kebanyakan minta maaf Frey, belum lebaran!”
“Ppfftt!”
Keduanya lantas menutup perbincangan dengan tertawa lirih keluar ruangan. Di area parkir debar jantung Freya sudah tidak karuan. Dia berharap tidak ada orang yang memperhatikannya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang, pihak auditor menggunakan kendaraan mereka. Otomatis, Bram benar-benar bisa kembali berduaan dengan wanita yang diam-diam menaklukkan hatinya yang beku selama ini.
“Gimana kabar anak-anak, Frey?” Bram bertanya mencairkan suasana. Pria itu juga menoleh menatap si wanita.
"Alhamdulillah… baik kok Pak," sahut Freya tersenyum manis dengan kedua tangan yang saling di tautkan di atas pangkuan.
“Kamu lupa ya… Kalau bukan masalah kantor, jangan panggil Bapak!” Bram mengerucut kesal. “Aku kan gak setua itu!”
“Pppftt!”
Freya kembali menahan tawanya, dia lantas membuang wajah mengalihkan pandangan ke luar jendela. “Iya, Mas… Maaf…”
“Maaf lagi, kan?”
Keduanya lantas tertawa, Bram dan Freya memang sudah dekat selama beberapa bulan terakhir. Sudah beberapa minggu terakhir ini Bram intens berhubungan dengan Freya. Hal itu dikarenakan tidak sengaja mengantar Freya pulang di saat wanita itu belum memiliki motornya.
“Aku gak sengaja perhatiin… Motormu gak ada tuh di parkiran!”
“Hah?” Freya menoleh dengan wajah syoknya. Sungguh kurang kerjaan bosnya mengintai kendaraannya. “I-iya, hujannya awet… Aku lupa bawa jas hujan, gak mungkin anterin Aluna hujan-hujanan.”
Senyum pria di samping Freya semakin jelas mengembang dengan penjelasan barusan. “Kalau gitu, pulangnya aku antar ya…”
“Ah, gak perlu Mas, aku pake taksi online aja… Nanti merepotkan malah!” Freya berusaha menolak dengan halus. Dia sendiri mengerti kemana arah perbincangan mereka kali ini.
“Aku tidak merasa direpotkan, toh aku kan yang nawarin? Berarti aku begitu senggang!”
Freya tersenyum masam dengan ucapan ngotot atasannya.
Makan siang pun berjalan lancar, keduanya telah selesai menjamu klien mereka. Bram dan Freya sudah kembali siap menuju kantor. “Kamu mau beli sesuatu gak?”
“Enggak, Mas!”
Selama bersama, Freya memang sangat terlihat kaku. Sungguh membuat sakit kepala bagi Bram yang jelas-jelas tengah melakukan pendekatan pada ibu dua anak itu.
“Besok jalan yuk, Frey… Ajak anak-anak!”
Freya menoleh menatap tajam kearah atasannya. Ini bukan pertama kalinya Freya mendengar ajakan keluar dari bosnya. “Maaf, Mas. Aku—”
“Aku terkadang heran dengan kamu!”
Bram langsung menyela perkataan Frey yang belum selesai. Terlihat raut wajahnya berubah merah menahan amarah. “Setiap kali aku ajak kamu keluar, kamu selalu menolak!”
“Apa kamu memiliki dendam padaku?”
“Mas, aku—”
“Aku sudah katakan padamu sebelumnya!”
Keduanya terlibat obrolan serius sebelum keduanya keluar dari kawasan resto. “Apa aku kurang meyakinkan padamu, Freya Anindita?!”
Freya menggigit bibir bawahnya, kedua tangannya jelas mencengkram erat bawahan terusannya.
“Aku menyukaimu, aku mencintaimu, aku menginginkanmu!”
“Mas!”
Freya mengelak dengan nada tingginya, dia juga berani menatap tajam atasannya. “Kamu sudah tahu pasti alasanku…”
“Aku akan menerima anak-anakmu!”
“Tidak… Meskipun kamu menerima mereka. Aku yang tidak menerima keberadaan Mas.”
“Kenapa? Kamu kan sudah bercerai dengan mantan suamimu!”
“Mas!”
Keduanya tampak berselisih hebat seolah keduanya memang terlibat hubungan yang jauh dari sekedar hubungan atasan dan bawahan. “Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang kedua kalinya. Kamu tidak tahu bukan alasanku bercerai? Lagi pula… Aku jelas tidak pantas buat Mas!”
Bram mengeratkan genggaman tangan di kemudinya, dia menghela nafas berat sebelum melajukan mobil keluar dari sana. ‘Kamu sungguh keras kepala, Freya!’
Bersambung…
Hari sudah hampir senja dan jam kantor telah usai sepuluh menit yang lalu. Freya terlihat gelisah, dia sengaja menunggu suasana kantor yang sepi untuk beranjak pulang.
"Oi, tumben kamu ga buru-buru pulang?" Pertanyaan Seilla sukses membuat jantung Freya berdetak kencang oleh kejutan yang tidak diinginkannya.
“Aku kan gak bawa motor, jadi lagi nunggu taksi!”
“Owh, oke lah… Ati-ati ya…”
Beruntungnya Seilla tidak mencurigai kebohongan Freya, setelah gadis itu menutup pintu Freya menekan dadanya kuat. “Kok aku kek melakukan hubungan terlarang jadinya!”
Tanpa diketahui Freya, Bram sendiri paham yang jadi kegelisahan wanita incarannya. Pria itu menaikan sudut bibirnya saat tak sengaja menguping pembicaraan dua orang bawahannya.
“Ayo, Nona! Supir taksi anda sudah siap sedia!”
Freya lantas spontan membuka mulutnya lebar. Bram terbahak melihat respon Freya yang semakin lama semakin membuatnya terkesan tidak ada kepalsuan.
“Nguping ya?!” ketus Freya bangkit dengan wajahnya yang menahan malu.
“Hehe, sorry!”
Keduanya lantas keluar ruangan, dengan cepat Freya menuju mobil besar milik tuannya yang sudah dia hafal. Dalam perjalanan Freya selalu menundukkan kepala menyembunyikan wajahnya. Bram hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkah kekanak-kanakan bawahannya itu.
“Huh!” Freya mengusap dadanya setelah menutup pintu mobil tuannya.
“Kenapa? Dikejar setan ya Frey?” Bram lagi-lagi membuat Freya merasa ingin memukul pria itu.
“Pppfft! Kamu tuh lucu loh… Padahal—” Bram menggantung kalimatnya.
“Padahal apa?” tanya Freya cepat saat Bram menghentikan kalimatnya.
Tring!
Sebuah pesan masuk di ponsel Freya menolong kondisi Bram saat ini. Bram yang terkenal sangat berhati-hati, tentu tidak ingin menyakiti perasaan wanita pujaannya walau sekedar candaan.
[ Frey, besok aku ke rumah! ]
Freya hanya menatap lemas ponselnya setelah mengetahui siapa si pengirim pesan. ‘Adnan mau kesini? Apa dia gak cape tiap Sabtu kesini terus!’ Frey sibuk bermonolog dalam benaknya membuat Bram merasa curiga.
“Kenapa Frey? Ada masalah?”
“Ah, tidak… Ini—” Frey terlintas ide luar biasa yang mungkin bisa membuat Bram menyerah padanya. “Ayahnya anak-anak minta ketemu besok!”
“Oh…” Bram merespon ketus, hatinya merasa seolah terbakar setelah mendengar ucapan Freya yang masih terlihat sopan pada mantan suaminya.
Freya membuah wajah ke jendela, dia juga menaikkan sudut bibirnya. Sepertinya, Bram mulai terprovokasi olehnya. Freya lupa belum membalas pesan mantan suaminya.
[ Iya, kamu datang aja mereka di rumah Mama! ]
Tring!
Freya menghela nafas, dia sudah mengira. Adnan sendiri maju tak gentar mencari celah berbalas pesan dengan mantan istri yang masih sangat dicintainya.
[ Aku juga mau ketemu kamu loh! ]
Bram merasa seperti obat nyamuk bakar sekarang, hatinya semakin terasa panas oleh api cemburu yang tidak seharusnya.
[ Aku baik-baik saja, tidak perlu kamu jenguk! ]
Tring!
[ Makin kamu jahat sama aku, makin aku semangat terus kejar kamu, Sayang! Aku yakin, kamu juga masih cinta aku kan? ]
Freya semakin geram dan menyesal membalas pesan mantan suaminya. Dia lantas menaruh ponselnya ke dalam tasnya. Melihat tingkah Freya membuat Bram berpikir kemana-mana. Sampai tak terasa keduanya sudah berada di rumah sewa Freya.
“Terima kasih, Mas!” ucap Freya menoleh pada atasannya sebelum dia keluar dari sana.
“Apa kamu tidak menawariku untuk mampir?” tanya Bram berkelakar.
“Haha… Tidak!”
“Kejamnya…”
“Hahaha!”
Keduanya malah terlibat tawa yang entah kenapa keluar begitu saja. Ini juga bukan pertama kalinya Bram ingin mengunjungi rumah Freya dan mengenal anak-anaknya. Sayangnya, sekalipun Freya tidak pernah mengijinkan Bram memasuki kawasan rumah bahkan untuk sekedar mengetahui anak-anaknya.
“Aku pamit ya, Frey… Good night!”
Freya kembali menoleh sejenak dengan tatapan yang sukar diartikan. Namun, wanita itu bisa dengan jelas melihat senyuman tulus yang terpetakan jelas di wajah tampan pria yang jadi atasannya.
“Good night, Mas!”
***
Waktu berjalan cepat, hari sudah kembali pagi. Freya bergegas menuju kamar putrinya. “Aluna…”
“Iya, Buna!”
Gadis kecil Freya memang sudah dibiasakan bangun pagi. Freya duduk di samping Freya yang masih sesekali menguap. “Hari ini Baba datang—”
“Asik! Buna ikut juga kan?”
Freya menatap sendu putrinya, dia menggeleng perlahan seperti biasanya. “Aluna kan di temenin Mba Wulan sama Daffa seperti biasa…”
Aluna sempat terdiam beberapa saat sebelum dia akhirnya melengkungkan senyuman. “Baik, Buna!”
Freya memeluk putri kecilnya. Dia sungguh beruntung, anak-anaknya yang masih kecil itu bisa berbesar hati atas keegoisan sikapnya. Mungkin mereka juga belum paham apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Namun, keduanya tidak pernah mempermasalahkan atau tantum karenanya.
Semua hal sudah Freya persiapkan untuk keberangkatan putra putrinya ke rumah nenek mereka. “Wulan, titip anak-anak ya!”
“Iya, Bu…”
Wulan adalah pengasuh yang dicarikan mamanya dari kampung sebelah. Dia putus sekolah dari sekolah menengah dan memiliki beban menyekolahkan adiknya. Kedua orang tuanya hanya bekerja serabutan. Makanya dia mengalah untuk tidak melanjutkan sekolahnya melainkan membantu kedua orang tuanya mengais rezeki. Usia Wulan hanya terpaut satu tahun dibawah Freya. Namun, dalam mengerjakan urusan domestik rumah tangga bahkan mengurus anak-anak gadis itu sangat berkompeten. Dia bilang ini sudah terbiasa ia lakukan di kampung. Dia terbiasa mengasuh kedua adiknya yang masih kecil. Anak-anak juga nyaman dengan Wulan. Hal ini sungguh menambah rentetan keberuntungan Freya pasca bercerai.
Mobil yang Freya pesan telah menjauh dari rumahnya, dia melambaikan tangan menyambut keceriaan kedua buah hatinya yang beranjak pergi dari sana.
Freya kembali memasuki rumah dan berencana untuk rebahan mengistirahatkan tubuh. Begitulah kegiatan setiap akhir pekan Freya habiskan jika mantan suaminya datang mencari buah hatinya.
Tring!
Saat tengah berselancar dengan ponselnya, Freya menerima notifikasi pesan masuk.
“Mas Bram?”
[ Happy weekend, Frey! Lagi ngapain? ]
Freya bangkit dari tidurnya dan duduk dengan serius menatap ponselnya. “Balas gak ya?”
[ Sama-sama, Mas! Biasa, istirahat aja seharian… Mas, sendiri? ]
Tring!
[ Katanya mantan suami kamu datang? ]
Mendadak mood Freya ambyar setelah membaca balasan kilat atasannya.
[ Memangnya kenapa, Mas? Dia kan datang buat anak-anak, bukan buat aku? ]
Di seberang sana, di kediaman Bram yang sebenarnya tidak begitu jauh dengan posisi rumah sewa Freya. Pria itu tengah tersenyum lebar. Jawaban dari pesan singkat Freya membuat kecemasannya menguar begitu saja.
[ Sorry, aku banyak tanya. Mau keluar sama aku? ]
Tring!
[ Gak lah… Emang Mas mau keluar kemana? Jalan-jalan ya? ]
Bram semakin senyum-senyum tidak karuan. Dia terlihat seperti remaja jompo saat ini.
[ Kalau sama kamu sih hayu aja… Aku mau ke rumah ortu di Lembang, mau ikut? ]
Tring!
[ Gak lah, kenapa aku harus ikut coba? ]
Bram semakin sumringah, dia senang bukan kepalang.
[ Ya, buat kenalin calon istri sama mereka. ]
Di tempat Freya, wanita itu sudah membaca pesan singkat atasannya dengan mata yang seolah akan keluar dari sarangnya. “Apa-apaan dia ini!”
Freya melempar ponselnya, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia mengubur wajahnya dalam bantal, rasanya, sungguh tidak bisa dipercaya!
Bersambung…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!