NovelToon NovelToon

Yang Terakhir

1. Mimpi

"Saya terima nikahnya...", ucapnya tegas dan lancar.

Sah.

Sah.

Arga membuka matanya. Ingatannya melayang pada mimpi yang baru saja dialaminya. Dia menghela napas lalu membuangnya perlahan. Matanya mengerjap. Dia mengubah posisi berbaringnya, dari miring kekanan menjadi telentang. Ditatapnya eternit kamarnya. Kepalanya pusing memikirkan tiba-tiba bermimpi menikah.

"Menikah?", gumamnya.

"Ada-ada aja.", lanjutnya lalu terkekeh.

Dia merasa lucu. Dengan status duda yang sudah disandangnya selama hampir 5 tahun ini tidak pernah sekalipun terlintas dibenaknya untuk menikah lagi. Setidaknya hingga saat ini. Kenapa tiba tiba bermimpi menikah.?

Kepalanya bertambah pusing dirasanya, kerongkongannya jg terasa kering membuatnya bangkit dari rebahannya. Diraihnya gelas kaca diatas nakas disamping tempat tidur, meneguk isinya hingga tandas, lalu duduk bersandar pada sandaran tempat tidur. Seperti baru tersadar dari lamunannya dia merasakan keringat membasahi piyamanya. Dia melirik ac yang menempel di dinding diatas pintu lebarnya. Pintu yang mengarah ke balkon kamarnya. Mati. Iya. Dini hari tadi pendingin ruangan itu dimatikan karena dia merasa cukup kedinginan. Hingga tanpa sadar dia tertidur dan bermimpi aneh menurutnya. Merasa risih, dia bangkit dr tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi yang juga terletak dalam kamar besar itu.

Arga sudah rapi dengan setelan kemeja hijau mint yang lengannya digulung hingga kesiku kemudian dimasukkan kecelana bahan hitam dan dilengkapi ikat pinggang warna senada. Sepatu pantofel hitam mengkilat melengkapi penampilannya yang menawan. Tubuh tinggi atletis, hidung mancung, rambut hitam dan mata tajam. Tampan. Tanpa dasi maupun jas. 2 atribut itu hanya akan dipakai ketika ada rapat direksi atau acara-acara formal. Dia berjalan menuruni tangga perlahan. Jam tangan mahal melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tangan kanannya menenteng tas laptop. Siap berangkat ke kantornya.

Aroma telur mata sapi menguar menusuk rongga hidung, menggugah selera makan pagi ini.

"Pagi Mas Arga, sarapan sudah siap sesuai rekues." sapa Bi Sumi seraya melemparkan senyum yang terkesan puas karena sudah menyiapkan urusan perut majikannya. Asisten rumah tangga berusia 50 tahunan yang sudah mengabdi lama pada keluarga Arga. Dulu, Bi Sumi merupakan asisten rumah tangga orangtua Arga, tapi semenjak Arga menikah, Bi Sumi diajak Arga ikut dengannya tinggal di rumah barunya bersama sang istri. Hingga saat ini. Walaupun Arga sudah berpisah dengan sang istri dan berpindah rumah pun Bi Sumi tetap setia mengikuti. Bi Sumi sangat mengenal majikannya itu. Bi Sumilah yg mengasuh dan menemani Arga sewaktu masih kecil ketika orangtuanya sibuk bekerja.

"Terimakasih Bi." ucap Arga seraya menarik kursi dan duduk dengan tenang siap menikmati sarapannya.

"Bi Sumi sudah makan?" tanya Arga disela aktifitas mengunyahnya.

"Mas Arga duluan saja, Bibi belum lapar.", jawab Bi Sumi sambil meletakkan gelas berisi air mineral disisi kanan Arga.

Arga menyudahi sarapannya setelah meneguk air mineral hingga tandas. Piringnya bersih tak bersisa sebutir nasipun. Arga memang selalu menyukai nasi goreng buatan Bi Sumi.

Dia bangkit dari duduknya setelah menyeka mulutnya dengan tisu.

"Bi, aku berangkat. Hati hati di rumah." pamit Arga sedikit berteriak karena Bi Sumi sedang berada di dapur bagian belakang.

Bi Sumi yang mendengar suara Arga berpamitan pun bergegas keluar.

"Iya Mas, hati hati dijalan." balas Bi Sumi sambil melambaikan tangan.

Arga mengendarai sendiri mobil keluaran pabrikan Jepang miliknya. Dia memiliki asisten pribadi yang merangkap sopir tapi itu hanya berlaku untuk urusan pekerjaan. Dia lebih nyaman seperti itu.

Jalanan cukup lancar pagi itu, hingga Arga tiba di kantornya lebih cepat. Di lobi kantor Arga bertemu Reza, sang asisten. Laki laki tampan, bertubuh tinggi tegap, berkulit sawo matang, berusia 32 tahun dan masih betah melajang itu mengangguk hormat menyambut pimpinannya, seperti biasa tanpa senyum. Kemudian berjalan beriringan dengan Arga menuju lift. Melewati resepsionis yg selalu memajang senyum termanis apapun kondisi pribadinya, dan beberapa karyawati yang selalu mencuri curi pandang kearah duo manusia tampan itu karena jelas saja mereka takkan berani terang-terangan. Iya. Arga dan sang asisten selalu menjadi pemandangan indah bagi para karyawati di kantornya.

Lift berhenti dilantai 4. Lantai teratas kantor Arga. Gedung kantornya memang tidaklah tinggi dan besar. Tapi perusahaan yang bergerak di bidang furnitur itu sudah memiliki cakupan yang luas hingga ke mamca negara. Terutama Eropa. Para espatriat benua berkulit putih itu menyukai detil produk perusahaan Arga yang lebih memilih kayu jati sebagai bahan utamanya.

Senyum semanis gula Dian, sang sekretaris cantik dan seksi yang berusia 29 tahun selalu menyambut kedatangan duo tampan itu dengan setia. Dian sudah bekerja dikantor Arga sejak Arga menjadi pimpinan disana menggantikan mendiang ayahnya. Kalau dihitung hitung sejak 5 tahun yang lalu. Begitu dia lulus studinya, dia memutuskan melamar diperusahaan itu dan akhirnya diterima sebagai sekretaris. Hingga membuatnya sedikit banyak mengenal pimpinannya itu.

Dian lalu mengikuti mereka masuk ke ruangan sang pemimpin dan membacakan rentetan agenda sang pemimpin dengan detil.

"Makan siang?", tanya Arga memotong perkataan Dian yang tengah membacakan salah satu agendanya hari itu.

"Iya Pak, dengan Ibu Revi." jelas Dian.

Arga mengerutkan alisnya. Dia lupa.

"Bapak sendiri yang menyanggupi janji makan siang ini pada Ibu negara." lanjut Dian mengingatkan.

Arga menghela napas dan membuangnya dengan kasar. Di sisi lain Reza hanya diam memperhatikan ekspresi pimpinannya itu. Dia tahu bahwa Arga sebenarnya tidak menginginkan makan siang itu. Makan siang yang sudah diatur oleh ibu pimpinannya sendiri. Yang mereka sebut ibu negara.

Bukan hanya kali ini saja. Sudah banyak janji-janji makan siang, makan malam, dan makan-makan yang lainnya, yang sudah diatur -atur untuk Arga. Meski sudah menolak tapi sang Ibu seperti tidak lelah. Sang Ibu hanya ingin putranya itu memiliki pendamping lagi. Hingga jika merasa bertemu dengan wanita baik maka sang Ibu akan dengan senang hati mengenalkannya pada putranya. Lelah menolak, Arga pun pasrah.

"Saya hanya perlu datang kan?" tanya Arga.

Dian mengangguk.

"Seperti biasa Pak, anda hanya perlu hadir dan berbasa basi, selanjutnya terserah anda." jawab Dian.

Iya, Dian pernah menyarankan sang pemimpin untuk tidak perlu menghindar. Cukup datang dan duduk tenang. Berkenalan sewajarnya. Selanjutnya ya terserah. Begitu. Pernah suatu ketika Arga yang merasa tertekan meminta sarannya.

Arga memang sudah berusia sangat matang. Tapi diusianya yg menginjak 36 tahun itu, dia seperti mati kutu jika dihadapkan dengan situasi perjodohan. Dian yang sudah menikah dan menjalani hubungan jarak jauh dengan sang suami dianggap lebih kompeten dalam hal asmara dan perasaan. Sarannya lebih masuk akal daripada sang jomblo, Reza.

Reza dan Dian adalah 2 karyawan yang paling dekat dengan Arga. Selalu dimintai saran untuk masalah yang bersifat pribadi tapi juga sekaligus dijadikan pelampiasan emosi sesaat sang pimpinan bila sedang kesal. Trio itu sudah sepaket meski masih ada batasan yang tidak bisa diabaikan. Pimpinan dan karyawan. Rasa segan Reza dan Dian terhadap Arga tidak bisa hilang begitu saja. 2 orang ini tetap menghormti Arga sebagai pemimpin perusahaan meskipun dalam situasi non formal sekalipun.

Arga berkutat dengan berkas laporan dari para manajernya dan beberapa proposal kerjasama. Wajahnya tampak serius menatap barisan huruf dan angka yang terangkai diatas kertas putih. Rambutnya sudah mulai berantakan tapi tetap tampan.

Tok tok tok.

Sekretaris Arga yang cantik dan seksi masuk setelah mengetuk pintu ruangannya.

"Sudah saatnya makan siang Pak, anda memiliki janji dengan ibu Revi." ucap Dian mengingatkan.

"Hum", Arga hanya bergumam.

Arga menutup berkas yg tengah dibacanya lalu merapikannya bersama berkas2 yang lainnya. Dia mengangkat kepalanya melihat Dian.

"Apa kau sudah makan siang?" tanya Arga.

"Setelah ini Pak." jawab Dian.

"Kau mau menemani saya?" tanya Arga lagi.

Dian spontan menggelengkan kepalanya dengan kencang sambil mengibaskan tangannya.

"Ah, tidak Pak terimakasih." ucapnya menolak.

Dian tidak mau kena getahnya lagi karena akal-akalan bosnya itu. Pernah sekali Arga meminta Dian berpura-pura menjadi kekasihnya. Alhasil, wanita yang akan dikenalkan pada Arga mengadu pada ibu negara karena merasa kecewa. Dapat dibayangkan akhirnya, Dian diomeli dan diintimidasi oleh ibu negara. Membuat suasana kerja sempat memanas beberapa saat. Dian tidak ingin itu terulang lagi. Sungguh tidak nyaman.

Disebuah kafe resto, seorang wanita cantik berkulit putih terawat, rambut curly coklat, dia memakai lensa kontak berwarna senada dengan rambutnya, berusia sekitar 27 tahunan, duduk manis ditemani segelas tinggi jus sirsak. Menunggu.

Arga masih duduk manis didalam mobil keluaran pabrikan Jepangnya. Enggan keluar untuk bertemu wanita bernama Revi. Dia mengedarkan pandangan menyapu suasana sekitar kafe resto yang cukup ramai karena bertepatan dengan jam makan siang. Tapi dia tidak melihat wanita yg memiliki janji dengannya disana.

"Mungkin di dalam." pikirnya.

Akhirnya dengan malas Arga berjalan memasuki kafe resto itu. Mengedarkan pandangan mencari sosok wanita yang mirip dengan foto yang dikirimkan ibu negara beberapa hari yang lalu.

Dia melihat seorang wanita melambaikan tangan kearahnya. Dia Revi. Arga menghampirinya. Senyum wanita itu merekah bak bunga matahari. Terlalu lebar. Arga sudah duduk tenang didepannya.

"Saya terlambat rupanya." ucap Arga datar sambil melihat jam tangannya.

"Ah, nggak kok, aku yang terlalu cepat sampai." terang Revi.

Senyum Revi tidak memudar. Bahkan makin mempesona. Tapi tidak bagi Arga. Dia sudah sering melihat dan bertemu dengan wanita cantik. Bahkan Dian sang sekretarisnya pun cantik dan seksi tapi tidak membuat mata Arga memandangnya berbeda.

2. Menghangat

Tring. Tring.

Dering ponsel diatas nakas seperti kian menggema didalam kamar berukuran 4x4 meter itu. Hania mengerjapkan matanya berusaha meraih kesadarannya dari tidur lelap yang baru dikecapnya. Dia meraih benda tipis diatas nakas yang bunyinya membuatnya harus menarik diri dari alam mimpinya.

"Halo." sapanya sambil melirik jam yang menggantung di dinding kamarnya.

Berusaha menyesuaikan penglihatan dalam kamarnya yang hanya diterangi cahaya dari luar jendela. Jam 4 dinihari. Dilihatnya layar ponselnya.

"Lisa!? Ini baru jam 4 pagi lo. Ada apa!?" tanyanya agak kesal setelah tahu siapa yang menelponnya pagi buta begitu.

Iya. Hania kesal karena semalam, jam 11 dia baru pulang dari restoran yang dikelolanya. Dan baru bisa terlelap setelah lewat jam 2 dinihari. Entahlah. Terakhir matanya melirik, jam menunjukkan angka 2 tepat. Setelah itu dia tidak ingat lagi.

"Bu Hania, maaf tapi baru saja adiknya Mas Ferry ngabarin kalau Mas Ferry nya sakit dan masuk RS semalem." terang gadis yang disapa Lisa diujung ponsel.

"Sedangkan pagi ini jadwal Mas Ferry Bu." lanjutnya.

"Mba Olin shift sore, pagi ini ngga bisa gantiin karena harus jemput mertuanya ke stasiun, begitu Bu." tambahnya menjelaskan situasinya.

"Maaf." ucapnya begitu dia ingat kalau mengganggu istirahat Hania.

Hania mendengarkan saja Lina yang terus berbicara sambil mengurut pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing. Terbangun karena kaget dan juga kurang tidur. Dia mendesah pelan.

"Ya sudah, pagi ini biar saya aja yang gantiin." putus Hania setelah mengetahui situasinya.

Lisa benar-benar membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Kenapa harus menelponnya sepagi ini?

Tapi dia bersyukur, memiliki Lisa sebagai stafnya di restoran. Lisa selalu bisa diandalkan walau kadang membuatnya kelelahan. Gadis berusia 25 tahun, berkulit sawo matang, berawajah manis ditambah lesung pipinya yang dalam menambah wajahnya semanis gula itu, selalu aktif dan ramah pada siapapun tidak peduli kondisi pribadinya. Senyum manisnya selalu merekah bak bunga matahari. Cerah.

Tugas Lisa sebagai admin restoran sangat membantu Hania mengurus 3 cabang yang dikelolanya. Lina adalah gadis cerdas lulusan manajemen keuangan tapi karena sering nempel pada Hania lama-lama dia menguasai ilmu marketing juga.

Hania memutuskan sambungan telponnya setelah memberi keputusan. Dia berbaring kembali mencoba terlelap.

Tok tok tok.

Suara ketukan dipintu kamar Hania terdengar pelan. Seorang gadis kecil berusia 6 tahun masuk perlahan mendekati ranjang. Matanya yang bundar dengan bulu mata lentiknya mengedip. Rambut curlynya terurai menggantung sebatas pundak. Kulitnya putih bersih. Gadis kecil itu akan terlihat seperti boneka jika dia diam saja.

Tangannya perlahan terulur menarik selimut yang menutupi tubuh Hania sebatas perut. Merasakan ada sentuhan, mata Hania mengerjap. Lalu menoleh kearah kanannya. Tiara. Putri kecilnya sedang menatapnya.

"Mama kok belum bangun?" tanya gadis kecil itu yang kini sudah duduk menghadap Hania.

Hania tersenyum lalu duduk bersandar pada kepala ranjang. Tangannya merentang meminta putri kecilnya memeluknya.

"Iya, maaf ya sayang. Mama kesiangan ya?" tanya Hania begitu putri kecilnya memeluknya.

Tiara menggeleng. Biasanya mamanya yang selalu bangun terlebih dahulu sebelum dirinya. Tapi pagi ini, ketika dia membuka mata, dia merasakan sepi. Tidak terdengar suara mamanya yang selalu membangunkannya sambil menggelitiki dan mengusap kepalanya. Dia bangun sendiri.

"Eh, jam berapa ini ya?" tanya Hania lebih kepada dirinya sendiri, tapi Tiara pun dapat mendengarnya.

"Jam 6 Ma." jawab Tiara yang langsung menoleh ke arah jam dinding.

Keduanya segera beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu.

"Ayo siap-siap biar ngga telat sekolahnya", ajak Hania pada putrinya.

Pagi ini, meski lelah Hania harus tampak ceria. Kemeja merah maroon berlengan tanggung dan celana bahan skinny hitam membalut tubuh langsingnya yang tinggi semampai membuatnya terlihat lebih muda dari usianya yang sudah menginjak 33 tahun itu.

Hania menyiapkan sarapan untuknya dan putri kecilnya. Dia menoleh ketika Tiara berjalan mendekatinya lalu duduk tenang menunggu nasi goreng sosisnya disajikan. Hania melakukan aktifitas pagi itu dengan cepat. Dan harus bergegas mengantar putrinya terlebih dahulu sebelum ke restorannya.

Sebagai pengelola sekaligus chef di restoran yang dikelolanya, dia memiliki tanggung jawab yang besar. Restoran itu bukan miliknya sepenuhnya. Dia hanya penanggung jawab dan memiliki sedikit saham disana. Sang penanam saham adalah sahabat yang sudah menganggapnya sebagai adik.

Berkat kerja kerasnya, bakatnya memasak, dan pengetahuannya tentang marketing, Hania berhasil mengembangkan usaha restoran itu hingga bisa membuka 2 cabang lainnya dibawah bendera yang sama dengan restoran yang dikelolanya. Rasa Sayang.

Kemampuannya meramu bumbu dan bahan makanan menjadi makanan lezat sudah tidak diragukan lagi. Bakat itu sudah menurun dari mendiang ibunya. Membuat restoran itu terkenal dengan berbagai hidangan nusantara yang lezat.

"Ferry sakit apa?" tanyanya pada Lisa yang sudah lebih dulu tiba direstoran.

"Belum tau Bu, adiknya mas Ferry ngga bilang." lapor Lisa yang dibalas anggukan oleh Hania.

Berkecimpung didapur meracik menu andalan restoran benar-benar menguras energi. Pengunjung mulai berdatangan dan kesibukan berlanjut hingga sore menjelang. Seperti itu setiap hari.

"Bu, ada Pak Galih." lapor Anja, salah satu waitres yang bertugas siang itu.

Hania mengangguk. Melanjutkan memberi instruksi pada asisten koki. Lalu meninggalkan area dapur. Hari sudah beranjak sore membuat aktifitas dapur tidak sepadat siang hari.

Seorang lelaki tampan, seusia Hania, berkulit sawo matang, berhidung mancung, bertubuh tinggi atletis, dan masih melajang itu tersenyum manis menyambut Hania.

Baru akan mendudukkan dirinya dikursi, perhatian Hania tersita pada seorang pria tak kalah tampan memasuki restoran. Hania tak berkedip, matanya memanas dan mulai mengembun. Tatapannya tidak teralih. Menatap dengan tajam. Ada rasa sakit menelusup ke dalam hatinya. Dia Ryan. Kepalanya berdenyut. Kenapa dia muncul disini?

Ryan. Dia mantan suami Hania. Lelaki berusia 35 tahun yang lebih memilih mantan kekasihnya itu. Hania memutuskan untuk menerima perpisahan itu karena ternyata diam-diam Ryan masih mencintai mantan kekasihnya dulu dan menjalin hubungan kembali. Sebenarnya, Ryan pernah mencintai Hania hingga lelaki tegap berkulit putih itu bertemu kembali dengan mantannya yang sedang dalam proses perceraian. Sejak itu, rasa cinta pada Hania mulai pupus. Bahkan putri kecil mereka tidak dapat menjadikan alasan untuk mereka tetap bersama.

"Maaf." ucap Ryan lirih kala itu.

"Aku sudah mencoba melupakannya dan tetap berada disisimu, tapi sepertinya aku hanya membohongi diriku." ucap Ryan.

"Aku mencintaimu dan putri kita, tapi aku lebih mencintainya." lanjutnya hati-hati karena tidak ingin menyakiti istri yang pernah dipujanya itu.

Meski Ryan mengungkap kejujurannya dengan hati-hati, tetap saja Hania terluka sangat dalam. Bahkan dia merasakan melayang, kakinya seperti tidak berpijak pada bumi, lemah seperti jeli. Kepalanya pusing. Tapi Hania berusaha tegar. Tanpa kata, Hania berjalan keluar kamar mereka menuju kamar putri mereka. Malam itu, Hania tidak ingin melihat suaminya itu lagi.

5 tahun telah berlalu tapi rasa sakit itu masih terasa nyata. Apalagi lelaki yang menorehkan luka itu berdiri tepat dihadapannya. Yang kini juga tengah menatapnya.

Ryan terkejut melihat mantan istrinya berada ditempat yang sama dengannya dan kini tengah menatapnya dengan tatapan penuh luka. Sama seperti tatapan 5 tahun yang lalu. Dengan cepat Ryan menetralkan keterkejutannya dan berusaha tersenyum pada sang mantan istri. Dia tidak tahu restoran itu milik sang mantan istri.

Galih yang menyadari perubahan ekspresi Hania ikut melihat kearah pandangan Hania. Dia juga terkejut melihat Ryan berdiri disana sambil menatap Hania. Galih merasa ikut sakit melihat Hania yang kembali terluka seperti itu. Bagaimanapun, sebagai seorang sahabat, Galih adalah tempat Hania menumpahkan rasa sakit nya. Galih tahu betul bagaimana hancurnya Hania kala itu.

Tanpa menunggu air mata Hania tumpah sia-sia, Galih mengajak Hania meninggalkan restoran. Berjalan melewati Ryan yang berdiri di pintu masuk restoran, Galih memberi tatapan tak sukanya. Ryan hanya tersenyum masam.

Didalam sebuah mobil SUV berwarna hitam milik Galih, Hania menumpahkan kembali airmata tanda lukanya. Disampingnya Galih duduk tenang sambil mengemudikan mobilnya. Diliriknya jam digital yang menempel pada dashboard mobilnya. Pukul 15.30. Setengah jam lagi Tiara, putri sahabatnya itu akan pulang sekolah. Dia memutar kemudi menuju sekolah Tiara. Sedangkan Hania masih sibuk dengan airmatanya.

"Kita sudah didepan sekolah Tiara Han." ucap Galih lembut setelah mereka tiba disekolah Tiara.

"Jangan sampai Tiara liat kamu nangis gini, dia pasti bakal ikut sedih." lanjut Galih mengingatkan.

Galih sangat menyayangi putri sahabatnya itu. Selama ini, dialah sosok pengganti seorang ayah untuk Tiara. Dialah yang menjadi pelindung Tiara dan sandaran Hania dan putrinya.

Hania menghapus jejak airmata dipipi mulusnya lalu menyapukan bedak dan blush on di wajahnya untuk menutupi wajah sembabnya. Sambil masih nenahan isaknya.

"Aku aja yang keluar." putus Galih.

Dia tidak tega melihat sahabatnya seperti itu. Hania hanya diam melihat Galih berjalan menuju pintu gerbang sekolah Tiara. Tak lama, terlihat Tiara berlari kedalam pelukan Galih dengan wajah yang memancarkan kebahagiaan. Mungkin rindu karena beberapa minggu yang lalu Galih keluar kota dan sepertinya baru kembali. Melihat pemandangan itu, hati Hania menghangat. Sahabatnya itu selalu membuatnya nyaman dan hangat. Hania mengulum senyum. Kini dia merasa menghangat. Sedihnya lenyap melihat Tiara yang tertawa riang.

3. Pesta Pernikahan

Di sebuah kafe di dalam mall ternama di kota Jakarta, Hania duduk sendiri ditemani secangkir cappucino kesukaanya, sedang menunggu sahabat yang sudah seperti kakaknya sendiri, Mba Niken.

"Hania....!" seru Niken menyapa Hania lalu memeluknya dari samping.

"Kangen tau." lanjutnya riang.

Hania membalas pelukan hangat itu sambil tertawa lebar.

"Sama Mba, aku juga kangen." ucapnya.

Matanya sudah berkaca kaca. Dirinya terharu. Senang. Sudah hampir 3 bulan Niken menemani suaminya di luar negeri.

Sekembalinya Mba Niken dari Jepang karena menemani suaminya berbisnis, dia segera menghubungi Hania. Baginya Hania adalah keluarganya mengingat dia yang anak tunggal yang ingin memiliki saudara. Tapi dari sekian teman yang dekat dengannya sepertinya hanya ingin memanfaatkannya saja.

Wanita cantik berusia 41 tahun itu bertemu Hania untuk pertama kalinya di restoran milik Hania sendiri. Restoran yang tidak begitu besar tapi suasananya nyaman dan bikin betah. Apalagi sajian yang dihidangkan selalu cocok dilidah Niken dan sang suami. Dirinya sering menggunakan jasa katering dari restoran Hania untuk menjamu tamu-tamu undangannya, pun ketika dirinya memiliki hajat.

Kedekatan mereka terjalin sejak 6 tahun yang lalu. Kala itu, Niken yang sedang sakit, sendirian di rumah besarnya. Suaminya sedang keluar kota, kedua anaknya belum pulang sekolah. Hania yang datang sendiri mengantarkan makanan pesanan Niken mendapati Niken pingsan tak berdaya, membawa Niken ke RS untuk mendapat pertolongan. Untung saja, nyawa Niken tertolong.

Maksud hati ingin membalas budi dengan memberi sejumlah uang yang bernilai 1 unit rumah kelas menengah, dirinya malah dibuat tercengang. Hania menolak dengan tegas. Baginya menolong nyawa seseorang tidak bisa dibandingkan dengan harta apapun. Apalagi orang yang ditolong itu selamat dan dapat hidup dengan baik. Pemberian itu akan melukai harga dirinya.

Ya. Sejak itulah, Niken akan melakukan apapun untuk membalas budi. Karena dia merasa Hania tulus padanya.

"Laras beneran mau nikah ini?" tanya Niken setengah kurang percaya.

"Di undangan tulisannya begitu Mba." jawab Hania sekenanya.

Laras merupakan salah satu anggota kelompok sosialita Hania. Hania tergabung disana karena paksaan Niken dan ternyata anggota yang lain juga menyukainya.

Niken masih memegang undangan itu, mungkin takjub dengan keputusan Laras. Hania pun masih dalam mode itu. Bukan apa. Laras adalah anggota termuda di kelompok mereka. Drama percintaanya sudah seperti cerita didalam sinetron. Berepisode-episode. Siapa sangka seorang lelaki manis berlesung pipi bernama Dio itu mampu membawanya ke pelaminan. Hubungan itupun penuh dengan drama-drama yang membuat Hania geleng-geleng kepala.

"Selamat ya sayang, semoga samawa, langgeng hingga maut memisahkan, cepet dikasih momongan." ucap Hania begitu berhadapan dengan sang pengantin lalu memeluknya.

"Sama-sama Mba Hania sayang, makasih nasehat dan supportnya selama ini, jangan kapok ya." balas Laras sembari terkekeh.

Hania juga memberi ucapan selamat pada suami Laras. Lalu berjalan menuruni panggung sepanjang 10 meter yang dihiasi ratusan kuntum bunga segar itu.

Pandangannya menyapu seisi ballroom hotel yang dijadikan tempat dihelatnya acara sang sahabat. Pandangannya tidak menemukan sosok wanita cantik yang datang bersamanya tadi. Niken. Kepalanya mendadak pusing. Tempat itu terlalu penuh. Bahkan dirinya tidak menemukan sahabatnya yang lainnya. Dimana mereka? Perasaan, tadi juga cuma sebentar dirinya diatas pelaminan.

Merasa seperti orang hilang, Hania melangkahkan kakinya keluar ruangan yang luasnya mirip lapangan sepak bola itu. Didudukannya tubuhnya di sebuah kursi taman yang menghadap taman bunga. Melepas high heel nya dan meluruskan kakinya. Tubuh semampainya disandarkan pada sandaran kursi. Dirinya benar-benar lelah.

Seharian berkutat direstoran. Tidak hanya urusan hidangan tapi juga urusan administrasi yang membutuhkan sentuhannya. Energinya terforsir siang tadi. Ingin rasanya merebahkan tubuhnya ke ranjang empuknya dan terlelap untuk waktu yang lama.

"Ah, Hania, disini ternyata!" tegur Niken.

Lamunannya dikejutkan oleh sapaan yang menyebut namanya.

"Ayo buruan, aku kenalin sama istri walikota baru." ajak Niken sambil menarik tangan Hania.

Buru-buru dikenakan kembali sepatu high heelnya lalu melangkah mengikuti Niken masuk ke dalam ballroom yang membuatnya tidak nyaman. Ditangga masuk, pandangan Hania bersiborok dengan seorang pria tampan, bertubuh tinggi atletis, berkulit putih. Tatapan matanya tajam. Pun menatap Hania.

"Tampan." pujinya dalam hati.

Hania melemparkan senyum semanis madunya pada pria tampan itu namun segera memalingkan wajahnya ketika menyadari pikirannya. Dia menggelengkan kepalanya sambil mengulum senyum.

"Aku mikir apa sih?" tanyanya bermonolog dalam hati.

******

Thanks for reading

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!