NovelToon NovelToon

My Crazy Husband

Setengah Mateng

"Mana cowokmu itu?" teriak Papa yang membuat aku mendengkus kesal. Pasalnya tuh cowok semprul dua hari ini gak aktif nomor teleponnya. "Papa kasih waktu sampai besok, kalau tuh cowok gak mau melamarmu juga, kamu harus siap-siap menerima lamaran Agus!" ancam Papa tanpa memedulikan perasaanku.

Sialan tuh Agus!

Main lamar-lamar aja. Gara-gara dia nih, aku harus buru-buru nikah. Sebenarnya ada yang lebih sialan lagi, ya siapa lagi kalau bukan cowok yang aku pacari selama sembilan bulan ini. Sembilan bulan tepat hari ini gak lebih sepuluh hari. Emang mau lahiran?

Seno, Seno Aditya nama panjangnya. Ah, gak panjang sih menurutku. Panjangan juga namaku Vanila Ayu Khansa Khalista Putri Indrajaya. Kalau tau nama panjangnya kayak kereta gini, rasanya aku pengen ganti nama aja. Malu, kesel, guru pun pegel, gak ngerti sama jalan pikiran Papa sama Mama dulu, tujuannya kasih nama sepanjang itu apa? Bahkan aku suruh jelasin artinya aja mereka gak tau? Gimana gak konyol coba?

Udah, gak usah bahas nama. Udah terlanjur juga kan? Mending kita bahas si Seno aja. Tiga hari yang lalu tuh cowok bilangnya iya, mau ngelamar aku. Ya, walaupun dari raut mukanya agak keberatan gimana gitu, tapi dia bilangnya mau. Yang pastinya setelah aku ancam kalau Papa bakal terima lamaran cowok lain. Cuma entah kenapa dua hari ini nomornya gak aktif. Aku cari ke tempat kosnya, kata pemilik kos itu, Seno ditugasin ke luar kota direstoran tempat dia bekerja. Makanya dia pindah dari sana. Gak mau ngasih tau aku, gak mau pamit juga, maksudnya apa tuh cowok sialan?

Sekalian aja bilang jujur, kalau gak mau nikahin aku. Pakai alasan ditugasin ke luar kota segala. Kayak gini, sebagai perempuan aku merasa dipermainkan banget. Pengen njites tuh cowok rese kalau ketemu.

"Udah lah, Nil! Kamu terima aja lamaran Agus. Mama malu sama tetangga, masak si Mawar aja udah punya anak dua. Kamu belum," ucap Mama yang buat aku tambah pengen kabur dari rumah.

Cuma kalau kabur sekarang, uang tabunganku gak bakal cukup buat sewa kos, makan, sama keperluan lainnya. Jadi, rencana cemerlang itu mending aku tunda dulu sampai cukup. Maklum lah, aku udah setahun gak kerja. Cuma bantuin Papa sama Mama ngelola mini market milik mereka.

"Nila itu baru umur dua puluh empat tahun ya, Ma! Umur segini tuh masih suka petualang!" jawabku dengan bibir mengerucut tajam. Alisku nih berpautan, dahi apalagi kerutannya dalam. Cuma tenang aja aku udah pakai skincare mahal.

"Yang suka petualang itu Bolang. Bandingin umurnya Bolang sama umurmu berapa?" tanya Mama dengan mengangkat dagunya. Tuh tangan udah berkacak pinggang kayak gak pengen kalah adu mulut sama aku.

"Bandingin juga umurnya Mas Agus sama Nila, Ma! Dia itu udah tiga puluh tahun. Aku tuh gak selera sama yang tua-tua. Sukaku yang sepantaran," tegasku dengan tangan bersedekap dan memalingkan muka.

"Eh ... justru umur segitu itu udah mateng!"

"Aku gak suka yang mateng, sukanya yang setengah mateng!" Kini aku berdiri dari sofa memicingkan mata menatap mereka. Dadaku kembang kempis menahan gejolak amarah di dada.

"Ya udah, mana cowokmu yang setengah mateng itu! Suruh cepat temui Papa!"

Lah ... kok malah cowokku dibilang setengah mateng?

-

-

-

-

-

Catatan :

Tokoh di cerita ini jauh dari kata sempurna. Apalagi protagonisnya, bukan wanita polos, baik, rajin, suka menolong dan lainnya.

Jika kuat baca, gak kuat skip aja ini cerita!

Terjungkal Ke Lesung Pipimu

Aku berjalan mendengkus kesal keluar rumah. Menaiki motor matic kesayangku yang pastinya beli sendiri dulu, waktu aku masih kerja di salah satu bank swasta. Cuma ini kenangan satu-satunya setelah aku gak kerja, penyebab gak betah ya karena gak pernah target tiap bulannya.

"Eh, Nila! Mau ke mana?" teriak tetanggaku yang bernama Melati dengan hebohnya. Aku berhenti sejenak di depannya. Sebenarnya, aku juga gak tau mau ke mana. Pokoknya pengen kabur tapi balik lagi aja.

"Em ... mau ke mini market, Mbak!" jawabku asal.

"Nah, kebetulan! Anterin aku sampai depan komplek dong! Gak ada kendaraan di rumah."

Waduh, kenapa jadi tukang ojek gini?

Mbak Melati langsung naik aja tuh ke jok belakang motorku tanpa aba-aba. Sumpah, tuh badan segedhe dugong bikin ilang keseimbanganku. Untung kakiku sanggup menahan beban hidup yang aku jalani sekarang.

"Bilang-bilang dong kalau mau naik!" gerutuku. Ini tetangga satu emang ngeselin. Gak tau kenapa, semua orang di dekatku pada ngeselin.

Aku langsung tancap gas tanpa bertanya Mbak Melati udah pegangan apa belum?

Yang pasti dia kaget ingin terjungkal ke belakang dan ujung-ujungnya badannya mental ke punggungku juga. Sial, aku lagi yang kena.

Dia ngomel-ngomel gak jelas gitu. Bodo amat lah, aku tambah lagi kecepatan motor ini lalu aku rem mendadak yang buat rambut kami gak kayak duta sampo.

"Pelan-pelan dong, Nil!" Mbak Melati menepuk keras bahuku lalu membenahi rambutnya yang seperti benang kusut. Aku merengut kesal, udah ditumpangi masih ngomel-ngomel.

Tanpa terima kasih, Mbak Melati pergi gitu aja ninggalin aku. Dasar, tetangga gak tau diuntung!

Aku kembali meneruskan perjalananku ke mini market Papa. Ya, berhubung gak ada tujuan juga mau ke mana akhirnya aku tancap gas ke sana.

Tin tin

Aku menoleh ke arah spion motorku. Sebuah mobil BMW berwarna hitam yang aku sendiri juga lupa tipe apa, terus aja membuatku tambah kesal. Maksudnya tuh mobil klakson-klakson aku kenapa, sih? Aku kan udah minggir banget.

Nah, akhirnya aku berhenti, tapi tuh mobil juga ikut berhenti dengan menghadangku. Aku tambah kesel dong!

Maunya apa coba?

Atau jangan-jangan mau culik aku? Mataku melebar seketika memikirkannya.

Tiba-tiba pemilik mobil itu keluar, dengan setelan jas dan kaca mata hitam, aku terpana melihat ketampanan yang terpancar di sana. Kulit putih bersih, alisnya tebal, hidung mancung, mata sipit-sipit gimana gitu.. Sumpah, ini bagiku kayak pangeran. Rasanya ingin berteriak, 'Kalau kamu penculik, culik aku dong!'

"Vanila ... namamu Vanila, kan?"

OMG pemirsa!

Ternyata tuh cowok kenal namaku. Aku masih tergagap karena dia semakin mendekatiku. Sumpah nih ludah kenapa gak ada etika gini, rasanya mulutku penuh bahkan tak sanggup nampungnya.

Dia mengangkat kedua alisnya menatapku. Mungkin karena saking lemotnya aku kali ya gak jawab-jawab pertanyaannya.

"I-iya!" jawabku gugup jadi mampunya cuma satu kata.

Tuh cowok tersenyum dengan memamerkan lesung pipinya.

MasyaAllah

Sumpah guys, rasanya mau terjungkal ke lesung pipi itu.

"Kenalin, aku Shaka! Boleh aku meminta waktumu sebentar?"

Jangankan meminta waktu, minta hatiku aja bakal aku belahin dada ini buat kamu. Bercanda ya!

Aku berdehem sok jual mahal. "Kamu siapa, ya?" tanyaku.

"Aku Shaka."

Ya Allah, ini yang oneng aku apa dia?

"I-iya maksudku ... kamu ada perlu apa?" Nah loh, beda lagi pertanyaanku. Maklum aku grogi banget sekarang guys.

"Kita bisa cari tempat teduh untuk bicara!"

Kita? Ya ampun, dia bilang 'kita' aja aku udah baper. Sorry ya Seno, aku udah menduakan hatimu yang abu-abu itu!

Melamarmu

Aku mengangguk mengiyakan. Lagi-lagi tuh cowok tersenyum memandangku. Entah apa gak capek, atau emang mau pamer lesung pipi, aku juga gak ngerti. Dia berjalan memasuki mobilnya. Namun, sebelum masuk, dia menoleh ke arahku.

"Kamu cari tempatnya! Nanti aku ikutin dari belakang!" teriaknya dengan langsung masuk dalam mobilnya.

Aku terdiam sejenak. Cari tempat di mana? Dilihat dari penampilannya nih cowok kayaknya tajir. Aku mempunyai ide mengajaknya di cafe.

Eh ... tapi tunggu dulu!

Pakaianku aja terlalu santai kayak gini, yang ada bakalan malu sendiri duduk berdua sama dia.

"Ayo!" teriaknya dengan kepala aja yang keluar dadi kaca mobilnya. Aku memberi senyum setengah dan mengangguk.

Tak ada jalan pikiran lain, aku mengendari motorku ke mini market Papa. Sebelum dia membelokkan mobilnya masuk ke depan mini market, dengan bergegas aku merapikan rambut dengan sisir alami yaitu jari-jariku yang lentik ini. Secepatnya juga aku berkaca di spion motor.

Baiklah, namanya juga dadakan!

Aku berdiri tegak menatapnya yang keluar dari mobil. Dia berlari kecil mendekatiku. "Kita bicara di sini?" tanyanya.

"I-iya, ini mini market keluargaku. Kita duduk di sana!" Aku menunjuk kursi yang memang disediakan Papa di depan mini market. Ini adalah usaha kami satu-satunya. Ya, lumayan lah pendapatannya. Walaupun tak didahului ucapan 'selamat datang, selamat belanja' bagi pembelinya seperti di maret-maret sana.

Tuh cowok ngikutin aku dong! Aku mempersikahkan duduk, dan berlari kecil mengambilkan minum dalam kulkas. Si pucuk-pucuk cukup kali ya menemani siang yang terik ini. Masak iya si prut teh dikira mau adu bibir. Eh, apaan adu bibir?

"Diminum!" Aku mempersilahkan dan duduk di hadapannya.

Tanpa rasa canggung lagi karena kehausan nih, aku minum aja tuh si pucuk. Eh, dia malah ngelihatin aku. "Kamu ada perlu apa?"

"Oh, iya, kenalin lagi aku Shaka! Gini, mungkin ini akan mengagetkanmu, Vanila. Tapi, aku serius, aku ingin melamarmu!"

Eh buset!

"Melamar?" tanyaku ragu. Dia mengangguk antusias. "Ka-mu ... a-ku?"

"Iya. Aku mendengar kamu akan dijodohkan dengan laki-laki yang gak kamu sukai."

Dengar dari mana? Apa Mama udah pamer ke tetangga kalau aku bakal dilamar Mas Agus? Aku terdiam sejenak.

"Kamu tau dari mana?" tanyaku menyelidik. Walaupun dia tampan, aku harus tetap sok jual mahal dong!

"Em ... ada seseorang yang memberitahuku. Vanila, mungkin kita baru kenal. Dan kamu mungkin menganggapku asing. Tapi, percayalah niatku serius untuk melamarmu," ucapnya dengan lugas.

Aku terdiam lagi memikirkannya. "Tapi, kita kan gak saling kenal. Kamu siapa, aku aja gak tau."

Jangan bilang lagi kamu Shaka! Aku tinggal juga nih lama-lama. Batinku guys.

"Ya, aku tau itu. Kamu belum mengenalku. Tapi, aku mengenalmu. Aku mengagumimu!"

What?

"Mengagumi?" Aku mengernyit tak percaya. Apa dia selama ini mengintaiku, ya?

Waduh ... kok aku jadi takut gini!

"Vanila, aku tau kamu wanita baik-baik. Umurmu dua puluh empat tahun, kamu sering membantu orangtuamu mengelola mini market ini. Kamu suka mie ayam, suka warna ungu dan benci hewan berbulu, kan?"

Loh, dari mana dia tau? Aku mengerutukan dahi dan menjauhkan kepala menatapnya.

"Nama Papamu Indrajaya, nama Mamamu Sinta, kamu anak tunggal dan ...."

"Stop!" Aku berusaha menghentikan tebakannya. Kenapa benar semua?

"Jadi, gimana?" tanyanya lagi.

Aku mengigiti bibir bawah dan mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari. Kalau bilang mau nanti dibilang murahan sama netizen, kalau bilang gak mau, berarti aku harus nikah sama Mas Agus dong!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!