Rindu( 18 tahun) berlari kecil menuju ke ruang kepala cleaning service. Ada tanda tanya besar dalam hatinya ada apa gerangan Ibu kepala cleaning service memanggilnya.
Sesampainya di depan ruang cleaning service, Rindu segera mengetuk daun pintu dan tak lupa mengucap salam.
Tok.....tok....tok.....
"Assalamualaikum," ucapnya dengan bibir sedikit bergetar.
"Waalaikumsalam, masuklah," balas seorang perempuan dari dalam sana.
Setelah di persilahkan untuk masuk, Rindu memutar gagang pintu dan sedikit mendorongnya.
Rindu melangkah kearah meja kerja
dimana seorang wanita parubaya sedang duduk disana sambil memainkan jari-jemarinya untuk menulis.
"Duduklah!," perintah perempuan parubaya itu pada Rindu.
"Terima kasih Bu!," balas Rindu sambil mendudukkan tubuhnya diatas kursi.
"Rindu, tadi pihak rumah sakit menelpon kalau keadaan Nenekmu semakin memburuk, mereka menyuruhmu untuk menyiapkan uang ratusan juta untuk biaya pengangkatan kanker
paru-paru yang semakin hari semakin menggorogoti tubuhnya.
Pihak perusahan mungkin bisa membantumu hanya 10 persen saja dari itu. Selebihnya perusahaan sudah angkat tangan. Kamu sudah terlalu banyak meminjam uang perusahaan, maka dari itu Ibu sudah tidak bisa lagi menjaminmu untuk meminjam uang perusahaan ini," ujar perempuan parubaya itu dengan tatapan lekat pada Rindu.
"Aku paham Bu!, tapi tidakkah sekiranya perusahaan ini berbelas kasihan padaku dan juga Nenekku. Di dunia ini Aku hanya punya beliau.
Bila Nenekku tiada Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Jadi Aku mohon kali ini saja bantulah Aku Bu!," ujar Rindu tertunduk dengan deraian air mata menetes diatas lantai membentuk bulatan-bulatan kecil.
"Maaf Rindu, Ibu sudah tidak bisa lagi membantumu. Hutangmu saja belum lunas di perusahaan ini, ditambah lagi kamu mau meminjam uang yang jumlahnya tidak main-main.
Saran Ibu, kamu carilah sanak keluargamu untuk memberimu pinjaman dan kamu bisa menyicilnya sedikit demi sedikit,"
"Kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini!. Aku dan Nenekku hanya hidup berdua setelah kecelakan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku," balas Rindu yang masih tertunduk lesuh.
"Kalau begitu kamu carilah pekerjaan di luar sana, siapa tahu ada perusahaan yang bisa berbelas kasih padamu,"
perempuan parubaya itu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju pintu keluar.
Belum juga beberapa kali kakinya diayun, rindu sudah bersimpuh di hadapanya dan memegangi kakinya.
"Aku mohon Bu, tolonglah Aku!, Aku mau melakukan apapun asal Ibu membantu Aku meminjam uang di perusahaan ini,"
"Sudahlah Rindu, sampai kapanpun Aku tidak akan mau membantumu lagi, Cepat lepaskan, Aku mau mengontrol karyawan lain," ujar perempuan parubaya itu sambil menendang-nendangkan kakinya ke tubuh rindu.
"Aku mohon bu, tolonglah Aku, kali ini saja," Rindu semakin memperkuat pegangan tanganya pada kaki perempuan parubaya itu sembari memohon.
"Rindu lepasin," bentak perempuan parubaya itu mulai menaikkan nada bicaranya.
Rindu segera melepas rangkulanya pada kaki perempuan parubaya itu sambil menangis terseduh-seduh.
Perempuan parubaya itu sudah tidak mempedulikanya lagi. Dia terus melangka meninggalkan rindu dengan ratapan tangisanya.
"Ya TUHANku, berbelas kasihanlah padaku dan tunjukkanlah jalan untukku supaya bisa mendapatkan biaya operasi pengangkatan kanker Nenekku, Aamiin!," Rindu mengusap kasar wajahnya.
Tidak lama kemudian Rindu berdiri dan berjalan sempoyongan menuju kearah pintu keluar.
Rindu terus saja melangkah hingga dia terhenti di depan pintu utama perusahaan tempat dia bekerja.
"Itu tasmu, semua pakaianmu, handpon jadulmu ada di dalam situ. Ibu kepala bilang, mulai saat ini kamu di pecat. Semua hutangmu sudah dianggap lunas oleh perusahaan. Jadi, pergilah dan jangan kembali lagi," ucap Rinanty teman kerja Rindu yang memang sejak dulu tidak pernah suka dengan ke hadiran Rindu di perusahaan itu.
Terjatuh, tertipah tangga pula. Mungkin seperti itulah pepatah yang tepat buat Rindu si gadis malang itu.
Tanpa menjawab Rindu menunduk dan mencoba mengambil tasnya.
"Huss..huss pergi sana dan jadilah gembel di emperan kota ini. Ha ..ha ..ha," Rianty tertawa terbahak-bahak mengejeki Rindu.
Rindu terus saja terdiam, air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi menahan beban hidup yang dia tanggung.
Rindu melangkah keluar perusahaan raksasa itu menuju kearah rumah sakit yang jaraknya kira-kira dua kilo meter dari perusahaan tempatnya bekerja.
butuh waktu 40 menit Rindu berjalan hingga akhirnya dia tiba juga di rumah sakit di mana Neneknya sedang tergeletak koma di dalam sana.
Rindu terus saja melangkah masuk kedalam rumah sakit sambil menenteng tas milikny, hingga dia tiba di depan kamar dimana Neneknya sedang di rawat di dalam sana.
Rindu memutar gagang pintu kamar tersebut dan sedikit mendorongnya.
Tampak seorang perempuan tua didalam sana sedang tergeletak tanpa sadarkan diri dengan alat medis melekat di tubuh dan juga hidungnya.
Rindu mendudukkan tubuhnya di atas kursi yang ada disamping pembaringan dan meletakkan tasnya begitu saja di atas lantai.
"Nek apa kabar!, Rindu datang lagi untuk menjegukmu. Maafkan Rindu bila Rindu belum bisa memberikan yang terbaik buat Nenek.
Tapi tenanglah Rindu akan terus berusaha apapun itu supaya Nenek bisa pulih lagi seperti sediakala," Rindu mencium punggung tangan milik Neneknya.
Tidak lama kemudian, kembali pintu ruangan itu terbuka. Seorang pria parubaya dengan pakaian putih-putih masuk kedalam dan mendekat kearah Rindu yang masih terus menciumi punggung tangan Neneknya.
"Rindu, apa kamu sudah di beritahu pihak rumah sakit kalau Nenekmu harus segera di operasi?," tanya pria parubaya itu pada Rindu.
Rindu mengangkat wajahnya dan mendapati dokter Rio sedang berdiri di sampingnya.
"iya dok! pihak rumah sakit telah memberi kabar padaku. Tapi ..." Rindu tidak melanjutkan lagi ucapanya.
Dokter Rio sudah mengerti betul mengapa Rindu tidak melanjutkan ucapanya itu.
"Aku tahu Rindu, kamu terkendala masalah biaya bukan?, tapi ini harus segera di lakukan supaya Nenekmu bisa segera di selamatkan. Kanker dalam tubuhnya mulai menyebar jadi kamu harus berusaha keras jika kamu masih ingin melihat Nenekmu sembuh seperti dulu," ujar dokter Rio sembari mengelus lembut pundak Rindu.
"Aku paham dan mengerti betul dokter. Tapi apalah dayaku, kami ini orang miskin dan tidak punya apa-apa. Uang operasi yang di minta pihak rumah sakit terlalu besar bagiku.
Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat," balas Rindu yang terus menatap wajah pucat Neneknya.
"Aku mengerti dengan keadaan kalian, tapi pihak rumah sakit mana mau tahu dengan keadaanmu.
Mereka juga membayar dokter spesialis untuk melakukan operasi.
Di tambah lagi obat-obatan yang akan di gunakan tidak diambil begitu saja dari pihak penyedia.
Kamu memiliki waktu tiga hari untuk mencari uangnya sebelum operasi dimulai. Kalau dalam jangka itu kamu tidak mendapatkanya maka kami tidak bisa berbuat apa-apa lagi dengan Nenekmu ini,"
Rindu tidak menjawab, Dia hanya bisa menangis. Airmatanya terus saja menetes tanpa henti bak anak sungai kecil yang tidak ada habis-habisnya.
Setelah puas meluangkan isi hatinya pada Neneknya, Rindu bangkit dari tempat duduknya dan tak lupa mengambil tas miliknya yang sedari tadi dia letakkan diatas lantai.
"Nek, rindu pulang dulu, mau mandi, sholat dan kembali lagi kemari untuk menemani nenek. Cepat sembuh Nek, Rindu menyayangimu," kembali Rindu mencium punggung tangan keriput milik Neneknya.
Rindu melangkah keluar ruangan itu. Pikiranya berkecamuk. Kemana dia akan mendapatkan uang untuk biaya operasi Neneknya. Beberapa kali dia hampir menabrak orang sakin kurang fokusnya dia melangkah.
Setelah tiba di luar jalan poros depan rumah sakit. Rindu segera menghentikan pengendara ojek dan menaikinya.
Butuh beberapa menit saja kini dia sudah tiba di depan sebuah rumah kontrakan yang terbilang cukup sederhana.
Disinilah Rindu tinggal bersama Neneknya, setelah mendapat ancaman dari seseorang dan meninggalkan kota dimana dia berasal.
Rindu membuka kunci rumahnya kemudian masuk kedalam. Rindu bergegas masuk kedalam bilik kamar mandi.
Tidak makan waktu lama, kini gadis belia itu sudah keluar dari dalam kamar mandi dengan pakaian lengkap dan rambut masih terlihat basah.
Rindu melangkah kearah meja rias dan duduk di depan cermin.
Tampak wajah cantiknya terlihat di dalam sana dengan rambut panjangnya dibiarkan terurai begitu saja.
Rindu menyisir rambutnya begitu lembut hingga tidak terasa suara azan magrib terdengar di mesjid sekitaran tempat tinggalnya.
"Aku sholat dulu lalu kembali kerumah sakit untuk menemani Nenek," ujarnya sambil bangkit dari tempat duduk.
Setelah menyelesaikan Sholat, Rindu menuju ke meja makan. Nasi, sayur bening dan beberapa ikan kering tersaji diatas meja makan.
Rindu mencoba mencium semua hidangan yang ada disana secara bergantian untuk mewanti-wanti apa masih bisa di makan ataukah sudah basi. Soalnya semua makanan yang tersaji diatas meja itu adalah masakan tadi pagi.
"Ini masih bisa dimakan," Rindu menaruh nasih dan lauk keatas piring.
Tidak begitu lama kemudian, kini Rindu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah kearah dapur untuk mencuci bekas piring yang baru saja dia gunakan.
Rindu kembali kemeja rias untuk berdandan sebelum dia kembali kerumah sakit menemani Neneknya.
"Ternyata wajahku lumayan cantik juga, tak kalah dengan artis ibukota pada umumnya," ucapnya tersenyum sembari menepuk-nepuk pipinya.
Setelah dirasa cukup, Rindu mengambil tas kecil dan tak lupa memasukkan hanpon jadulnya kedalam tas itu.
Rindu mengunci rapat pintu kosnya sebelum dia meninggalkanya.
Tidak seperti tadi saat pulang dari rumah sakit naik ojek, kali ini Rindu cuman jalan kaki untuk menghemat biaya.
Disepanjang perjalanan ke rumah sakit, Rindu memandang kesana kemari untuk melihat apa ada lowongan kerja yang biasa di pasang di depan toko ataupun di dinding tembok.
Rindu terus melangkah hingga kakinya terhenti pada sebuah bar raksasa dimana para pembesar dan bangsawan dari kota itu biasa berkumpul untuk membuang penat atau mencari perempuan penghibur.
"Aku harus mencari kerja disini, Semoga saja ada lowongan buatku, Ya TUHANku lindungilah Aku," ucap Rindu memantapkan langkah kakinya menuju kearah pintu bar itu.
Belum juga dia menginjakan kakinya di pintu bar tersebut, dua bodyguard sudah menghadangnya.
"Hay, anak kecil kamu mau apa kemari?," tanya salah seorang bodyguard bar tersebut.
"Ee....anuh!, Aku mau cari kerja," Rindu dengan nada gugup.
Seketika kedua bodyguard itu saling memandang dan memperhatikan dengan seksama pakaian dan postur tubuh Rindu.
"Kamu jangan main-main!, ini tempat orang-orang dewasa bukan tempat anak-anak sepertimu. Lagian ini bar tempat orang-orang perlente bukan perempuan udik kayak kamu, paham!," bentak bodyguard itu pada Rindu.
"Siapa bilang Aku ini masih anak-anak, lihatlah masa depanku besar bukan!," Rindu menyondongkan dadanya kedepan sehingga kedua gunung kembarnya menjulang tapi masih terlihat kecil di banding perempuan yang ada di dalam bar itu.
"Pokoknya kamu tidak boleh masuk!. kamu itu masih di bawah umur tempatmu bukan disini, cepat pergi dari sini sebelum kami berdua menyeretmu," ancam seorang dari dua bodyguard itu.
Tanpa berpikir panjang lagi Rindu segera nenyerobot masuk dan hilang di kerumunan orang banyak.
Kedua bodyguard itu mengejarnya tapi apa daya, Rindu sudah tidak kelihatan sakin ramainya pengunjung malam itu.
Rindu terus masuk kedalam hingga langkah kakinya kembali terhenti setelah dia tiba di sebuah ruangan yang cukup besar.
Rindu sedikit demi sedikit membuka daun pintu ruangan tersebut. Tampak dari dalam ruangan itu beberapa orang pria berjas duduk sambil memandang keatas panggung dimana para perempuan seksi nan cantik sedang berdiri sambil menggunakan topeng semacam kaca mata untuk menutupi identitas mereka.
Para perempuan itu menjual diri dengan harga pantastik. Tidak tanggung- tanggung harga mereka bisa di banrol 30 juta sampai 200 jutaan dalam semalam hanya untuk menyalurkan ***** pria hidung belang.
"Yang baju biru 30 juta," seorang pria parubaya bertubuh gembul dengan kepala sedikit botak.
Si perempuan yang berbaju biru yang baru saja di tawar segera mengangkat kertas yang bertuliskan 50 juta.
"Baiklah, cepat kemari Aku sudah tidak tahan untuk memangsamu," kembali pria berkepala botak itu berucap.
Mata rindu segera terbelalak mendengar dan melihat perdagangan manusia yang ada dalam ruangan itu.
"Apa aku juga harus menjual diriku demi menyelamatkan nyawa Nenekku?," Rindu dalam hati.
"Iya, inilah jalan satu-satunya yang harus Aku lakukan walau harus menjual keperawananku. ya ALLAH, ampunilah segala dosa-dosa hambamu ini, Aamiin" Rindu membuka daun pintu ruangan itu dan tak lupa memakai masker untuk menyembunyikan identitasnya.
Rindu Melangkah keatas panggung Dan Seketika juga semua orang menatapnya.
"Kamu mau apa naik keatas panggung ini? cepat turun" bentak seorang MC yang saat itu berada diatas panggung pas di depan tangga naik.
"Aku mau jual diri," jawab Rindu dengan tegas walau hatinya menangis.
Lagi-lagi semua itu dia lakukan demi menyelamatkan nyawa Neneknya.
Seketika riuh dan tepuk tangan terdengar diantara para pria hidung belang yang ada di bawah panggung setelah mendengar ucapan Rindu.
"Kamu jual dirimu dengan harga berapa?," tanya MC itu pada Rindu.
"Seratus juta, tidak kurang tidak lebih," balas Rindu.
"Apa kamu masih perawan?," tanya MC itu lagi pada Rindu.
"100% masih perawan," jawab Rindu dengan tegas.
Suaranya parau menahan perih dalam hatinya. Tidak terasa air matanya menetes diatas lantai.
"Baiklah, Ayo ikut Aku ke tengah panggung," Ajak MC itu pada Rindu dan menarik pergelangan tanganya.
Tanpa berpikir panjang lagi, Rindu segera mengikutinya.
Mohon perhatianya sebentar karena kami ada kabar baik buat Tuan-Tuan semua.
"Kami memiliki barang baru dan di jamin masih ting-ting. Harga gadis ini 100 juta di tambah pajak yang harus Tuan-Tuan bayar, jika Tuan-Tuan berani untuk membelinya dalam semalam," ucap MC tersebut menggunakan micropone sehingga suaranya bergema dalam ruangan tersebut.
Seketika para pria hidung belang itu saling menatap satu dengan yang lain. Ada yang tersenyum-senyum sinis ada pula yang tertawa dengan wajah mesumnya.
"Bawa dia kemari untukku!," seorang pria yang sedari tadi hanya terdiam di sudut ruangan itu sambil menikmati secangkir kopi di temani seorang ajudan yang berdiri tegap di sampingnya.
"Baiklah, untuk Tuan-Tuan yang belum mendapatkan ladysnya sekarang silahkan pilih-pilih lagi. Ayo ikut Aku Tuan Fathur sudah memilihmu," ajak Mc itu pada Rindu.
Rindu kembali pasrah dan mengikuti langkah MC itu turun dari atas panggung menuju kearah sudut ruangan dimana Tuan Fathur sedang duduk santai disana sambil menyilangkan kedua buah kakinya menyerupai hurup X.
"Selamat malam Tuan Fathur, Ini gadis Anda, selamat bersenang-senang bersamanya," Fathur tidak menjawab sama sekali, dia hanya memberikan ekspresi wajah datarnya kepada Mc itu.
"Silahkan kamu pergi?," perintah sang ajudan pada Mc tersebut.
"Baik Tuan," Mc itu menunduk kemudian berbalik dan kembali kearah panggung.
Setelah Mc tadi sudah pergi dari situ, Fathur bangkit dari tempat duduknya.
"Ayo pulang, dan bawa murahan ini ke hotel," Fathur ( 35 tahun ) berlalu dari tempat itu dan meninggalkan Ajudanya bersama dengan Rindu.
Hati Rindu begitu remuk mendengar perkataan Fatur. Kata murahan itu seolah- olah merajam keras dadanya. Ingin sekali Rindu menangis tapi sedapat mungkin dia tahan.
"Mari Nona, ikut Aku," ucap Ajudan itu pada Rindu.
Rindu hanya mengangguk pelan dan mengikuti langkah kaki sang Ajudan.
Fathur yang duluan pergi ke hotel menggunakan mobil mewahnya tak henti-hentinya menggaruki kepalanya dan sesekali memukul stir mobilnya.
Pria yang terlihat garang dan dingin itu tampak begitu frustasi. Entah ada masalah apa dengan dirinya sehingga dia bisa seperti itu.
"Ini semua salahmu Tania, kamu telah menghianatiku dan meninggalkanku bersama putraku demi pria brengsek itu!, Aghss......terkutuk kamu Tania," kembali Fathur memukul stir mobil mewahnya dengan sangat keras.
Sementara itu, Rindu dan sang Ajudan pun menuju kearah Hotel dimana Fathur sudah menunggui mereka disana.
Rindu duduk di kursi penumpang sambil memandang keluar jendela. Ingin rasanya dia membatalkan semua pelelangan itu tapi sayang, bayangan Neneknya yang ada di rumah sakit sesekali muncul di hadapanya.
"Ya Tuhan, apakah yang telah Aku lakukan ini sudah benar?, ataukah Aku harus masuk kedalam juram dosa yang begitu dalam. Kenapa Aku harus menanggung semua ini Tuhan. Andai tak takut dosa dan bukan karna Nenek, rasanya ingin kuakhiri saja hidupku ini ," ucap Rindu dalam hati dengan deraian air mata.
Sang ajudan yang menatapi Rindu dalam kaca spion ikut merasakan kesedihan yang terpancar pada wajah gadis belia itu.
"Nona, kenapa Anda begitu sedih. Bukankah Anda sendiri yang mau menjual diri pada pengunjung bar!,"
Rindu sedikit berpaling dan menatap wajah sang Ajudan dari dalam kaca spion.
"Terkadang orang hanya melihat kulit tapi tak melihat isi dalamnya. Terkadang kita harus berkorban pada orang lain tanpa orang di sekeliling kita harus tahu semuanya, walau akhirnya kita harus dapat hinaan dan cacian yang tidak sepatutnya kita dapatkan,"
"Apa maksud Nona?, Aku tidak mengerti apa yang Nona ucapkan," balas sang Ajudan yang masih menatap Rindu dari dalam kaca spion tapi tetap Fokus mengemudikan kendaraanya.
Rindu tidak menjawab lagi, semakin dia berbicara masalah itu, semakin sakit rasa yang mendera dalam hatinya.
Tidak lama kemudian, mobil yang mereka tumpangi berbelok masuk kedalam halaman hotel.
Tampak mobil mewah Fathur sudah terparkir di sana.
"Ayo masuk Nona," ajak Ajudan Itu pada Rindu.
"Tapi Aku takut, tuanmu akan membunuhku nanti di dalam sana," ujar Rindu yang saat itu masih mengenakan maskernya.
Sang ajudan sedikit mengernyitkan dahinya.
"Tuan Arthur itu sebenarnya baik kalau kita sudah mengenalnya, tapi Nona jangan macam-macam denganya karna dia bisa berubah menjadi Iblis yang paling mematikan bila sesorang membantah kemauanya. Nona paham bukan maksudku, Ayo masuk sebelum beliau benar-benar marah besar dan kita berdua kena dampaknya," kembali sang Ajudan mengajak Rindu untuk masuk.
Rindu mulai gemetar, seluruh persendianya terasa remuk setelah mendengar perkataan ajudan itu tentang Fathur.
Rindu mengikuti sang Ajudan dari arah belakang . Gadis mungil itu hanya bisa menunduk saat berpapasan dengan tamu hotel.
Rasa malu dan takut bercampur aduk dalam hatinya. Ingin sekali rasanya Rindu lari tapi lagi-lagi bayangan Neneknya yang tergeletak di rumah sakit selalu membayanginya.
"Kuat Rindu, ini adalah jalan yang kamu pilih. Jadi, kamu harus terima semua konsekuensinya," Rindu mencoba menguatkan hatinya.
Rindu dan sang Ajudan masuk kedalam Lift dan menuju keatas lantai 7. Hanya butuh beberapa detik saja kini mereka sudah tiba di lantai puncak hotel tersebut.
Rindu dan sang Ajudan keluar dari dalam lift dan melangkah menuju kamar dimana Fathur sedang menunggui mereka berdua.
Tidak butuh waktu yang lama, kini mereka berdua sudah berdiri di sebuah kamar yang terbilang luas dan paling mewah diantara kamar-kamar lainnya.
Tok..tok...tok....
Tiga ketukan di layangkan sang Ajudan ke daun pintu kamar milik Fathur.
"Masuk," ucap seorang pria dari dalam sana yang tak lain adalah Fathur manusia salju dengan wajah sangar dan tak pernah tertawa sedikitpun.
"Permisi Tuan, Maaf kalau Saya lancang mengganggu ketenangan Anda. Saya kesini membawa perempuan yang tadi Anda temui di bar itu," ujar sang Ajudan sambil menunduk hormat.
"Suruh dia masuk. Aku tidak mau para tamu hotel ada yang melihatnya masuk ke dalam kamarku ini dan menjadi perbincangan heboh di setiap stasion pertelevisian," Fathur mengisap Rokok tanpa memandang sedikit pun pada Ajudanya.
Wajahnya masih seperti tadi dingin dan tanpa ekspresi sedikitpun.
"Baik Tuan, Saya akan segera menyuruhnya masuk," sang Ajudan berbalik untuk menemui Rindu.
"Nona masuklah!, Tuan Fathur menyuruh Anda untuk masuk kedalam. Dan ingat Nona jangan macam-macam sebab jika itu sampai Nona lakukan maka tamatlah riwajat anda," Ajak Sang Ajudan pada Rindu sekaligus ancaman. Rindu hanya bisa mengangguk pasrah dan mencoba menahan rasa takutnya.
Setelah Rindu masuk sang Ajudan pun mohon pamit.
"Kalau sudah tidak ada apa-apa lagi Saya permisi Tuan," kembali untuk sekali lagi sang Ajudan tertunduk memberi hormat pada Fathur
"Kamu pulanglah dan katakan pada bi Ina kalau malam ini Aku tidak pulang. Dan ingat David, besok pagi bawa Akos kemari, aku ingin bertemu dengan putraku itu," Fathur masih saja berbicara tanpa memandang kearah lawan bicaranya.
Rindu hanya terdiam mendengarkan percakapan mereka berdua, Atmosfir ketegangan dalam ruangan itu seakan-akan menusuk pori-pori kulitnya. Sesekali dia meremasi jari-jarinya saling bergantian untuk menetralkan perasaannya.
Nah ..gimana ceritana makin menarik bukan!, maka dari itu beri like, favorite dan juga coment agar author makin bersemangat nulisnya terima kasih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!