Sabrina Allandro, Wanita berusia 22 tahun itu kini tengah termenung menatap foto penikahannya yang terbingkai indah. Namun, indahnya gambaran pernikahan tak seindah hidup yang ia jalani. Pernikahan yang ia jalani selama dua tahun hanyalah pernikahan semu.
Suami yang sejak dulu ia harapkan bisa memberinya cinta dan kebahagiaan, ternyata tak pernah mencintainya. Semua luka itu kini terkuak, alasan kenapa sang suami tak pernah bisa menerimanya.
Pandangan Sabrina beralih pada amplop coklat yang ia terima seminggu yang lalu. Ia tak tahu siapa yang mengirimnya, tapi isi dari amplop itu adalah jawaban dari pertanyaannya selama ini. Penyebab sikap dingin sang suami terhadapnya.
Sabrina mengeluarkan isi dari amplop itu, melihat lagi bukti-bukti pengkhianatan suaminya. Ia terus memandang foto yang telah mencabik hatinya hingga berkeping-keping. Ah ... bukan, ini bukan pengkhianatan, karena faktanya bukan wanita yang dipeluk mesra sang suami dalam foto yang menjadi orang ketiga, melainkan dirinya.
Ironi, bukan?
Dia yang berstatus istri, justru menjadi orang ketiga antara suami dan wanita yang menjadi kekasihnya.
Gambar dari Fabian—sang suami—dengan seorang wanita yang bernama Vannesa membuat Sabrina seolah tertampar dengan fakta mengejutkan ini. Ditambah lagi dengan surat yang ia baca, cerita tentang kisah Fabian dan Vannesa seperti memaksanya tersadar dan memperjelas apa statusnya. Perusak hubungan orang!
Fabian dan Vannesa, adalah sepasang kekasih yang harus terpisah karena kehadiran dirinya. Fabian terpaksa meninggalkan Vannesa karena terlalu mencintai wanita itu. Dua tahun yang lalu, saat usianya 20 tahun, Ayah Fabian, yaitu Sergio Ramos yang merupakan sahabat dekat ayah Sabrina datang membawa lamaran untuknya. Sergio meyakinkan, jika ia ingin mengambil alih tanggung jawab atas Sabrina, menjaga putri dari sahabatnya itu setelah kepergian ayahnya. Menjadikannya sebagai menantu di keluarga Ramos dan menikahkan Sabrina dengan putra kandungnya—Fabian Ramos.
Namun, Fabian yang telah memiliki kekasih menolak keras keinginan sang ayah. Ia hanya mencintai Vanessa, wanita yang menjadi kekasihnya sejak ia masih kuliah.
Sergio tidak bisa menerima alasan itu, terlebih Fabian menolak dijodohkan hanya demi wanita yang Sergio anggap sebagai wanita murahan. Terpaksa, Sergio mengancam akan melenyapkan Vannesa jika putranya itu tidak menuruti keinginannya menikahi Sabrina.
Ancaman Sergio bukan sekedar omong kosong. Vannesa diculik oleh anak buah Sergio, dan dijadikan alat untuk membuat Fabian tunduk akan kehendaknya. Demi keselamatan sang kekasih dan takhta keluarga Ramos, Fabian terpaksa menerima pernikahan itu. Ia pun meminta Sergio melepaskan Vanessa, dan sebagai gantinya ia akan menuruti keinginan sang ayah.
Sergio tidak keberatan, karena tujuannya hanyalah membuat Fabian menikahi Sabrina. Setelah Vanessa lepas dari tangan Sergio, Fabian menyembunyikan Vannesa jauh dari jangkauan siapapun, dan memintanya menunggu waktu yang tepat untuk mereka bisa kembali bersama.
Fabian yang licik, merancang rencananya dengan kekasihnya tanpa sepengetahuan Sergio. Ia yang tak menyukai Sabrina semakin bertambah benci pada wanita itu karena menganggapnya sebagai penghalang cintanya dengan sang kekasih. Alasan itu yang mendasari Fabian menciptakan rumah tangga bak neraka untuk Sabrina. Agar wanita itu menyerah dengan sendirinya.
Terbukti, dua tahun mengarungi bahtera tanpa cinta, sekaranglah saatnya Sabrina menyerah. Tidak ada yang bisa ia harapkan lagi dari pernikahannya. Ia harus mengubur dalam-dalam impian tentang pahlawan masa kecilnya, daripada saling menyiksa dalam pernikahan yang tak ada ujung kebahagiaan.
Hal lain yang membuatnya kecewa adalah kisah tentang suntikan pencegah kehamilan. Orang misterius yang mengirim bukti hubungan terlarang Fabian dengan Vannesa pun berkisah, tentang alasan kenapa ia tidak hamil juga meski sudah dua tahun menikah. Sementara mertuanya begitu berharap akan kehadiran pewaris dari rahimnya.
Dari surat itu diceritakan bahwa, suntikan setiap bulan yang diberikan oleh dokter keluarga bukanlah suntikan vitamin, melainkan suntikan kontrasepsi. Suntikan untuk mencegah kehamilan pada Sabrina. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Fabian. Ya ... Fabian sendiri yang tidak ingin ada anak di antara dirinya dan Sabrina, sebab ia tak ingin terikat dengan wanita itu.
Bulir bening mengalir dari sudut mata wanita malang itu. "Bodoh!" rutuknya pada diri sendiri.
Sabrina kembali menatap lekat foto kemesraan antara Fabian dan Vanessa, dengan air mata yang masih saja mengalir. Ia tersenyum getir memperhatikan senyum keduanya yang merekah, seolah ingin menunjukkan siapa ia bagi Fabian. Tak lebih dari alat untuk mendapatkan warisan sang ayah, bukan seperti Vannesa yang ia beri cinta sepenuh hati.
Berhari-hari, Sabrina merenungi keputusannya ini. Meski menyakitkan, tetap harus Sabrina pilih. Ia akan kembali menjalani hidupnya yang dulu, dalam kesepian dan kesendirian. Perpisahan adalah jalan mantap yang ia pilih, untuk kisah cintanya yang bertepuk sebelah tangan.
Suara ketukan pintu membuyarkan segala lamunannya. Memaksanya kembali ke dunia nyata.
"Masuklah," seru Sabrina.
"Apa kau sudah lebih baik?" tanya Bibi May— pengasuhnya sejak kecil.
Saat ini, Sabrina sedang berada di kediaman bibi May, di Araluen, New South Wales. Kampung halaman sang pengasuh.
Sabrina menoleh, mengalihkan pandangannya dari foto di tangannya. Ia mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Bibi May.
"Turunlah, aku sudah menyiapkan sarapan untukmu," ujar Bibi May. "Supir keluarga Ramos juga sudah datang. Bibi lihat, ayah mertuamu sangat memperhatikanmu," sambungnya.
Sabrina tersenyum, mengingat betapa baiknya Sergio Ramos kepadanya. "Baiklah, aku akan bersiap," jawab Sabrina.
Sabrina bergegas memasukkan kembali foto-foto suaminya dengan Vannesa ke dalam amplop coklat. Ia menyimpannya di sebuah kotak kayu yang menjadi brangkas tempatnya menyimpan semua barang-barang kenangan yang menurutnya sangat berharga.
Saat kotak itu terbuka, hal pertama yang Sabrina lihat adalah foto masa kecilnya dengan seorang anak laki-laki yang berusia tujuh tahun lebih tua darinya. Sabrina masih bisa tersenyum melihat betapa polos dirinya dalam potret itu.
Senyumnya semakin mengembang kala mengingat ucapannya pada anak laki-laki yang berdiri tepat di sampingnya dalam foto. "Jika nanti aku sudah besar, mau kah kau menikahiku."
Sabrina menatap amplop coklat di tangannya, seketika rautnya berubah murung. Segera ia memasukkan amplop itu ke dalam kotak dan menutupnya, lalu menyimpannya di bawah lemari kayu yang sudah tua. Setelahnya ia turun, karena ia juga harus segera bersiap untuk kembali ke kediaman keluarga Ramos.
________________
Malam hari di rumah keluarga Ramos.
Sabrina menarik selimutnya ke atas untuk menutupi polos tubuhnya. Dari atas ranjang, ia memperhatikan Fabian yang baru saja selesai membersihkan dirinya dari sisa-sisa percintaannya dengan sang istri.
Pria yang memiliki ketampanan di atas rata-rata itu, kini tengah bersiap untuk pergi. Entah kenapa setiap kali pulang, pria itu hanya menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami, memberikan nafkah batin. Setelahnya ia akan pergi, dan Sabrina tak tahu ke mana pria itu pergi.
Selalu seperti ini, dan baru sekarang Sabrina sadari jika Fabian memperlakukannya seperti ja lang yang disewa. Meninggalkannya tanpa kata, setelah selesai dengan segala urusan biologisnya. Sabrina tak tahan lagi dengan semua ini. Sudah cukup ia dianggap bodoh.
Sabrina terduduk saat ia melihat Fabian sudah siap untuk pergi. "Aku ingin bercerai!" seru Sabrina dengan bibir gemetar. Butuh keberanian yang luar biasa bagi Sabrina untuk bisa meloloskan kata itu dari bibirnya. Ia tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, tapi ia akan mencoba meski rasa takut terus bergelayut di hatinya.
Ia terus mencengkeram selimut di dadanya. Semakin kuat, saat Fabian menghentikan langkahnya dan menatap Brina dengan tatapan sedingin es.
"Apa maksudmu?" tanya Fabian dingin.
"A-aku ...." Sabrina terdiam sejenak. Rasanya tenggorokannya tercekat, ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya. "Aku ingin kau menceraikanku." Sabrina menarik napas lega, Akhirnya kata-kata itu bisa mulus terucap dari bibirnya. Meski saat ini dalam hatinya sedang berkecamuk perasaan yang mungkin akan ia sesali nantinya.
Mendengar permintaan istrinya, seringai di bibirnya terukir begitu saja. "Baiklah, pengacaraku akan mengurus semuanya."
Begitu mudahnya pria itu menyetujui keinginan Sabrina. Sudah bisa dilihat, seperti apa perasaan Fabian terhadapnya, tidak ada. Tidak sama sekali.
Tanpa peduli lagi dengan Sabrina, pria itu melenggang pergi. Ia menutup pintu dengan kasar seperti biasa, seolah tak ada hal yang perlu dipikirkan setelah pernyataan Sabrina barusan.
Persetujuan yang Fabian ucapkan dengan mudah sungguh telah menyakiti hati Sabrina meski ia yang memintanya. Jantungnya seolah berhenti berdetak, dihunus tajamnya belati pengkhianatan. Wanita malang itu kini tak bisa lagi menahan genangan air di pelupuk matanya. Air bening itu akhirnya lolos tanpa suara.
Ia menjatuhkan tubuhnya kembali ke ranjang. Semakin mencengkeram selimut yang dari tadi membungkus tubuhnya. Ia gigit kain tebal dalam cengkeramannya untuk menahan raungan yang hendak keluar, agar tak ada yang mendengar jeritan hatinya yang terluka.
Ia tak punya siapapun lagi selain keluarga Ramos, ia tak ingin lagi menambah beban untuk ayah mertuanya, dengan drama rumah tangganya.
Sejak ia kecil ia sudah kehilangan ibunya, karena kasus pembunuhan. Sejak itulah, William Alandro mulai over posesif dengan Sabrina. Ia tak mau mengenalkan Sabrina pada dunia luar yang menurutnya berbahaya, sebab musuhnya tak pandang bulu saat ingin menghancurkannya.
Sabrina menjalani hari-harinya di dalam rumah mewah yang ketat dengan penjagaan. Ia juga tidak pernah merasakan yang namanya bersekolah dan punya teman. Semua pendidikannya ia jalani di rumah dengan home schooling.
Saat ia berusia sepuluh tahun, ia kehilangan ayahnya akibat kecelakaan. Berita di pagi buta itu mengejutkannya. Seisi rumah panik saat mendengar kabar kecelakaan William Alandro. Kala itu jam empat subuh, saat Sabrina terbangun karena mendengar suara riuh dari lantai bawah. Diam-diam, ia keluar dari kamarnya dan mencuri dengar pembicaraan antara Bibi May dan Paman Andrew, orang kepercayaan William.
Mereka meributkan kecelakaan yang terjadi pada majikan mereka. Willian ditemukan tak bernyawa di dalam mobilnya setelah mobil yang ia kendarai menabrak pembatas jalan dan masuk ke dalam jurang. Di duga, William mengemudikan mobil dalam keadaan mabuk setelah berpesta dengan seorang wanita malam.
Tentu saja, Sabrina yang kala itu berusia sepuluh tahun syok berat mendengar kabar kepergiaan Ayahnya. Satu-satunya keluarganya, dan satu-satunya pelindungnya telah tiada. Tak lama berselang, kerajaan bisnis ayahnya runtuh. Korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh pamannya, membuat bisnis yang dibangun oleh William hancur dalam sekejap.
Sejak itulah, atas saran paman Andrew dan rasa belas kasih Bibi May, Sabrina dibawa ke kota kelahiran pengasuhnya itu. Di sebuah desa terpencil, di rumah yang sederhana, Sabrina tumbuh menjadi gadis introvert. Gadis yang anti sosial.
Setelah menjadi menantu keluarga Ramos, Sergio sang ayah mertua begitu memperhatikannya. Ia menyuruh Sabrina untuk melakukan hal yang Sabrina sukai. Sergio bahkan membuka satu gerai florist untuk Sabrina agar menantunya itu memiliki kegiatan, dan bisa hidup secara normal.
Setelah memenuhi keinginan Fabian, ditambah dengan menangis dalam waktu yang tak sebentar, membuat tubuh rapuh Sabrina merasakan lelah yang luar biasa, hingga tak tahan lagi untuk menutup matanya dan membawanya dalam lena.
Tak terasa sinar mentari hangat menelusup masuk melalui tirai jendela. Sabrina masih terlena dalam alam bawah sadarnya.
"Nona ... Nona Sabrina," teriak seorang pelayan dari luar kamar Sabrina.
"Nona ...." Pelayan itu mengetuk pintu kamar Sabrina.
Mendengar namanya dipanggil, Sabrina mencoba membuka mata. Diusapnya kedua mata agar membuka lebar. Tatapannya mengarah ke jendela yang sudah begitu terang. Suara dari pelayan masih terus terdengar memanggil namanya sembari mengetuk pintu. Ia mengambil jubah tidur untuk menutupi tubuh rampingnya, dan membuka pintu kamar.
"Selamat pagi, Nona," sapa Rosita, asisten rumah tangga keluarga Ramos.
"Selamat pagi, Bibi," jawab Sabrina yang kemudian menguap.
"Tuan besar sudah menunggu Anda sarapan di bawah," ucap Rosita.
"Baiklah, katakan aku segera turun."
Rosita mengangguk dan pergi meninggalkan kamar Sabrina.
Sementara Sabrina harus segera bersiap karena ini sudah sangat terlambat untuk waktu sarapan. Ibu mertuanya pasti akan mengomel padanya karena telah membuang waktunya yang sangat berharga.
"Selamat pagi, maaf, aku terlambat," sapa Sabrina dengan menunduk. Ia segera duduk di seberang Lucas, kakak iparnya.
"Syukurlah, Tuan Putri kita sudah turun, jika lebih lama sedikit saja Ibuku bisa masuk rumah sakit karena asam lambungnya naik," sindir Lucas.
Esme langsung mendelik pada putranya, tidak suka dijadikan bahan lelucon. "Apa yang kamu lakukan sampai kesiangan, Fabian bahkan sudah pergi tengah malam tadi," ucap Esme pada Sabrina.
Semua orang di rumah tahu persis sikap Fabian pada Sabrina, bahkan kebiasaan Fabian yang selalu pergi tengah malam. "Maaf," jawab Sabrina dengan lirih. Ia terus saja menunduk.
"Apa Fabian pergi lagi?" tanya Sergio.
Sabrina mengangguk pelan.
"Anak itu!" geram Sergio.
"Hari ini kau berangkat denganku, ya," ajak Sergio.
Sabrina kembali mengangguk.
"Aku heran, di mana dulu kau menemukan gadis gagu ini, dan berpikir untuk menjodohkannya dengan Fabian. Sudah tidak cantik, selera fashionnya buruk, kampungan, gagu pula. Paket lengkap untuk membuat Fabian illfeel." Esme mencemooh tanpa peduli dengan perasaan Sabrina.
"Esme!" Bentak Sergio. "Jaga bicaramu!"
"Oh ... Ayolah, apakah kita akan bertengkar lagi hanya karena kau membela gadis gagu ini."
"Apa kau sudah selesai?" tanya Sergio.
Sabrina hanya bisa mengangguk, meski ia belum mencicipi sedikit pun dari sarapan yang tersaji.
"Kalau begitu ayo kita berangkat," ajak Sergio tak ingin melanjutkan perdebatannya dengan sang istri.
Sabrina mengikuti langkah Sergio yang keluar.
"Dasar gadis gagu sialan! Sejak kehadirannya, Sergio jadi berubah. Ia bahkan memilih untuk bertengkar denganku hanya karena membela gadis gagu itu!" Ucap Esme kesal. Ia bahkan melempar kasar garpu di tangannya.
"Mungkin Ibu tidak cantik lagi," seloroh Lucas putra kandung Esme.
Sergio menikah dengan Esme saat Fabian berusia delapan tahun. Ibu Fabian pergi dari rumah meninggalkannya dan sang ayah. Tak lama setelah itu, hadirlah Esme yang sebelumnya adalah sekertaris Sergio. Janda itu dinikahi Sergio dengan membawa seorang anak yang usianya dua tahun lebih tua dari Fabian. Dia lah Lucas Alexander Ramos, kakak tiri Fabian.
"Bocah sialan!" Umpat Esme pada putranya sendiri. Namun, Lucas hanya tersenyum geli melihat kekesalan ibunya.
Di dalam mobil, Sabrina hanya terdiam. Persis seperti gadis gagu, predikat yang disematkan ibu mertuanya padanya. Ia kembali memikirkan kejadian tadi malam.
"Apa ada yang kau pikirkan?" tanya Sergio, yang duduk di samping Brina.
Sabrina menoleh, berpikir sesaat. Apakah sekarang saatnya ia mengungkapkan keinginannya?
"Aku sudah tahu semuanya," ucap Sabrina ragu.
Sergio menautkan kedua alisnya, membuka matanya lebar.
"Vanessa," lirih Sabrina.
Sergio sempat terkejut saat Sabrina menyebutkan nama itu. Nama yang sudah cukup lama tak ingin ia dengar kini keluar dari mulut menantu tersayangnya.
"Aku ingin bercerai dari Fabian," lanjutnya dengan wajah tertunduk takut.
Sergio mengepalkan tangannya, tak ia sangka jika wanita murahan itu akan kembali mengusik hidup putranya.
"Apa kau sudah memikirkannya?" tanya Sergio bijaksana.
Sabrina mengangguk. "Semua akan baik untukku dan juga Fabian. Kami akan menjalani hidup kami masing-masing dengan bahagia."
"Apa kau yakin?"
Tak ada pilihan lain selain kembali mengangguk.
"Aku tidak akan bisa memaksamu bertahan jika itu membuatmu terluka, meski aku masih sangat berharap mendapatkan cucu yang lahir dari rahimmu." Gurat kecewa dan kesedihan nampak jelas di wajah Sergio. Namun, ia juga tak ingin memaksa Sabrina jika hal itu justru melukainya, ia tahu persis bagaimana Fabian memperlakukan istrinya.
Mereka terdiam setelahnya. Sementara mobil terus melaju, membawa Sabrina ke florist miliknya. Namun, saat ini pikiran Sabrina tidak sedang berada di mana raganya berada. Ia tengah memikirkan apa yang baru saja ia utarakan pada ayah mertuanya.
Sejujurnya ia sangat menyayangi Sergio, dan berat jika harus pergi dari pria yang sudah ia anggap seperti ayah sendiri itu. Pikirannya terus membawanya pada bayangan-bayangan tentang apa yang akan ia lakukan setelah berpisah dari Fabian, sampai-sampai tidak sadar kalau mobil yang ia tumpangi sudah berhenti.
"Sudah sampai," ucap Sergio.
Sabrina yang tersadar, masing bingung dengan apa yang Sergio ucapakan. "Ya ...."
Sergio menggerakkan tangannya seolah menyuruh Sabrina untuk turun.
Sabrina yang tak paham, mengikuti arah tangan Sergio. Di sana ia baru menyadari jika dirinya sudah sampai di depan toko bunga miliknya.
"Eh ... ma-maaf," ucap Sabrina saat melihat bangunan yang dipenuhi bunga di bagian depannya.
Sergio hanya tersenyum tipis.
Sabrina baru saja memegang handle pintu, saat Sergio berucap, "Kau adalah menantu keluarga Ramos, jika harus ada yang tersingkir seharusnya dia, bukan kau."
Sabrina mengurungkan niatnya untuk segera keluar demi mendengar apa yang Sergio ucapkan. Ia menoleh sejenak pada Sergio.
"Taklukkan, dia!"
Sabrina segera turun. "Terima kasih," ucap Sabrina sembari membungkukkan badan pada Sergio yang berada di dalam mobil.
Sergio membalasnya dengan anggukan.
Ia baru saja akan melangkah ke toko bunga miliknya. "Sabrina!" seru Sergio, yang membuat Sabrina kembali menghadapkan dirinya pada ayah mertua yang berada di dalam mobil.
"Perjuangkan apa yang menjadi milikmu," ucap Sergio, lalu menutup kaca mobilnya dan meminta supir untuk segera pergi.
Sabrina terpaku menatap kepergian Sergio. Di antara semua anggota keluarga, hanya Sergio yang selalu bersikap baik dan memperlakukan Sabrina layaknya manusia. Hanya ayah mertuanya itu yang membuat Sabrina merasa memiliki keluarga, sebab yang lain tak pernah menganggapnya ada.
"Hai, bos." Seseorang menepuk bahu Sabrina dari belakang. Wanita itu hanya menoleh sekilas melihat siapa yang menyapanya, lalu kembali fokus pada mobil Sergio yang sudah menghilang.
Bibirnya mengukir senyum walau tipis. "Berjuang!" ucapnya dalam hati.
"Apa itu tadi ayah mertuamu?" tanya Paul, salah seorang pegawai di florist-nya.
Pria berpembawaan manis itu, adalah seorang pekerja keras. Paul adalah salah satu dari dua pegawai Sabrina. Baru satu bulan Sabrina menerima Paul bekerja di toko bunga miliknya.
Sabrina mengangguk tanpa menoleh pada Paul. Keduanya sama-sama menatap jalanan di mana mobil Sergio semakin lama semakin menghilang.
"Ayo masuk!" ajak Paul.
Sabrina pun berjalan lebih dulu, meninggalkan Paul di belakangnya. "Hei ... seperti apa suamimu?" tanya Paul yang membuat Sabrina menghentikan langkahnya.
"Apa dia tampan?" sambungnya.
Langkah Sabrina terhenti. "Tampan? ya, dia sangat tampan," jawab Sabrina. Namun, hanya bisa ia ucapkan dalam hatinya, sebab saat ini ia hanya membisu.
"Apakah, lebih tampan dariku?" imbuh Paul berkelakar.
Tak menanggapi, Sabrina kembali berjalan masuk ke toko bunga. Paul menatap iba pada bos cantiknya. Sabrina memang tidak pernah cerita, tapi ia tahu dari Caty, rekan kerjanya yang mengatakan jika rumah tangga Sabrina tidak baik-baik saja. Caty pun tahu dari hasil menyimpulkan kejadian yang ia lihat.
Suatu hari saat Fabian menjemput Sabrina ke florist, pria itu menarik Sabrina dan juga memaki Sabrina dengan kasar, hanya karena Sabrina membuatnya menunggu. Padahal baru sepuluh menit Fabian berada di luar toko saat menunggu Sabrina bersiap untuk pulang. Fabian lantas masuk ke ruangan Sabrina dan menyeretnya keluar, tak lupa memaki Sabrina dengan sebutan gadis lambat, bodoh dan menyusahkan. Dari situlah, Caty melihat ada yang janggal dengan pernikahan bos tempatnya bekerja.
"Hei ... bos, tunggu. Apa dia lebih tampan dariku?" teriak Paul yang mencoba mengejar Sabrina yang tetap abai.
__________________
Siang hari, di sebuah ruangan presiden direktur PT. DREAM LAND, Fabian sedang meradang menanggapi sikap ayahnya.
"Kenapa Ayah selalu keterlaluan, aku sudah mengikuti apa mau Ayah dengan menikahi gadis bodoh itu!" sentak Fabian, lalu menyugar rambutnya dengan frustasi.
Hari ini, tanpa pemberitahuan sebelumnya, Sergio telah menunjuk Lucas, kakak tirinya sebagai CEO di perusahaannya. Tentu saja harga diri Fabian sebagai anak kandung terlukai di depan rapat dewan komisaris yang baru saja selesai. Mungkin saat ini Lucas sedang merayakan jabatan barunya dengan berpesta, sementara dirinya hanya jadi pecundang yang hanya bisa protes dan merengek pada ayahnya.
"Semua bukan salahku, semua yang aku lakukan adalah yang terbaik, dan aku melakukan hal yang benar." Sergio menjawab kemarahan putranya dengan tenang.
Fabian mendesah kesal. "Terbaik ... hal yang benar ... semua itu hanya Ayah lihat dari sudut pandang ayah. Apa Ayah pernah memikirkan perasaanku? Tidak ... tidak pernah!" sentaknya pada Sergio.
"Bagi Ayah, anak tiri Ayah itu selalu jadi yang terbaik untuk ayah dan selalu jadi prioritas untuk Ayah. Kalau begitu, kenapa bukan dia saja yang menikahi gadis bodoh itu!"
"Kau akan menyesal jika aku benar-benar meminta Lucas untuk merebut Sabrina darimu," jawab Sergio geram.
"Menyesal ... aku akan sangat bahagia jika gadis bodoh itu menikah dengan pria sialan itu!" decih Fabian.
"Sudahlah, jangan menimpakan kesalahanmu pada orang lain. Aku sudah memberimu kesempatan, bahkan dengan cara yang mudah. Kau tidak perlu bekerja sekeras Lucas. Kau cukup membahagiakan menantuku, dan aku akan memberikan segala yang kau butuhkan. Bahkan hal itu saja tak mampu kau lakukan," sarkas Sergio.
"Apa maksud Ayah?"
"Aku hanya ingin menantuku mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan, kebahagiaan dari suaminya. Itu saja, dan hal itu akan mengantarmu pada posisi yang kau inginkan, tapi apa, kau tak sanggup melakukannya." Sergio menyeringai, meremehkan Fabian.
Fabian dan Lucas selalu berlomba untuk jadi yang terbaik di mata Sergio, tapi kenyataan selalu Lucas yang lebih unggul dari Fabian. Fabian selalu sibuk dengan kehidupan bebasnya, di saat yang sama, Lucas sedang bekerja keras demi bisa dipandang oleh Sergio, ayah tirinya.
Usaha Lucas tak sia-sia, sekarang ia benar-benar menyingkirkan Fabian dari jabatan CEO.
"Aku sudah menuruti keinginan Ayah, aku bahkan mengabaikan perasaanku untuk wanita yang aku cintai, tapi lihat sekarang. Kau bahkan tak pernah menghargainya," ucap Fabian melembut, tak akan ada menangnya melawan sang ayah.
Mendengar Fabian mengungkit tentang kekasihnya membuat Sergio mengepalkan tangannya. "Aku hanya ingin mendidikmu menjadi pria yang kuat tanpa ja lang itu!" Sergio berdiri, membetulkan jasnya, lalu melenggang pergi dari hadapan Fabian yang kini mematung memikirkan perkataan ayahnya.
"Kau akan terus menjadi putra mahkota selama kau menuruti keinginanku." Sergio menepuk bahu Fabian sebelum ia benar-benar meninggalkan ruangannya.
"Aaarggghhh!!!" Fabian meraung, ia membuang semua barang di atas meja kerja dengan kasar.
"Ini pasti ulahmu, dasar gadis bodoh sialan!!!" gumam Fabian pada dirinya sendiri.
"Aku akan membalas semuanya!" Mata Fabian merah dipenuhi amarah, pikirannya tertuju pada istrinya yang ia sebut bodoh. Ia mengulas seringai di bibirnya, saat otaknya menemukan cara membalas Sabrina.
"Lihat apa yang akan aku lakukan untukmu, gadis bodoh!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!