"Apa maksudmu dengan menerima permintaan Daddy."
"Tidak ada." Emily nampak kaget saat tiba-tiba Leon datang dan memarahinya dengan kata-kata kasar.
"Apa kau tidak punya solusi lain agar tetap menjadi bagian keluarga kita? Apa harus dengan menjadi istriku."
"Menurut Daddy Ini adalah solusi yang tepat, dan dia ingin kita menyetujuinya Leon."
"Bagaimana bisa kalian mengambil keputusan sepihak. Aku mencintai orang lain Emily, bahkan untuk melupakan kekasihku saja aku belum bisa dan kalian sudah membahas pernikahan."
"Lalu apa yang harus aku lakukan, ini adalah keinginan Ayahmu, aku juga tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak aku cintai. Hanya karena ini adalah permintaan Daddy sajalah aku mau menyetujui."
"Berfikirlah! Jangan hanya pasrah dan setuju seperti itu." Leon menyapu kasar wajahnya. "Semua ini membuatku hampir gila.
Pria berdara Spanyol itu benar-benar pusing dengan kemauan Ayahnya, hanya karena ingin Emily menjadi bagian seutuhnya dari keluarganya, mereka terpaksa harus menikah. Pria bermanik hitam ini masih ingat jelas, saat itu usia Emily masih 20 tahun dan usianya 25 tahun. Gadis itu tiba-tiba saja muncul, dia di bawah pulang oleh Ayahnya dan di perkenalkan sebagai calon istri kepadanya.
Sempat, sebelum mengetahui yang sebenarnya Leon berfikir bahwa Emily adalah anak dari wanita simpanan Ayahnya, selama 1 tahun Ayahnya tidak pernah menjelaskan siapa sebenarnya dia, dan itu membuat Leon membenci Emily. Dia selalu mempelakukannya dengan dingin dan sama sekali tidak pernah peduli padanya.
Sampai ketika di usia yang ke 21 tahun Emily, Oliver yang tak lain adalah Ayahnya baru mengungkapan siapa sebenarnya Emily. Leon merasa bersalah karena sudah memperlakukan wanita itu dengan begitu tidak baik. Dia mengira dia adalah anak dari hasil zina. Awalnya, dia berniat untuk memperbaiki sikapnya dan mulai menerima gadis itu untuk menjadi adiknya. Namun, lagi-lagi Ayahnya selalu mematahkan keyakinannya.
Dia kembali merasa di khianati saat Ayahnya meminta untuk mau melanjutkan perjodohannya dengan Emily. Leon terus saja menolak, bukan karena tidak menyukai perempuan itu. Tetapi, dia sendiri bahkan merasa bingung kapan dia dan Emily bertunangan, dia juga memiliki kekasih, meskipun keadaan hubungan mereka sedang tidak baik-baik, tapi tetap saja. Dia tidak bisa meninggalkan wanita itu dan memilih Emily yang tiba-tiba datang dan mengaku sebagai tunangannya.
Tidak di pungkiri, pesona Emily cukup membuatnya tidak bisa berkedip. Gadis itu memiliki wajah mulus bak boneka barbie. Kecantikannya jauh di atas Caitlin, apalagi Emily selalu berdandan natural berbanding terbalik dengan Caitlin yang selalu glamour.
Cukup untuk ukuran seorang perempuan idaman. Namun, dia enggan mendekatinya. Dia terlalu baik jika tiba-tiba menganggap seorang perempuan asing menjadi kekasihnya. Untuk menjadi seorang adik perempuan saja itu sangat mustahil baginya, apalagi seorang kekasih.
"Apapun keputusanmu, Aku harap itu tidak mengecewakan Ayahmu."
Leon menatap Emily dengan tatapan lurus. "Aku bahkan tidak tahu pilihan mana yang harus aku pilih."
"Aku akan minta Daddy untuk memberi waktu 1 bulan, dan dalam waktu satu bulan itu kau harus bisa membuat kekasihmu kembali, itu satu-satunya cara agar semua ini berakhir."
Leon menatap Emily. Yang jelas, dia tidak ingin melukai wanita itu. Tetapi dia juga tidak bisa memberikan harapan kepada Emily.
"Aku bahkan tidak mencintaimu Em, jangankan itu, aku bahkan tidak menginginkanmu menjadi adik ku."
Jantung Emily serasa tertikam, ini bukan pertama kalinya dia mendengar Leon mengatakan hal menyakitkan padanya. Namun, tetap saja, dia adalah seorang wanita yang memiliki hati yang lembut. Mengatakan dengan jujur seperti ini adalah penghinaan terbesar bagi Emily. Akan tetapi dia memang harus sadar diri.
"Kau tidak perlu mengatakannya, aku tahu kau tidak menyukaiku."
Gadis itu melangkah mendekat ke arah Leon, menatap pria yang memiliki manik hitam itu dengan datar. "Dasar Singa," batin Emily meringis.
"Mari, saling bekerja sama untuk membatalkan perjodohan konyol ini."
Badai kekecewaan menerpa Emily saat ini. Dia di tolak bahkan sebelum melakukan pendeketan kepada pria bertatto elang itu.
"Rumit sekali hidup ini, untuk mendapatkan tempat terbaik kita harus memberikan separu hidup sebagai jaminan."
Lengah-nya jalanan malam ini, membuat mobil yang di tumpangi Emily melesat laju tanpa hambatan. Dalam perjalanan, dia melewati beberapa bangunan tua yang menghiasi jalanan kota Madrid.
Tidak butuh waktu lama, mobilnya kini memasuki gerbang area perumahan dimana keluarganya dulu tempati. Rumah dengan struktur bangunan segi empat yang di desain ala bangunan-bangunan mewah di Prancis itu terlihat sepi karena semua penghuninya sudah tiada.
Emily berjalan menelusuri sisi luar rumahnya, mencari-cari, mungkin saja ada kenangan yang tidak sengaja orang tuanya tingglkan untuk dia. Namun, beberapa kali mengitari tidak ada satupun benda berharga yang dia temukan. Kepergian kedua orang tuanya begitu mendadak, tiada kesan dan kesan, mereka menghilang seperti debu yang di tiup angin.
"Apa kalian akan membiarkanku dalam dilema hidup seperti ini? Kenapa tidak kalian bawah saja aku. Kenapa?"
Perempuan itu menangis tersedu di bawa pohon yang rindang, hanya satu pohon yang tumbuh di pekarangan. Dulu saat kedua orang tuanya masih ada, mereka sering berteduh sambil menceritakan masalah masing-masing, merasakan sedih dan bahagia bersama-sama.
Emily Burman, namanya memiliki arti yang istimewah yaitu rajin dan tekun. dia adalah anak yang kuat, sejak kedua orang tuanya meninggal, dia bertahan hidup sendirian. Beberapa bulan sebelum Rimario menemukannya, di rumah ini dengan mengandalkan tumpukan koran yang di tinggalkan Ayahnya gadis itu menjualnya agar bisa membeli bahan makanan, terkadang dia sering membantu para lansia dan mereka akan membayarnya dengan beberapa roti dan selai.
Dia bahagia melakukan semua itu meski bayaran yang dia dapatkan tidak sebanding. Dan sekarang ketika segala kebutuhan itu sudah terpenuhi, dia harus membayar kembali dengan memberikan seperuh hati dan hidupnya. Ini yang namanya hukum alam. Ada penggorbanan besar di balik kenikmatan yang kita terima.
"Rumah ini begitu kotor, berdebu di mana-mana."
Emily mendesah, karena dia sudah di sini dia berfikir untuk membersihkan rumah sebelum kembali ke Mansion. Namun, karena lelah setelah bersih-bersih, akhirnya dia tertidur. Tak sadar entah sudah berapa jam dia meninggalkan Manison tanpa kabar, seisi rumah panik mengira dia kabur karena tertekan.
"Gadis yang sangat merepotkan. Untuk apa dia harus kabur. bukankah lebih baik dia diam di rumah saja,"
Leon benar-benar kesal. Dia berada pada pilihan yang membingungkan. Rasa egois yang tidak ingin terlihat sedang mengkhawatirkan orang lain membuat dia susah berkomunikasi dengan Emily
Apalagi sejak gadis itu datang kerumahnya, Leon selalu memberikan sikap dingin dan cuek padanya, hingga membuat mereka kerap kali bertengkar. Jarang saling kedua orang itu bertegur sapa.
"Ke mana anak keras kepala itu, sudah begitu larut dan dia belum juga kembali." Leon mengeram kesal. Tentu saja dia kesal, sedari tadi Romario memarahinya karena Ketiadaan Emily di rumah, dia bahkan sudah menelpon semua teman yng biasa sering berkunjung di Manison, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang tahu keberadaan gadis itu.
"Apa teman-temannya tidak ada yang tahu."
"Aku sudah mengatakannya berulang kali Daddy."
"Cek kembali jangan sampai ada yang terlewati," pinta Romario dengan tegas.
"Sudah Daddy, aku membulak-balik buku ini sudah lebih dari 3 kali dan hasilnya nihil."
"Apa kau sudah mengeceknya di rumahnya yang dulu? mungkin saja dia ke sana."
Pria yang memakai kaos hitam itu berfikir sejenak. "Benar, aku belum mengeceknya sampai ke sana."
Leon berlari mengambil jaketnya, dan tanpa menoleh dia berteriak untuk ayahnya.
"Aku akan melihat apa kah dia di sana Daddy, katakan pada Melisa untuk menyiapakan makan malamnya nanti saja."
"Hei, jangan marahi dia! Bicralah dengan pelan," teriak Romario memperingati putranya. Kerena dia tahu sifat Leon, selalu berkata kasar pada wanita itu. Sama seperti namanya, dia selalu saja mengaum.
Emily Burman.
Madrid Spanyol.
Suara bel berbunyi, dahi Emily berkerut dengan mata setengah terpejam, ujung netranya melirik lurus ke arah jam dinding kamarnya. Waktu menunjukkan tepat pukul 22:00.
"Oh God! Siapa yang datang di jam seperti ini?" batin Emily memekik sedikit kesal. Dia mencoba mengabaikannya karena matanya yang terlalu berat. Namun, lagi-lagi, bel itu terus saja berbunyi dan terus berulang hingga membuat Emily dengan terpaksa harus berjalan membukakan pintu.
Gadis itu berjalan dengan pela karena tubuhnya sangat lemas, juga lelah. Dia membersihkan seluruh rumah. Lelah dan juga mengantuk membuat dia tidak sanggup untuk bangkit. Dia bahkan tidak sadar jika dia harusnya segera pulang. "Sebentar," ucap Emily mengusap-usap kedua matanya yang masih terasa berat untuk terbuka.
Cklak ....
Pintu itu terbuka, tampak di depannya seorang pria dengan Hoddy hitam yang meneutupi kepalanya. Emily tanpa sadar menatapnya dari atas kepala hingga kaki.
"Lo siento, necesitas algo? (Maaf, apa anda membutuhkan sesuatu?)" tanya Emily dengan suara seraknya.
Mata gadis itu seketika membulat, saat pria dengan Hoddy hitam itu berbalik. "Leon!" Wanita itu menatap manik di depannya dengan ekspresi yang sangat kaget.
"Dasar tukang pembuat onar! Sedang apa kau di sini? kau membuat semua orang panik karena mencarimu."
Emily mengerutkan kening, dia tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan Leon. "Tapi dari tadi aku tidak melakukan apapun, aku hanya tidur karena lelah."
"Tidur?" Leon membuang napas kesal. "Kau tertidur dengan sangat pulas, sedangkan kami seperti orang tidak waras mencari mu kesana kemari Nona Emily."
Emily memutar mata malas karena semakin tidak mengerti dengan apa yang terjadi. "Ada apa denganmu, kenapa kau terus berkata kasar padaku."
"Oke, sekarang kau berada di mana?" Leon mencoba untuk membuat ingatan Emily kembali, karena sepertinya wanita ini sedang lupa ingatan.
"Rumahku?"
"Rumahmu yah." Leon mengangguk menahan kesal. "Kalau begitu, siapa aku?"
"Tentu Saja kau adalah Leon," jawab Emily lantang.
"Wow! Estás absolutamente en lo correcto. (Kau benar sekali.)"
Gadis bermata biru itu mengedihkkan bahu. "Lalu salahnya di mana? Aku tidak melakukan kesalahan tapi ka--" Emily menjedah ucapannya,mencerna semua perkataan Leon dari awal. Matanya gadis itu lalu berpencar melihat sekililing.
"Oh s-hit!" Mata cokelat itu kembali menatap Leon, dengan penuh ketakutan. Dengan suara yang hampir saja tidak terdengar dia berkata. "Maaf," ucapnya sangat pelan nyaris tidak terdengar.
Dan Leon tertawa hambar saat kalimat maaf itu keluar. "Apa kau tidak memiliki pekerjaan hingga membuat semua orang panik seperti ini!"
"Sudah cukup hentikan!" Emily tiba-tiba berkata dengan kasar. "Jangan meneriaki ku seperti itu, aku bukan pembuat onar, lagipula siapa yang sedang melarikan diri. Aku hanya datang berkunjung dan menyapa kedua orang tuaku di sini, apa tidak boleh."
"Tentu saja bisa Emily, tidak ada yang salah, dan tidak akan ada yang merasa khawatir jika kau memberitahu kemana kau akan pergi."
"A--aku, aku memberitahu Melisa jika akan pulang terlambat."
"What! Melisa?" Leon memejamkan mata, mengeram kesal karena dua wanita idiot ini.
"Apa aku salah lagi?"
"Tidak."
"Lalu kenapa wajahmu sekan menahan kesal padaku."
Leon tidak bisa lagi berkata-kata jika wajah polos Emily sudah merekah. "Ambil ini." Pria itu memberikan makan yang dia belikan saat perjalanan.
"Apa ini?" tanya Emily.
"Makanan. Apa hidung mu tidak bisa mengendus," jawabnya kasar.
"Tentu saja bisa. Semua fungsi organ tubuhku masih bekerja dengan bagus," cicit Emily kesal.
Leon mencibir kesal, ucapan wanita di depannya seakan sedang menyindirnya. "Habiskan makanannya, setelah itu kita kembali. Jika tidak Daddy akan membuat Manison menjadi sungai karena menangisimu."
Emily menoleh dengan wajah aneh ke arah Pria yang memiliki manik hitam itu. "Aku belum mati, untuk apa dia menangisiku seperti itu."
"Oh God!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!