Adara Utari Haryono tiba di bandara Soekarno-Hatta dengan semangat. Bagaimana tidak, akhirnya dia bisa berlibur menemui sahabatnya Damayanti yang sekarang tinggal di ibukota ini setelah menikah dua tahun lalu.
Adara atau biasa dipanggil Dara dan Damayanti yang biasa dipanggil Yanti, adalah dua sahabat karib semenjak mereka SMA. Dara putri keluarga Haryono pensiunan pegawai negeri sipil di kota Solo sedangkan Yanti adalah putri tunggal juragan batik di pasar Klewer. Keduanya dulu teman sebangku hingga lulus karena sama-sama masuk jurusan IPA yang selalu sekelas.
Dara sendiri memiliki kakak laki-laki yang berprofesi sebagai dokter di Surabaya. Di solo, Dara tinggal bersama kedua orangtuanya dan adik sepupunya Naina yang bekerja sebagai dosen di salah satu universitas disana. Dara adalah seorang guru bimbingan konseling sesuai dengan latar belakang pendidikannya di psikologi.
Ketika masuk universitas, Dara dan Yanti berpisah karena Dara diterima di universitas negeri di Semarang dengan beasiswa, sedangkan Yanti tetap berkuliah di solo mengambil jurusan teknik kimia. Walaupun demikian setiap liburan semester, keduanya selalu bersama.
Disaat Dara sibuk menjadi guru bimbingan konseling di sebuah SMA swasta di solo, dia mendapat kabar bahwa Yanti akan dilamar oleh seorang pria yang merupakan anak sahabat ayahnya. Dara yang tahu karakter Yanti yang menolak perjodohan, hanya bisa menghibur pada saat Yanti datang ke rumahnya sambil menangis.
"Aku masih ingin bekerja sebagai guru kimia, Ra. Ayah kok tega sekali! Padahal aku baru diangkat menjadi PNS dan sekarang harus menikah" isaknya.
"Apa kau sudah melihat calon suamimu?" tanya Dara sambil memeluk Yanti.
"Aku hanya melihat dari foto saja. Ayah mengirimkan foto mas Abi ke ponselku". jawab Yanti sambil masih terisak.
"Apakah dia tampan?" goda Dara mencairkan suasana.
Yanti memukul bahu sahabatnya kesal.
"Kamu tuh sahabat durjana! Aku lagi sedih maksimal malah mbok tanyain gitu!" omelnya dengan logat Jawa kental.
Dara tertawa. "Setidaknya yang dijodohkan kepadamu fisiknya nggak malu-maluin Yan. Apa kata dunia, Damayanti Darmanto anak pak Darmanto juragan batik kawin ma pria jelek"
"Iiissshhh, aku kan nggak liat fisik, yang penting dia mencintaiku dan aku mencintainya. Lha ini, kenal saja nggak, tahu-tahu main lamar ajah! Lagian nikah ya Ra, bukan kawin!" omel Yanti.
"Iya deh Yan." kekeh Dara. "Kapan acara lamarannya Yan?"
"Lusa".
"What?!" seru Dara. "Gile lu Ndro! Cepatnya???"
"Itulah Ra, gimana aku nggak panik dot com. Ayah keterlaluan! Dikira anaknya ini nggak laku apa! Anaknya ini baru umur 24 tahun, belum bisa dibilang perawan tua!"
"Mungkin Oom Dar melihat dia calon suami idaman yang cocok untukmu Yan. Mana ada orangtua mau memblasukkan anaknya. Haqul Yaqin ajah, Yan bahwa dia terbaik untukmu" hibur Dara.
"Tapi gimana pekerjaan ku?"
"Besok acara lamaran bisa kau bicarakan baik-baik dengan calon suamimu. Kalau memang bisa pindah, kenapa tidak."
"Apa kau bisa datang lusa?" tanya Yanti penuh harap.
Dara membuka agendanya. Ternyata lusa dia harus pergi ke Semarang mengikuti seminar para guru bimbingan konseling se Jawa Tengah.
"Aku ada seminar Yan" keluhnya dengan muka sedih. "Maaf ya".
"Yaaahhh, sedih aku tuh" Yanti kemudian memeluk Dara.
"Aku usahakan bisa cepat pulang dari seminar."
Namun Dara akhirnya tidak bisa menghadiri acara lamaran Yanti dengan pria asal Jakarta yang bernama Abimanyu Giandra. Begitu pula pada saat pernikahan mereka satu bulan kemudian di Jakarta, karena lagi-lagi Dara harus terbang ke Surabaya untuk mengikuti pelatihan.
Komunikasi mereka berdua sebatas WhatsApp dan video call. Yanti sendiri setelah menikah tidak diijinkan oleh suaminya bekerja dan harus mengundurkan diri dari PNS. Dara sendiri tahu bagaimana kecewanya Yanti yang harus mengorbankan kebanggaannya menjadi seorang guru dan PNS. Namun sebagai istri memang harus menurut suaminya apalagi Yanti sendiri tidak merasa kekurangan materi karena suaminya sendiri adalah seorang Presdir perusahaan distributor otomotif.
Kini setelah dua tahun tidak bertemu, Dara akhirnya bisa mengambil kesempatan untuk berlibur disaat liburan anak sekolah. Dia berencana untuk berada di Jakarta selama seminggu sebelum nantinya kembali ke Solo untuk ajaran baru.
Kaki jenjangnya melangkah keluar pintu kedatangan untuk menuju bis DAMRI yang memang tersedia disana. Dara sudah tahu alamat Yanti yang terletak di perumahan elit kawasan Jakarta Selatan dan dia memutuskan naik bis sampai segitiga emas lalu menuju rumah Yanti menggunakan ojek online.
Namun matanya melihat ada seorang bapak-bapak membawa white board kecil bertuliskan
Adara Utari - Solo
Dara berjalan menuju bapak-bapak tersebut.
"Maaf pak? Bapak ini siapa? Kok memegang papan dengan nama saya?" tanya Dara.
"Non Dara?" bapak tersebut kemudian membuka ponselnya seperti mencocokkan wajah Dara.
"Iya saya Adara Utari. Bapak siapa ya?" tanya Dara lagi.
Bapak tersebut menyimpan white board di sebuah ransel dan memasukkan ponselnya lalu mengeluarkan kunci mobil. "Saya pak Sigit, sopir nyonya Yanti. Tadi pagi nyonya meminta saya menjemput sahabatnya nona Dara. Mari nona, kita ke mobil". Koper kecil Dara pun diambil alih oleh pak Sigit.
Dara terperangah. Sahabatnya sampai mengirim sopir untuk menjemputnya. Dara mengambil ponselnya yang memang dia matikan ketika naik pesawat tadi. Seketika suara notifikasi langsung ramai usai ponselnya dia hidupkan. Semua berasal dari kedua orangtuanya yang menanyakan apa sudah sampai dan Yanti yang mengirim pesan akan ada sopir bernama pak Sigit yang akan menjemputnya.
Tak lama, nama Yanti terpampang di layarnya.
"Assalamualaikum Yan" sapa Dara.
"Wa'alaikum salam Sayangku. Sudah bertemu pak Sigit?" tanya Yanti di seberang.
"Sudah, ini lagi jalan menuju parkiran." sahut Dara sambil mengikut pak Sigit.
"Ya sudah, hati-hati ya. Sampai ketemu di rumah ya. Assalamualaikum".
"Wa'alaikum salam". Dara mematikan hubungan.
Tak lama mereka sampai di parkiran mobil dan Dara terkejut melihat betapa mewahnya mobil yang menjemputnya.
"Pak Sigit, ini mobilnya Yanti?" tanya Dara dengan agak norak dikit. Setahunya suaminya Yanti kaya namun seberapa kaya Dara tidak tahu.
"Bukan nona, ini salah satu mobil di garasi tuan Abi. Mobil nyonya sedang diservis jadi tadi tuan Abi meminta saya menjemput dengan salah satu mobilnya" jawab pak Sigit sambil memasukkan koper Dara ke bagasi.
"Silahkan nona" pak Sigit membuka pintu belakang mempersilahkan Dara masuk. Gadis itu masuk ke kursi belakang sambil mengagumi kemewahan mobil ini.
Biarin aku norak, kapan lagi naik mobil mercy mahal.
Mercedes-Benz GLC 300
"Sudah siap nona?" tanya Pak Sigit.
"Yuk pak, kita ke rumah Yanti."
Sepanjang perjalanan Dara menikmati pemandangan kota Jakarta yang sudah lama tidak ia datangi karena terakhir adalah pada saat liburan keluarga itu pun lima tahun lalu.
Ternyata gini rasanya naik mobil mewah. Norak sehari boleh kan yaaaa.
***
Dara tiba di sebuah rumah yang sangat mewah dengan desain modern minimalis berbentuk kubus. Sejenak dia merasa tidak berada di Jakarta melainkan di planet lain. Rumah ini sangat mewah, elegan dan...mahal. Dara tidak berani mengira-ngira berapa harganya daripada nanti pingsan. Halamannya sangat indah dan tampak ada dua orang tukang kebun yang mengurusnya.
"Sudah sampai nona Dara" suara pak Sigit mengejutkan Dara yang telah membukakan pintu tempat dia duduk.
"Ah...iyaaa. Maafkan saya Pak Sigit, saya terkesima melihat rumah Yanti." cengirnya.
"Saya pun begitu nona ketika pertama kali masuk kerja disini." senyum pak Sigit maklum.
"Pak Sigit sudah bekerja berapa lama?" tanya Dara sambil turun dari mobil mendekati pak Sigit.
"Saya sudah sepuluh tahun kerja disini nona." jawab pak Sigit sambil menyerahkan koper milik Dara.
"Ooohhh.."
"DARA!!!"
Dara dan pak Sigit menoleh ke sumber suara. Tampak Yanti sudah berada di tangga masuk. Penampilan Yanti sangat berbeda dari ingatan Dara. Hari ini dia tampak seperti nyonya muda sosialita, mengenakan gaun yang Dara tahu itu adalah keluaran Dior, sepatu flat shoes milik Jimmy Choo dan jangan lupa perhiasan yang menempel di tubuh wanita cantik bermake-up flawless. Rambut hitamnya hanya diikat biasa. Walaupun Dara dari keluarga biasa, namun soal fashion dia selalu mengikutinya karena dia menyukai fashion yang dikenakan para aktris di drama Korea meski dia sendiri hanya bermimpi membelinya.
"Ya ampun Yanti!!!" seru Dara sambil memeluk sahabatnya. Tak lupa ciuman pipi kiri kanan.
"Ayo masuk" hela Yanti sambil menggandeng tangan Dara. "Pak Sigit tolong kopernya Dara kasih ke bik Tarsih yaaaa biar dimasukkan ke kamarnya".
"Baik nyonya" jawab pak Sigit sambil memandang majikannya yang segera masuk bersama. sahabatnya.
Dara kembali terperangah melihat interior dalam rumah Yanti yang super mewah.
Nuansa putih, hitam dan biru tampak elegan dengan penataan perabot yang cantik dan mewah. Dara kembali terkagum-kagum melihat halaman belakang yang tertata asri ditambah kolam renang dan mini bar disana. Semua tanaman disetting seindah mungkin membuat siapapun yang berada di halaman belakang merasa nyaman.
"Mulutnya jangan terbuka gitu dong Ra. Nanti lalat masuk lho" Yanti geli melihat wajah sahabatnya yang terbengong bengong.
"Yan, boleh yaaaa aku norak sehari? Jujur ini pertama kalinya aku masuk rumah Sultan." Mata indah Dara tidak henti-hentinya menatap semua yang ada di rumah mewah itu.
"Boleh lah. Apa sih yang nggak boleh buat sahabatku" senyum Yanti senang.
Setelah tour dadakan melihat rumah dua lantai yang indah itu dan parkir basement yang mampu memuat sepuluh mobil dan kini terisi enam mobil mewah berbagai merk, Dara dan Yanti sekarang berada di halaman belakang, tepatnya area duduk depan kolam renang. Sekarang Dara membuka traveling bagnya yang berisi banyak makanan khas solo.
"Wah abon Mesran! Wah rambak! Wah klengkam!" seru Yanti berbinar. "Wah paket teh wasgitel
Dara melihat sahabatnya bahagia jadi ikut senang. Wajah Yanti sekarang adalah benar-benar Yanti yang ia kenal.
"Sayang kurang serabi Notosuman" ucap Dara.
"Kayaknya di Jakarta sudah ada franchise-nya, nanti kita pesan online saja." Yanti mengambil ponsel mahalnya lalu mencari aplikasi pesan online.
"Yan"
"Hhmmmm"
"Are you happy?"
Yanti menatap Dara dengan tatapan yang tidak dapat dijabarkan. Ada kesedihan dan kekosongan batin yang terlintas di wajah Yanti.
"Truth is I don't know." jawabnya sendu.
"Mas Abi sayang padamu kan?"
"Gimana ya Ra. Kau tahu, pada awal kami menikah, aku hanya tahu dia Presdir perusahaan distributor otomotif. Ternyata setelah seminggu menikah, aku baru tahu kalau dia tidak hanya memiliki bisnis di bidang otomotif tetapi juga di bidang kuliner. Mas Abi punya beberapa restauran kelas atas dimana dia sebagai investor nya."
"Wow, kau benar-benar istri Sultan Yan" kekeh Dara tanpa ada rasa iri sedikit pun. Bagi Dara, hidup sederhana di Solo jauh lebih nyaman daripada rumah mewah seperti ini tapi tanpa ada kehangatan di dalamnya.
Yanti hanya tersenyum getir. "Aku bukannya tidak bersyukur mendapatkan suami tajir Ra tapi apa artinya hidup bergelimang harta namun kehidupan rumah tangga kami bagaikan kutub Utara."
"Mas Abi tidak mencintaimu?"
"Mencintai rasanya tidak tapi perhatian ada walaupun kaku. Aku merasa seperti manequin berjalan. Harus tampak sempurna dengan berbagai macam barang branded menempel di tubuhku. Bahkan aku tidak bisa memakai daster batik di rumahku sendiri! Alasannya adalah karena aku istri Presdir, penampilan harus dijaga. Awal-awal aku menikmatinya. Cewek mana yang nolak barang branded seperti yang sering kita bahas dan tonton di drakor? Namun makin kesini, mas Abi makin mengatur. Aku harus ikut kursus make-up, kepribadian, harus belajar berbagai macam bahasa asing, menemani pertemuan bisnis dan sosialita. Kayak gitu deh!" Yanti menghela nafas panjang. "This is not me Ra. Kan kau tahu sendiri aku bagaimana?"
Percakapan mereka terhenti ketika seorang pelayan datang membawakan camilan dan minuman.
"Terimakasih Mirna" ucap Yanti.
"Sama-sama nyonya" jawab Mirna sambil membungkuk sopan lalu kembali ke dalam rumah.
"See? Aku bukan orang yang gila hormat Ra tapi disini..."
Dara menepuk paha Yanti. "Sabar Yan, resiko memiliki suami sultan itu memang begini."
"Iiihhh kayak kamu yang udah pengalaman punya suami Sultan." kekeh Yanti. "Apa kamu mau bertukar tempat denganku?"
Dara melototkan matanya. "Apa?! Oh no no no, NO! Sorry Yan, tapi aku tidak mau memiliki suami macam suamimu yang tajir melintir seperti ini. Aku lebih suka memiliki suami yang biasa-biasa saja namun mencintaiku"
Yanti menatapnya dengan wajah penuh arti yang tidak bisa dimengerti Dara.
"I wish you will have one like mine" senyum Yanti.
"Yan! Tarik ucapanmu! Jangan doain aku aneh-aneh deh!" Dara menatap kesal ke arah Yanti.
"Kan biar aku ada temannya kalau kumpul-kumpul sosialita. Oh, nanti aku akan minta tolong mas Abi untuk mengenalkan dirimu ke beberapa rekan bisnisnya yang masih lajang" goda Yanti.
"Nggak Yan!" Dara tidak habis pikir jalan pikiran sahabatnya ini.
"Kamu jomblo kan? So, no problemo lah kalau aku promosikan dirimu" kekeh Yanti.
"What?! Kamu kira aku baju apa main promosi aja!" umpat Dara kesal sedangkan Yanti tetap tertawa jahat versinya. "I hate you Yan! Nyesel aku liburan kesini". Tawa Yanti makin keras.
"Maaf maaf tapi kapan lagi aku bisa menggoda dirimu Ra".
Dara mendengus kesal. Terkadang sahabatnya ini memang lucknut.
"Jujur Ra, aku sedikit lelah menjalaninya. Apalagi aku tidak memiliki teman yang bisa mengerti dan jujur apa adanya tanpa melihat berapa kartu kredit mu, black card kah atau cuma platinum, jumlah tas Hermes mu atau apalah yang berhubungan dengan kekayaan. Aku tidak bisa makan di pinggir jalan karena mas Abi melarangnya, aku tidak bisa pergi ke pasar tradisional. Hal-hal remeh yang sering aku, kita lakukan dulu Ra, sekarang hanya mimpi."
Dara mendengarkan semua keluhan Yanti yang tampaknya terpendam lama.
"Aku hanya ingin hidup layaknya dirimu, yang bebas kemana-mana tanpa pengawalan, tanpa diatur abcd."
"Apakah kau tidak mencintai mas Abi, Yan?" tanya Dara hati-hati.
"Mencintai mungkin belum tapi menyayangi ada. Meskipun mas Abi orangnya kaku dan dingin namun dia menghormati aku. Dan selama ini meski pernikahan kami tidak seperti pernikahan kedua orang tuaku yang hangat, tapi mas Abi tidak pernah menutupi status ku sebagai istrinya jadi semua rekan bisnisnya juga menghormatiku. Mas Abi juga dikenal suami setia, tidak pernah terdengar skandal atau apapun. Selalu pulang tepat waktu kecuali pada saat lembur". papar Yanti.
Dara mengangguk. "Ingat Yan, witing tresno jalaran Soko kulino. Kau tinggal membuat mas Abi tergila-gila padamu. Setidaknya dia orang baik Yan, mau menerima pernikahan ini."
"Sayangnya aku..."
"Yanti!"
Dara dan Yanti mengentikan percakapan mereka dan tampak seorang pria tampan mengenakan setelan jas kerja lengkap sedang berjalan menuju mereka duduk.
"Mas Abi" lirih Yanti yang langsung menatap Dara dengan cemas.
Semoga mas Abi tidak mendengar percakapan kami.
Abimanyu Giandra
Damayanti Darmanto
Adara Utari
Yanti berdiri lalu menyambut suaminya dengan senyuman yang dibalas Abimanyu usapan lembut di kepala wanita itu. Dara melihat interaksi keduanya lalu mengalihkan wajahnya ke arah kolam renang.
"Mas Abi, kenalkan ini sahabatku sejak SMA hingga sekarang" Yanti lalu menarik Dara mendekati suaminya.
Abimanyu mengulurkan tangannya ke arah Dara yang berdiri dihadapannya dan Dara menyambutnya.
Jabatan tangan yang tegas dan kuat.
"Abimanyu Giandra"
"Adara Utari"
Abimanyu melepaskan jabatan tangannya. Wajahnya tampannya tampak dingin dan kaku.
"Bagaimana perjalanannya tadi?" tanyanya basa basi sambil berjalan menuju dalam rumah. Yanti bergegas menjajarkan dengan suaminya dan Dara berjalan di belakang pasangan itu.
"Alhamdulillah lancar. Terimakasih sudah meminta pak Sigit menjemput saya".
Abimanyu menghentikan langkahnya.
"Tidak usah terlalu formal disini" ucapnya dingin sambil menoleh ke arah Dara yang terkesiap.
Yanti menepuk pelan lengan suaminya seperti mengingatkan agar merubah nada bicaranya.
"Baiklah mas" jawab Dara dengan kaku.
"Mas, tadi Dara bawa oleh-oleh buat aku banyak lho" suara Yanti mencairkan suasana dingin.
"Kamu senang?" tanya Abi sambil melepaskan jas nya dibantu Yanti.
"Senang lah mas. Sudah lama aku nggak beli jajanan Solo". jawab Yanti sambil melipat jas Abi.
Dara hanya diam saja melihat interaksi kedua pasangan itu. Bahasa tubuh mereka tidak menunjukkan sebagai sepasang suami istri yang saling mencintai namun rasa menghormati satu sama lain itu ada. Walaupun Abi kaku dan dingin, dia selalu menatap Yanti intens dan memperhatikan semua ceritanya.
"Kok tumben mas Abi sudah pulang jam segini?" Yanti melirik jam dinding yang menunjukkan pukul empat sore.
"Kan ada tamu di rumah, wajar lah kalau aku pulang lebih cepat untuk menyambut tamumu, Yan".
Kini ketiganya sudah berada di ruang tengah yang sangat luas. Dara mendudukkan tubuhnya di sofa tunggal yang sangat empuk, sedangkan Abi duduk berdua dengan Yanti di sofa panjang.
"Mirna, tolong itu oleh-oleh dari Bu Dara disimpan di dapur ya." pinta Yanti kepada pelayanannya yang membawakan satu teko teh beserta tiga cangkir. "Makanannya taruh di dalam toples lalu bawa kemari."
"Baik nyonya" Mirna pun mengundurkan diri.
"So, Dara. It's okay kan kalau saya manggil nama?" Abi membuka pembicaraan.
"Gak papa mas, panggil nama aja seperti Yanti manggil saya." jawab Dara.
"Gimana menurut Dara dengan rumah ini?"
Dara melongo. Maksudnya apa ya.
"Yanti cerita kalau Dara suka keindahan. Jadi saya bertanya ma anda, apakah masih ada kekurangan di rumah saya? Apa yang kurang indah?" tanya Abi lagi.
Dara menatap Yanti dengan tatapan bertanya. Apakah ini sebuah test? Atau pria ini narsisnya over load? Namun wajah Yanti menunjukkan agar Dara menjawab saja.
"Ehem" Dara berdehem. Berhadapan dengan sultan narsis harus dengan sabar. "Aku tidak ingin mengecewakan perasaan orang, lagipula selera orang kan sendiri-sendiri Mas Abi."
"Tapi kan ada kesamaan khas yang lebih umum sifatnya. So, generally how do you think about this house?" tanya Abi lagi.
Duh si Sultan lagi-lagi ingin tahu pendapatku mengenai istana emasnya ini. Oke Dara, jangan terlalu menuruti egomu.
"Generally, this house is almost perfect. Semua lengkap, semua indah, semua tertata rapi dan chick. Almost excellent." jawabku.
Abi menatapku dengan senyum bangga tapi Dara hanya menatap datar. Bukan maksud Dara seperti itu, membuat sultan satu ini jadi tambah narsis.
"Semua serba oke mas. Kalau dilihat semuanya seperti ini berarti mas Abi juga punya jiwa seni yang tinggi, tetapi kalau mas Abi meminta pada jasa arsitek atau desain interior, berarti mas Abi meminta bantuan pada orang yang tepat di bidang nya, yang bisa mengimplementasikan apa keinginan mas Abi." lanjut Dara.
"Hhhmmm tetapi kenapa aku merasa ... " Abi menjungkitkan alis matanya yang tebal dan menatap Dara tajam. "Katakan saja Dara, apa yang ingin kau katakan, tidak usah sungkan."
"Tapi aku baru saja datang beberapa jam yang lalu, takutnya kesan pertama bisa jadi keliru. Jadi kapan-kapan saja aku katakan mas. Nggak enak." elak Dara.
"Dasar orang Jawa, serba tidak enak" senyum mahal Abi keluar walaupun kesan yang ditangkap Dara seperti mengejek.
"Itu namanya tahu diri Mas, harus bisa memilah kapan waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu." sahut Dara.
"Eh, ayuk diminum teh nya walau mungkin tidak se wasgitel kayak di Solo, soalnya mas Abi ga bisa minum teh seperti itu. Mas Abi suka yang light" potong Yanti untuk menyelesaikan perdebatan antara suami dan sahabatnya.
Ketiganya kemudian menikmati teh dan camilan yang dibawa oleh Dara sebagai oleh-oleh. Usai menikmati teh sore, Abi dan Yanti pamit ke Dara untuk membersihkan diri, begitu juga Dara yang sudah merasa gerah ingin menikmati air dingin.
Mirna mengantarkan Dara ke kamar tamu yang berada di lantai satu dan sekali lagi Dara terkesima melihat betapa besarnya kamarnya yang hampir seperempat rumahnya di solo.
Lagi-lagi nuansa broken white mendominasi warna kamarnya. Sepertinya Abi sangat suka warna ini.
Dara membuka kopernya lalu mulai menata baju-bajunya di walk in closet yang ukurannya tiga kali lemari dua pintu milik Dara di Solo.
Usai menata, Dara merasa geli sendiri, bagaimana tidak baju-baju yang dibawanya hanya memakai satu ruang kecil saja.
Harusnya satu lemari kamu bawa Ra, biar nggak kelihatan kosong begini!
Dara memutuskan untuk segera mandi dan lagi-lagi tercengang melihat kamar mandinya yang bernuansa putih. Sangat cantik, elegan bahkan Dara merasa dirinya tidak perlu membawa sabun, shampoo dan handuk karena semua sudah dipersiapkan.
Dara mengecek peralatan mandi yang ada disana dan dia akui harumnya berbeda dengan sabun mandi pasaran yang biasa dia pakai.
"Sekali-kali jadi sultan yuk Ra" cengirnya di depan kaca dan Dara benar-benar menikmati ritual mandinya.
Usai mandi dengan bau harum yang menyeruak, Dara melaksanakan ibadah sholat asar walaupun agak mepet. Untung ibunya tidak melihat dia sholat mepet waktu, bisa kena jewer dia. Sembari menunggu waktu Maghrib, masih mengenakan mukena, Dara menikmati tour di kamarnya. Diam-diam dia memotret desain interior kamar itu dan suatu saat dia bisa memiliki rumah bersama suaminya kelak akan dia desain seperti ini walau perabotnya tidak semahal yang disini tetapi style nya yang dia ambil.
Suara adzan di ponselnya menunjukkan waktu untuk sholat Maghrib dan Dara bersiap-siap untuk melaksanakan ibadah sholat. Sebelumnya Mirna tadi mengatakan jam makan malam dimulai pukul tujuh tepat.
***
Adara Utari Haryono
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!